Sukhoi TNI AU lengkap dengan persenjataan (foto : tni-au.mil.id)
Pada umumnya konflik terjadi diantara dua negara atau lebih karena masalah perbatasan dan klaim wilayah. Perkembangan situasi di Laut China Selatan (LCS) menunjukkan kawasan ini berpotensi sebagai ajang konflik militer dimasa depan. Tiongkok telah mengeluarkan kebijakan di LCS yaitu Jalan Sutra Maritim abad ke-21 (21st Century Maritime Silk Route Economic Belt) atau Maritime Silk Road (MSR) pada tahun 2013. Kebijakan ini telah menimbulkan kekhawatiran beberapa negara di kawasan sekitar LCS khususnya Tiongkok mulai melakukan pengerahan kekuatan militernya.
Visi Tiongkok pada Jalan sutera maritim adalah pembangunan prasarana transportasi laut dari Tiongkok melintasi Asia Tenggara ke Asia Selatan, Timur Tengah, Eropa dan Afrika yang disponsorinya, dimana Tiongkok berkomitmen akan menyediakan dana hingga US $ 40 Milyar untuk pembangunan pelabuhan laut dalam (deep sea port) dilokasi-lokasi strategis di rute Jalan Sutra Maritim (JSM) Tiongkok.
Amerika Serikat sebagai negara dengan keunggulan intelijen (NSA) semakin unggul dan berkemampuan melakukan penyadapan di banyak negara-negara di dunia, nampaknya telah memonitor rencana kebijakan Tiongkok jauh hari sebelumnya. Dalam rangka mengantisipasi perkembangan situasi di LCS, pada tahun 2011 Presiden Barack Obama mengeluarkan kebijakan yang diberi nama Pivot to the Pacific dan kemudian dirivisi menjadi Rebalancing toward Asia. AS menarik kekuatan tempur dari kawasan Timur Tengan dan menggeser ke kawasan Indo Asia. Sementara Presiden Jokowi pada November 2014 mencanangkan kebijakan yang diberi nama Poros Maritim Dunia.
Stasiun NSA di Asia Tenggara (Sumber: themalaymailonline.com)
India dan Jepang juga mengeluarkan kebijakan kawasan Indo Asia. Oleh karena itu kawasan LCS kini menjadi perhatian penuh lima negara terkait kebijakan maritim. Hal jelas harus dihitung sebagai wilayah berpotensi konflik bagi masa depan bagi Indonesia, khususnya apabila Tiongkok terus meluaskan wilayahnya dan menyentuh Natuna. Ini konflik berat apabila memang terjadi.
Wilayah Ambalat merupakan wilayah potensi konflik kedua yang terus memanas dan harus dihitung dengan cermat oleh intelijen Indonesia (BIN dan Bais TNI). Sejak 1979 Malaysia sudah mengincar Ambalat. Malaysia memasukkan Pulau Sipadan dan Ligitan yang berada di perairan Ambalat sebagai titik pengukuran zona ekonomi eksklusif mereka, dalam peta itu, Ambalat pun diklaim milik Malaysia.
Indonesia tegas menyatakan Ambalat sebagai bagian dari wilayahnya sebab dari segi historis, Ambalat merupakan wilayah Kesultanan Bulungan di Kalimantan Timur yang jelas masuk Indonesia. Terlebih berdasarkan Konvensi Hukum Laut Perserikatan Bangsa-Bangsa yang telah diratifikasi RI dan tercantum pada Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1984, Ambalat diakui sebagai milik Indonesia.
Presiden Joko Widodo Bersama Panglima TNI dan Kapolri
Mantan Sekretaris Kabinet Andi Wijayanto di Istana Kepresidenan, Jakarta (18/6) menyampaikan, bahwa Presiden Jokowi juga menanggapi laporan soal Ambalat. Dikatakan oleh Andi, “Sudah ada yang disampaikan Presiden ke Menteri Luar Negeri. Kedaulatan dijaga, jangan dikompromikan,” katanya. “Jadi (instruksi Jokowi agar) bertindak tegas kepada pemerintah Malaysia terkait Ambalat,” ujar Andi menanggapi pelanggaran udara oleh pesawat militer Malaysia.
