Sabtu, 03 Oktober 2015

Di Mana Soeharto Saat Para Jenderal Dibunuh 30 September 1965?



Presiden RI kedua HM Soeharto

Peristiwa pembunuhan jenderal TNI AD 30 September 1965 masih menjadi misteri. Sejarah yang disusun pemerintahan Orde Baru, menyebutkan Gerakan 30 September (G30S) digerakkan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI).

Namun, pascareformasi, informasi seputar peristiwa pembunuhan jenderal di Lubang Buaya itu mulai bermunculan. Banyak versi sejarah tentang pembunuhan Letnan Jenderal Akhmad Yani; Mayor Jenderal Suprapto; Mayor Jenderal M.T. Haryono; Mayor Jenderal S. Parman; Brigadir Jenderal Panjaitan; Brigadir Jenderal Sutoyo Siswomihardjo dan Kapten Pierre Tendean itu.

Lepas dari berbagai versi sejarah tersebut, peristiwa G30S itu menjadi tonggak sejarah baru terbentuknya pemerintahan orde baru di bawah pimpinan Mayjen Soeharto.

Tahun 1965, merupakan awal Soeharto menapaki puncak kekuasaan. Ketika itu dia masih menjabat sebagai Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Pangkostrad). Soeharto berperan besar mengatasi kekacauan tahun 1965.

Soeharto baru bergerak menumpas PKI pada tanggal 1 Oktober 1965. Lantas di mana Soeharto saat malam 30 September 1965 itu?

"Tanggal 30 September 1965. Kira-kira pukul 21.00 WIB saya bersama istri saya (Siti Hartinah) berada di Rumah Sakit Gatot Soebroto," kata Soeharto seperti dikutip dalam buku otobiografi Soeharto; Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya.

Soeharto bersama istri sedang menengok putranya, Hutomo Mandala Putra (Tomy Soeharto) yang ketika itu berumur empat tahun. "Tomy dirawat di sana karena tersiram air sup yang panas. Agak lama juga kami berada di sana. Maklumlah, menjaga anak yang menjadi kesayangan semua," tutur Soeharto.

Barulah, pada pukul 00.15 WIB malam, Soeharto disuruh ibu Tien pulang ke rumahnya di Jalan Agus Salim. "karena ingat kepada Mamik, anak perempuan kami yang bungsu yang baru setahun umurnya. Saya pun meninggalkan Tomy, dan ibunya tetap menunggunya di Rumah Sakit," kata dia.

Presiden RI kedua itu, mengaku langsung berbaring dan tidur di rumahnya dan belum mengetahui peristiwa penculikan dan pembunuhan para jenderal tersebut. "Saya bisa cepat tidur. Tapi, kira-kira pukul 04.30 WIB tanggal 1 Oktober, saya kedatangan cameraman TVRI, Hamid. Ia baru selesai shooting film. Ia memberi tahu, bahwa ia mendengar tembakan di beberapa tempat," katanya.

Mendengar kabar itu, Soeharto berpikir panjang. Tepat pukul 05.00 WIB datang anak buahnya, Broto Kusmardjo menyampaikan kabar mengenai penculikan perwira tinggi angkatan darat.

Pukul 06.00 WIB, Soeharto bergegas merapikan pakaian, loreng lengkap, tapi belum mengenakan pistol, pet, dan sepatu. "Saya ingat apa yang harus saya perbuat dalam keadaan seperti ini. Pertama-tama saya harus tenang. Saya ingat dengan seketika, refleks dan ingat pepatah jawa, aja kagetan, aja gumunan, aja dumeh, saya langsung kumpulkan semua informasi," ujar dia.
 
 

Kenapa pembunuhan massal usai G30S paling banyak terjadi di Bali?

Kenapa pembunuhan massal usai G30S paling banyak terjadi di Bali?
RPKAD. ©buku sejarah tni

Peristiwa Gerakan 30 September, atau dikenal G30S telah menyebabkan krisis politik di seluruh Indonesia. Kejadian ini menyebabkan aksi pembantaian besar-besaran, bahkan korbannya tak hanya kader Partai Komunis Indonesia (PKI) saja, tapi mereka yang dianggap berseberangan atau membahayakan kelompok-kelompok tertentu.

Dari seluruh daerah di Indonesia, Bali merupakan lokasi yang paling parah dan paling banyak memakan korban saat operasi penumpasan G30S diluncurkan. Tidak kurang dari 100 ribu orang tewas dibunuh.

