Dog fight jet tempur F-16 Fighting Falcon vs F/A-18 Hornet bisa
dibilang setanding. Namun, apa yang terjadi bila F/A-18 Hornet ‘duel
udara’ dengan F-5 E/F Tiger II, yang ini bisa disebut David vs Goliath.
Dan yang menjadi David adalah si Macan F-5 E/F Tiger II. Tapi jangan
dikira jika si David pasti kalah lawan Goliath. Meski secara
spesifikasi, F-5 Tiger kalah telak dari F-18 Hornet, masih ada
kesempatan bagi F-5 Tiger untuk membungkam manuver F/A-18 Hornet.
Analogi diatas bukan isapan jempol, sejatinya memang F-5E/F Tiger II TNI AU pernah dog fight melawan F/A-18 Hornet AU Australia/RAAF (Royal Australian Air Force). Meski beberapa kali hubungan kedua negara pernah memanas, tapi dog fight antara Tiger TNI AU dan Hornet Australia terjadi dalam rangkaian latihan bersama Elang Ausindo I pada tahun 1993. Dalam latihan tersebut, F-5E yang seharusnya dapat ditaklukan dengan mudah, nyatanya dapat bertahan dan survive dari ancamam sistem senjata lawan.
Bahkan beberapa belas sorti dari tiga puluh sorti latihan yang dilakukan, F-5E mampu melepaskan rudal AIM-9 Sidewinder ke sasaran. Daalam olah manuver di udara, F-5E mampu melakukan taktik dog fight secara maksimal sesuai kemampuan pesawat. Ini yang membuat para pengamat RAAF kagum terhadap penerbang-penerbang F-5E/F. Menurut perhitungan diatas kertas, Hornet bukanlah tandingan F-5E Tiger, sebab pesawat buatan McDonnel Douglas (sekarang – Boeing) tahun 80-an ini punya sifat dan karakteristik jauh lebih baik dibanding F-5E. Dari segi manuver, F/A-Hornet sanggup akrobat hingga level gravitasi 9g force, sementara F-5 hanya 8g force.
F/A-18 Hornet mampu menembak sasaran dari segala posisi, hal ini dimungkinkan berkat sistem radanya yang handal. Radar APG-65 buatan Hughes mampu menjejak sasaran dari kiri/kanan dan bawah sebelum mata elektronik memandu rudal yang diluncurkan ke sasaran, rudal yang digotongnya pun cukup sangar, mulai dari Sidewinder, AIM-7 Sparrow, dan AIM-120 AMRAAM. Sebaliknya F-5E/F Tiger TNI AU tampil low profile, untuk misi dog fight, senjata yang jadi andalan adalah sepasang kanon M39-A3 kaliber 20mm dan dua rudal udara ke udara AIM-9 P2 Sidewinder.
Karena beberapa keterbatasan, momen terbesar bagi F-5 untuk merontokkan F-18 Hornet yakni pada saat lawan berada di depan. Pada posisi lawan di depan, F-5E/F dapat melepaskan kombinasi kanon laras ganda dan rudal Sidewinder.
Perangkat sistem radar AN/APQ-159
Tampilan dashboard kokpit F-5E Tiger II.
Nah, dalam pertempuran udara, selain racikan senjata berupa kanon dan rudal, pilot F-5E/F juga terbantu dengan keberadaan radar AN/APQ-159. Jenis radar AN/APQ-159 memang canggih pasa masanya, namun karena sudah tua, teknologi dan spesifikasinya dirasa sudah mulai tertinggal. Hanya saja, radar buatan Emerson Electric ini masih lumayan awet digunakan pada beberapa armada F-5 E/F yang sudah di retrofif sekalipun, termasuk F-5 TNI AU masih menggunakan radar AN/APQ-159.
Dari jenisnya, AN/APQ-159 adalah radar yang beroperasi di frekuensi I dan J band. Radar ini dihadirkan sebagai pengganti jenis radar AN/APQ-153 yang juga digunakan pada jet F-5 A/B Freedom Fighters. Dibanding AN/APQ-153, radar AN/APQ-159 punya jangkauan dua kali lipat lebih besar dan sudut pelacakan yang ditingkatkan.