Sejak tahun 2005 Malaysia telah melakukan langkah keras, menangkap 17 nelayan Indonesia di Karang Unarang yang mereka anggap masih bagian negaranya. Angkatan Laut Malaysia kemudian mengejar nelayan Indonesia hingga keluar Ambalat. Aksi AL Malaysia dan AU Malaysia terus berlanjut tahun demi tahun yang dinilai TNI sebagai pelanggaran wilayah laut dan udara. Pelanggaran wilayah udara terutama paling menyolok dilakukan Malaysia, yang menurut Komandan Lanud Tarakan, Letkol PNB Tiopan Hutapea, dalam pantauan radar Kohanudnas, selama 2015 sudah puluhan kali pesawat Malaysia melanggar perbatasan RI.
Pengerahan Kekuatan Udara TNI AU Ke Perbatasan
Dalam beberapa tahun terakhir pesawat tempur utama TNI AU (Sukhoi Su-27/30) telah dikerahkan ke wilayah sengketa di kawasan Ambalat dibawah kodal (komando dan kendali) Kohanudnas (Komando Pertahanan Udara Nasional). Pada tahun 2015 ini Kohanudnas telah menggelar dua latihan Perkasa A dan B. Lat Perkasa A dilaksanakan pada bulan Juni 2015, dengan tujuan menguji personel Kosekhanudnas I dan jajaran dibawahnya guna meningkatkan kesiapsiagaan operasional unsur Hanud TNI, sehingga terwujud sistem pengamatan dan penangkalan yang handal terhadap setiap bentuk ancaman kekuatan udara lawan di wilayah udara yurisdiksi Nasional.
Unsur yang terlibat dalam Latihan Hanud Perkasa A/2015 ini meliputi Posek Hanudnas I, Lanud Halim Perdana Kusuma, serta beberapa satuan radar dibawahnya. Kohanudnas melibatkan kekuatan satu flight pesawat Sukhoi-27/30, pesawat EMB -314 Super Tucano, smart hunter Denhanud-471, Yon Arhanudse 6 Tj.Priok, Heli Colibri EC-120 B , pesawat B-737 200/400 serta satu kapal perang TNI AL, KRI SHN-366.
Radar TNI AU 3D Tercanggih (foto: militerhankam.com)
Pada bulan Agustus 2015, Kohanudnas melakukan Latihan Hanud Perkasa B/2015 dilaksanakan diwilayah Kosekhanudnas II. Menurut Pangkohanudnas Marsda TNI Hadian, latihan dilaksanakan dengan tujuan meningkatkan sistem pengamatan dan penangkalan yang handal terhadap setiap bentuk ancaman kekuatan udara asing di wilayah yurisdiksi Nasional dan meningkatkan kesiapsiagaan Kosekhanudnas II beserta unsur operasional jajarannya dalam menghadapi kontijensi di wilayah masing masing selain itu pula untuk meningkatkan sistem penangkalan serta penindakan di wilayah udara tanggung jawab Kosekhanudnas II.
Latihan ini melibatkan satu flight pesawat Tempur Sergap Sukhoi 27/30, Satuan Radar di jajaran Kosekhanudnas II, satu flight pesawat Hawk 109/209, Heli SAR NAS -332/SA-330E, Boeing 737 dan C-130 Skadron Udara 31, KRI Sultan Hasanudin 366 (TNI AL), Denrudal 002, Kodim dan Koramil 0908 Bontang serta Denhanud Paskhas.
Komparasi Pesawat Tempur Utama Indonesia-Malaysia
Pengerahan satu flight Sukhoi-27/30, pesawat tempur utama TNI AU di bawah Kodal Kohanudnas jelas merupakan langkah antisipatif serius Indonesia atas adanya pelanggaran wilayah di perbatasan, yang termonitor terutama dilakukan oleh Malaysia. Latihan Perkasa pertahanan udara tingkat Kohanudnas tegas ditujukan dalam rangka menghadapi ancaman nyata di wilayah tanggung jawab tiap Kosekhanudnas dan jajarannya daalam menghadapi kontijensi guna mewujudkan Sishanudnas yang handal.