"Jumlah yang dibunuh di Bali itu sangat besar, mencapai 5 persen dari populasi. Lebih dari 100 ribu orang tewas dibantai," ujar penulis buku 'Nasib Para Soekarnois' Aju kepada merdeka.com, beberapa waktu lalu.

Tragedi berdarah ini berlangsung selama setahun, yakni tahun 1965 sampai 1966. Konflik bermula dari kisruh internal Partai Nasional Indonesia (PNI), antara Anak Agung Bagus Sutedja dengan I Nyoman Mantik.

Kebencian Mantik yang tumbuh kepada Sutedja bukan tanpa alasan. Sikap bermusuhan dimulai Mantik karena Presiden Soekarno lebih memilih Anak Agung Bagus Sutedja untuk menjadi Gubernur Bali yang pertama, sejak Bali resmi menjadi provinsi mandiri. Sebelumnya, Bali merupakan bagian dari Provinsi Sunda Kecil ketika pengakuan kedaulatan diberikan Belanda.

Alasan Soekarno memilih Sutedja karena dianggap cerdas dan memiliki kesamaan visi dengan pemerintah pusat, apalagi Sutedja merupakan pendukung pemikiran-pemikiran Bung Karno. Padahal, Mantik mendapatkan suara terbanyak dan seharusnya bisa menduduki jabatan tertinggi di Pulau Dewata.

Selain kisruh internal parpol, potensi pembantaian besar-besaran juga dipicu oleh persaingan antar bangsawan di Bali. Mereka ingin merebut kekuasaan atau menjabat posisi lebih tinggi. Alhasil, hanya dengan melaporkan sosok tersebut terafiliasi PKI, aparat langsung menculik dan mengeksekusinya.

Ulah kader dan simpatisan PKI juga menjadi salah satu penyebabnya. Mereka kerap merendahkan atau menyepelekan umat Hindu di Bali. Alhasil, ketika G30S pecah, mereka menjadi orang yang paling diburu umat Hindu.

Memasuki awal 1 Desember 1965, pemerintah pusat memanggil Gubernur Sutedja ke Jakarta. Di saat bersamaan, sekelompok massa PNI dari berbagai lokasi di bawah kendali Mantik menyerbu Puri Agung Negara Djembrana. Rumah-rumah yang sudah ditandai sebagai kader atau simpatisan PKI diserbu, satu per satu penghuninya diseret keluar, kemudian dipukuli beramai-ramai dan dibunuh.

Massa juga menjarah berbagai benda berharga dan peninggalan yang disimpan di dalam puri. Hanya sebagian saja yang berhasil diambil kembali pada 1975. Sebanyak 16 pengurus dinyatakan tewas dibunuh.

Penculikan yang terjadi pada Gubernur Sutedja membuat suasana di Bali semakin mencekam. Aksi pembunuhan tak lagi menyasar kepada kader maupun relawan PKI, tapi mereka yang dianggap musuh oleh orang-orang sekitarnya. Bahkan, agar pembantaian tampak religius, dilaksanakan ritual Nyupat.

Merasa di atas angin, Mantik semakin menjadi dalam membuat berbagai teror di Bali. Ditambah lagi kedatangan RPKAD, sehingga pembantaian terjadi hampir di seluruh tanah Pulau Dewata. Bahkan, dibentuk pula kelompok yang disebut Tameng, para anggotanya dikenal sadis dan tak kenal ampun. Jika ingin lolos, maka keluarga yang sudah dijadikan target harus merelakan putrinya disetubuhi. Mereka yang punya dendam, bisa melaporkan dan mencap lawannya sebagai PKI.

Saat ini, masih ada beberapa anggota Tameng yang masih hidup. Namun, kehidupan mereka sangat menderita dibandingkan saat berlangsungnya pembantaian besar-besaran itu. "Mungkin itu karma yang mereka dapat," tulis Aju dalam bukunya 'Nasib Para Soekarnois: Kisah Penculikan Gubernur Bali, Sutedja, 1966, terbitan Yayasan Penghayat Keadilan.