AN/APG-159 adalah sistem radar yang digadang khusus untuk misi udara-ke-udara. Radar memiliki empat mode utama dari operasi, dua mode pencarian dengan rentang yang berbeda menggunakan layar B-Scope sederhana, C-Scope display pandangan ke depan kanon dan kunci-on otomatis untuk mode pertempuran udara, dan modus yang akan digunakan dalam pengoperasian rudal AIM-9 Sidewinder. AN/APQ-159 sayangnya tak dilengkapi mode udara ke darat, ini kemudian menjawab pertanyaan, mengapa selama ini F-5 E/F Tiger II TNI AU tidak pernah menggotong rudal udara ke permukaan seperti AGM-65 Maverick.
Dikutip dari Wikipedia.com, radar AN/APQ-159 juga belum dilengkapi mode BVR (Beyond Visual Range), itu juga akhirnya menjelaskan mengapa F-5 yang masih memakai radar ini tak pernah membawa rudal seperti AIM-7 Sparrow atau AIM-120 AMRAAM. Bila pada faktanya F-5S Tiger milik AU Singapura mampu melepaskan rudal AGM-65 Maverick dan rudal AIM-120 AMRAAM, jelas karena radanya juga telah diganti ke tipe FIAR Grifo-F X-band.
Jika dibandingkan radar AN/APG-66 punya F/A-18 Hornet yang jangkauan deteksinya bisa sampai radius 72 – 150 Km, maka radar AN/APQ-159 punya jangkauan deteksi hanya 37 Km. Pihak Emerson Electric tak berpangku tangam melihat kelemahan yang ada, sempat juga ditwarkan varian upgrade radar ini menjadi AN/APQ-159-1/2 yang menawarkan mode operasi televisi, ini digunakan untuk menyokong misi air to ground dari rudal AGM-65 Maverick.
Di tahun 2010, Dislitbangau (Dinas Penelitian dan Pengembangan Angkatan Udara) telah melakukan proses reverse engineering pada komponen radar AN/APQ-159 F-5 E/F Tiger II TNI AU. Melihat kondisi kesiapan radar APQ 159 yang berada di pesawat F-5 E/F sangat menurun karena obselette dan sulitnya mencari suku cadang, Dislitbangau dan mitra PT CMI berusaha mencari solusi untuk mengoptimalkan kembali kemampuan Radar APQ 159. Proses reserve engineering radar APQ-159 mengandalkan pembuatan (kloning) modul TRx radar pada Receiver Modul, UCO Modul (Voltage Control Oscillator), AFC Modul, STC Controller Modul dan modifikasi beberapa modul di High Voltage. Dengan reverse engineering, selanjutnya “indra penciuman” sasaran pada si Macan kembali mampu beroperasi optimal sesuai spesifikasinya. (Haryo Adjie)
Analogi diatas bukan isapan jempol, sejatinya memang F-5E/F Tiger II TNI AU pernah dog fight melawan F/A-18 Hornet AU Australia/RAAF (Royal Australian Air Force). Meski beberapa kali hubungan kedua negara pernah memanas, tapi dog fight antara Tiger TNI AU dan Hornet Australia terjadi dalam rangkaian latihan bersama Elang Ausindo I pada tahun 1993. Dalam latihan tersebut, F-5E yang seharusnya dapat ditaklukan dengan mudah, nyatanya dapat bertahan dan survive dari ancamam sistem senjata lawan.
Bahkan beberapa belas sorti dari tiga puluh sorti latihan yang dilakukan, F-5E mampu melepaskan rudal AIM-9 Sidewinder ke sasaran. Daalam olah manuver di udara, F-5E mampu melakukan taktik dog fight secara maksimal sesuai kemampuan pesawat. Ini yang membuat para pengamat RAAF kagum terhadap penerbang-penerbang F-5E/F. Menurut perhitungan diatas kertas, Hornet bukanlah tandingan F-5E Tiger, sebab pesawat buatan McDonnel Douglas (sekarang – Boeing) tahun 80-an ini punya sifat dan karakteristik jauh lebih baik dibanding F-5E. Dari segi manuver, F/A-Hornet sanggup akrobat hingga level gravitasi 9g force, sementara F-5 hanya 8g force.
F/A-18 Hornet mampu menembak sasaran dari segala posisi, hal ini dimungkinkan berkat sistem radanya yang handal. Radar APG-65 buatan Hughes mampu menjejak sasaran dari kiri/kanan dan bawah sebelum mata elektronik memandu rudal yang diluncurkan ke sasaran, rudal yang digotongnya pun cukup sangar, mulai dari Sidewinder, AIM-7 Sparrow, dan AIM-120 AMRAAM. Sebaliknya F-5E/F Tiger TNI AU tampil low profile, untuk misi dog fight, senjata yang jadi andalan adalah sepasang kanon M39-A3 kaliber 20mm dan dua rudal udara ke udara AIM-9 P2 Sidewinder.
