Jumat, 04 April 2014

Landing Craft Utility: “Kepanjangan Tangan” Gelar Operasi Amfibi LPD TNI AL

uji
Dalam serbuan operasi amfibi, lumrah bila elemen kavaleri Korps Marinir maju lebih dahulu dalam sebuah embarkasi basah dari kapal jenis LST (Landing Ship Tank) dan LPD (Landing Platform Dock). Setelah sebelumnya kawasan pendaratan telah disisir oleh pasukan Taifib (Intai Amfibi), maka giliran berikutnya diterjunkan unit tank amfibi dan pansam (panser amfibi).
Dengan kemampuan daya kejut serta daya tembak, tank amfibi jenis PT-76 dan BMP-3F yang dibekali meriam mampu melakukan tembakan ke arah area pendaratan, disamping tetap berharap adanya close air support. Nah, pasca area pentai berhasil didarati tank, giliran unit infanteri diterjunkan lewat LCVP (Landing Craft Vehicle Personel). LCVP sendiri menjadi bagian dari kelengkapan di kapal LST dan LPD.
Lewat pertempuran sengit yang melibatkan kombinasi infanteri dan kavaleri, dalam skenario kawasan pendaratan dan sekitarnya sejauh 10 km berhasil dikuasai. Tapi tugas Korps Marinir TNI AL tak berhenti disitu, pasukan pendarat ini punya misi lanjutan untuk membuka jalan bagi elemen tempur lain guna penguasaan dan menetralisir wilayah operasi.
Dengan perannya strategis, wajar bila dalam setiap operasi LPD selalu mendapat kawalan dari Satuan Kapal Eskorta.
Dengan perannya strategis, wajar bila dalam setiap operasi LPD selalu mendapat kawalan dari Satuan Kapal Eskorta.
LCU di dock KRI Banjarmasin
LCU di dock KRI Banjarmasin 592
1425572_404060726395939_295464037_n
Terkait dengan misi tempur lanjutan dalam skenario operasi amfibi, maka kemudian dilibatkan satuan artileri medan, perbekalan angkutan (bekang) hingga kesehatan menuju area pendaratan. Untuk soal mendaratkan satuan-satuan ini punya seni tersendiri, pasalnya alutsista berikut kendaraan taktis yang digunakan tidak punya spesifikasi amfibi, karena umumnya menggunakan platform truk dan jip. Agak mendingan bila LST sebagai kapal pembawa berjumpa dengan kontur pantai yang landai, sehingga LST dapat merapat. Tapi medan operasi faktanya bisa jauh dari harapan, kendaraan tempur dan sista pendukung akhirnya harus siap ‘dilepas’ dari tengah laut.
Untuk tugas diatas, Korps Marinir TNI AL punya yang namanya Resimen Bantuan Tempur dan Resimen Artileri, yang diterjunkan disini adalah rantis pengusung meriam Howitzer LG-1 MK II/M-30 Howitzer 122mm, peluncur roket, dan truk Unimog. Umumnya perangkat tempur tadi dihantarkan ke darat dari LST lewat KAPA (Kendaraan Amfibi Pengangkut Artileri). Jenis KAPA yang diandalkan Korps Marinir TNI AL adalah K-61 dan PTS-10. Kedua rantis amfibi ini cukup panjang kiprahnya, dibuat sejak era Uni Soviet, K-61 dan PTS-10 sudah kenyang operasi militer dan operasi penanggulangan bencana alam. Lebih detail tentang K-61 dan PTS-10 telah kami ulas di artikel terdahulu.
KAPA K-61 sedang membawa Howitzer M-30
KAPA K-61 sedang membawa Howitzer M-30

Sebelum era LCU, untuk mendaratkan rantis non amfibi digunakan jembatan ponton yang dipasang dari LST ke bibir pantai.
Sebelum era LCU, untuk mendaratkan rantis non amfibi digunakan jembatan ponton yang dipasang dari LST ke bibir pantai.
Tank Scorpion TNI AD didaratkan dari LST TNI AL
Tank Scorpion TNI AD didaratkan dari LST TNI AL

Dengan memanfaatkan platform roda rantai ber-propeller, K-61 dan PTS-10 punya banyak keunggulan dalam membawa muatan dari laut hingga masuk jauh ke daratan. Tapi ada keunggulan tentu juga ada kekurangan, kedua ranpur punya limitasi dalam hal daya angkut serta dimensi payload yang bisa dibawa. Ambil contoh, peluncur roket self propelled MLRS RM-70 Grad, dengan dimensi dan bobotnya yang besar, jelas sulit dan berbahaya untuk menumpanginya pada PTS-10 sekalipun.
Tapi selalu ada jawaban di setiap kebutuhan operasi, buktinya Marinir AS tetap dapat menghantarkan MBT M1 Abrams yang beratnya puluhan ton dari kapal perang menuju pantai. Solusinya tidak lagi bisa mengandalkan jenis KAPA, melainkan harus dengan moda yang lebih besar, yaitu hovercraft dan LCU (Landing Craft Utility). Dan, sesuai kondisi terkini, TNI AL sejak beberapa tahun belakangan telah memanfaatkan secara penuh keunggulan dari LCU yang berpangkalan di kapal LPD.

Landing Craft Utility
Persisnya sejak Satfib (Satuan Kapal Amfibi) TNI AL mulai mengoperasikan jenis kapal LPD pada tahun 2006, maka muncul skenario baru dalam gelaran elemen perangkat tempur dan infanteri pada operasi amfibi. Dengan tonase dan dimensinya yang jumbo, LPD dapat membawa muatan jauh lebih besar ketimbang LST.
Sebagai gambaran, salah satu LPD, yakni KRI Surabaya 591 dengan panjang 122 meter punya berat 10.932 ton. Yang dibawa dibawa kapal ini mencakup 22 ranpur/rantis, 15 truk, dan 3 helikopter. Sementara jumlah pasukan yang bisa diangkut mencapai 618 termasuk awak kapal. Untuk menunjang operasi amfibi, LPD ini dilengkapi empat LCVP yang terikat rapi pada sisi kapal, dua disisi kanan dan dua disisi kiri. Kapasitas LCVP ini dapat mendaratkan satu pleton infanteri, sekitar 30-35 personel. Penggunaan LCVP jelas menjadi hal yang biasa dalam setiap operasi amfibi, dan keberadaan LCVP sudah jamak di setiap LST yang dimiliki TNI AL.
LCVP lawas
LCVP lawas
LCVP keluaran baru, setiap LPD dapat membawa hingga 4 LCVP.
LCVP keluaran baru, setiap LPD dapat membawa hingga 4 LCVP.