Mengintip Persiapan HUT ke-70 TNI di Cilegon

KOMPAS.com/FABIAN Gladi bersih HUT ke-70 TNI di Dermaga Indah Kiat, Cilegon, Banten, Sabtu (3/10/2015)

"Yang perlu kau tahu, yang perlu kau tahu...rasa cintaku, cintaku padamu...rasa sayangku, sayangku padamu, hanyalah di dalam mimpi..." demikian lirik yel yang dinyanyikan 230 personel TNI Angkatan Darat dari Yonif 312 Kala Hitam, Subang, Jawa Barat, Sabtu (3/10/2015).

Mirip seperti tarian tradisional Ja'i dari Nusa Tenggara Timur (NTT), mereka membentuk lingkaran dan berputar mengelilingi sang komandan yang juga ikut bernyanyi. Kemeriahan tersebut hanya satu dari banyak kemeriahan yang ada di Dermaga Indah Kiat, Cilegon, Banten, pusat peringatan Hari Ulang Tahun ke-70 Tentara Nasional Indonesia (TNI).

Sabtu ini adalah gladi bersih acara peringatan yang rencananya dilaksanakan, Senin 5 Oktober 2015 mendatang. Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo bersama sejumlah kepala staf TNI hadir meninjau gladi bersih tersebut. Tema peringatan HUT ke-70 TNI tahun 2015 ini adalah  "Bersama Rakyat TNI Kuat, Hebat, Profesional, Siap Mewujudkan Indonesia yang Berdaulat, Mandiiri dan Berkepribadian."

Dermaga yang biasa digunakan untuk bongkar muat barang komersial tersebut disulap menjadi arena upacara raksasa. Panggung sepanjang sekitar 100x50 meter bernuansa merah putih dibangun menghadap laut. Sejumlah mobil pelontar rudal dan tank diparkir berderet di anjungan dermaga yang berada persis menghadap panggung.

Pemandangan itu menjadi background ribuan prajurit TNI yang tengah berbaris di lapangan upacara.

Berdasarkan siaran pers Pusat Penerangan TNI, pasukan yang terlibat dalam parade upacara tersebut terdiri gabungan dari tiga matra, yakni darat, udara dan laut dengan jumlah 6.349 personel.

Adapun, masing-masing matra mengeluarkan alat utama sistem persenjataan masing-masing. Misalnya, TNI AD dengan 6 unit Tank Scorpion, 4 Panser Tarantula dan 1 unit Radar Giraffe ; TNI AL dengan 3 Roket RM 70 Grad dan 3 unit Tank LVT 7 ; TNI AU dengan 2 unit Smart Hunter, Drone dan Rudal QW3.

Gladi bersih itu digelar tepat pukul 09.00 WIB. Hingga pukul 09.45 WIB, acara gladi bersih itu masih berlangsung. Saat ini, seribuan personel TNI sudah menyelesaikan latihan upacara dan tengah bersiap menunjukan kemampuan bela diri.

Selain wartawan, acara tersebut menjadi tontonan masyarakat setempat dan wisatawan yang kebetulan sedang mengunjungi kawasan tersebut. 
 
 

HUT TNI dan "Bonus" bagi Wisatawan...

KOMPAS.com/FABIAN Gladi bersih HUT ke-70 TNI di Dermaga Indah Kiat, Cilegon, Banten, Sabtu (3/10/2015)

Masyarakat umum turut menonton gladi bersih HUT ke-70 TNI di Dermaga Indah Kiat, Cilegon, Banten, Sabtu (3/10/2015). Mereka terhibur dengan sajian atraksi-atraksi personel TNI.

Lia Rahmawati (28) misalnya. Warga Depok, Jawa Barat itu awalnya hanya ingin berwisata di pantai kawasan Cilegon bersama keluarga. Namun, dia penasaran dengan apa yang terjadi di dermaga tersebut. "Dari jalan kan kelihatan banyak tank sama mobil tempur, anak saya penasaran, ada acara apaan, makanya lihat-lihat dulu," ujar Lia saat berbincang dengan Kompas.com, Sabtu siang.

Sang putra, Aldo Ramadhan (7), mengaku sangat tertarik melihat kendaraan tempur yang terparkir berderet di pelataran dermaga. Ia meminta untuk dinaikan di kap mobil itu untuk diabadikan momennya.

Rifai (46) juga demikian. Dia, istri dan dua anaknya tak mengetahui bahwa Cilegon akan dijadikan pusat peringatan HUT TNI. Awalnya, mereka yang merupakan warga Jakarta Timur hanya ingin berwisata di pantai setempat sekaligus mengunjungi sanak famili di Cilegon.

