Dengan latar kerinduan menggebu pada kejayaan militer Indonesia di
dekade 60-an, di mana saat itu Indonesia tak terbantahkan menyandang
sebagai negara dengan militer terkuat di belahan Asia Selatan, membuat
banyak kalangan di Tanah Air bekalangan eforia pada peralatan militer
buatan Eropa Timur, khususnya asal Rusia. Segala yang ‘berbau’ Rusia
begitu diagungkan. Tidak ada yang keliru dengan perspektif tersebut,
pasalnya memang banyak produk alutsista besutan Rusia yang memang
mumpuni, bandel dan mampu memberi efek getar.
Alutsista asal Rusia yang terkini dalam etalase TNI seperti tank amfibi lawas PT-76, BTR-50, dan yang terbaru IFV (Infantry Fighting Vehicle) BMP-3F kepunyaan
Korps Marinir TNI AL. Di matra udara ada armada Sukhoi Su-27/Su-30
Flanker. Sementara untuk mengisi kebutuhan siluman bawah laut, sejak
beberapa tahun lalu sudah digadang Kilo Class, kapal selam diesel listrik konvensional rancangan Tsentralnoye Konstruktorskoye Byuro (Central Design Bureau) Rubin. Ada lagi berita paling hangat yakni sosok pesawat tempur pengganti F-5 E/F Tiger II yang segera masuk masa pensiun, animo publik dari beragam forum menyerukan agar pemerintah membeli Su-35.
Lepas dari soal kualitas alat tempur yang ditawarkan Rusia, terasa
ada aroma dan argumen yang unik dari publik terkait kualitas alat perang
Rusia. Karena di dorong semangat dan kerinduaan saat Indonesia di bawah
sokongan alat perang Rusia, plus berkembangnya sentimen anti AS dan
negara-negara Eropa Barat yang kebanyakan anggota NATO, sontak
memunculkan dukungan “yang penting buatan Rusia pasti lebih hebat, lebih
canggih dan bisa memberi efek deteren maksimal bagi Indonesia.”
Dalam tulisan ini, kami tidak mengulas dan membandingkan spesifikasi
antara buatan AS/Barat dan Rusia. Ambil contoh parade rudal dari Rusia
yang dibeli TNI AU untuk jet Sukhoi, ada rudal R-73, Kh-29TE, Vympel R-27, dan Kh-31P.
Secara politis, rudal-rudal itu mampu memberi efek getar, termasuk jet
Sukhoi. Spesifikasi boleh mumpuni, harga jual juga bisa bersaing, tapi
ada yang minus, kebanyakan alutsista yang ditawarkan Rusia belum battle proven,
alias minim di uji cobakan dalam operasi militer. Di luar itu, masih
banyak pertimbangan terkait biaya operasional, biaya perawatan yang juga
belum tentu sebanding dengan ‘pencitraan’ dari senjata yang
ditampilkan. Terlebih lagi, bagaimana dengan ToT (Transfer of Technolgy) dalam pengadaan alutsista, mengingat pemerintah mewajibkan adanya ToT untuk tiap pembelian alutsista dari luar negeri.
Setelah melewat polemik dan tarik ulur yang lumayan panjang, akhirnya Kementerian Pertahanan (Kemhan) RI memutuskan untuk membeli tiga unit kapal selam dari Korea Selatan
Kilo Clas Terbentur Harga dan ToT
Setelah melewat polemik dan tarik ulur yang lumayan panjang, akhirnya Kementerian Pertahanan (Kemhan) RI memutuskan untuk membeli tiga unit kapal selam dari Korea Selatan (Korsel) daripada membeli dari Rusia. Alasan utama yang diungkap terkait harga dan urusan alih teknologi (ToT).
Setelah melewat polemik dan tarik ulur yang lumayan panjang, akhirnya Kementerian Pertahanan (Kemhan) RI memutuskan untuk membeli tiga unit kapal selam dari Korea Selatan (Korsel) daripada membeli dari Rusia. Alasan utama yang diungkap terkait harga dan urusan alih teknologi (ToT).
Rusia memang menawarkan kredit negara sebesar 1 miliar dolar AS atau
sekitar Rp 90 triliun. Hingga kini, Indonesia baru menggunakan kredit
tersebut sekitar 200 juta dolar AS untuk pembelian jet Sukhoi dan
alutsista pendukung lainnya. Adapun 700 juta dolar AS lebih itu, kata
dia, diarahkan pemerintah Rusia untuk dimanfaatkan Indonesia agar
membeli dua unit kapal selam dari mereka. Namun lantaran harga tender
yang ditawarkan Rusia tidak sesuai kebutuhan TNI AL, maka pemerintah
tidak memanfaatkan sisa kredit tersebut. Sementara Korsel dalam tender
menawarkan kontraknya sekitar 1,1 miliar dolar AS untuk tiga unit kapal
selam.
