Minggu, 03 November 2013

Kopassus kembali unjuk gigi dalam lomba tembak AARM

Kopassus kembali unjuk gigi dalam lomba tembak AARM - Berhasil peroleh medali 14 emas, 4 perak dan 2 perunggu - Danyon Ban Sat 81 Kopassus Mayor Inf Akhirudin meminta kepada masyarakat Indonesia untuk mohon doanya agar kontingen Indonesia dapat merebut Juara Umum.

Kontingen lomba tembak AARM (Asean Army Rifle Match)-23 TNI AD Indonesia yang dipimpin Mayor Inf Akhirudin selaku Danyon Ban Sat 81 Kopassus sampai hari kedua berhasil meninggalkan jauh peserta lain dengan perolehan medali 14 emas, 4 perak dan 2 perunggu. Lomba tembak yang berlangsung di Myanmar di ikuti 10 negara antara lain Indonesia, Thailand, Philipina, Brunei .Vietnam ,Singapura, Myanmar, Malaysia, Kamboja dan Laos.
Danyon Ban Sat 81 Kopassus Mayor Inf Akhirudin meminta kepada masyarakat Indonesia untuk mohon doanya agar kontingen Indonesia dapat merebut Juara Umum.
“AARM-23 TNI AD Indonesia bisa meraih juara umum lagi seperti, tahun lalu menjuarai AARM-22/2012 di Bunei Darussalam yang dipimpin Mayor Inf Dedy Suryadi Danyon 22 Grup 2 Kopassus,”kata Danyon Ban Sat 81 Kopassusdi Myanmar, Jum’at (1/11/13)
Adapun perolehan Medali dan Tropy untuk sementara H+2 (3118.00 Okt 2013) lomba tembak AARM-23/2013 Myanmar diantaranya:
A. Perolehan Medali sbb :
1. Ina : emas 14, Perak 4, perunggu 2
2. Tha : emas 2, Perak 8, perunggu 4
3. Phi : emas 1, Perak 2,Perunggu 6
4. Bru : emas 1, Perunggu 1
5. Vie : Perak 3, Perunggu 2
6. Sin : perak 1, Perunggu 3
7. Myn, Mal, Cam, Lao
B. Perolehan Tropy sbb :
1. Ina : 2
2. Tha, Phi, Bru, Vie, Sin, Myn, Mal, Cam, Laos. 

Sabtu, 02 November 2013

Jejak Soeharto : Peristiwa Malari “The Shadow of an Unseen Hand”

