Marsekal (Pur) Chappy Hakim dengan bukunya (Antara/ Dhoni Setiawan)
Mantan Kepala Staf TNI Angkatan Udara Marsekal TNI (purn) Chappy Hakim mendesak pemangku kebijakan untuk mengambil alih Flight Information Region (FIR) dari Singapura. Sebab, selama ini, manajemen udara Indonesia sepenuhnya dikelola otoritas Singapura.
"Rebut FIR yang dipegang Singapura. Ini bukan soal personel, SDM kita mampu dalam mengatur lalin udara. Ini bukan soal biaya, kita punya," ujar Chappy dihadapan Megawati dan beberapa politikus yang menghadiri peluncuran buku 'Tanah Air dan Udaraku Indonesia' di Jalan Matraman Raya, Rabu 29 Juli 2015.
Dengan kondisi itu, KSAU di era Presiden Megawati itu tak heran dengan maraknya pesawat lepas landas dan mendarat di Indonesia. Menurutnya, hal tersebut terjadi, karena diarahkannya oleh Singapura sebagai negara yang memegang kendali FIR.
"Pesawat take off landing diarahkan ke Indonesia, itu ada fee-nya. Kenapa bukan ke Malaysia," ujarnya Chappy mengimbau agar pemerintah berani, seperti Perdana Menteri (PM) Rusia, Vladimir Putin, yang dengan tegas mengancam menutup poin perlintasan udara Siberia. Pemimpin negeri Beruang Madu itu memilih langkah tersebut, lantaran dituduh telah menembak jatuh pesawat Malaysia, MH17.
"Indonesia punya hak untuk menutup poin perlintasan udara. Itu bargaining position, seperti Rusia. Mereka dituduh tembak jatuh MH17, malah ngancam nutup poin di atas siberia. Dampaknya? Pesawat dari barat ke timur harus nambah 45 persen bahan bakar," tegasnya.
Izin ke Singapura
Pria yang kini menjadi pengamat penerbangan ini sangat prihatin dengan kendali FIR yang masih dipegang Singapura. Kisah ironi dituturkan Chappy, saat masih menjabat Letnan Dua (Letda) 1974 silam, di mana ia harus izin ke Singapura untuk menuju Tanjung Pinang, meski menerbangkan pesawat latih tempur TNI AU.
"Saya pernah terbang ke Tanjung Pinang, 1974, tetapi harus lapor ke Singapura. Itu dianggap biasa, saya di rumah sendiri kenapa harus izin ke tetangga," ujar Chappy.
Chappy menambahkan, saat itu, bahkan Menhub beralasan perizinan udara Indonesia ke Singapura untuk menjamin keselamatan. Namun, ia justru merasa tak nyaman, lantaran terkait dengan persoalan kedaulatan.
"Saya sedih, karena itu terkait kedaulatan," ujarnya. Prinsip menjaga perbatasan, lanjut Chappy, bukan menindak maling, melainkan mencegah, agar maling tidak masuk. Karena itu, sebagian wilayah yang menjadi penyebab perang, para prajurit militer harus memahami dan selalu menggelar latihan di kawasan perbatasan.
"Selat Malaka perbatasan, tetapi pengelolaan (udara) bukan di kita. Tentara itu perang, kalau tidak, latihan perang di wilayah yang rawan perang, di mana? Perbatasan! Tentara Korsel latihannya di perbatasan Korut," papar Chappy.
Viva.
"Rebut FIR yang dipegang Singapura. Ini bukan soal personel, SDM kita mampu dalam mengatur lalin udara. Ini bukan soal biaya, kita punya," ujar Chappy dihadapan Megawati dan beberapa politikus yang menghadiri peluncuran buku 'Tanah Air dan Udaraku Indonesia' di Jalan Matraman Raya, Rabu 29 Juli 2015.
Dengan kondisi itu, KSAU di era Presiden Megawati itu tak heran dengan maraknya pesawat lepas landas dan mendarat di Indonesia. Menurutnya, hal tersebut terjadi, karena diarahkannya oleh Singapura sebagai negara yang memegang kendali FIR.
"Pesawat take off landing diarahkan ke Indonesia, itu ada fee-nya. Kenapa bukan ke Malaysia," ujarnya Chappy mengimbau agar pemerintah berani, seperti Perdana Menteri (PM) Rusia, Vladimir Putin, yang dengan tegas mengancam menutup poin perlintasan udara Siberia. Pemimpin negeri Beruang Madu itu memilih langkah tersebut, lantaran dituduh telah menembak jatuh pesawat Malaysia, MH17.
"Indonesia punya hak untuk menutup poin perlintasan udara. Itu bargaining position, seperti Rusia. Mereka dituduh tembak jatuh MH17, malah ngancam nutup poin di atas siberia. Dampaknya? Pesawat dari barat ke timur harus nambah 45 persen bahan bakar," tegasnya.
Izin ke Singapura
Pria yang kini menjadi pengamat penerbangan ini sangat prihatin dengan kendali FIR yang masih dipegang Singapura. Kisah ironi dituturkan Chappy, saat masih menjabat Letnan Dua (Letda) 1974 silam, di mana ia harus izin ke Singapura untuk menuju Tanjung Pinang, meski menerbangkan pesawat latih tempur TNI AU.
"Saya pernah terbang ke Tanjung Pinang, 1974, tetapi harus lapor ke Singapura. Itu dianggap biasa, saya di rumah sendiri kenapa harus izin ke tetangga," ujar Chappy.
Chappy menambahkan, saat itu, bahkan Menhub beralasan perizinan udara Indonesia ke Singapura untuk menjamin keselamatan. Namun, ia justru merasa tak nyaman, lantaran terkait dengan persoalan kedaulatan.
"Saya sedih, karena itu terkait kedaulatan," ujarnya. Prinsip menjaga perbatasan, lanjut Chappy, bukan menindak maling, melainkan mencegah, agar maling tidak masuk. Karena itu, sebagian wilayah yang menjadi penyebab perang, para prajurit militer harus memahami dan selalu menggelar latihan di kawasan perbatasan.
"Selat Malaka perbatasan, tetapi pengelolaan (udara) bukan di kita. Tentara itu perang, kalau tidak, latihan perang di wilayah yang rawan perang, di mana? Perbatasan! Tentara Korsel latihannya di perbatasan Korut," papar Chappy.
Viva.