Untuk urusan menggeser ranpur/rantis, meriam, truk, dan lain-lain yang punya bobot besar dari kapal di tangah laut ke daratan, diandalkan LCU. Pada setiap kapal LPD TNI AL dilengkapi dua LCU. TNI AL hingga kini punya 4 LPD, yaktu KRI Makassar 590, KRI Surabaya 591, KRI Banjarmasin 592, dan KRI Banda Aceh 593. Sebenarnya ada satu lagi, yaitu KRI Dr. Soeharso 990, kapal ini tadinya bernama KRI Tanjung Dalpele 927. Kapal buatan Daesun Shipbuilding ini merupakan LPD, tapi kemudian fungsinya diubah sebagai kapal bantu rumah sakit.

Berbeda dengan LCVP yang dimensinya kecil dan punya daya angkut terbatas, maka LCU wujudnya cukup bongsor, seperti LCU yang melengkapi KRI Banjarmasin dan KRI Banda Aceh, menggunakan tipe LCU 24 meter. LCU yang dibuat industri Dalam Negeri PT. Tesco Indomaritim, punya daya angkut hingga 20 ton. Bisa dipastikan tank ringan hingga medium yang tak punya kemampuan amfibi bisa dibawa oleh 1 unit LCU. Dalam beberapa rangkaian latihan, tampak LCU kerap digunakan untuk membawa truk Tatra 813 8×8 sebagai pengusung platform MLRS RM70 Grad. Agar lebih jelas mengenai proses loading truk ke LCU, simak tayangan video dibawah ini.


Dengan bobot maksimum hingga 62 ton, tentu ada syarat khusus dalam menggelar LCU, dan yang bisa memang hanya LPD. Menyandang gelar landing platform dock, maka di setiap LPD memang terdapat dock yang bisa berfungsi sebagai dock kering dan mampu disulap untuk digenangi air. Saat membawa LCU berlayar, maka dock menjadi kering setelah pintu palka ditutup. Sedangkan saat LCU akan dikeluarkan, dock akan digenani air laut, sehingga LCU dapat mengambang untuk kemudian bergerak keluar dari dock setelah melakukan loading muatan.
LCU 24 meter
LCU 24 meter
Setiap LPD dapat membawa dua unit LCU.
Setiap LPD dapat membawa dua unit LCU.
LCU melesat kencang dengan muatan RM70 Gradd
LCU melesat kencang dengan muatan RM70 Gradd

Untuk menggelar pasukan pun bisa dilakukan lebih cepat, sebab satu LCU dapat memuat satu kompi pasukan Marinir, mulai dari 100 sampai 150 pasukan dengan senjata lengkap. Awak LCU hanya terdiri atas 2 orang, untuk menunjang keamanan, setiap LCU dibekali 100 life jacket. Layaknya sebuah kapal, LCU dilengkapi dengan sarana navigasi dan komunikasi seperti marine radar, GPS, echo sounder, wind direction, dan radio VHF/NAVTEX/SSB.
Ditenagai mesin utama Caterpillar C32 Acert, serta 2 water jet dari Hamilton Jet MH571, LCU dapat melaju dengan kecepatan ekonomis 20 knots dan kecepatan maksimum 40 knots. Untuk bekal berlayar menuju pedalaman tak jadi soal, LCU dapat membawa persediaan 300 liter air tawar dan kapasitas bahan bakar hingga 3.400 liter.
LCU Tesco 1_Defense Studies
Melihat peran LPD yang sangat strategis dalam setiap operasi tempur dan non tempur, maka peran moda seperti LCU akan sangat berperan, melengkapi keberadaan puluhan kapal LST yang menjadi tulang punggung operasi lntas laut TNI AL. (Bayu Pamungkas)

Spesifikasi LCU 24 Meter
Length overall ……………………………………..24.35 M.
Beam overall (incl. rubber fender) ……………6.00 M.
Depth main deck midship ……………………….2.65 M.
Loaded draft ………………………………………..0.80 M.
Displacement (light)……………………………..40.00 MT
Displacement (Fully Loaded)…………………62.00 MT
Maximum speed: …………..40 knots.
Economic speed: ………….20 knots.
Crew: ………………………………………2 Seats.
Passengers: …………………………….100 Persons
Fuel Capacity ……………………………3400 Liter
Fresh Water Capacity ………………..300 Liter
Accomodation Space …………………20 Tonnes
Main Engine: ……………………………CATERPILLAR C32 ACERT
Power output: …………………………..2 x 1600 bhp @ 2300 rpm
Gear boxes: …………………………….2 x ZF 3050
Water Jet: ……………………………….2x Hamilton Jet, Type HM 571

Malaysia Inginkan Kep. Natuna Menjadi Wilayahnya


Kepulauan Natuna
Kepulauan Natuna
Mustafa Kamal

Sebuah artikel yang ditulis oleh dosen Universitas Sains Islam Malaysia di media  Malaysia www. mStar.com.my menuliskan bahwa Kepulauan Natuna seharusnya milik Malaysia. Artikel yang ditulis oleh Mohd Hazmi Mohd. Rusli, Ph.D dan Wan Izatul Asma Wan Talaat ,Ph. D tersebut mengemukakan pertanyaan: “kenapakah kepulauan Natuna yang terletak di tengah-tengah Malaysia, bukan milik Malaysia?
Kepulauan Natuna
Kepulauan Natuna