 
Di dalam buku Otobiografi Soeharto (1989), kasus Malari 1974 dilewatkan begitu saja, tidak disinggung sama sekali. Padahal mengenai Petrus (penembakan misterius), Soeharto cukup berterus terang.
Untuk kasus 15 Januari 1974 yang lebih dikenal dengan “Peristiwa Malari”, tercatat sedikitnya 11 orang meninggal, 300 luka-luka, 775 orang ditahan. Sebanyak 807 mobil dan 187 sepeda motor dirusak/dibakar, 144 buah bangunan rusak berat. Sebanyak 160 kg emas hilang dari sejumlah toko perhiasan. Peristiwa kekerasan ini hanya dapat dialami dan dirasakan (akibatnya). Tetapi tidak untuk diungkap secara tuntas. Berita di koran hanya menyingkap fakta yang bisa dilihat dengan mata telanjang.
Peristiwa Malari itu terjadi ketika Perdana Menteri Jepang Kakuei Tanaka sedang berkunjung ke Jakarta (14-17 Januari 1974). Mahasiswa merencanakan menyambut kedatangannya dengan berdemonstrasi di Halim Perdanakusuma. Karena dijaga ketat, rombongan mahasiswa tidak berhasil menerobos masuk pangkalan udara. Tanggal 17 Januari 1974 pukul 08:00, PM Jepang tersebut berangkat dari Istana tidak dengan mobil, melainkan diantarkan oleh Presiden Soeharto dengan helikopter dari Gedung Bina Graha ke pangkalan udara. Itu memperlihatkan bahwa suasana Kota Jakarta masih mencekam.
Tanaka dianggap sebagai simbol modal asing yang mesti dienyahkan. Aksi berupa long march dari Salemba menuju Univeritas Trisakti di Grogol, Jakarta Barat, itu mengusung tiga tuntutan: pemberantasan korupsi, perubahan kebijakan ekonomi mengenai modal asing, dan pembubaran lembaga Asisten Pribadi Presiden. Ratusan ribu orang ikut turun ke jalan. Tetapi aksi ini kemudian berujung pada kerusuhan.
Menurut Hariman, aksi mahasiswa usai pukul 14.30. “Sedangkan kerusuhan terjadi satu jam kemudian,” katanya. Massa yang mengaku dari kalangan buruh itu menyerbu Pasar Senen, Blok M, dan kawasan Glodok. Mereka melakukan penjarahan serta membakar mobil buatan Jepang dan toko-toko.
Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban Jenderal Soemitro sempat menghadang massa di kawasan Sarinah, Jakarta Pusat. Dia berusaha membelokkan gerakan massa yang mengarah ke Istana Presiden. “Ayo, ikut saya, kita jalan sama-sama ke Kebayoran!” teriaknya. “Maksud saya, mau membuat tujuan mereka menyimpang, supaya jangan sampai ke arah Monas….”
Massa tak beranjak. Kepada Tempo beberapa tahun silam, Soemitro mengaku sudah menawarkan dialog antara Dewan Mahasiswa UI dan Tanaka. Tanaka sudah bersedia, tetapi DM-UI menjawab bahwa “dialog diganti dengan dialog jalanan….”
Tetapi Jakarta sudah telanjur menjadi karang abang. Hari itu belasan orang tewas, ratusan luka-luka, hampir seribu mobil dan motor dirusak dan dibakar, serta ratusan bangunan rusak. Ini masih ditambah 160 kilogram emas yang hilang dari sejumlah toko perhiasan. Saking rawannya, Soeharto mesti mengantar Tanaka menumpang helikopter ke Bandara Halim sebelum bertolak kembali ke negerinya.
Hariman Siregar, Ketua Dewan Mahasiswa Universitas Indonesia saat itu, diseret ke pengadilan dengan tuduhan melakukan tindakan subversi. Setelah empat bulan sidang, vonis enam tahun penjara mesti ia tanggung.
“Saya dianggap merongrong kewibawaan negara,” kata Hariman ketika ditemui, Maret 2006. Harga yang harus ia bayar pun kelewat mahal. Saat menghuni hotel prodeo itulah ayahnya meninggal, istri tercintanya sakit, dan anak kembarnya meninggal.
Peristiwa yang dikenal sebagai Malari itu mengubah perjalanan Indonesia. Sebab, menurut sejarawan Asvi Warman Adam dalam sebuah artikelnya, setelah itu Soeharto melakukan represi secara sistematis. Sjahrir, yang ikut ditahan setelah peristiwa tersebut, menilai Malari adalah bentuk konsolidasi kekuatan Soeharto.
Total aparat menggaruk 750 orang-50 di antaranya pemimpin mahasiswa dan cendekiawan, seperti Hariman Siregar, Sjahrir, Yap Thiam Hien, Mohtar Lubis, Rahman Tolleng, dan Aini Chalid. “Bayangkan, tanggal 11 Januari masih dipeluk-peluk Soeharto, tanggal 17 gue ditangkap,” Hariman mengenang. Pada 11 Januari, Soeharto memang menerima Hariman bersama tokoh mahasiswa lain di Bina Graha. Soeharto bermaksud meredam aksi mahasiswa.
Para tokoh itu ditahan berdasar Undang-Undang Antisubversi. Sebagian dari mereka dibebaskan setahun setelah meringkuk di penjara, karena terbukti tak terlibat. Pengadilan berdasar UU Antisubversi itu menuai kecaman.
Peristiwa Malari dapat dilihat dari berbagai perspektif. Ada yang memandangnya sebagai demonstrasi mahasiswa menentang modal asing, terutama Jepang. Beberapa pengamat melihat peristiwa itu sebagai ketidaksenangan kaum intelektual terhadap Aspri (asisten pribadi) Presiden Soeharto (Ali Moertopo, Soedjono Humardani, dll) yang memiliki kekuasaan teramat besar. Ada pula analisis tentang friksi elite militer, khususnya rivalitas Jenderal Soemitro dengan Ali Moertopo. Sebagaimana diketahui, kecenderungan serupa juga tampak di kemudian hari dalam kasus Mei 1998 (Wiranto versus Prabowo). Kedua kasus ini–meminjam ungkapan Chalmers Johnson (Blowback, 2000)–dapat kiranya disebut permainan “jenderal kalajengking” (scorpion general).
Setelah terjadi demonstrasi yang disertai di tempat lain dengan kerusuhan, pembakaran, dan penjarahan, maka Jakarta pun menjadi berasap. Soeharto memberhentikan Soemitro sebagai Pangkomkamtib dan langsung mengambil alih jabatan tersebut. Aspri Presiden dibubarkan. Kepala BAKIN Soetopo Juwono didubeskan dan diganti Yoga Sugama.
Bagi Soeharto, kerusuhan 15 Januari 1974 telah mencoreng keningnya karena peristiwa itu terjadi di depan hidung tamu negara, PM Jepang. Malu yang tak tertahankan itu menyebabkan ia untuk selanjutnya amat waspada terhadap semua orang/golongan serta melakukan sanksi tak berampun terhadap pihak yang bisa mengusik pemerintah. Selanjutnya ia sangat selektif memilih pembantu dekatnya, antara lain dengan kriteria “pernah jadi ajudan Presiden”. Segala upaya dijalankan untuk mempertahankan dan mengawetkan kekuasaan, baik secara fisik maupun secara mental.
Jadi dari sudut ini, peristiwa 15 Januari 1974 dapat disebut sebagai salah satu tonggak sejarah kekerasan Orde Baru. Sejak itu represi dijalankan secara lebih sistematis.
Malari sebagai Wacana
Dalam Memori Jenderal Yoga (1990), peristiwa itu digambarkan sebagai klimaks dari kegiatan mahasiswa yang telah berlangsung sejak tahun 1973. Yoga Sugomo berada di New York ketika terjadi kerusuhan 15 Januari 1974. Tetapi lima hari setelah itu ia dipanggil ke Jakarta untuk menggantikan Soetopo Juwono menjadi Kepala BAKIN.
Menurut Yoga, kegiatan di berbagai kampus baik ceramah maupun demonstrasi yang mematangkan situasi dan akhirnya bermuara kepada penentangan terhadap kebijakan ekonomi pemerintah. Awalnya adalah diskusi di kampus UI Jakarta (13-16 Agustus 1973) dengan pembicara Subadio Sastrosatomo, Sjafrudin Prawiranegara, Ali Sastroamidjojo, dan TB Simatupang. Disusul kemudian dengan peringatan Sumpah Pemuda yang menghasilkan “Petisi 24 Oktober”. Kedatangan Ketua IGGI JP Pronk dijadikan momentum untuk demonstrasi anti modal asing. Kumulasi dari aktivitas itu akhirnya mencapai klimaksnya dengan kedatangan PM Jepang Tanaka pada Januari 1974 yang disertai bukan demonstrasi tetapi juga kerusuhan.
Dalam buku-buku yang ditulis oleh Ramadhan KH (1994) dan Heru Cahyono (1998) terlihat kecenderungan Soemitro untuk menyalahkan Ali Moertopo yang merupakan rivalnya dalam dunia politik tingkat tinggi. Ali Moertopo dan Soedjono Humardani “membina” orang-orang eks DI/TII dalam GUPPI (Gabungan Usaha Perbaikan Pendidikan Islam). Pola pemanfaatan unsur Islam radikal ini sering berulang pada era Orde Baru. Bahkan mungkin bisa berjalan sampai hari ini.
Dalam kasus Malari, lewat organisasi tersebut dilakukan pengerahan massa oleh Ramadi dan Kyai Nur dari Banten. Bambang Trisulo disebut-sebut mengeluarkan Rp 30 juta untuk membayar para preman. Sementara Roy Simandjuntak mengerahkan tukang becak dari sekitar Senen. Kegiatan itu–antara lain perusakan mobil Jepang, kantor Toyota Astra dan Coca Cola–dilakukan untuk merusak citra mahasiswa dan memukul duet Soemitro-Soetopo Juwono (Heru Cahyono, 1992:166).