Indonesia mengerahkan empat pesawat Sukhoi Su-27/30 ke Lanud Tarakan (Bandara Internasional Juwata). Sejak Minggu 9 Agustus 2015 pesawat unggulan TNI AU itu terus melakukan patroli udara, disamping siap siaga apabila mendapat perintah penyergapan.
Jajaran Pesawat Tempur TNI AU(foto: tni-au.mil.id)
Apakah kemudian persaingan antara pesawat tempur utama Indonesia dengan Malaysia menjadikan salah satu pihak unggul. Jawabannya berada pada seberapa tinggi kemampuan dukungan radar masing-masing negara. Pertempuran udara pada awalnya akan bersandar kepada seberapa luas cakupan radar masing-masing. TNI AU dalam dua tahun terakhir telah berhasil meng-cover wilayah yurisdiksi dengan radar di bawah kontrol Kosek (Komando Sektor) yang di monitor oleh Popunas.
Kohanudnas kini mampu memonitor setiap pesawat yang terbang di wilayah Indonesia, setelah penggelaran satuan radar mampu menutup wilayah tanah air. Terbukti pesawat-pesawat tempur Utama TNI AU beberapa kali mampu melakukan force down (memaksa mendarat) beberapa pesawat non reguler yang tanpa dilengkapi ijin (flight dan security clearance). Inilah salah satu keunggulan radar Kohanudnas.
Bagaimana dengan Malaysia? Malaysia juga memiliki sistem pertahanan udara yang cukup baik. Akan tetapi pada peristiwa hilangnya Malaysia Airlines MH-370, air defence radar Malaysia telah gagal mengidentifikasi dan meyakini bahwa MH370 yang saat itu sudah menjadi black flight, merubah arah penerbangan memotong Kotabahru (Malaysia). Inilah salah satu bukti radar Malaysia memiliki kelemahan/kerawanan dalam kodal. Pada prinsipnya setiap black flight harus ditanya, diifdentifikasi dan kemudian disergap, kalau perlu di-force down.
Nah, di wilayah Ambalat, kemampuan radar TNI AU jauh lebih mumpuni dibandingkan radar Malaysia (dari sisi penggelaran dan cakupan). Dari sisi komparasi alutsista tempur udara, komparasi pesawat tempur utama kedua negara dapat dikatakan saat ini berimbang. Indonesia mempunyai pesawat tempur Sukhoi Su-27 SK dan Su-30 MK2 (Rusia), sementara Malaysia juga memiliki pesawat sejenis Sukhoi Su-27SK2 serta Su-30 MKM (Rusia). Daya jelajah kedua jenis sama yaitu 3.530 km dengan kecepatan Mach 2,35. Deteksi BVR juga sama 140 km, jumlah hardpoint sama 10, AAM (Air ti Air Missile) sama Vympel R-73, R-27 dan R-77. Air to Service Missile juga sama Kh-29, Kh-31, Kh-35, KAB500 KR/L. Tipe radar juga sama menggunakan Phozotron N001 Zhuk. Harganya juga sama sekitar US$30 juta/pesawat.
Kemungkinan F/A-18 Super Hornet Pilihan Malaysia Pengganti MIG-29 (Foto: simflight.com)
Yang mungkin akan berbeda pada masa mendatang apabila masing-masing negara melakukan modernisasi. Malaysia rencana akan meremajakan pesawat tempur generasi empatnya (MIG-29) dengan beberapa alternatif pilihan ysitu Eurofighter Typhoon (US$129 juta), F-18E/F Super Hornet (US$67 juta) atau Dassault Rafale (US$90,5-124 juta). Jelas berbeda dengan Australia dan Singapura yang sudah memesan pesawat tempur generasi kelima (stealth/siluman/anti radar) F-35. Harga pesawat ini sangat mahal (antara US$154-238 juta/pesawat).