"Untung juga ada atraksi begini. Kalau cuma lihat pantai saja kan jadi biasa saja. Ya dapat bonuslah," ujar dia.

Dari sejumlah atraksi yang ditampilkan para personel TNI, Rifai mengaku paling senang melihat atraksi bela diri. Dia kagum melihat para personel TNI tersebut beradu otot dan menghancurkan bata, besi dan material lain hanya menggunakan tangan kosong. "Kali-kali saja anak saya terinspirasi mau jadi tentara juga," ujar dia.

Irna Watik (58), berbeda dengan Lia dan Rifai. Dia adalah warga Cilegon asli. Rumahnya hanya berjarak satu kilometer dari area gladi bersih HUT TNI. Dia mengaku sudah jauh-jauh hari mengetahui bahwa dermaga itu akan dijadikan pusat peringatan HUT TNI.

Watik mengaku senang kampung halamannya dijadikan pusat acara TNI. Dia pun mengajak cucunya untuk melihat atraksi TNI. "Dari kemarin cucu sudah minta beliin baju loreng. Kata dia buat ikutan acara tentara, gitu," ujar Watik.

Gladi bersih HUT TNI dimulai sejak pukul 09.00 WIB. Tema peringatan HUT ke-70 TNI tahun 2015 ini adalah "Bersama Rakyat TNI Kuat, Hebat, Profesional, Siap Mewujudkan Indonesia yang Berdaulat, Mandiiri dan Berkepribadian."

Sejumlah atraksi diperagakan pasukan, mulai dari baris berbaris, mobilisasi alat utama sistem persenjataan, atraksi terjun payung hingga bela diri. Hingga pukul 10.51 WIB, acara itu masih berlangsung. 
 

Bung Karno Ungkap Cara Membunuh Dia

Bung Karno Ungkap Cara Membunuh Dia
Bung Karno saat naik pesawat (VIVA.co.id / Dody Handoko)

Nama-nama besar seperti Gajah Mada, para Wali, Siliwangi, Pangeran Diponegoro, Pattimura, Bung Karno hingga Jenderal Sudirman  dianggap memiliki kesaktian.
Bukan hanya itu, hingga saat ini pun, di sejumlah daerah, masyarakat setempat memiliki legenda-legenda tentang sosok sakti di daerahnya.

Benarkah Bung Karno juga merupakan manusia “sakti?" Dengan sejarah sedikitnya tujuh kali luput, lolos, dan terhindar dari kematian akibat ancaman fisik secara langsung, menjadi hal yang jamak jika sebagian rakyat Indonesia menganggap Bung Karno adalah manusia dengan tingkat kesaktian tinggi.

Dalam buku Total Bung Karno karya Roso Daras diceritakan, sebuah perjalanan di Makassar, Bung Karno diserbu gerombolan separatis. Di perguruan Cikini, dia dilempar granat. Di Cisalak dia dicegat dan ditembaki. Di Istana, dia diserang menggunakan pesawat tempur  oleh simpatisan PRRI/Permesta.
Bahkan ketika dia tengah salat Idul Adha, seseorang yang ditengarai dari anasir DI/TII menumpahkan serentetan tembakan dari jarak enam saf (barisan salat) saja.

Bung Karno tetap selamat, tetap sehat, dan tidak gentar. Dia terus saja menjalankan tugas kepresidenan dengan segala konsekuensinya. Dalam salah satu pernyataannya di biografi Soekarno, Penyambung Lidah Rakyat Indonesia  yang ditulis Cindy Adams, berkomentar tentang usaha-usaha pembunuhan yang dilakukan terhadapnya, Bung Karno tidak mengaku memiliki kesaktian tertentu.

“Mati-hidup adalah kehendak Tuhan. Manusia mencoba membunuh, kalau Tuhan belum berkehendak saya mati, maka saya belum akan mati,” kata Bung Karno ketika itu.

Dengan kepemimpinannya yang tegas, berani “menentang” mengutuk politik Amerika Serikat, dengan keberaniannya keluar dari PBB dan membentuk Conefo, dengan penggalangan jaringan yang begitu kokoh dengan negara-negara besar di Asia maupun Afrika, Bung Karno tentu saja sangat ditakuti Amerika Serikat sebagai motor bangkitnya bangsa-bangsa di dunia untuk menumpas praktik-praktik imperialisme.