Sebaliknya dalam “dokumen Ramadi” diungkapkan rencana Soemitro menggalang kekuatan di kampus-kampus sehingga akhirnya “ada seorang Jenderal berinisial S akan merebut kekuasaan dengan menggulingkan presiden sekitar bulan April hingga Juni 1974. Revolusi sosial pasti meletus dan Pak Harto bakal jatuh”. Ramadi dikenal dekat dengan Soedjono Hoemardani dan Ali Moertopo. Tudingan dalam “dokumen” itu tentu mengacu kepada Jenderal Soemitro.
Keterangan yang diberikan Soemitro dan Ali Moertopo berbeda, bahkan bertentangan. Mana yang benar: Soemitro atau Ali Moertopo? Kita melihat kerusuhan, pelaku di lapangan dibekuk aparat, tetapi siapa sebetulnya aktor intelektualnya tidak pernah terungkap. Ramadi ditangkap dan beberapa waktu kemudian meninggal secara misterius dalam status tahanan.
Pintu tertutup untuk PSI
Malari menandai putusnya hubungan Orde Baru dengan kelompok penganut pemikiran politik “pluralis modern”. Kelompok ini-seperti yang ditulis David Bourchier dan Vedi R. Hadiz dalam Pemikiran Sosial dan Politik Indonesia (2003)-meliputi intelektual kota yang terkait dengan PSI.
Kaum pluralis memiliki visi Indonesia sebagai negara industri modern. Dalam menciptakan sistem politik, mereka memegang teguh asas demokrasi. Mereka ingin elite modern teknokrat yang memimpin negeri ini.
Namun, pemikiran kaum pluralis modern berbenturan dengan langkah Soeharto. Akibatnya, peluang membangkitkan kembali paham sosialisme sering buntu.
Sebagai partai politik, PSI sudah lama mati. Melalui Keputusan Presiden Nomor 200 Tahun 1960 tanggal 15 Agustus, Soekarno membubarkan PSI dan Masyumi karena dicurigai terlibat PRRI atau Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia. Namun paham sosialis kerakyatan, buah pikir Sutan Sjahrir, tak pernah benar-benar terkubur.
Dalam buku Pengemban Misi Politik (1995), Soebadio menyatakan PSI merupakan suatu state of mind, keadaan pemikiran yang tidak dapat dideteksi. Jaringannya berlandaskan kesamaan ide, spiritual, bukan semata organisasi.
Wartawan senior Rosihan Anwar, yang selama ini dianggap orang PSI lolos dari Malari karena dinyatakan “bersih” oleh Jenderal Soemitro, membenarkan hal tersebut. “PSI merupakan partai kader. Pendukung suatu paham tak pernah hilang.”
Menurut Rosihan, sejak PSI dibubarkan Soekarno, eks anggotanya masih berkomunikasi. Mereka bertukar pikiran tentang perkembangan politik mutakhir. “Banyak juga anak muda yang tertarik.”
Almarhum ekonom Sarbini pernah menyebutkan yang paling kuat dan tidak berubah di dalam PSI adalah semangat sosialisme, semangat membela rakyat, serta memperjuangkan keadilan dan pemerataan. Meski partai itu bubar, semangatnya tak pernah padam.
Pada awal Soeharto berkuasa, kelompok dan kekuatan sosial lama bermunculan. Ada kelompok berorientasi Islam yang dulu berkaitan sejarah dengan Masyumi. Ada kelompok lain yang dibentuk mahasiswa, misalnya Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia. Kelompok mahasiswa ini memiliki banyak persamaan dengan PSI dan berperan penting dalam proses politik Orde Baru.
Di kalangan militer ada dua kubu. William Liddle dalam bukunya, Partisipasi dan Partai Politik Indonesia pada Awal Orde Baru (1992), mengatakan ada kelompok tentara radikal dan Soeharto-sentris. Panglima Komando Daerah Militer Siliwangi Letnan Jenderal H.R. Dharsono termasuk militer progresif yang dikenal dekat dengan PSI. Ia digolongkan sebagai tentara radikal. Begitu pula Panglima Kodam XII Tanjung Pura Brigadir Jenderal A.J. Witono.
Di tim ekonomi ada Widjojo Nitisastro, Mohammad Sadli, Sarbini Sumawinata, dan Emil Salim. Widjojo dan Emil bukan orang PSI, tapi lantaran kesamaan pemikiran mereka dianggap simpatisan PSI.
Tersebarnya orang PSI dan simpatisannya di era Soeharto dianggap peluang besar bagi PSI untuk come back. “Karena kesempatan kami terbuka,” ujar Rahman Tolleng.
Pada 25-31 Agustus 1966, berlangsung Seminar Angkatan Darat II di Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat, Bandung, di bawah pimpinan Mayor Jenderal Suwarto. Dia memberikan kesempatan sejumlah ekonom untuk menjadi staf pengajar. Salah satunya Mohammad Sadli, anggota tim penasihat ekonomi Soeharto.
Sadli mengemukakan bahaya militerisme, perlu adanya kerja sama yang sederajat antara sipil dan militer, dan kebebasan pers. Gagasan tersebut ditolak.
Gagal dengan kesetaraan sipil-militer, Sadli kerap menulis nota usulan kepada Soeharto untuk mengubah keadaan politik. Ia mengusulkan merehabilitasi PSI dan Masyumi. Usul itu tak berjawab. Alasannya? “Militer tidak perlu alasan. Bagi saya jelas: kita tidak bisa bekerja sama dengan orang ini,” ujar Sadli dalam wawancara dengan Tempo pada 1999.
Karena usaha untuk merehabilitasi PSI sudah tidak mungkin, muncul pemikiran untuk merintis gerakan yang tidak berdasarkan ideologi, tapi berlandaskan program. Gerakan ini dikenal sebagai independent group.
Pemikiran ini sampai ke telinga Adam Malik, Menteri Presidium Urusan Politik dan Luar Negeri. Ia pun mengontak Adnan Buyung Nasution (Ketua Kesatuan Aksi Sarjana Indonesia), Yozar Anwar (Ketua Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia Pusat), dan Marsillam Simandjuntak (Ketua KAMI Jakarta). Ajakan Bung Adam disambut baik.
Sayang, ide ini tak berjalan mulus. Melalui beberapa pertemuan yang alot, Umar Kayam, Direktur Jenderal Radio & Televisi dan budayawan, akhirnya terpilih sebagai ketua. Tapi, setelah grup itu terbentuk, sejumlah tokoh menarik diri, termasuk Mashuri, Adnan Buyung, dan Adam Malik. Kayam mereka nilai tak independen. Adam Malik berkomentar, “Independent group sudah mati sebelum lahir.”
Meski dukungan kurang, independent group tetap jalan. Menjelang Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara 1968, Kayam menyampaikan sikap kritis grup itu kepada Soeharto.
Independent group rupanya mengkhawatirkan sejumlah orang. Ketika Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia bertemu dengan Presiden Soeharto, Rahman Tolleng, Ketua Presidium KAMI Pusat, menyaksikan seseorang mengusulkan Soeharto membubarkan independent group. Alasannya: grup itu merupakan neo-PSI alias PSI baru. “Biarkan saja. Kalau tidak didukung rakyat juga nantinya mati. Ini kan demokrasi,” kata Soeharto ketika itu.
Aman? Keesokan harinya, di Jakarta dan sejumlah “markas” independent group, beredar pamflet gelap. Isinya: ajakan mengganyang kelompok independen. Tapi mereka bertahan. Beberapa nama kemudian masuk Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong.
Sementara itu, di Bandung, muncul gerakan dwipartai. Gagasan yang dicetuskan: membatasi jumlah partai peserta pemilu. Soemarno dan Soelaiman Soemadi, tokoh intelektual PSI, menonjol dalam gagasan ini.
Gagasan dwipartai mendapat dukungan luas. Namun banyak tafsir berkembang di antara pendukungnya. Ide dasarnya sederhana, kelak hanya ada dua partai: yang satu pendukung pemerintah dan lainnya partai oposisi. Ide ini “mati” setelah Soeharto menolak dan memutuskan mengadakan pemilu.
Sumbangan pemikiran intelektual PSI lainnya datang dari ekonom Sarbini Sumawinata. Pada 1966, ia berpendapat bahwa mempertahankan stabilitas politik merupakan syarat terciptanya pertumbuhan ekonomi. Dasar pemikiran tersebut selanjutnya menjadi acuan kerangka berpikir Orde Baru.
Rahman Tolleng-di depan Sidang Pleno Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong mewakili Fraksi Golkar pada 1969-berpendapat bahwa sistem pemilihan umum seharusnya berdasarkan distrik, menggantikan perwakilan proporsional. Sistem distrik dianut Amerika Serikat.
Sistem distrik memungkinkan hubungan langsung antara yang dipilih dan pemilih. Pemilu perlahan menjadi pemilihan yang kualitatif. Usul Rahman ditolak, tapi ide sistem distrik kerap muncul sampai sekarang.
Setelah melalui pasang-surut, usaha kaum pluralis modern untuk membangkitkan sosialisme kerakyatan di era Orde Baru akhirnya kandas pada Januari 1974. Peristiwa Malari disebutkan oleh David Bourchier dan Vedi R. Hadiz sebagai puncak ketegangan kaum pluralis modern dengan kelompok perwira, pengusaha, dan politikus di sekitar Opsus pimpinan Ali Moertopo.
Setelah peristiwa Malari, kaum pluralis modern sering berada di barisan depan oposisi masa Orde Baru. “Sesudah 1974, seakan pintu tertutup bagi kebangkitan PSI, termasuk orang-orangnya,” kata Rahman Tolleng.