Apabila Malaysia sudah memodernisasi dengan salah satu jenis pesawat diatas, Indonesia hanya bisa mengimbangi dengan Sukhoi, sementara F-16 baik block 15 maupun 25 yang ada dan walaupun sudah di-upgrade sulit menandingi. Pesawat baru Malaysia tersebut memiliki jangkauan sensor radar yang lebih jauh, disamping dilengkapi rudal (peluru kendali) dengan daya jangkau yang lebih jauh. Sukhoi nampaknya perlu di-upgrade untuk mengimbangi radar AESA dari calon pesawat tempur utama Malaysia. Yang juga perlu dicermati, apabila pesawat modern itu dilengkapi dengan rudal MICA dan AMRAAM, ini perlu diimbangi.
TNI AU juga akan melakukan penggantian/modernisasi pesawat tempur F-5E Tiger II yang sudah habis masa pakainya. Salah satu alternatif dan yang menjadi kekhawatiran negara-negara tetangga apabila pengganti yang dipilih Indonesia adalah Sukhoi Su-35 (Rusia). Pesawat ini mempunyai daya jelajah 3.600 km dengan kecepatan Mach 2,25. Deteksi BVR 400 km, bandingkan BVR Su-27/30 hanya 140 km. Jumlah hardpoint 12, persenjataan sama dengan Su-27/30. Su-35 adalah pesawat tempur modern generasi 4.5 yang secara kasar diperkirakan memenuhi kriteria sebagai pesawat tempur strategis TNI AU.
TNI AU mendasarkan pemilihan kepada karakteristik umum pesawat, performance, persenjataan, dan avionics pesawat. Semuanya melalui analisa mendalam terkait dengan aspek operasi, tehnis dan non tehnis. Kemudian dilakukan perbandingan kemampuan pesawat yang menjadi kandidat pesawat tempur strategis. Semuanya calon diukur, apakah memenuhi kriteria penilaian yaitu, pesawat jenis multi role minimal generasi 4.5, mampu menjangkau sasaran strategis dengan radius of action jauh, baik sasaran permukaan dan bawah permukaan. Pengganti F-5E harus mampu melaksanakan misi pertempuran siang dan malam hari segala cuaca, memiliki radar modern dengan jangkauan jauh, mampu melaksanakan network centric warfare, perawatan mudah, peralatan avionic, navigasi dan komunikasi modern yang tersandi, peralatan perang elektronika pasif dan aktif serta memiliki kemampuan meluncurkan senjata konvensional, senjata pintar dan senjata pertempuran udara jarak sedang atau beyond visual range (BVR).
Su-35 dengan peluru kendali (foto:indomiliter.com)
Dari pengalaman latihan antara TNI AU dengan RAAF (Australia), Sukhoi TNI AU membuat kejutan dan mampu mendikte/mengatasi F-18E/F super hornet, sehingga pemerintah Australia kini lebih memilih F-35. Nah apabila Indonesia memilih Su-35, walau Malaysia memilih salah satu pesawat diantara tiga pilihannya, maka kemampuan pesawat tempur utama TNI AU akan tetap unggul. Terlebih di masa depan apabila keuangan memungkinkan TNI AU bisa memiliki pesawat termodern T-50 PAK FA. Dipastikan Malaysia serta negara-negara tetangga lainnya akan sangat khawatir dan tidak berdaya.
Sementara dapat disimpulkan bahwa pada saat ini kawasan Ambalat tetap menjadi wilayah berpotensi konflik dengan skala terbatas. Dengan coverage radar yang mampu menutup wilayah Indonesia, kita tidak perlu khawatir ada langkah-langkah nekat Malaysia. Tegas, langkah ini yang diperlukan oleh para pengemban amanah di Indonesia seperti ditegaskan oleh Presiden Jokowi. Malaysia iseng dan berani, karena masih yakin mendapat perlindungan dari negara-negara Inggris dan Australia serta New Zealand dalam FPDA. Ada yang mereka kurang sadari bahwa saat ini Malaysia sedang diserang oleh kekuatan semu dari negara tertentu, tetapi nyata yaitu proxy war. Coba diperiksa, kini perekonomian Malaysia lebih buruk dan berada dibawah Indonesia. Itulah tetangga kita yang disebut serumpun tetapi ulahnya minta ampun.