Dalam artikel tersebut mereka menyebutkan beberapa hal alasan mengapa seharusnya Kepulauan Natuna milik Malaysia. Alasan tersebut sebagai berikut:
  1. Secara geografis kepulauan Natuna terletak ditengah-tengah yang memisahkan Semenanjung Malaysia dan Sabah serta Serawak Malaysia
  2. Bahasa masyarakat Natuna adalah bahasa melayu dialek Terengganu Malaysia
  3. Natuna awalnya adalah dibawah pemerintahan Kerajaan Pattani dan Kerajaan Melayu Johor Malaysia pada tahun 1597
  4. Perjanjian Inggris-Belanda pada tahun 1824 tidak menempatkan Kepulauan Natuna dibawah kekuasaan Inggris ataupun Belanda,namun dibawah kekuasaan Kerajaan melayu Johor, Malaysia yang sejatinya dibawah pengaruh Inggris
  5. Kesultanan Johor merdeka dari Ingrris pada tahun 1957 dan bergabung menjadi wilayah persekutuan Malaysia
Atas dasar diatas mereka akhirnya menyimpulkan sesuai dengan konsep “utti possideti juris” maka Kepulauan Natuna yang merupakan wilayah kerajaan Johor seharusnya menjadi bagian dari Malaysia. Dengan kata lain karena Kepulauan Natuna tidak pernah menjadi daerah jajahan Belanda, maka seharusnya Kepualauan Natuna bukan bagian dari Indonesia menurut konsep tersebut.
Indonesia memasukkan Kepulauan Natuna menjadi wilayahnya secara resmi pada tahun 1956 setahun sebelum Malaysia memperoleh kemerdekaannya. Karena konfrontasi Indonesia-Malaysia pada tahun 1962- 1966 pemerintah Malaysia tercurah perhatiannya untuk menyelesaikan konflik tersebut, sehingga keberadaan Kepulauan Natuna yang diklaim Indonesia terluput dari perhatian.
Diprediksi untuk mempercepat berakhirnya konflik, pemerintah Malaysia kala itu menahan diri untuk tidak mempersoalkan keberadaan Kepulauan Natuna agar bisa berdamai dengan negara jiran serumpun Indonesia. Hingga kini 56 tahun berlalu Malaysia tidak pernah mempersoalkan keberadaan kepulauan tersebut, sehingga sesuai dengan konsep Undang-undang antar bangsa yang mensahkan sebuah wilayah adalah menjadi wilayah negara tertentu dengan tidak ada dibantah oleh negara-negara lain,  maka Indonesia beruntung memiliki Kepulauan Natuna walau dalam sejarahnya seharusnya menjadi milik Malaysia.
Tulisan dua orang dosen malaysia itu menurut penulis harus kita waspadai. Tulisan itu jelas suatu provokasi halus agar Kepulauan Natuna memisahkan diri dari Indonesia dan bergabung dengan Malaysia. Apalagi saat ini gencar-gencarnya Natuna meminta menjadi provinsi sendiri. Tidak mungkin kelak karena “hasutan” malaysia Natuna memisahkan diri dari Indonesia.
Malaysia belakangan ini memang terlihat menganggap enteng Indonesia sejak berhasilnya mereka memiliki Sipadan dan Ligitan yang seharusnya milik Indonesia. Apa jadinya kalau mereka secara ekonomi dan meliter lebih maju dari kita nantinya, bisa jadi mereka akan mengintervensi Kepulauan Natuna nantinya seperti bagaimana Rusia mengintervensi Crimea dan “merebutnya” dari Ukraina.
Walau kecil kemungkinan tersebut terjadi, tapi kemungkinan bisa terjadi pun ada jika Pemerintah Indonesia mengabaikan kesejahteraan Masyarakat Natuna padahal kekayaan alam natuna dari gas dan minyak buminya menyumbang devisa terbesar untuk Indonesia. Jika pemerintah Indonesia abai terhadap pertahanan dan keamanaan di Natuna, maka bisa saja negara luar akan  gampang mendikte kita, seperti baru-baru ini sebagian wilayah natuna dimasukkan China di peta wilayahnya atau seperti Malaysia yang terus melakukan manuver di pulau Anambat.
Saat ini yang sangat dibutuhkan masyarakat Natuna adalah bagaimana mereka bisa melepaskan diri dari keterisoliran dari wilayah lain di Indonesia.  Di kepualauan Natuna harus banyak di bangun bandara, dengan memperbanyak penerbangan murah yang disubsisi pemerintah ke natuna. Saat ini penerbangan ke Natuna sangat sedikit dan harganya mahal berkisar diangka Satu jutaan rupiah. Begitu juga transportasi lautnya yang sangat terbatas bahkan perlu berhari-hari ditengah laut untuk kesana.
Kemudian persoalan pendidikan, sosial budaya,   di Natuna harus menjadi prioritas Utama, saat ini “penyakit masyarakat”mulai dari pesatnya pertumbuhan penderita HIV/AIDS di Natuna, seks bebas di kalangan remaja sehingga di Natuna terkenal istilah 3J (Three Jie) yaitu istilah untuk remaja tanggung (cabe-cabean) yang menjual keperawaanannya dan lain sebagainya adalah buah dari tidaknya jalannya penanaman karakter pendidikan disana.
Pemerintah daerah dan pusat harus mengambil perhatian penuh dengan persoalan ini. Kalau tidak maka generasi muda natuna akan tersinggirkan dan akan gampang terprovokasi dan tentu kedepan kemungkinan “lepas” dari Indonesia bisa saja terjadi!
Save Natuna! - (kompasiana)
Artikel Asli:

Kepulauan Natuna: ‘Bergeografikan Malaysia’ Berdaulatkan Indonesia

Diterbitkan: Sabtu, 7 Disember 2013 12:00 AM
KEPULAUAN Natuna adalah gugusan kepulauan yang berselerakan di tengah-tengah Laut China Selatan yang memisahkan Semenanjung Malaysia dan Sabah serta Sarawak. Ia terletak lebih kurang 450km di utara pulau Singapura. Pulau terbesar di dalam gugusan kepulauan Natuna adalah Pulau Serindit atau nama lainnya, Pulau Bunguran.
Nama antarabangsa yang diiktiraf bagi Pulau Bunguran ialah ‘Natuna’. Walaupun dikatakan terpencil, Kepulauan Natuna terletak di kawasan laluan utama perdagangan antara Asia Timur dan Asia Barat.
Berpusatkan kota Ranai sebagai ibu negerinya, Kepulauan Natuna terdiri daripada 272 buah pulau yang terletak di barat laut Pulau Borneo. Mungkin terdapat sebahagian daripada kita yang bertanya; kenapakah kepulauan Natuna yang terletak di tengah-tengah Malaysia, bukan milik Malaysia?
Penduduk
Sehingga tahun 2010, dianggarkan penduduk di Kabupaten (Regency) Natuna adalah sebanyak 69,003 orang, yang terdiri daripada 35,741 orang lelaki dan 33,262 perempuan. Lebih kurang 85% penduduk di sana 85.27% adalah berketurunan Melayu dan selainnya adalah berketurunan Jawa, Sumatera dan Cina.
Bahasa pertuturan utama adalah Bahasa Melayu dielek negeri Terengganu dan Islam adalah agama utama penduduk di Kabupaten Natuna.
Sejarah
Sejarah Kepulauan Natuna tidak dapat dipisahkan daripada pengaruh negeri-negeri di Tanah Melayu. Pemerintahan di Natuna dikatakan bermula pada tahun 1597 yang didirikan hasil gabungan penghijrahan kaum bangsawan Patani dan Johor. Pada sekitar kurun ke-16 iaitu selepas kejatuhan Kesultanan Melayu Melaka ke tangan Portugis, kerajaan Patani dan Johor muncul sebagai kuasa baru di rantau Tanah Melayu.
Kuasa dan pengaruh kesultanan Patani dikatakan lebih tertumpu di kawasan utara merangkumi negeri-negeri Terengganu, Kelantan, Menara (Narathiwat) dan Jala (Yala) sebelum dijajah Siam pada kurun ke-18. Manakala Kesultanan Johor pula menguasai kawasan selatan yang terdiri daripada negeri Pahang, sebahagian pantai timur Sumatera dan kepulauan Riau.
Susur galur pemerintahan Patani di Natuna bermula apabila salah seorang puteri berketurunan pemerintah asal Natuna bernama Puteri Wan Seri Bulan yang telah berkahwin dengan Datuk Bendahara Lingkai al-Fathani, seorang kerabat diRaja Patani. Zuriat dari pasangan ini telah menjadi Datuk Kaya yang memegang teraju pemerintahan Natuna.
Selain dari itu, antara pemerintah yang terkenal ialah Wan Muhammad al-Fathani yang berketurunan Orang Kaya Aling.
Baginda, yang juga digelar Orang Kaya Perdana Mahkota telah berhubung dengan pihak Inggeris pada tahun 1848 apabila Penguasa Tentera Inggeris bagi negeri-negeri Selat di Tanah Melayu, Leftenan Kolonel Butterworth menghadiahkan sebuah meriam tembaga atas jasa baginda memberikan bantuan kepada sebuah kapal milik pihak Inggeris yang pecah di sekitar pulau Natuna pada 25 Januari 1848.
Sorotan sejarah pemerintahan dan kependudukan awal bangsa Melayu di Natuna ini jelas menunjukkan bahawa kepulauan tersebut mempunyai hubungan yang lebih erat dengan dengan negeri-negeri di Tanah Melayu berbanding dengan kerajaan-kerajaan dari kepulauan Indonesia ataupun pihak penjajah Belanda yang berpusat di Batavia (Jakarta).
Pemerintahan Penjajah Barat Di Nusantara
Kepulauan Melayu (Nusantara) adalah gugusan kepulauan yang terbesar di dunia dan Pulau Natuna terletak di kawasan ini. Sejak zaman kerajaan Srivijaya lagi, iaitu bermula dari kurun ke-7 Masihi, kerajaan-kerajaan Melayu sangat aktif dalam bidang perdagangan dan kota-kota Melayu menjadi pusat pelabuhan yang penting, seperti Palembang, Melaka, Kotaraja (Aceh), Patani dan Brunei.
Namun, kegemilangan kerajaan-kerajaan Melayu dan kekayaan sumber-sumber alam kepulauan Melayu ini telah mengundang minat penjajah Barat untuk datang menguasai rantau ini.. Kerajaan Melaka adalah kerajaan yang pertama jatuh ke tangan penguasa Portugis pada tahun 1511.
Melaka kemudiannya dikuasai oleh Belanda pada tahun 1641 sementara Bengkulu, yang terletak di Pulau Sumatera, dikuasai Inggeris pada tahun 1685.
Perlumbaan dalam mengembangkan kuasa dan pengaruh British dan Belanda di Kepulauan Melayu telah menimbulkan rasa tidak puas hati antara kedua-dua kuasa penjajah tersebut.
Bagi menamatkan bibit-bibit konflik dan mengekalkan hubungan baik British-Belanda, Perjanjian Inggeris-Belanda pada 17 Mac 1824 (Perjanjian 1824) telah dimetarai. Perjanjian ini telah membahagikan ‘Dunia Melayu’ di mana kedua kuasa tersebut secara sewenang-wenangnya melakarkan ‘peta kekuasaan’ masing-masing.
Artikel 10 Perjanjian ini berbunyi ‘Kota Melaka diserahkan kepada Raja Inggeris, manakala Raja Belanda dan rakyatnya tidak akan menubuhkan sebarang penempatan di Singapura dan Semenanjung Melaka (Semenanjung Melayu)’. Artikel 9 Perjanjian 1824 mengiktiraf pengaruh Belanda di Pulau Sumatera dan pulau-pulau di selatan pulau Singapura.
Dengan termeterainya perjanjian ini, pihak British tidak akan membuka penempatan di pulau-pulau di selatan Singapura dan Belanda juga tidak akan membuka penempatan di Semenanjung Melayu.
Perjanjian 1824 ini telah menjarah sempadan di kepulauan Melayu dan kesannya kekal sehingga ke hari ini.
Kesan Perjanjian 1824 ke Atas Kepulauan Natuna
Secara umum, boleh dikatakan bahawa Perjanjian 1824 tidak meletakkan kepulauan Natuna dengan jelas sama ada di bawah pengaruh Inggeris atau Belanda.
Akan tetapi, Perjanjian 1824 ada mengatakan yang Belanda tidak akan menubuhkan penempatan di utara pulau Singapura dan Semenanjung Melayu yang diiktiraf sebagai wilayah British.
Wilayah Belanda adalah di pulau Sumatera dan pulau-pulau di selatan pulau Singapura. Dari sudut geografi, Kepulauan Natuna bukanlah gugusan kepulauan yang terletak di selatan pulau Singapura.
Kepulauan Natuna Sebagai Wilayah di Dalam Indonesia