Cyber Army TNI Sebagai Matra ke-4

http://www.frontroll.com/foto_berita/46Indonesia-National-Cyber-Security.jpg

Ketika media massa dikuasai oleh pengusaha dan elit parpol, maka kebebasan pers sebagai bagian dari kehidupan demokratis, menjadi tercoreng. Sesungguhnya yang mengalami kebebasan bukan rakyat, tapi segelintir pengusaha dan elit parpol yang memiliki kepentingan, baik ekonomi, politik maupun ideologi.

Media massa, dengan segala kekuatan yang dimilikinya, mampu memengaruhi para pengambil kebijakan di negeri ini. Bahkan, media massa mampu mengubah pola hidup masyarakat. Kelompok-kelompok sipil masuk ke industri-industri media raksasa, dan menghirup udara kebebasan. Udara kebebasan yang dimaksud adalah mereka leluasa menulis, memproduksi dan menyiarkan konten-konten media sekehendak hati. Tidak ada lagi sensor terhadap media, karena itu lah hakikat dari kehadiran kebebasan pers yang dilindungi undang-undang.

TNI, sebagai salah satu institusi negara di bidang pertahanan, juga harus menikmati arus kebebasan informasi dan komunikasi. Era teknologi informasi membawa perubahan besar bagi rakyat Indonesia. Kehadiran sosial media pun semakin menyemarakkan kehidupan demokratis di negara ini.

Di balik kebebasan itu, menyimpan potensi ancaman yang besar. Internet menjadi kekuatan yang tidak terbendung, karena setiap orang bisa melakukan apa pun di dalamnya. Tidak adanya kontrol yang secara signifikan atas kebebasan ber-internet, cukup menjadi alasan hadirnya Cyber Army TNI. Banyak bidang yang menjadi cakupan Cyber Army. Tidak hanya berkaitan dengan media massa. Ancaman penyadapan negara-negara asing terhadap Indonesia, juga bisa ditangkal dengan kehadiran Cyber Army TNI sebagai matra ke-4.

Belum lagi jika ancaman datang dari luar negeri. Ancaman tersebut berupa intervensi negara-negara asing terhadap kedaulatan NKRI. Indikasinya sudah kuat, yakni adanya penyadapan yang dilakukan Amerika Serikat terhadap beberapa negara, termasuk Indonesia.

Informasi penyadapan di Kedutaan Besar Amerika Serikat menjadi alasan, TNI harus memperkuat diri di bidang teknologi informasi. Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki sumber daya alam yang sangat kaya. Penyadapan itu menjadi ancaman terhadap kedaulatan negara.

Syarat utama yang harus dikuasai Cyber Army TNI adalah penguasaan terhadap sistem komunikasi yang tangguh dan penempatan radar-radar canggih di wilayah pertahanan perbatasan. Setelah menguasai sistem teknologi informasi yang memadai, Cyber Army TNI juga perlu dukungan penempatan persenjataan jarang menengah dan jauh.

Perpaduan antara teknologi informasi dan sistem persenjataan ini bisa mengacu pada angkatan bersenjata Cina. Negara Tirai Bambau itu memiliki strategi pertahanan kewilayahan daratan yang luas, dan lautan/pantai yang relatif kecil tapi terpadu.

Uang Tunjangan Prajurit TNI Naik 20 Persen


Prajurit TNI
Latihan Prajurit TNI (photo: Puspen TNI)

Panglima TNI Jenderal TNI Moeldoko menyatakan peningkatan remunerasi bagi prajurit TNI, secara prinsip telah disetujui komisi I DPR RI. Remunerasi prajurit TNI naik 20 persen, dari 37 % menjadi 57 %.
“Remunerasi saat ini perlu ditingkatkan”, ujar Jenderal Moeldoko pasca pengangkatan sebagai warga kehormatan Korps Marinir TNI AL di lapangan tembak marinir FX Supramono, Bhumi Marinir Karangpilang, Surabaya, Jumat (1/11/2013).
“Saya sudah berguru dan sudah sampaikan kepada pimpinan kita dan komisi I DPR RI prinsipnya sudah menyetujui, remunerasi prajurit perlu ditingkatkan,” katanya.

Prajurit TNI
Prajurit TNI

Ia menyebut remunerasi prajurit saat ini 37 persen akan naik menjadi 57 persen dan berharap tahun depan akan terealisasi. “Sekarang baru 37 persen, harapan saya tidak terlalu lama 2014 mudah mudahan bisa menjadi 57 persen,” jelasnya.
Jika terealisasi, ia memastikan senyum para prajurit TNI dipastikan akan semakin lebar. “Semoga bisa segera teralisasi. Jadi senyum prajurit saya semakin lebar,” pungkas Moeldoko sambil tertawa lebar.
Remunerasi adalah sistem penggajian dikaitkan dengan penilaian kinerja yang bertujuan untuk memacu prestasi dan motivasi. Sasaran remunerasi mendorong peningkatan profesionalisme dan kinerja para prajurit. (detik.com).

37 Tank Pesanan TNI Datang Akhir Tahun 2013

Surabaya - Modernisasi alat utama sistem persenjataan (alutsista) terus dilakukan TNI. Akhir 2013, TNI akan kedatangan puluhan tank dari Rusia.

"Peningkatan dari waktu ke waktu akan berjalan terus. Sebentar lagi akan hadir 37 unit tank dari Rusia akhir tahun ini, kemudian dari korea menyusul pada 2014. Dan semuanya baru," kata Panglima TNI, Jenderal TNI Moeldoko di lapangan tembak Mmarinir FX Supramono, Bhumi Marinir Karangpilang, Surabaya, Jumat (1/11/2013).

Bahkan kata dia, anggaran belanja alutsista 2014 dipastikan akan naik, tapi tidak signifikan meski tahun ini hanya terserap 42 persen.

"Anggaran alutsista, ada peningkatan tahun depan. Harusnya target. Sekarang (2013) hanya terserap 42 persen, tetapi pada 2014 bisa terlampaui 53 persen tidak ada akselerasi yang signifikan dan belanja untuk semua kesatuan," ungkap dia.

