Mengapa pasukan anti-teror satgultor 81 Kopassus belum tampak di lokasi
dalam Operasi Tinombala, mengejar kelompok teroris Santoso di Poso?
Kenali peran Kopassus lebih jauh dalam ulasan Aris Santoso berikut ini.
Dalam mengatasi teror bom di Sarinah Thamrin (Jakarta Pusat),
pertengahan Januari lalu, publik bertanya-tanya, mengapa pasukan
anti-teror Kopassus tidak tampak di lokasi? Pertanyaan yang sama juga
muncul dalam pelaksanaan Operasi Tinombala, sebuah operasi pengejaran
kelompok teroris pimpinan Santoso di Poso (Sulawesi Tengah).
Pertanyaan publik ini justru menjadi pertanda bahwa satuan anti-teror
Kopassus demikian populer di mata masyarakat, dengan begitu sangat
diharapkan kehadirannya, di tengah ancaman teror yang seolah tiada henti
ini.
Perlu ada klarifikasi soal peran dan fungsi satuan anti-teror Kopassus
ini, yang nama resminya Satuan Penanggulangan Teror 81 (Satgultor 81)
Kopassus. Kata kunci Satgultor 81 adalah strategis terpilih, artinya
yang menjadi sasaran penindakan Satgultor 81 adalah obyek atau kasus
yang masuk kategori strategis terpilih. Peristiwa teror bom di Thamrin
dan pengejaran kelompok Santoso, belum lagi masuk kategori strategis
terpilih.
Apa yang dimaksud sebagai strategis terpilih, bisa dijelaskan dengan
merujuk pada operasi atau simulasi yang pernah dilakukan Satgultor,
seperti pembajakan pesawat terbang (ingat Operasi Woyla), pembebasan
sandera pada obyek vital (kedutaan besar misalnya), pembajakan di gedung
tinggi, dan seterusnya.
Kualifikasi tinggi, unit kecil, durasi singkat
Kualifikasi personel Satgultor 81 secara umum lebih tinggi dari satuan sejenis (primus inter pares),
dan paling lama didirikan (tahun 1981). Oleh karenanya personel
Satgultor baru diturunkan, bila ancaman itu bersifat kompleks dengan
skala kesulitan terbilang tinggi.
Dan satu lagi yang harus diingat, palagan yang disediakan bagi Satgultor
ada pada ruang yang terbatas (seperti pesawat terbang dan gedung), dan
biasanya di perkotaan, bukan pertempuran konvensional di dataran luas
atau rimba raya. Itu sebabnya model operasi penindakan dari Satgultor 81
(juga satuan anti-teror lainnya), memiliki istilah teknis Pertempuran
Jarak Dekat (PJD, Close Quarters Battle)
Apa yang kita lihat dalam Operasi Tinombala, itu sudah lebih dari
sekedar operasi anti-teror, sehingga kurang tepat pula bila personel
Satgultor diturunkan. Operasi di Poso lebih tepat disebut sebagai
operasi lawan gerilya (counter insurgency), dilihat dari segi jumlah personel yang diturunkan dan lamanya waktu operasi.
Satgultor dilatih untuk bergerak dalam unit kecil, dengan durasi sangat
cepat, bukan lagi dalam hitungan jam, tapi menit. Sementara operasi di
Poso, jumlah personelnya yang diturunkan mencapai ribuan, palagannya
luas dan berbulan-bulan di lokasi.
Satuan seperti Densus 88 atau Brimob Polri masih bisa melaksanakan
operasi lawan gerilya, karena jumlah personelnya relatif besar, di mana
setiap Polda memiliki satuan Densus 88. Terlebih Brimob, yang salah satu
tugas pokoknya memang operasi lawan gerilya. Sementara “karakter”
Satgultor bukan untuk operasi semacam itu.
Bila Kopassus pada akhirnya mendapat tugas operasi lawan gerilya, bukan
Satgultor yang dikirimkan, namun satuan lainnya seperti Grup 1 dan Grup 2
(kualifikasi para komando), atau Grup 3 (Sandi Yudha, operasi senyap).
Mutlak diperlukan sinergi
Bagi negeri kita, begitu krusialnya ancaman teroris atau teror itu,
satuan anti-teror juga dikembangkan di angkatan lain. Seperti Detasemen
Jala Mangkara (Denjaka Korps Marinir), Komando Pasukan Katak TNI-AL,
Detasemen Bravo 90 Paskhas TNI-AU, Satuan Gegana (Brimob Polri), dan
Densus 88 (Polri).
Beberapa perwira yang pernah bertugas lama di satuan anti-teror
sependapat, dalam mengukur tingkat keandalan sebuah satuan anti teror,
jangan dilihat satuan itu berada di bawah marinir, polisi atau tentara.
Namun dilihat bagaimana intensitas pelatihannya, perencanaan, peralatan,
rasa percaya diri, dan responsif saat eksekusi di lapangan. Oleh
karenanya mutlak adanya sinergi antar satuan anti-teror, baik di bawah
TNI atau Polri.
Arti penting sinergi dan koordinasi antar satuan kini semakin terasa,
mengingat adanya “metamorfosa” dalam aksi teror: dari teroris
(sekelompok manusia) menjadi ledakan bom (benda).
Menganal Sebagaimana diketahui unit anti-teror di negeri kita, umumnya
dilatih untuk menghadapi aksi teror sekelompok orang, seperti pembajakan
pesawat terbang atau penyanderaan di gedung bertingkat. Bila yang
dihadapi adalah bom (termasuk bom bunuh diri), perlu ada metode dan
kurikulum pelatihan tersendiri.