Kepulauan Natuna telah dimasukkan sebagai salah sebuah wilayah di dalam Republik Indonesia berdasarkan Surat Keputusan Delegasi Republik Indonesia, Provinsi Sumatera Tengah bertarikh 18 Mei 1956.
Kabupaten Natuna kemudiannya telah ditubuhkan di dalam Provinsi Kepulauan Riau berdasarkan Undang-undang No. 53 Tahun 1999 yang telah dikuatkuasakan pada 12 Oktober 1999.
Namun, jika dilihat pada peta Asia Tenggara, jelas menunjukkan bahawa Kepuluan Natuna secara semulajadinya terletak sejajar dengan lokasi negeri Terengganu, sekiranya garis lurus dilukis dari pesisir negeri berkenaan ke arah timur.
Sempadan Indonesia jelas melengkung ke atas dan bukanlah dalam satu garisan yang lurus.
Kepulauan Natuna menjadi salah satu aset utama dalam menjadikan Indonesia sebagai sebuah negara kepulauan terbesar di dunia.
Dalam melukis garis kepulauan bagi membentuk perairan kepulauan, satu garis melengkung telah dilukis dari Pulau Bintan ke arah utara menyambung Kepulauan Anambas dan seterusnya Kepulauan Natuna sebelum garis ini melengkung ke bawah untuk bersambung dengan provinsi Kalimantan Barat.
Berdasarkan sumber sejarah, adalah munasabah untuk mengatakan Kepulauan Natuna tidak banyak mempunyai perkaitan dengan negara Indonesia. Kepulauan Natuna berbeza dengan tanah jajahan Belanda yang lain di Indonesia seperti Pulau Sumatera, Pulau Jawa, Nusa Tenggara, Makassar dan Papua.
Wilayah-wilayah ini yang menjadi milik Indonesia yang mewarisinya daripada bekas penjajahnya, Belanda apabila Indonesia mencapai kemerdekaan pada tahun 1945. Konsep yang wujud di dalam undang-undang antarabangsa ini dipanggil utti possideti juris.
Semasa Perjanjian 1824 dibuat, kepulauan Natuna masih lagi di bawah pengaruh kesultanan Melayu menerusi pemerintahan Baginda Wan Muhammad al-Fathani. Juga, Perjanjian 1824 tidak secara jelas meletakkan kepulauan Natuna di bawah pengaruh Belanda.
Malah, sekiranya Perjanjian 1824 diteliti, Belanda tidak berhak membuka penempatan di mana-mana kawasan di utara pulau Singapura yang jelas berada di dalam kawasan pengaruh British.
Secara logiknya, memandangkan kepulauan Natuna masih berada di dalam wilayah lingkup kerajaan Johor saat Perjanjian 1824 ditandantangani, ianya patut berada di bawah pengaruh British, yang menjadi penaung bagi kesultanan Johor pada ketika itu.
Oleh itu, mungkin timbul hujah yang mengatakan kepulauan Natuna sepatutnya berada bersama Malaysia apabila kesultanan Johor merdeka di dalam Persekutuan Malaya pada tahun 1957 menerusi konsep utti possideti juris.
Tuntutan ke Atas Kepulauan Natuna
Indonesia secara rasmi memasukkan kepulauan Natuna sebagai wilayahnya pada tahun 1956, setahun sebelum Tanah Melayu (Malaysia) mencapai kemerdekaan dan 6 tahun sebelum berlakunya Konfrontasi Malaysia dengan Indonesia.
Tanah Melayu pada ketika itu masih lagi diperintah British dan belum lagi menjadi sebuah negara berdaulat bagi menuntut ketuanan ke atas kepulauan Natuna. Walaupun Tanah Melayu mencapai kemerdekaan pada tahun 1957 dan menjadi Malaysia pada tahun 1963, Konfrontasi Malaysia-Indonesia yang berlaku pada tahun 1962-1966 berkemungkinan telah mengalih pandangan pemerintah Malaysia pada ketika itu yang lebih menumpukan untuk menamatkan konflik dengan Indonesia.
Manakala Indonesia pula memerlukan kepulauan Natuna supaya garis kepulauan dapat dilukis menghubungkan pulau-pulau di dalam Indonesia bagi mencipta sebuah lingkungan laut kepulauan bagi memenuhi hasratnya menjadi sebuah negara kepulauan (Archipelagic State) berdasarkan undang-undang laut antarabangsa.
Makanya, besar kemungkinan, atas dasar ingin menamatkan konfrantasi dan berbaik-baik dengan jiran serumpun, isu tuntutan kedaulatan ke atas kepulauan Natuna mungkin tidak menjadi keutamaan pemerintah Malaysia pada ketika itu. Sehingga kini, Malaysia mengiktiraf kedudukan kepulauan Natuna sebagai sebuah wilayah dalam negara kepulauan republik Indonesia.
Di bawah konsep undang-undang antarabangsa, sesebuah wilayah itu boleh diperolehi oleh sesebuah kerajaan atau kuasa pemerintah melalui empat cara iaitu perluasan wilayah melalui cara semulajadi (accretion), penyerahan wilayah (cession), penjajahan, dan effective occupation ataupun prescription.
Prescription merujuk kepada tindakan sebuah negara yang mezahirkan kedaulatan dengan cara mengamalkan penguasaan ke atas wilayah tertentu tanpa dibantah oleh negara-negara lain.
Berdasarkan fakta ini, boleh dikatakan bahawa Indonesia telah menguasai Pulau Natuna selama 56 tahun tanpa bantahan dari Malaysia sejak tahun 1956.
Oleh yang demikian, adalah sukar untuk ketika ini bagi Malaysia menuntut hak kedaulatan ke atas kepulauan Natuna walaupun berdasarkan fakta geografi dan sejarah, kepulauan Natuna memang mempunyai pertalian yang kuat dengan negeri-negeri di Semenanjung Melayu.
Kesimpulan
Fakta-fakta sejarah jelas menunjukkan kepulauan Natuna mempunyai perkaitan yang lebih jelas dan kukuh dengan negeri-negeri Tanah Melayu berbanding kerajaan-kerajaan awal di kepulauan Indonesia.
Akan tetapi, tiada tuntutan konsisten pernah dilakukan oleh Malaysia dan kependudukan Indonesia di kepulauan Natuna tidak pernah dibantah oleh Malaysia.
Kedaulatan Indonesia ke atasnya telah mencipta ruang lingkup wilayah Indonesia yang membelah Malaysia kepada dua bahagian. Sehingga kini, kepulauan Natuna kekal sebagai sebuah wilayah Indonesia walaupun yang secara geografinya, kedudukan kepulauan tersebut lebih sejajar dengan kedudukan Malaysia. - www. mStar.com.my
Artikel ini disumbangkan Oleh MOHD HAZMI MOHD RUSLI (Ph. D) pensyarah kanan di Universiti Sains Islam Malaysia dan seorang Felo Bersekutu di Institut Oseanografi dan Sekitaran, Universiti Malaysia Terengganu. MOHD AFANDI SALLEH (Ph.D) seorang pensyarah kanan Universiti Sultan Zainal Abidin dan seorang Felo Bersekutu di Institut Oseanografi dan Sekitaran, Universiti Malaysia Terengganu dan WAN IZATUL ASMA WAN TALAAT (Ph. D), seorang profesor madya di Institut Oseanografi dan Sekitaran, Universiti Malaysia Terengganu.