Bangkitnya Skuadron Sukhoi Indonesia


Langit Natuna, Kepulauan Riau, seperti robek oleh suara keras. Enam “elang besi” Hawk 100/200 menderu, meliuk-liuk sambil menjatuhkan bom berbobot ratusan kilogram. Sasarannya satu objek di sebuah pulau kecil.
Dari arah lain melintas tiga pesawat F-16. Empat bom meluncur ke sasaran.
Tak lama, muncul pula tiga pesawat Sukhoi SU-27/30. Di tiap tubuh pesawat garang itu, tersemat 6 bom yang lalu dilepas menumbuk sasaran. Bak kelincahan seekor alap-alap, Sukhoi terakhir melontarkan puluhan roket. Sasaran pun hancur lebur.
Asap membubung tinggi. Tapi serangan belum berakhir. Sebagai penutup, tiga pesawat EMB-314 Super Tucano melintas. Bom kembali berjatuhan.
Di atas sasaran yang remuk redam itu, melintas tujuh pesawat C-130 Hercules. Ia terbang tenang dikawal dua Sukhoi 27/30 bersenjata rudal. Dari lambung pesawat, ratusan personel Pasukan Khas Angkatan Udara melompat terjun. Di darat kelak, mereka bertugas menyapu sisa-sisa musuh yang menguasai objek vital di Natuna, wilayah Indonesia yang berbatasan dengan Laut China Selatan yang sedang disengketakan lima negara itu.
Inilah aksi penutup Latihan Operasi Udara dengan sandi “Angkasa Yudha 2013” yang digelar di Pulau Natuna, pada Kamis 31 Oktober 2013 lalu. Kepala Staf Angkatan Udara Marsekal TNI Ida Bagus Putu Dunia mengatakan, latihan ini untuk membina kemampuan dan kekuatan TNI AU, agar lebih siap siaga menghadapi kontijensi.
Yang jadi “bintang” saat itu boleh dibilang enam Sukhoi yang terbang dari Lapangan Udara Hasanuddin di Makassar. Total ada 16 Sukhoi bermarkas di Makassar, membentuk Skuadron Udara Tempur 11.
Ini semacam kebangkitan skuadron tempur wilayah Timur Indonesia setelah lama kekuatannya bolong. Pesawat tempur bercat dasar abu-abu terang bercampur loreng abu-abu tua ini terdiri atas dua macam, yakni SU 27 SKM dan SU30MK2. Pembeda utamanya adalah SU 27 hanya punya satu kursi pilot, sementara saudaranya punya dua kursi pilot.
Saat VIVAnews mendatangi Markas Skuadron, Kamis 31 Oktober pagi, tampak hanya 10 Sukhoi terparkir. Enam lainnya sedang beroperasi di Natuna. Di kantor dan gedung teknisi yang berada di samping pesawat tempur diparkir, tampak sebuah spanduk besar terpampang bertuliskan, “Siapkan pesawat sebaik-baiknya seolah-olah hari ini ada perang”.
Perang itu memang masih jauh. Tapi, personel di Skuadron 11 berlatih keras setiap hari, minimal 8 jam. Pesawat diistirahatkan meski tetap siaga antara Jumat sampai Minggu saja. Pagi, sebelum memulai latihan (training air), para petugas dan pilot terlebih dahulu apel siaga. Teknisi sudah terbagi-bagi ke dalam beberapa bidang, selalu memastikan pesawat dalam keadaan siaga penuh.
Persenjataan terbaru yang terpasang di pesawat adalah kombinasi jenis Air to Air to Ground. Sukhoi bisa menyergap di udara dengan daya jelajah jauh. Ia juga mampu serang target di darat dengan peluru kendali atau bom pintar. Dia bisa membawa rudal udara ke udara RVV-AE active radar homing, rudal udara ke permukaan KH- 29T(TE), KH-29L, KH-31P, KH-31A dan bom pintar jenis KAB 500Kr dan KAB-1500Kr.
Yang lebih asyik, Sukhoi SU 27SKM dan SU30 MK2 ini telah dilengkapi instrumen isi ulang bahan bakar di udara. Jadi, kemampuan jelajah tempurnya kian jauh.
Jelas, kecanggihannya tak kalah dengan F15 SG milik Singapura atau Super Hornet milik Australia. Di udara, bisa ofensif, namun juga bisa menghancurkan sasaran di laut dan darat. Sempurna untuk patroli udara untuk menjaga kedaulatan wilayah dan menghancurkan sasaran strategis musuh.

 Minimum Essential Force 
Dua di antara 16 Sukhoi di Makassar ini tiba dari Rusia pada Rabu malam, 4 September 2013, genap jadi lima unit Su-27 SKM dan sebelas unit Su-30 MK. Pesawat-pesawat tempur ini diterima dari Pemerintah Rusia/JSC Rosoboronexport oleh Menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro. Ini kiriman ketiga tahun ini.
Sukhoi menjadi andalan, karena di saat alutsista Indonesia mulai menua di akhir 1990-an, Amerika Serikat yang menjadi pemasok utama meng-embargo Indonesia akibat pelanggaran hak asasi manusia di zaman orde baru berkuasa.
Itu sebabnya, saat menjadi Presiden pada 2001, Megawati Soekarnoputri melirik Rusia. Negeri beruang salju itu dipilih sebagai alternatif mengganti armada yang menua. Pada 2004, sejumlah Sukhoi pun mendarat di Lanud Iswahyudi, Madiun. Megawati pun seperti mengulang sejarah ketika ayahnya, Soekarno, membangun armada udara Indonesia dengan mengandalkan pesawat-pesawat tempur buatan Uni Soviet.
Saat perayaan Ulang Tahun TNI ke-68 di Lapangan Udara Halim Perdanakusumah, 5 Oktober 2013, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan kekuatan alat utama sistem pertahanan (alutsista) akan meningkat signifikan hingga akhir tahun 2014. Untuk memodernisasi alutsista sekaligus meningkatkan kualitas sistem pertahanan RI, pemerintah telah menjalin kerjasama dengan industri pertahanan di dalam dan luar negeri, kata Presiden.
Sejumlah negara pada akhir Oktober lalu membeberkan kerjasama pertahanannya dengan Indonesia. Indonesia bekerjasama dengan negara-negara di kawasan Asia, Amerika sampai benua Eropa.
Wakil Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin menyatakan, pengalaman embargo militer AS atas Indonesia pasca-1998 menjadi pelajaran untuk tidak menggantungkan persenjataan pada satu negara saja. Kekuatan pertahanan nasional akan dibangun dengan mengambil teknologi dari berbagai negara. Tak lupa, industri strategis dalam negeri diperkuat, seperti PT Dirgantara dan PT Pindad.
Kepala Dinas Penerangan TNI Angkatan Udara, Marsekal Madya Hadi Tjahjanto, menyatakan, pembelian pesawat ini dipatok sampai 2024. Total, ada 102 pesawat yang akan didatangkan, antara lain 16 unit Sukhoi, 24 unit F16 dari Amerika Serikat, skuadron T50 buatan Korea Selatan untuk menggantikan Hawk buatan AS, 8 unit pesawat latih G120PP buatan Jerman, 16 unit pesawat Embraer Supertucano buatan Brasil, 9 unit CN295 dari Spanyol, 4 unit Hercules hibah dari Australia dan sejumlah helikopter Fennec dari Prancis. “Semua Pesawat ini akan didatangkan secara bertahap,” kata Hadi.
Dari Rusia, selain membeli Sukhoi, Indonesia juga mendatangkan kendaraan tempur laut dan amfibi, helikopter serang MI-35, helikopter serbu MI-17 dan tak lupa, peluru kendali.
Sjafrie menyatakan, alutsista Rusia jadi ‘idola’ karena menjawab kebutuhan minimum essential force (MEF). ”Yang kedua, harganya kompatibel. Ketiga adalah dia tak punya prasyarat politik,” kata mantan Kepala Pusat Penerangan TNI itu.
Anggaran modernisasi dan perawatan alutsista TNI sampai akhir tahun 2014 ini tercatat Rp 99 triliun, dan Kementerian Pertahanan masih membutuhkan tambahan anggaran Rp 57 triliun. “Kami prioritaskan mencari alutsista bergerak seperti pesawat temput dan tank. Sementara alutsista yang tak bergerak seperti radar,” kata Menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro.
Dengan anggaran sebegitu besar, Sjafrie Sjamsoeddin menyatakan, kekuatan armada udara ini baru akan mendekati minimum essential force yang dipatok sampai 2019. “Bagaimana kita bisa memiliki kemampuan minimal agar kita bisa memiliki suatu daya pukul yang dahsyat dan juga mobilitas yang tinggi,” kata Sjafrie.
Dari mana duit itu berasal? Angka lebih dari Rp 150 triliun itu salah satunya didapatkan dengan pinjaman luar negeri US$ 6,5 miliar dolar. ”Jadi yang kita pergunakan kurang lebih 4 miliar dolar, artinya kurang lebih 41 triliun. Sisanya kita mesti jadikan semacam cadangan untuk dipergunakan pada prioritas kedua. Sekarang prioritas pertama dulu,” kata Sjafrie.
Lima tahun ke depan, setelah armada udara tempur nyaris lengkap, prioritas berikutnya penambahan Radar. Soal alat ini, Indonesia memang gawat. Ada radar yang tidak berfungsi 24 jam. Tapi sekarang, ”radar untuk kawasan barat sudah ter-cover, secara kuantitas. Kemudian kawasan timur yang kemudian akan kita isi segera,” kata Sjafrie.
Kadispen TNI AU menambahkan, rencananya radar ini akan ditempatkan di Singkawang, Kalimatan Barat; dan Tambolaka, Nusa Tenggara Timur. “Dengan radar ini pesawat asing bisa dideteksi,” kata Hadi.

