Berawal dari cerita turun menurun di keluarga, ditulis
di blog, kemudian berkembang jadi sebuah inspirasi dari generasi ke
generasi. Itulah gambaran tentang kisah Brigadir Royadin yang menilang
Sultan Hamengkubowono IX pada tahun 1960-an.
Seorang pria bernama Aryadi Nursaid yang pertama kali memposting tulisan tersebut dengan judul 'Sultan HB IX dan Polisi Pekalongan, The Untold Story' pada tahun 2011. Aryadi menyebut Royadin adalah kakak dari ayahnya. Cerita didapat dari keterangan sumber di keluarga dan pengalamannya sendiri.
Cerita itu menggambarkan sosok Royadin, seorang polisi lalu lintas yang sederhana, memakai sepeda onthel saat bekerja, namun berani menilang seorang Sultan HB IX. Pemicunya, Sultan yang saat itu menyetir sendiri, melanggar lalu lintas saat melintas di Pekalongan, Jawa Tengah. Belakangan, setelah diverifikasi, peristiwa ini terjadi di Semarang, Jawa Tengah, bukan Pekalongan.
Saat ditilang, Sultan tak marah atau meminta perlakuan khusus. Sultan menerima surat tilang tersebut lalu memberikan apresiasi pada Royadin dengan menawarinya jabatan di Yogyakarta. Namun Royadin yang rendah hati tak mau menerimanya.
Kisah ini mengajarkan tentang dua sosok yang bersahaja. Pertama, seorang polisi yang berani menindak 'orang penting' tanpa membedakan statusnya. Kedua, sosok pemimpin yang berani mengakui kesalahan dan mengapresiasi kejujuran.
Inspirasi yang ditulis lima tahun lalu tersebut kemudian menyebar di mana-mana. Sampai hari ini, cerita tersebut juga disebar di grup-grup WhatsApp sampai menyebar di sejumlah layanan media sosial.
Apa komentar pihak keluarga soal cerita tersebut? Benarkah kisahnya? detikcom mendatangi rumah keluarga Royadin yang berada di Proyonanggan Tengah, Kecamatan Batang, Kabupaten Batang. Supardiyo (62), anak ketiga Royadin pernah mendengar langsung cerita itu dari ayahnya.
Seingat Supardiyo, ayahnya bercerita pernah menilang orang penting di daerah Bangkong, Kota Semarang, bukan Pekalongan. Kala itu traffic light masih dinyalakan dan dimatikan secara manual menggunakan saklar oleh petugas polisi yang berjaga di pos. Ketika bertugas itulah Supardiyo mencegat mobil yang menerabas lampu merah.
"Jadi ada yang melanggar lampu merah disetop, beliau berani karena menjalankan tugas sungguh-sungguh walau yang melanggar ternyata Sri Sultan," kata Supardiyo mengenang cerita ayahnya.
Tindakannya itu ternyata sampai ke telinga atasan Royadin. Ia pun dipanggil ke kantor dan dimarahi habis-habisan. Meski demikian Royadin tidak diberi sanksi karena sebenarnya apa yang dilakukannya benar.
"Dipanggil kepala polisi di sana, tapi tidak diberi sanksi soalnya memang melaksanakan tugas," katanya dalam bahasa Jawa.
Menurut cerita yang beredar, Sri Sultan HB IX mengundang Royadin agar menjadi polisi di Yogyakarta karena kejujuran dan ketegasan yang ditunjukkan. Namun Royadin ternyata tidak menceritakan bagian itu ke anak-anaknya. Setahu Supardiyo, Royadin lebih memilih dekat dengan keluarganya.
"Ceritanya itu cuma sampai habis dipanggil atasan. Yang dipanggil Sultan itu saya malah tidak tahu. Beliau cerita pas saya sudah agak besar ya sekitar tahun 1964, pokoknya sebelum peristiwa PKI," ujarnya.
Dalam kisahnya ke Supardiyo, Royadin juga memberikan nasihat kepada anak-anaknya untuk jangan ragu bertindak yang benar dan harus yakin.