Dua Satelit 100% Made in Indonesia Diluncurkan Tahun 2015


http://images.detik.com/customthumb/2014/04/02/10/202545_lapan_a2.jpg?w=460
Satelit Lapan A2 yang akan diluncurkan (Foto: Lapan)
Jakarta – Indonesia selama ini belum mampu membuat dan meluncurkan satelit sendiri. Satelit di Indonesia masih dibuat negara lain. Tahun depan, Indonesia berambisi meluncurkan 2 satelit buatan anak bangsa sendiri.
“Kita harus membangun satelit kita sendiri dan tidak tergantung dengan teknologi luar, ini yang harus kita lalui lewat percepatan teknologi satelit, agar kita bisa mengoperasikan satelit yang kita bangun sendiri,” kata Sekretaris Kemenristek Hari Purwanto, di Gedung BPPT, Jl MH Thamrin, Jakarta Pusat, Rabu (2/4/2014).
Menanggapi permasalahan tersebut, Kementrian Riset dan Teknologi (Kemenristek) berusaha mandiri, dengan berupaya membangun sinergi antara seluruh komponen pengguna dan penyedia teknologi sistem satelit penginderaan jarak jauh (inderaja) melalui konsorsium nasional melalui tiga Lembaga Pemerintah Non Kementrian (LPNK). 3 LPNK itu yakni Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan), Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) dan Badan Informasi Geospasial (BIG).
Sementara Kepala Lapan Thomas Djamaluddin menjelaskan dalam UU no 21 tahun 2013 diamanatkan untuk membuat rencana induk keantariksaan selama 25 tahun dan hal itu tengah disusun. Salah satu impiannya yaitu, memiliki satelit komunikasi dan penginderaan jauh sendiri di luar satelit yang ada saat ini.
“Dengan memiliki satelit sendiri, kita bisa menjadi negara yang mandiri dan punya daya saing, banyak aspek kalau tetap bergantung dengan bangsa luar, seolah-olah kita ditelanjangi.” jelas Thomas.
Thomas menekankan, pada dasarnya Indonesia sudah bisa membuat satelit sendiri yaitu satelit mikro, contohnya satelit Lapan A1 yang telah beroperasi selama 7 tahun. Satelit itu dibuat oleh tangan-tangan putra Indonesia namun dirakit dan di bawah pengawasan ahli di Jerman.
“Satelit Lapan A1 itu buatan Indonesia, termasuk semua alat-alatnya tapi dirakit di Jerman. Orang-orang kita diarahkan membuat satelit, dilatih dan diarahkan membuat satelit dengan buaya Indonesia, pelatihnya juga dibayar,” tutur Thomas
Satelit Lapan A1 itu diluncurkan dari Pusat Stasiun Luar Angkasa Sriharikota, India tahun 2007 dan kini telah mengorbit di ketinggian 630 km dari permukaan Bumi. Posisi orbitnya di dekat kutub selatan.
“Lapan A1 merupakan satelit eksperimen pemantauan Bumi dengan keistimewaan menggunakan video yang bisa dikendalikan. Bila kita mengarahkan satu obyek di Bumi, bisa mengendalikan satelit itu,” papar Thomas.
Karena masa ekonomis satelit Lapan A1 sudah habis, Lapan didukung Kemenristek akan meluncurkan dua satelit lagi tahun 2015. Tak seperti Lapan A1 yang dirakit putra bangsa di Jerman di bawah pengawasan ahli dari negeri yang dipimpin kanselir Angela Merkel itu, dua satelit ini murni dibuat tangan putra bangsa plus dirakit di Indonesia sendiri.
Satelit itu dinamakan Lapan A2 dan Lapan A3. Lapan A2, diberi muatan transmitter radio amatir, kerjasama Lapan dengan Organisasi Radio Amatir Indonesia (Orari) dan dimaksudkan untuk membantu penanganan daerah bencana. Sedangkan Lapan A3 adalah kerjasama Lapan dengan IPB, dimaksudkan untuk memantau potensi-potensi pertanian.
“Lapan A2 sekarang sedang disimpan di Ranca Bungur Bogor, Pusat Teknologi Satelit, yang kita targetkan meluncur pertengahan tahun depan. Kita juga membuat Lapan A3, sekarang dalam tahap pengujian dan pengintegrasian. Lapan A3 diharapkan juga tahun depan diluncurkan,” kata dia.
Kedua satelit itu, Lapan A2 dan Lapan A3, seperti ‘saudara tua’nya diluncurkan dari Pusat Stasiun Luar Angkasa Sriharikota, India. Kali ini, kedua satelit akan diorbitkan mendekati garis ekuator. Kedua satelit itu beratnya 54 kg.
“Lapan A2, sama buatan Indonesia dengan Lapan A1 tapi beda orbit. Kalau Lapan A2 orbitnya mendekati ekuator, kalau Lapan A1 orbitnya mendekati orbit polar (kutub). Satelit Lapan A2 sudah siap, tinggal menunggu diluncurkan,” jelas Thomas. (Taufan Noor Ismailian – detikNews)

SAAB JAS 39E Gripen, proyeksi pesawat tempur masa depan



 JAS 39E Gripen dalam satu penerbangan. Semua sistem peluru kendali dan bom konvensional pun bom cerdas standar NATO bisa dioperasikan dari pilon-plionnya. Dia dipakai di empat angkatan udara Eropa dan Thailand di ASEAN. (wikipedia.org)

Pesawat tempur generasi keempat masih dianggap cukup mampu menjadi andalan banyak negara. Namun kini pabrikan pesawat tempur Swedia, SAAB AB, mengembangkan generasi keenam, SAAB JAS 39E Gripen.

Generasi di antara mereka --generasi kelima-- antara lain ada Lockheed Martin F-35 Lighting II, yang ditujukan untuk memenuhi keperluan tiga matra sekaligus, yaitu Angkatan Udara, Angkatan Laut, dan Korps Marinir Amerika Serikat.

Jika pesawat tempur generasi kelima bermakna "mesin pamungkas untuk dikemudikan" maka generasi keenam akan tiba. SAAB dari Swedia memberi argumen, bahwa JAS 39E Gripen mereka --yang sesuai dengan gambaran artis tentang pesawat tempur mahal dan canggih-- menjadi pesawat tempur pertama di "kelas" itu.

Bicara JAS 39E Gripen, ini juga yang menjadi salah satu kontestan pengganti F-5E/F Tiger II di Skuadron Udara 14 TNI AU.

Dia bersaing bersama Sukhoi Su-35 Flanker E (Rusia), Dassault F1 Rafale (Prancis), dan Boeing-McDonnel Douglas F/A 18E/F Super Hornet (Amerika Serikat). Bisa juga ke Boeing-McDonnel Douglas F-15E Striking Eagle.