Untuk membunuh Soekarno dari luar terbukti telah gagal, maka gerakan intelijen menusuk dari dalam pun disusun, hingga lahirnya peristiwa Gestok yang benar-benar berujung pada jatuhnya Bung Karno sebagai kepala pemerintahan dan kepala negara Republik Indonesia.
Tidak berhenti sampai di sini, upaya membunuh secara fisik pun dilakukan dari dalam.

Bung Karno, dalam penuturan kepada Cindy Adams, pernah membuat pernyataan yang mencengangkan. “Untuk membunuh saya adalah mudah, jauhkan saja saya dari rakyat, saya akan mati perlahan-lahan,” kata dia waktu itu.

Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto dan atas dukungan Amerika Serikat (dan kroninya), melakukan upaya mengisolasi terhadap Bung Karno dengan cara diasingkan di Istana dan wisma Yaso. Seperti yang telah disebutkan oleh Bung Karno sendiri.

Hingga Mei 1967, Bung Karno seperti tahanan rumah. Meski masih berstatus Presiden, tetapi ia terpenjara di Istana dan wisma Yaso. Tidak boleh keluar tanpa kawalan tentara di kubu Soeharto.

Usai ia dilengserkan oleh sidang istimewa MPRS, kemudian diasingkan di Bogor, kemudian disekap di Wisma Yaso, Jalan Gatot Subroto. Ia benar-benar menjadi pesakitan. Yang paling menyakitkan adalah karena dia benar-benar dijauhkan dari rakyat. Rakyat yang menjadi “nyawa”-nya selama ini sampai Bung Karno wafat.


Viva.

Jumat, 02 Oktober 2015

Dokumen Supardjo`, Kesimpulan Pelaku Mengapa G 30 S Gagal

Mengapa Gerakan 30 September 1965 gagal, bahkan hanya dalam hitungan hari? Padahal PKI, pihak yang dalam versi resmi dituding sebagai dalang, bukan partai gurem. Anggotanya jutaan. Sejumlah perwira militer juga terlbat.
Sejumlah akademisi telah coba menguliknya. Salah satunya adalah John Roosa, sejarawan dari Universitas Columbia, Kanada. Dalam buku Pretext for Mass Murder: The September 30th Movement and Suharto's Coup d'Etat in Indonesia (2006), ia mengarisbawahi kehadiran catatan yang dibuat Brigjen Supardjo, salah seorang yang terlibat dalam gerakan tersebut--bahkan tentara dengan pangkat tertinggi.
Catatan itu berjudul 'Beberapa Pendapat jang Mempengaruhi Gagalnja “G-30-S” Dipandang dari Sudut Militer (1966).' Selama puluhan tahun, para analis mengabaikannya meski tersedia di Museum TNI Satria Mandala, Jakarta. Roosa kemudian menyebutnya sebagai 'Dokumen Supardjo.'
Menurut Roosa, Dokumen Supardjo penting karena ditulis sebelum ia tertangkap. "...informasi yang terkandung di dalamnya mempunyai bobot keterandalan dan kejujuran yang khas. Supardjo menulis demi kepentingan kawan-kawannya, bukan bagi para interogator dan penuntut umum yang memusuhinya," tulisnya.
Kesimpulan Supardjo: G 30 S gagal karena gerakan ini dipimpin seorang sipil, Sjam, yang tahu sedikit sekali tentang prosedur-prosedur kemiliteran. "Dengan menempatkan diri sebagai orang yang berwenang atas sebuah aksi militer, Sjam menimbulkan kekacauan tentang garis komando di dalam kelompok inti," tulis Roosa.
Saat tiba di Halim Perdanakusumah, sehari sebelum kejadian, Supardjo mengaku bingung tentang siapa sebenarnya yang memimpin G 30 S. Gerakan ini mengabaikan prinsip-prinsip baku organisasi kemiliteran, tidak memiliki komandan tunggal.
"Kerja sama antara kelompok PKI (Sjam dan Pono) dengan kelompok militer (Untung, Latief, dan Soejono) tersusun sangat longgar, sehingga dua kelompok tersebut terus-menerus berdebat tentang apa yang harus dilakukan, bahkan pada saat-saat kritis ketika keputusan harus segera diambil," tulis Roosa.
 