Akhirnya di dapat kesepakatan Kemenhan untuk membeli kapal selam
Changbogo Class buatan Daewoo Shipbuilding and Marine Engineering
(DSME). Kapal selam bertenaga diesel itu masing-masing berbobot 1.400
ton dengan panjang 61,3 meter. Selain paket harga, pihak Korea Selatan
menawarkan paket ToT, dan itu salah satu keunggulan mengapa Indonesia
memilih Korsel. Dalam skema ToT, direncanakan 1 dari 3 unit Kapal Selam
tersebut akan di bangun di Indonesia, dan 2 unit lainnya di Korea
Selatan. Namun ketiga unit Kapal Selam ini baru akan datang di tahun
2016-2018 mendatang.
Melihat pihak Korsel yang mampu menawarkan ToT, pemerintah Rusia pun
tak tinggal dia, mereka juga menyatakan akan memberi iming-iming ToT,
tapi sayangnya belum ada penjelasan seperti apa pola ToT yang ditawarkan
Rusia. Maklum, selama ini Rusia agak ketat untuk urusan ToT, sebut saja
pembelian armada Sukhoi TNI AU yang juga tak menyertakan skema ToT.
Update berita terbaru, akhirnya Rusia menawarkan skema offset. Rusia
juga menyatakan kesiapannya pelaksanaan ToT untuk setiap alutsista TNI
yang dibeli dari Rusia, mengadakan joint production untuk berbagai suku
cadang alutsista TNI yang dibeli dari mereka serta mendirikanservice
center di Indonesia. Semua dengan catatan Indonesia membeli produksi
alutsista dari Rusia.
Kilo Class dan Persoalan Teknis
Ada pernyataan yang menarik dari mantan Dubes RI untuk Rusia, Hamid Awaludin dalam acara talk show “Apa Kabar Indonesia” di TVOne menjelang 5 Oktober 2013. Ia menyebutkan, proses pengadaan kapal selam dari Rusia mengalami beberapa tantangan, seperti TNI AL harus menyiapkan fasilitas dermaga kapal selam yang lebih besar, mengingat Kilo Class punya dimensi yang lebih besar ketimbang Type 209. Belum lagi penyiapan keperluan logistik dan pelatihan awak, yang kesemuanya mengakibatkan biaya membengkak. Lain halnya, dengan rencana kedatangan Changbogo Class dari Korea Selatan, dengan dimensi yang tak beda jauh dengan kapal selam TNI AL saat ini Type 209, maka TNI AL dipercaya tidak memerlukan modifikasi dan upgrade pada fasilitas pendukung.
Ada pernyataan yang menarik dari mantan Dubes RI untuk Rusia, Hamid Awaludin dalam acara talk show “Apa Kabar Indonesia” di TVOne menjelang 5 Oktober 2013. Ia menyebutkan, proses pengadaan kapal selam dari Rusia mengalami beberapa tantangan, seperti TNI AL harus menyiapkan fasilitas dermaga kapal selam yang lebih besar, mengingat Kilo Class punya dimensi yang lebih besar ketimbang Type 209. Belum lagi penyiapan keperluan logistik dan pelatihan awak, yang kesemuanya mengakibatkan biaya membengkak. Lain halnya, dengan rencana kedatangan Changbogo Class dari Korea Selatan, dengan dimensi yang tak beda jauh dengan kapal selam TNI AL saat ini Type 209, maka TNI AL dipercaya tidak memerlukan modifikasi dan upgrade pada fasilitas pendukung.
Kilo Class Bekas Pun Batal
Mungkin karena banyak desakan untuk bisa mendatangkan kapal selam Kilo Class, karena di targetkan TNI AL idealnya punya 12 unit kapal selam, maka tak dapat membeli yang baru, Kemenhan dan TNI AL pun mulai melirik tawaran Kilo Class second.
Mungkin karena banyak desakan untuk bisa mendatangkan kapal selam Kilo Class, karena di targetkan TNI AL idealnya punya 12 unit kapal selam, maka tak dapat membeli yang baru, Kemenhan dan TNI AL pun mulai melirik tawaran Kilo Class second.
“Kita sudah melihat ke Rusia. Ada dua kapal selam jenis Kilo Class
yang sudah dua tahun tidak digunakan Angkatan Laut Rusia,” kata mantan
KSAL Laksamana TNI Marsetio. Menurut Marsetio, dari luar, dua kapal
selam milik Rusia itu memang tampak bagus. Namun di dalam ternyata
banyak peralatan yang sudah rusak. Apalagi, dua kapal itu sudah dua
tahun dikandangkan. Ketika berada di Rusia, tim dari TNI AL juga melihat
kapal selam Kilo Class yang baru. Namun mahalnya harga yang ditawarkan
menjadikan rencana pembelian kapal selam jenis ini urung dilakukan. (Haryo Adjie)