Konsep pesawat tempur Gen 5 (generasi kelima) telah berusia 30 tahun, berawal sejak Perang Dingin berakhir, saat pemerintahan Ronald Reagan memacu perlombaan senjata dan Rusia yang menggerakkan picunya. Dari sinilah kemudian terjadi perlombaan kecanggihan teknologi, material, dan berbagai macam doktrin pertempuran dan peperangan.

Di sinilah Swedia memberi alternatif penting dalam daftar pesawat tempur masa depan.

Alasan menyatakan bahwa JAS 39E Gripen --dituturkan Aviation Week edisi Maret 2014-- sebagai pesawat tempur Gen 6 adalah karena dia dirancang sejak awal berdasarkan pengertian-pengertian peperangan pada masa depan.

Yang menarik dari JAS 39E Gripen ada pada perangkat lunaknya; perangkat keraslah yang menjalankan program aplikasi manajemen tempur dalam perangkat lunak Mission System 21.

Sebetulnya, versi awal perangkat lunak ini telah ditanamkan di dalam JAS 39A/B. Salah satu hal yang dijagokan SAAB adalah ketangguhan Gripen yang bisa berusia pakai panjang, yang mensyaratkan adaptabilitas dalam berbagai misi dan negara pemakai.

Seperti halnya A-4 Skyhawk rancangan Ed Heinemann, JAS 39E Gripen dirancang sebagai pesawat tempur kecil dengan daya muat besar. Bodinya kecil, tapi sanggup menggotong beban berat.

Swedia mengaplikasikan sistem sensor berteknologi state-of-the-art rancangannya sendiri pada perangkat ISR dan peringatan dini situasionalnya. Ini meliputi sistem manajemen perang di penerbangan elektronika memakai teknologi nitrida-galium. Ini yang pertama di dunia pada semua kelas.

Secara sederhana, dia mampu mengidentifikasi teman dan musuh (IFF/identification friend and foe) pada situasi penerbangan yang sangat padat dan kritikal.

Dia tidak akan salah mengenali pesawat tempur/transport teman, musuh, sipil, dan lain sebagainya. Didukung suplai mesin dari Amerika Serikat (General Elecric), sistem radar dari Inggris (Raven ES-05 active), dan penjejakan infra merah dari Italia (Skyward-G-IRST) serta sebagian struktur pesawat terbang dari Brazil.

JAS 39E Gripen bukan pesawat tempur tercepat, paling stealth, dan paling gesit. Namun dia menawarkan hal-hal lain di luar itu, di antaranya biaya pengembangan dan operasi yang rendah dengan capaian terbaik. Ada ungkapan dari salah satu perancangnya, bahwa Angkatan Udara Kerajaan Swedia tidak akan mampu mencapai semua itu dengan cara-cara biasa.

Inilah target besar yang ingin dicapai SAAB; bukan hal mudah namun bisa dilaksanakan. Jika dia berhasil maka dia akan memberi banyak pelajaran pokok pada banyak pihak tentang rancangan pesawat tempur masa depan.

Mirip dengan semua produk berteknologi tinggi Swedia, dia memberi fitur-fitur pokok yang menentukan dengan cara pengoperasian sangat mudah.

Berikut sebagian perbandingan antara JAS 39C dan JAS 39E, yang keduanya rancangan SAAB Swedia.

                                                  JAS 39C                         JAS 39E
Berat kosong                             13.000                             14.000
Bahan bakar                              lebih dari 5.000               lebih dari 7.400
Berat maksimal                         30.900                             36.400
lepas landas
Mesin                                        Volvo RM12                    GE F414-GE-39E
Daya menengah/maksimal       12.150/18,100                  14.400/22.000
Kecepatan optimal                     ---                                    1,25 Mach
Radar                                         mekanis                           AESA
IRST                                          ---                                    Ya
Display kokpit                           3 unit 6 X 8 inchi            1 unit 8 X 20 inchi

Kamis, 03 April 2014

Australia Blokir Dokumen Intelijen tentang Aksi TNI di Timor Timur


Ketegangan hubungan antara Indonesia dengan Australia membuat pemerintahan di Negeri Kanguru itu kian hati-hati. Pemerintah Australia bahkan telah memblokir arsip rahasia tentang aksi kejahatan militer Indonesia di Timor Leste.
Seperti dilansir The Age hari ini, Administrative Appeals Tribunal (AAT) Australia menegaskan bahwa Arsip Nasional memiliki hak untuk menolak permintaan guru besar di Universitas New South Wales, Profesor Clinton Fernandes untuk mengakses dokumen diplomatik dan intelijen tentang operasi militer Indonesia di Timor Leste 32 tahun silam. AAT merupakan lembaga resmi yang berwenang meninjau keputusan pemerintah dan beberapa putusan pengadilan di Australia.
Sedangkan Profesor Fernandes merupakan mantan perwira di intelijen militer yang banting setir menjadi akademisi. Dia telah berjuang selama enam tahun melalui jalur hukum dan birokrasi untuk mendapatkan berbagai dokumen yang berhubungan dengan invasi dan pendudukan Indonesia di Timor Leste.
Sementara Arsip Nasional berdasarkan saran dari departemen luar negeri maupun petinggi di lembaga intelijen di Australia telah menolak permintaan Profesor Fernandes untuk bisa mengakses data yang berisi berbagai laporan mengenai aksi besar-besaran militer Indonesia pada penghujung 1981 dan awal 1982. Operasi militer oleh ABRI itu disebut melibatkan warga sipil Timor Timur (saat masih menjadi provinsi bagian Indonesia, red) sebagai tameng manusia yang berakhir pada pembantaian besar-besaran hingga ratusan jiwa melayang.
Namun menurut komisioner bidang hukum di AAT, Duncan Kerr, jika permintaan Fernandes itu sampai disetujui maka akan merusak hubungan internasional, pertahanan dan keamanan Australia. Alasannya, dokumen itu masih terlalu sensitif. 
Sebelumnya, pada Januari lalu Jaksa Agung Australia mengeluarkan sertifikat kepentingan publik yang mencegah pengungkapan alasan pemerintah untuk terus menjaga kerahasiaan dokumen-dokumen tertentu. Namun, sertifikat itu membuat pengecualian untuk Profesor Fernandes.  Sementara AAT dalam keputusannya tetap merahasiakan dua bagian dari laporan intelijen yang diminta Profesor Fernandes.
Meski demikian Fernandes menyatakan bahwa dirinya akan terus melanjutkan upaya membuka dokumen-dokumen rahasia menyangkut aksi militer Indonesia di Timor Timur. Alasannya, kejatahan kemanusiaan tak bisa ditutup-tutupi.
“Kita tidak boleh menutupi kejahatan besar terhadap warga Timor Timur, biarawati dan pastor mereka lebih dari 30 tahun setelah peristiwa-peristiwa itu terjadi,” katanya. “ Saya akan terus menempuh jalur hukum, menang atau kalah. 15 tahun di Angkatan Darat melatih saya menjadi tangguh,” pungkasnya.