 Perlu transparansi  
Dengan lengkapnya satu skuadron Sukhoi di pangkalan Makassar, Indonesia boleh sedikit sumringah. Tapi Direktur Program di Research Institute for Democracy and Peace (Ridep), Anton Aliabbas, menyatakan pengadaan Sukhoi perlu dicermati karena belum teruji.
Kata Anton, Sukhoi memang hebat secara teknis namun dikenal boros bahan bakar. Lalu persenjataan dan amunisi juga belum jelas. Sehingga, ”kualitas kita belum tahu,” kata jebolan Defence Studies Crankfield University, Inggris, itu.
Anton setuju, hingga 2024, Indonesia fokus pada penyediaan alutsista dulu. Baru setelah itu membangun industrinya sendiri. Dia melihat ada kebutuhan memperkuat sistem pertahanan udara segera. Di Jakarta saja, misalnya, Anton melihat penurunan sistem pertahanan udara.
“Dulu di zaman (Presiden) Soekarno, kita punya berbagai terminal rudal di Jakarta. Dulu ada di Priok dan Tebet. Namun sekarang tidak ada bekas (terminal rudal). Sekarang malah jadi perkampungan penduduk,” kata Anton.
Tapi di balik kegagahan meliuk di langit nusantara, pengadaan jet tempur yang masuk dari bagian paket proyek alutsista berongkos total hingga Rp 150 triliun itu perlu transparansi. Apalagi, kata dia, untuk jangka menengah, lebih dari Rp 400 triliun disiapkan negara guna mempercanggih senjata.
Anton menilai upaya pemerintah melengkapi alutsista TNI itu adalah langkah bagus. Apalagi pasokannya melibatkan berbagai negara. Persaingan Rusia, Amerika Serikat, Korea Selatan, dan China harus dimanfaatkan untuk pembangunan alutsista.
Tapi, agar jet tempur itu tak jadi persoalan di dalam negeri, pengadaannya mestilah transparan, dan menghindari tangan broker. “Dokumen transaksinya lebih baik terbuka, kalau perlu melibatkan Komisi Pemberantasan Korupsi,” ujar Anton.(np)
 Dari Rusia ke Langit Indonesia 

Cocok dengan Indonesia. Tinggal soal alih teknologi. 
Jakarta merapat ke Moskow. Jet tempur Sukhoi seri terbaru bakal meraung di langit Indonesia. Bukan hanya di awang tapi juga di tanah. Kendaraan tempur dan rudal juga bakal dibeli dari sana. Indonesia dan Negeri Beruang Merah itu juga bakal bekerjasama. Dalam banyak soal.
Negeri kita memang pasar yang subur. Dan itulah sebabnya, dalam dekade terakhir, Rusia rajin menyambangi pameran pertahanan Indonesia. Mereka juga rajin hadir pada pameran dirgantara.
Meski sudah masuk dalam kelompok elit G20, Indonesia dipandang belum memiliki alutsista yang memadai. Dalam pameran Indo Defence, Indo Aerospace and Indo Marine Expo & Forum, yang rutin berlangsung di Kemayoran, Jakarta, delegasi Rusia selalu menjadi penghuni anjungan yang luas.
Mereka memamerkan rupa-rupa model persenjataan. Dari prototipe pesawat tempur, helikopter militer, radar, hingga senapan serbunya yang sudah mendunia, Kalashnikov (AK).
Pada setiap pameran dua tahunan itu, terakhir pada awal November 2012, anjungan Rusia selalu ramai dikunjungi. Dari warga biasa hingga para petinggi militer. Pameran itu menghadirkan 500 peserta dari 40 negara. Dikunjungi 20.000 orang.
Seperti di pameran-pameran sebelumnya, produk-produk senjata Rusia di Indo Defence 2012 banyak disanjung. Saat mengunjungi pameran itu, Wakil Kepala Staf TNI Angkatan Laut, Laksamana Marsetio, terkesan akan ketangguhan mesin-mesin perang dari Negeri Beruang Merah.
Dia menegaskan bahwa tank amfibi buatan Rusia, PT-76, sampai kini masih dipakai oleh TNI. Padahal usianya sudah 50 tahun. "PT-76 ini masih kami pakai sejak 1962," kata Laksamana Marsetio, yang sejak Desember 2012 naik jabatan menjadi Kepala Staf TNI Angkatan Laut.
Pertama kali diproduksi pada awal dekade 1950an, PT-76 menjadi tank ringan amfibi standar bagi militer Uni Soviet dan negara-negara anggota Pakta Warsawa. Menurut laman Main Battle Tanks, PT-76 dipakai 25 negara.
TNI masih memakai tank ini, seperti diungkapkan Laksamana Marsetio. Di jajaran TNI Angkatan Laut, PT-76 merupakan aset yang dipakai oleh Korps Marinir, spesialis operasi militer dari laut ke darat.
Di dunia internasional, digunakan pada berbagai perang besar - seperti Perang Vietnam dan Perang Arab-Israel. PT-76 diakui kalangan pengamat sebagai tank amfibi yang populer karena memiliki desain yang sederhana. Efektif. Mampu dipakai di medan-medan berat.
Itulah sebabnya PT-76 menjadi salah satu simbol sukses Soviet, dan kini Rusia, dalam memproduksi tank maupun kendaraan lapis baja. Selain itu masih ada tank-tank tempur legendaris lain era Soviet, seperti T-62 dan T-72.
Ingin meneruskan kejayaan Soviet, Rusia pun gencar memproduksi kendaraan-kendaraan lapis baja baru. Salah satu andalan mereka saat ini adalah kendaraan tempur (ranpur) BMP3. Ini merupakan ranpur amfibi yang bergerak lebih lincah dari tank-tank terdahulu dan mampu mengangkut hingga tujuh personel serta bisa dikendalikan tiga orang.
Keunggulan itulah yang membuat Indonesia memperkuat militernya dengan membeli kendaraan tempur BMP3 seri F. Dibuat oleh perusahaan Kurganmashzavod, Indonesia telah memiliki 17 unit BMP3-F pada 2008 dan berencana menambah 37 unit lagi untuk memperkuat Satuan Marinir TNI-AL
Seorang prajurit Marinir TNI-AL, Guntur Pasaribu, mengungkapkan kelebihan BMP-3F. "Korps Marinir Indonesia sangat berpengalaman mengendalikan tank-tank buatan Rusia, mulai dari PT-76 sampai BMP-3F. Menurut pengalaman kami, tank-tank dari Rusia sangat memuaskan," kata Pasaribu seperti dikutip media Rusia, RBTH.

