5 Oktober, hari yang
diperingati sebagai hari lahirnya tentara kita. Pada 5 Oktober 1945,
Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden yang mengubah Badan
Keamanan Rakyat (BKR) menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Inilah
embrio dari Tentara Nasional Indonesia (TNI) di kelak kemudian hari.
Dulu, sebelum pemisahan Polri dari TNI, tanggal 5 Oktober diperingati
sebagai Hari Ulang Tahun ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia).
Namun kini, hanya TNI dengan ketiga matranya –Darat, Laut, dan Udara
tanpa Polri lagi- yang merayakannya.
Dalam tulisan kali ini, saya menyoroti
perlunya pembentukan satuan semacam National Guard bagi Indonesia. Ini
bukanlah ide membentuk “angkatan kelima” semacam “buruh dan tani yang
dipersenjatai” seperti halnya dilansir PKI di dekade 1960-an. Melainkan
membentuk unsur “tentara cadangan” bagi keperluan non-tempur. Meski
terbatas, rujukan saya adalah pada peran National Guard di Amerika
Serikat.
Kalau kita cermati, sebenarnya tiap warga
negara A.S. pernah menjadi militer, meski hanya sesaat. Ini karena
adanya kewajiban bagi mereka untuk masuk menjadi anggota militer bagi
pemuda-pemudi berusia 18-22 tahun. Ini disebut wajib militer (wamil).
Setelah itu, umumnya mereka kembali berkarir di bidang yang
diinginkannya setelah usai menjalani wamil sekitar 1-2 tahun. Bagi yang
berminat meneruskan karir di militer tentu dipersilahkan, namun harus
menempuh pendidikan militer (dikmil) lanjutan.
Di Indonesia, unsur pertahanan di luar
anggota TNI aktif sebenarnya dimungkinkan. Apalagi UUD 1945 pasal 30
menyatakan: “Setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam
usaha-usaha pembelaan negara.” Maka, dalam khazanah kita dikenal
berbagai kesatuan para-militer seperti Resimen Mahasiswa (Menwa),
Pertahanan Sipil (Hansip), Rakyat Terlatih (Ratih), dan Keamanan Rakyat
(Kamra). Akan tetapi kebanyakan sudah diminimalisir sifat
para-militernya.
Upaya untuk merintis jalan ke arah
pembentukan satuan semacam U.S. National Guard bukannya tidak ada.
Pemerintah telah berupaya menyusun RUU Komponen Cadangan Nasional yang
sebenarnya telah digodok sejak era pemerintahan Presiden Megawati
Soekarnoputri. Akan tetapi hingga kini belum dimatangkan karena adanya
kekuatiran pandangan negatif masyarakat dan dunia internasional.
Sebabnya, ada ekses Komponen Cadangan Nasional akan diartikan sebagai
upaya memiliterisasi rakyat. Padahal pasca reformasi tuntutan yang
mengemuka kepada militer adalah justru “back to barrack” agar menjadi
tentara profesional. Dan itu sudah dilakukan antara lain dengan
meniadakan konsep “Dwifungsi ABRI” dan secara bertahap menarik
representasi militer termasuk polisi di parlemen.
Sebenarnya peran National Guard di
Indonesia akan sangat efektif justru di saat berperan dalam tugas
non-tempur. Misalnya dalam membantu tugas SAR (Search And Rescue) atau
penanggulangan bencana. Peran besar U.S. National Guard dalam
tanggap-darurat bencana pasca Badai Katrina 2005 lalu merupakan salah
satu misi suksesnya. Di Indonesia, tentu saja dengan banyaknya bencana
alam yang terjadi baru-baru ini peranan National Guard akan sangat
optimal. Meski di A.S. National Guard juga diturunkan di medan tempur,
namun tetap saja perannya adalah sebagai komponen cadangan. U.S.
National Guard di masa kini justru banyak memainkan peran non-tempur di
masa damai.
National Guard atau Komponen Cadangan
Nasional di Indonesia bisa dibentuk terdiri dari unsur-unsur masyarakat
yang memiliki minat kepada dunia kemiliteran dan bela negara. Dengan
demikian tidak ada unsur paksaan atau kewajiban seperti wamil. Faktor
usia sebaiknya tidak perlu jadi pertimbangan, akan tetapi tentu saja
faktor kebugaran fisik dan kesehatan mutlak diperlukan. Ketrampilan
warga negara yang berminat menjadi National Guard tentu harus pula
dihargai. Misalnya ia seorang dokter, tentu saja harus diberi
kepangkatan dan struktur jabatan yang sesuai. Meski hak-hak anggota
National Guard tidak sebesar tentara regular, namun dalam masa
jabatannya ia memiliki hak, kewajiban, dan kehormatan yang sama.
Misalnya saja ia berhak mengoperasikan alutsista serta mengenakan
seragam yang sama, namun ia tidak bisa naik pangkat dan meniti karir
militer hingga menjadi Panglima TNI misalnya.
Panglima atau Komandan National Guard
tertinggi pun harus dari unsur tentara reguler, sehingga terjamin
kesinambungan pelatihan dan koordinasi jajarannya. Satu hal yang jelas,
ada rentang waktu yang dibatasi bila seseorang menjadi National Guard.
Bila bagi anggota TNI reguler masa Ikatan Dinas Pendek (IDP) adalah 10
tahun, maka bagi anggota National Guard bisa saja dibuat Ikatan Dinas
Sangat Pendek (IDSP) hanya 2-3 tahun saja. Gaji anggota National Guard
juga tidak besar karena ia tidak harus masuk kerja tiap hari, melainkan
bergilir piket. Sehingga di hari-hari lain ia bisa tetap bekerja seperti
biasa dalam bidang profesi lainnya. Ini benar-benar murni pengabdian
kepada negara. Dengan demikian, TNI akan mendapatkan bantuan tambahan
personel terlatih dalam jumlah memadai tanpa mengeluarkan biaya besar.
Bila saja lobby kita kepada dunia internasional berjalan baik, saya
pikir akan sangat logis dan tidak ada kecurigaan berlebihan apabila
Indonesia membentuk National Guard atau Komponen Cadangan Nasional.
Karena dalam tugasnya ia tidak digunakan untuk memerangi rakyat sendiri
atau memiliterasi rakyat sipil, melainkan justru lebih banyak untuk
tugas-tugas kemanusiaan.
Keterangan Foto: Anggota US National Guard bahu-membahu menyalurkan bantuan untuk korban Badai Katrina, 3 September 2005.