Karena beberapa keterbatasan, momen terbesar bagi F-5 untuk merontokkan F-18 Hornet yakni pada saat lawan berada di depan. Pada posisi lawan di depan, F-5E/F dapat melepaskan kombinasi kanon laras ganda dan rudal Sidewinder.
Perangkat sistem radar AN/APQ-159
Tampilan dashboard kokpit F-5E Tiger II.
Nah, dalam pertempuran udara, selain racikan senjata berupa kanon dan rudal, pilot F-5E/F juga terbantu dengan keberadaan radar AN/APQ-159. Jenis radar AN/APQ-159 memang canggih pasa masanya, namun karena sudah tua, teknologi dan spesifikasinya dirasa sudah mulai tertinggal. Hanya saja, radar buatan Emerson Electric ini masih lumayan awet digunakan pada beberapa armada F-5 E/F yang sudah di retrofif sekalipun, termasuk F-5 TNI AU masih menggunakan radar AN/APQ-159.
Dari jenisnya, AN/APQ-159 adalah radar yang beroperasi di frekuensi I dan J band. Radar ini dihadirkan sebagai pengganti jenis radar AN/APQ-153 yang juga digunakan pada jet F-5 A/B Freedom Fighters. Dibanding AN/APQ-153, radar AN/APQ-159 punya jangkauan dua kali lipat lebih besar dan sudut pelacakan yang ditingkatkan.
AN/APG-159 adalah sistem radar yang digadang khusus untuk misi udara-ke-udara. Radar memiliki empat mode utama dari operasi, dua mode pencarian dengan rentang yang berbeda menggunakan layar B-Scope sederhana, C-Scope display pandangan ke depan kanon dan kunci-on otomatis untuk mode pertempuran udara, dan modus yang akan digunakan dalam pengoperasian rudal AIM-9 Sidewinder. AN/APQ-159 sayangnya tak dilengkapi mode udara ke darat, ini kemudian menjawab pertanyaan, mengapa selama ini F-5 E/F Tiger II TNI AU tidak pernah menggotong rudal udara ke permukaan seperti AGM-65 Maverick.
Dikutip dari Wikipedia.com, radar AN/APQ-159 juga belum dilengkapi mode BVR (Beyond Visual Range), itu juga akhirnya menjelaskan mengapa F-5 yang masih memakai radar ini tak pernah membawa rudal seperti AIM-7 Sparrow atau AIM-120 AMRAAM. Bila pada faktanya F-5S Tiger milik AU Singapura mampu melepaskan rudal AGM-65 Maverick dan rudal AIM-120 AMRAAM, jelas karena radanya juga telah diganti ke tipe FIAR Grifo-F X-band.
Jika dibandingkan radar AN/APG-66 punya F/A-18 Hornet yang jangkauan deteksinya bisa sampai radius 72 – 150 Km, maka radar AN/APQ-159 punya jangkauan deteksi hanya 37 Km. Pihak Emerson Electric tak berpangku tangam melihat kelemahan yang ada, sempat juga ditwarkan varian upgrade radar ini menjadi AN/APQ-159-1/2 yang menawarkan mode operasi televisi, ini digunakan untuk menyokong misi air to ground dari rudal AGM-65 Maverick.
Di tahun 2010, Dislitbangau (Dinas Penelitian dan Pengembangan Angkatan Udara) telah melakukan proses reverse engineering pada komponen radar AN/APQ-159 F-5 E/F Tiger II TNI AU. Melihat kondisi kesiapan radar APQ 159 yang berada di pesawat F-5 E/F sangat menurun karena obselette dan sulitnya mencari suku cadang, Dislitbangau dan mitra PT CMI berusaha mencari solusi untuk mengoptimalkan kembali kemampuan Radar APQ 159. Proses reserve engineering radar APQ-159 mengandalkan pembuatan (kloning) modul TRx radar pada Receiver Modul, UCO Modul (Voltage Control Oscillator), AFC Modul, STC Controller Modul dan modifikasi beberapa modul di High Voltage. Dengan reverse engineering, selanjutnya “indra penciuman” sasaran pada si Macan kembali mampu beroperasi optimal sesuai spesifikasinya. (Haryo Adjie)