"Welingnya Bapak, 'gondelan waton ojo asal waton', maksudnya berpeganganlah kepada yang benar, jangan bertindak yang tidak baik," ungkapnya.
Seorang pria bernama Aryadi Nursaid yang pertama kali memposting tulisan tersebut dengan judul 'Sultan HB IX dan Polisi Pekalongan, The Untold Story' pada tahun 2011. Aryadi menyebut Royadin adalah kakak dari ayahnya. Cerita didapat dari keterangan sumber di keluarga dan pengalamannya sendiri.
Cerita itu menggambarkan sosok Royadin, seorang polisi lalu lintas yang sederhana, memakai sepeda onthel saat bekerja, namun berani menilang seorang Sultan HB IX. Pemicunya, Sultan yang saat itu menyetir sendiri, melanggar lalu lintas saat melintas di Pekalongan, Jawa Tengah. Belakangan, setelah diverifikasi, peristiwa ini terjadi di Semarang, Jawa Tengah, bukan Pekalongan.
Saat ditilang, Sultan tak marah atau meminta perlakuan khusus. Sultan menerima surat tilang tersebut lalu memberikan apresiasi pada Royadin dengan menawarinya jabatan di Yogyakarta. Namun Royadin yang rendah hati tak mau menerimanya.
Kisah ini mengajarkan tentang dua sosok yang bersahaja. Pertama, seorang polisi yang berani menindak 'orang penting' tanpa membedakan statusnya. Kedua, sosok pemimpin yang berani mengakui kesalahan dan mengapresiasi kejujuran.
Inspirasi yang ditulis lima tahun lalu tersebut kemudian menyebar di mana-mana. Sampai hari ini, cerita tersebut juga disebar di grup-grup WhatsApp sampai menyebar di sejumlah layanan media sosial.
Apa komentar pihak keluarga soal cerita tersebut? Benarkah kisahnya? detikcom mendatangi rumah keluarga Royadin yang berada di Proyonanggan Tengah, Kecamatan Batang, Kabupaten Batang. Supardiyo (62), anak ketiga Royadin pernah mendengar langsung cerita itu dari ayahnya.
Seingat Supardiyo, ayahnya bercerita pernah menilang orang penting di daerah Bangkong, Kota Semarang, bukan Pekalongan. Kala itu traffic light masih dinyalakan dan dimatikan secara manual menggunakan saklar oleh petugas polisi yang berjaga di pos. Ketika bertugas itulah Supardiyo mencegat mobil yang menerabas lampu merah.
"Jadi ada yang melanggar lampu merah disetop, beliau berani karena menjalankan tugas sungguh-sungguh walau yang melanggar ternyata Sri Sultan," kata Supardiyo mengenang cerita ayahnya.
Tindakannya itu ternyata sampai ke telinga atasan Royadin. Ia pun dipanggil ke kantor dan dimarahi habis-habisan. Meski demikian Royadin tidak diberi sanksi karena sebenarnya apa yang dilakukannya benar.
"Dipanggil kepala polisi di sana, tapi tidak diberi sanksi soalnya memang melaksanakan tugas," katanya dalam bahasa Jawa.
Menurut cerita yang beredar, Sri Sultan HB IX mengundang Royadin agar menjadi polisi di Yogyakarta karena kejujuran dan ketegasan yang ditunjukkan. Namun Royadin ternyata tidak menceritakan bagian itu ke anak-anaknya. Setahu Supardiyo, Royadin lebih memilih dekat dengan keluarganya.
"Ceritanya itu cuma sampai habis dipanggil atasan. Yang dipanggil Sultan itu saya malah tidak tahu. Beliau cerita pas saya sudah agak besar ya sekitar tahun 1964, pokoknya sebelum peristiwa PKI," ujarnya.
Dalam kisahnya ke Supardiyo, Royadin juga memberikan nasihat kepada anak-anaknya untuk jangan ragu bertindak yang benar dan harus yakin.
"Welingnya Bapak, 'gondelan waton ojo asal waton', maksudnya berpeganganlah kepada yang benar, jangan bertindak yang tidak baik," ungkapnya.