 Alternatif AS 
Bukan cuma soal alat tempur, Indonesia dan Rusia juga bekerjasama dalam latihan militer. Juga membangun proyek patungan alutsista. Dan sesungguhnya, kerjasama kedua negara bukan hal baru.
Ketika masih berbentuk Uni Soviet (USSR), Rusia sudah menjual persenjataan ke Indonesia, tidak lama setelah kedua negara membuka hubungan diplomatik pada 1950. Pada masa-masa awal itu, banyak pula personel angkatan laut dan udara dikirim ke Uni Soviet. Mereka sekolah di sana.
Hubungan itu terganggu pertengahan dekade 1960an karena alasan politis. Kedua negara kembali melanjutkan hubungan di awal dekade 1990an, meski baru efektif beberapa tahun kemudian. Contohnya, pembicaraan soal jual-beli jet tempur Rusia Sukhoi-30 ke Indonesia berlangsung sejak 1997. Namun jual-beli itu baru disepakati pada 2003.
Hubungan itu kembali terajut, setelah renggangnya Indonesia dengan Amerika Serikat di akhir dekade 1990an. Kerenggangan itu muncul setelah Washington menjatuhkan embargo penjualan senjata ke Jakarta karena menilai Indonesia saat itu melanggar Hak Asasi Manusia di Timor Timur, yang kini bernama Timor Leste sejak menjadi negara berdaulat pada 2002.
Embargo senjata AS ke RI itu, berikut suku cadang, berlangsung selama 1999-2005. AS mengakhiri embargo ketika Presidennya saat itu, George W Bush, menganggap Indonesia termasuk mitra penting memerangi terorisme.
Setelah mencabut embargo, AS pun terlihat aktif menawarkan mesin-mesin perangnya kepada Indonesia. Pada 2011, AS sepakat mengirim 24 unit jet tempur bekas tipe F-16 seri C/D blok 25 kepada Indonesia secara cuma-cuma, kecuali untuk biaya pemutakhiran (upgrade).
Pada akhir 2012, AS dan Indonesia berunding untuk jual-beli helikopter serbaguna UH-60 Black Hawk dan helikopter tempur AH-60D buatan Boeing.
Namun, belajar dari embargo AS itu, Indonesia membuka pintu kerjasama seluas-luasnya kepada negara lain, termasuk Rusia, agar tidak lagi bergantung kepada satu pihak dalam pengadaan alutsista. Maka, sejak itu, Indonesia tidak hanya kembali berbisnis senjata dengan AS, namun juga mempererat kerjasama serupa dengan Rusia.
Maka, Indonesia dan Rusia bersepakat soal jual beli jet tempur dan mesin-mesin perang lain. Sejak 2003, Rusia telah mengirim 12 unit jet tempur Sukhoi ke Indonesia dan pengiriman empat unit lagi masih menunggu persetujuan lebih lanjut.
Moskow pun telah menjual sejumlah helikopter militer Mi-35 dan Mi-17 kepada Jakarta. Alutsista lain yang dijual Rusia ke Indonesia adalah kendaraan tempur lapis baja BMP-3F, kendaraan pengangkut personel BTR-80A, serta senapan serbu AK-102.
Untuk membeli persenjataan itu, Moskow pada 2007 memberi fasilitas kredit sebesar US$ 1 miliar kepada Jakarta. Kerjasama pertahanan di luar jual-beli persenjataan juga telah berlangsung, seperti menggelar latihan bersama memerangi perompak di laut antara pasukan Indonesia dengan Rusia pada 2011.
Baru-baru ini pun Rusia menawarkan bantuan ke Indonesia membangun sistem pertahanan udara. Saat ini, Indonesia hanya memiliki rudal-rudal pertahanan SAM (surface-to-air missile) jarak dekat.
Viktor Komardin dari perusahaan ekspor senjata-senjata Rusia, Rosoboronexport, mengungkapkan bahwa Moskow akan menjual perangkat sistem SAM sekaligus membantu Indonesia bila tertarik mempersiapkan jaringan pertahanan udara.
Malaysia, katanya, sudah membentuk suatu sistem pertahanan udara terintegrasi. "Tapi Indonesia belum memilikinya. Padahal sistem pertahanan ini penting dimiliki Indonesia," lanjut Komardin seperti dikutip kantor berita Russian Beyond the Headlines.
 Alih Teknologi 
Namun kerjasama ini tidak berlangsung sangat mulus. Kepala Komunikasi Publik Kementerian Pertahanan RI, Brigjen TNI Sisriadi, mengatakan kerjasama pertahanan antara RI dengan Rusia masih terbentur pada adanya alih teknologi yang harus menyertai setiap pembelian alutsista dari sana. Keharusan itu termuat dalam UU No. 16 tahun 2012 tentang industri pertahanan.
Dalam UU itu tertulis setiap pembelian sistem senjata dari luar negeri, wajib ada konten lokal. Bentuknya, antara lain pelatihan, kerja sama pembuatan, dan kerja sama operasi. Hal itu diungkap Sisriadi, ketika dihubungi VIVAnews, Jumat 1 November 2013.
"Setelah adanya UU Industri Pertahanan No. 16 Tahun 2012 itu, maka kami mengganti format pertemuan bilateral yang selalu dilakukan setiap tahun dengan Rusia. Kami menyampaikan kepada mereka bahwa pembelian produk alutsista dari negara mana pun harus disertai alih pengetahuan dan teknologi," ungkap Sisriadi.
Hingga saat ini, lanjut Sisriadi, pihak Rusia masih belum dapat memenuhi inisiatif tersebut. Kendati begitu, pihak Kemhan tidak lantas menghentikan kerjasama pertahanan dengan Negeri Beruang Merah. "Kami masih akan terus mendorong Rusia supaya alih teknologi itu dilakukan,” katanya.
Proses negosiasi itu, lanjutnya, sangat alot, karena mereka ngotot tidak dapat memenuhi inisiatif RI. Rusia sendiri, ujar Sisriadi, tidak mengungkapkan secara gamblang alasan di balik penolakan mereka melakukan alih teknologi.
"Kemhan juga tidak tahu alasannya. Karena mereka tidak mengemukakan alasannya. Tiap kali kami tanyakan, mereka malah kembali membahas pinjaman yang ditawarkan Rusia kepada Indonesia," katanya.
Pinjaman negara yang dimaksud Sisriadi adalah dana pinjaman yang ditawarkan Pemerintah Rusia untuk membeli peralatan alutsista dari mereka. Nominalnya mencapai US$ 1 miliar atau Rp 11 triliun. Namun, kata Sisriadi, dalam ada ketentuan, disebutkan bahwa pinjaman hanya dapat membeli produk alutsista tertentu. “Mereka juga menyertakan daftar belanja alutsista apa saja yang dapat kami beli,” ujarnya.
Dana pinjaman itu merupakan bagian dari kesepakatan kerjasama pertahanan yang diteken oleh kedua Pemerintah sejak delapan tahun silam. Kedua pucuk pimpinan yakni Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Vladimir Putin telah menyepakati adanya dana pinjaman tersebut.
Dari dana yang ditawarkan senilai US$ 1 miliar, Kemhan baru menggunakan sebagian dari dana tersebut untuk membeli pesawat jet tempur Sukhoi, helikopter MI-17 dan MI-31 serta tank BMP-3F. Totalnya mencapai US$ 308 juta atau Rp 3,4 triliun.
Pesawat Sukhoi yang dibeli menggunakan dana pinjaman ini, merupakan pesawat yang dikirimkan pada gelombang awal ke Indnesia. "Jadi bukan pesawat Sukhoi baru yang dikirim pada September lalu ya. Kami membeli itu menggunakan dana pinjaman dari bank swasta," ujarnya.
Total ada lima pesawat Sukhoi SU-27 SKM yang baru dikirim pada September lalu dibeli dengan harga US$ 470 juta atau Rp 5,2 triliun. Kontraknya ditandatangani oleh Kepala Baranahan Kemhan dengan Rosoboronexport Rusia pada tanggal 29 Desember 2011 silam.
Lima pesawat jet tempur ini akan melengkapi 11 pesawat tempur Sukhoi SU-30 MK2 yang sudah terlebih dahulu tiba di Indonesia dan berjumlah 11 unit.
Maka total pesawat Sukhoi yang dimiliki telah mencapai 16 unit atau satu skuadron. Sementara untuk harga helikopter MI-17 dan MI-31, Sisriadi, tidak menyebutkan harganya.
Ditanya VIVAnews apakah ada alutsista lainnya yang masih berniat dibeli dari Rusia, Sisriadi menyebut hingga kini Kemhan masih belum ingin menggunakan sisa dana yang ada untuk membeli alutsista lainnya. Mereka tidak ingin melanggar UU yang berlaku.
Soal keunggulan pesawat jet tempur Sukhoi dari Rusia, Sisriadi menyebut burung besi itu memiliki sistem sensor yang baik. "Endurance atau jangkauan operasional jauhnya pun juga hebat sehingga bisa dioperasikan untuk jarak jauh dan bisa kembali lagi. Selain itu sistem avionik yang dimiliki Sukhoi juga bagus. Pesawat ini lincah di kelasnya, " papar Sisriadi.
Ke depan, lanjut Sisriadi, untuk alutsista pesawat Sukhoi dirasa sudah cukup. Pesawat tempur itu akan dicampur dengan F-16 yang juga sudah ada.
Sisriadi mengatakan pelajaran lain dari peristiwa embargo yang dipetik Kemhan yakni jangan bertumpu kepada satu negara saja dalam mengandalkan pembelian alutsista. Jadi ketika diembargo, masih ada alutsista lain yang dapat digunakan.