JPNN.

Pesawat Tempur Sukhoi “Paksa Mendarat” Pesawat Asing

Pesawat Tempur Sukhoi “Paksa Mendarat” Pesawat Asing
Satuan-Satuan Radar Komando Sektor  Pertahanan Udara Nasional (Kosekhanudnas)  II telah mendeteksi adanya pesawat udara asing yang melanggar kedaulatan wilayah udara Indonesia di selatan perairan Sulawesi. 1 (Satu) flight pesawat Sukhoi yang terdiri dari 2 (dua)  pesawat tempur Sukhoi dengan persenjataan Rudal dari udara ke udara dan Peluru 30 mm, telah diutus untuk melaksanakan identifikasi terhadap pesawat udara asing tersebut.
Dari hasil identifikasi, ternyata pesawat asing tersebut tidak memiliki izin terbang melintas di wilayah udara Indonesia, sehingga Komando Sektor Pertahanan Udara Nasional II memerintahkan pesawat Tempur Sukhoi untuk memaksa mendarat pesawat asing tersebut di Pangkalan Udara Sultan Hasanuddin Makassar. Pesawat tempur Sukhoi melakukan prosedur Force Down atau memaksa mendarat pesawat asing ke pangkalan udara yang telah ditetapkan oleh Komando Atas yaitu Pangkalan Udara Sultan Hasanuddin Makassar, dengan mengawal pesawat asing tersebut sampai mendarat di Pangkalan udara Sultan Hasanuddin.
Selama proses pendaratan tersebut, pesawat tempur Sukhoi tetap terbang berputar di atas Pengkalan Udara Sultan Hasanuddin sampai pesawat asing tersebut mendarat dan diambil alih oleh Paskhas TNI AU.  Setelah mendarat dan Paskhas TNI AU  mengepung pesawat asing tersebut, maka TNI AU melaksanakan pemeriksaan terhadap seluruh awak pesawat dan penumpang  pesawat  asing  tersebut untuk mendapatkan informasi lainnya mengenai antisipasi terdapatnya barang-barang ilegal ataupun kondisi lainnya yang terkait pelanggaran wilayah udara nasional.   
Demikian salah satu skenario jalannya latihan satuan Lanud Sultan Hasanuddin  dengan sandi Sriti Gesit 2014 yang dilaksanakan di Apron Galaktika Lanud Sultan Hasanuddin, Rabu (2/4) yang melibatkan Skadron Udara 11 Wing 5, Skadron Udara 5 Wing 5, Satpomau, Wing II Paskhas, Batalyon Komando 466 Paskhas, Denhanud 472 Paskhas, Satpomau, Unsur Hanlan, Rumah Sakit dan Intelpam Lanud Sultan Hasanuddin.
Selain kegiatan force down, dalam latihan  Sriti Gesit 2014,  juga dilaksanakan beberapa kegiatan  lainnya  diantaranya Gladi Posko, pengintaian udara oleh pesawat Boeing 737, pengeboman dan perlindungan udara oleh pesawat Sukhoi, simulasi emergency landing, pertahanan pangkalan, serta evakuasi medis yang melibatkan seluruh personel Pangkalan Udara Sultan Hasanuddin.  

TNI. 

TNI Akan Beli Radar Udara Baru

TNI Akan Beli Radar Udara Baru
Radar

Kementerian Pertahanan berencana akan membeli sejumlah radar udara militer untuk menambah alat utama sistem persenjataan yang sudah dimiliki Tentara Nasional Indonesia (TNI) Angkatan Udara saat ini. "Iya kami berencana beli 'ground control interceptor radar'," kata Kepala Badan Perencanaan Pertahanan Kementerian Pertahanan, Laksamana Muda Rachmad Lubis, kepada wartawan di kantor Kementerian Pertahanan, jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta, Rabu, 2 April 2014.

Rachmad bersama beberapa pejabat yaitu Asisten Perencanaan Panglima TNI, Asisten Perencanaan Kepala Staf Angkatan Darat, Asisten Perencanaan Kepala Staf Angkatan Laut, Asisten Perencanaan Kepala Staf Angkatan Udara, dan Asisten Perencanaan Kapolri membahas penyusunan rencana induk pembelian alat utama sistem persenjataan TNI dan Polri untuk tahun 2015-2029. Turut hadir, pada direktur utama perusahaan alat utama sisten persenjataan (alutsista) dalam negeri seperti PT Pindad, PT Dirgantara Indonesia, PT PAL, PT LEN, dan lainnya.

Sesuai permintaan Angkatan Udara, Kementerian Pertahanan akan membeli empat sampai enam buah radar udara. Namun, Rachmad masih merahasiakan betul detail radar tersebut seperti harga dan spesifikasi kemampuan. "Kapan belinya pun juga masih dalam proses panjang," kata Rachmad.

Rachmad berharap kehadiran radar-radar baru tersebut bisa meningkatkan pemantauan wilayah udara nasional. Menurut dia, saat ini kemampuan pemantauan radar udara sudah cukup baik. Sebab, TNI Angkatan Udara telah berkoordinasi dengan radar udara sipil dari beberapa bandar udara. "Tetapi akan lebih baik kalau radarnya ditambah," kata dia.

Saat disinggung soal produsen radar tersebut, Rachmad belum mau menjawab. Menurut dia, TNI AU sebagai pihak pemohon penambahan radar tak menunjuk produsen tertentu. "Yang penting, mereka sudah sampaikan kemampuan jangkauan radarnya," kata dia.

Namun, berdasar Undang-Undang nomor 16 tahun 2012 tentang Industri Strategis, harus ada perusahaan dalam negeri yang dilibatkan dalam pembuatan alutsista yang hendak dibeli. Tapi,  untuk radar berkualitas tinggi, produsen industri pertahanan lokal belum bisa berbuat banyak. Walhasil. hampir bisa dipastikan radar baru untuk TNI AU bakal dipesan dari produsen luar negeri.

"Tapi, kami minta PT LEN (sebagai perwakilan BUMN) dan PT CMI (sebagai perwakilan swasta) harus berkoordinasi untuk proses belajar dan alih teknologi," kata Rachmad.