Persiapan Tidak Matang
Roosa menyatakan, Supardjo menulis catatan itu sebagai seorang perwira yang dibingungkan oleh semua penyimpangan gerakan dari praktik baku kemiliteran. Supardjo menjadi brigadir jenderal pada umur 44 karena kepiawaiannya sebagai ahli strategi dalam sejumlah pertempuran.
Dalam bagian lain, Supardjo menulis, perencanaan gerakan ini kurang matang. "Rentjana operasinja ternjata tidak djelas. Terlalu dangkal. Titik berat hanja pada pengambilan 7 Djenderal sadja. Bagaimana kemudian bila berhasil, tidak djelas, atau bagaimana kalau gagal djuga tidak djelas," tulis Supardjo.
Supardjo memang lebih berfungsi sebagai penasihat ketimbang sebagai panglima. Lihat, ia baru datang pada 29 September ke Jakarta. Pada hari-hari sebelumnya, ia ada di Kalimantan sebagai komandan militer dalam konfrontasi dengan Malaysia.
Melihat kemampuan dan kebesaran PKI, Supardjo yakin, gerakan itu sebenarnya bisa berhasil jika dipersiapkan dengan matang.
"Saja ibaratkan seorang pemasak jang mempunjai bumbu, sayur2 jang serba tjukup, tetapi kalau tidak pandai menilai temperatur dari panasnja minjak, besarnja api, bilamana bumbu2 itu ditjemplungkan dan mana jang didahulukan dimasak maka masakan itu pun tidak akan enak," tulisnya.
Supardjo belakangan ditangkap. Ia dieksekusi mati pada 13 Maret 1967.

Liputan 6.

Radar Hanud AWS-2: Jejak Operasi Kresna Yang Masih Eksis

1411553915satrad214
Meski sistem radar Kohanudnas (Komando Pertahanan Udara Nasional) terus dipermodern dengan beragam tipe radar terbaru, tapi hingga kini ada jenis radar yang masih beroperasi dan terbilang legendaris, telah beropersi multi dekade melintasi jaman, inilah sistem radar AWS-2. Jenis radar sekunder yang menurut informasi masih digunakan Satrad (Satuan Radar) 214 di Pemalang, Jawa Tengah dan Satrad 215 di Congot, Yogyakarta, dan Satrad 221 di Ngliyep, Jawa Timur.
Apa yang membuat radar AWS-2 layak disebut legendaris? Ini tak lain terkait proses kedatangan radar AWS-2 yang berlangsung pada awal tahun 60-an. Saat persiapan operasi Trikora untuk merebut Irian Barat, seperti dketahui Indonesia melakukan pengadaan alutsista besar-besaran, tak hanya pada adopsi sistem senjata tercanggih pada masanya seperti jet tempur MiG-21F, pembom strategis Tu-16 dan kapal penjelajah KRI Irian. TNI pun juga ikut memboyong sistem perangkat radar sebagai komponen pertahahan udara (hanud) nasional. Tebaran jaringan radar diperlukan untuk melindungi obyek vital di Pulau Jawa dan Sumatera, dan sebagai elemen GCI (Ground Control Intercept) dan EW (Early Warning) pada pangkalan aju di daerah operasi.
AWS-2 di Satrad 215.
AWS-2 di Satrad 215.
Merujuk ke situs Kohanudna.mil.id, program pengadaan radar pada masa itu diberi sandi operasi Kresna. Operasi ini secara khusus digelar untuk mencari radar-radar yang ideal digunakan TNI guna mendukung pelaksanaan operasi hanud. Melewati beragam proses, kemudian didatangkanlah radar Decca dari Inggris. Periode instalasi radar Decca Plessy HF – 200, Decca Plessey Hidra, dan Plessey AWS-2 dari Inggris masuk pada periode tahun 1963 –1964 di Tanjung Kait dan Cisalak. Kegiatan instalasi dilaksanakan oleh ahli Inggris yang dibantu tenaga-tenaga ahli dari AURI.
221
AWS-2 di Satrad 221.
Namun sayangnya kegiatan ini terhambat karena konflik Indonesia – Malaysia, dimana Malaysia disponsori oleh Inggris. Dengan konflik ini, maka pada awal tahun 1964 para teknisi Inggris ditarik pulang dan sebagian suku cadang tidak dilanjutkan pengirimannya, dan membuat penginstalasian radar terbengkalai. Meski begitu beberapa radar yang sudah diinstalasi tetap dapat dioperasikan.
Setelah kegagalan dari sebagian Operasi Kresna, maka AURI kembali berusaha untuk mendatangkan radar dari Blok Timur. Maka dimulailah suatu periode instalasi Radar P-30 Rusia di Palembang dan Tanjung Pandan, Radar Nysa-C Polandia di Cengkareng, Cibalimbing dan Radar Decca Plessy LC di Palembang.
Sesuai perkembangan teknologi saat itu, radar-radar diatas masih sangat sederhana dan hanya menyuguhkan bearing dan range pada console, namun dengan kemampuan deteksi rata-rata 120 NM sampai dengan 180 NM (nautical mile), keberadaan radar-radar tersebut cukup mampu memberikan informasi seluruh pesawat yang memasuki wilayah udara Indonesia, khususnya Pulau Jawa.