[Gallery] The Thunder's, TNI-AU Real Air Superiority Fighter

(all photo by SIOUX)
Latihan perang Angkasa Yudha kali ini sungguh istimewa. Salah satunya terlihat dari banyaknya jumlah pesawat tempur, angkut maupun prajurit yang turun dalam latihan yang dipusatkan di Pulau Natuna Kepulauan Riau itu. Yang lebih istimewa lagi, ini adalah kali pertamanya kita bisa melihat taring Su-27/30 Flanker TNI-AU. Lihatlah foto air to air yang ARC peroleh dari salah seorang sahabat yang merupakan pilot Su-27/30 dibawah ini. Sungguh membanggakan bukan?

(photo: Sioux)

Sebagai jet tempur multirole, Su-27/30 bukan hanya mampu menggotong puluhan bom. Fungsi azasi jet tempur buatan Rusia ini tak lain tak bukan adalah sebagai Air Superiority Fighter. Fungsi ini pula yang diembang armada The Thunder's dalam latihan Angkasa Yudha 2013.
Dari total 8 Sukhoi yang diturunkan, 2 diantaranya dilengkapi rudal udara ke udara canggih, yaitu R-73 Archer serta R-77 Adder. R-73 merupakan rudal jarak pendek terbaru buatan Russia yang sangat andal dan ditakuti. Sementara R-77 adalah Rudal jarak menengah yang kecanggihannya setara dengan AIM-120 buatan Amerika. Dengan adanya kedua senjata ini, TNI-AU kini mampu melakukan pertempuran diluar jangkauan visual (Beyond Visual Range).

(photo: SIOUX)
2 pesawat Sukhoi yang dilengkapi rudal udara ke udara itu kemungkinan besar berperan sebagai Sweeper atau penyapu dan pengawal armada pengebom. Bukan tugas mudah sesungguhnya. Pasalnya, armada sweeper harus memastikan armada pengebom aman dari gangguan musuh saat menuju, di sasaran serta kembali ke pangkalan. Disaat pengebom membabat musuh, sweeper akan terbang tinggi mengawasi langit sekitar. Dan syukur Alhamdulillah, peran sweeper maupun pengebom mampu ditunaikan dengan baik oleh The Thunder. Bravo Thunder...!!

Latihan mungkin telah usai. Namun pekerjaan sesungguhnya dari armada TNI-AU masih terus berjalan, yaitu menegakan kedaulatan udara nasional yang merupakan harga mati. The Thunder's serta taji-tajinya selalu siap menjalankan tugas itu.
 ARC.