AWS-2
Nah, dari nama-nama radar yang pernah eksis di dekade 60-an, kini tinggal jenis radar AWS-2 yang masih beroperasi, sebelum nantinya digantikan oleh jenis radar-radar baru. Kohanudnas kini juga telah menggunakan beberapa radar yang lebih baru dan canggih, seperti AR 325 Commander, Thomson TRS-2215/TRS-2230 dan Master-T.
downloadRADAR
Merujuk dari spesifikasinya, AWS-2 generasi pertama dari Inggris ini, sistem bekerjanya sama dengan prinsip kerja Radar pada umumnya. Radar AWS merupakan gabungan antara Decca Radar dan Plessey. Meski awalnya berasal dari teknologi analog, radar AWS 2 saat ini telah dimodifikasi sehingga dapat diubah menjadi digital. Kemampuannya pun ditingkatkan, seperti dapat menampilkan informasi secara real target dan real time di Posek Hanudnas I, dan dilengkapi pula dengan perangkat tambahan, yaitu SBM (Satelit Bumi Mini) K3I. Peralatan ini dapat dimanfaatkan sebagai latihan intersepsi bagi personel GCI Controller. Dari SBM ini terdapat 3 keluaran yaitu data, voice dan video. Untuk transmisi yang digunakan masih menggunakan kabel coaxial.
Diagram sistem kerja radar AWS-2.
Diagram sistem kerja radar AWS-2.
Perangkat receiver.
Perangkat receiver.
Sebagai radar sekunder yang sudah dimodifikasi, AWS-2 yang dibuat tahun 1960 punya jarak jangkau deteksi hingga 280 km. Komponen radar ini terdiri dari antena, sistem pengirim (transmitter), sistem penerima (receiver) dan tampilan (display). Untuk display-nya menggunakan kepunyaan radar Plessey MK-8
Bagaimana sistem koordinasi dengan radar lainnya? Dalam operasionalnya, seperti Satrad 221 menggunakan satelit bumi mini yang dapat menghubungkan kosek (komandon sektor) 2 yang terletak di Makassar, radar 221 berupa radar early warning yang sudah tua namun masih dapat bekerja dengan baik. Di dalam struktur jaringan radar 221 dibawah kosek 2, Kosek 2 terdiri dari 6 satuan radar. Radar 221 dapat mendeteksi benda bergerak maupun tidak bergerak dengan jarak sapuan dapat mengcover area Jawa Timur sampai Bali.
Display layar radar AWS-2
Display layar radar AWS-2
Disiplay latar radar memperlihatkan situasi di Pulau Jawa,
Disiplay latar radar memperlihatkan situasi di Pulau Jawa,
Selain berkomunikasi dengan kosek 2. Satrad 221 dapat dapat juga berkomunikasi dengan menara ATC (Air Trafic Control) dengan tujuan untuk mencari/pengambilan data yang ingin dibutuhkan oleh satrad maupun sebaliknya. komunikasi diluar militer ini disebut dengan MCC (military coordination center). Apabila satuan radar sipil menangkap adanya obyek udara yang tak dikenal maka, ia dapat berkoordinasi dengan satuan radar militer terdekat dengan wilayah udaranya, dengan menukar data informasi dari obyek udara yang ingin diketahui.
Sebagai radar dengan instalasi permanen, kini Satrad yang mengoperasikan AWS-2 sudah dilengkapi lift pada unit antena dan transmitter untuk mempermudah operasional, khususnya dalam perbaikan dan pemeliharaan radar. (Dirangkum dari beberapa sumber)