Dengan julukan ‘kapal cepat,’ tak satupun dari pabrikan kapal di
dunia yang punya pegangan standar dalam hal ukuran dan bobot. Ada yang
meluncurkan hanya dalam bobot puluhan ton, ada pula yang beroperasi
sampai ratusan ton. Ukuran dan bobot tampaknya memang bukan masalah
penting. Yang terpenting justru faktor kecepatannya dalam melaju, maklum
namanya juga kapal cepat. Dalam hal kecepatan lah, citra atau pamor
sang kapal cepat ditentukan.
Di lingkungan TNI AL, kumpulan kapal-kapal cepat masuk dalam wadah
Satuan Kapal Cepat (Satkat), yakni Satkat Komando Armada Barat dan
Satkat Komando Armada Timur. Kapal-kapal Satkat punya tugas pokok
sebagai kapal pemukul (striking force) untuk menghancurkan atau
melumpuhkan kapal permukaan lawan. Selain itu, juga memiliki fungsi
sebagai pertahanan anti serangan udara, pengintaian dan pencarian
sasaran operasi serta melaksanakan peperangan elektronika. Oleh
karenanya, kapal ini didesain mempunyai karakteristik sebagai kapal
cepat dengan tingkat kemampuan respon dan manuver tinggi.
Khusus Satkat Koarmabar, dengan sebagian wilayah operasinya berupa perairan dangkal (shallow water),
semi tertutup dan terdiri dari banyak pulau-pulau serta selat-selat
kecil, memungkinkan untuk menerapkan strategi tempur laut dengan
menggunakan kemampuan daya pukul yang dengan cepat dapat menghindar
serta bersembunyi (hit and run). Itu sekilas gambaran eksistensi armada kapal cepat di lingkungan TNI AL saat ini.
Dilema di Performa Kecepatan
Sebagai kapal cepat yang mengemban misi memburu lawan, idealnya kapal
cepat dapat melesat sampai 40 knot (sekitar 72 km per jam), atau paling
tidak mampu diajak ngebut diatas 30 knot. Namun demikian, pada
kenyataan, armada kapal cepat sangat jarang dipacu maksimal kecuali
dalam keadaan khusus. Demi efisiensi bahan bakar dan mesin, kapal-kapal
ini biasanya dioperasikan dengan kecepatan jelajah sekitar 12-20 knot.
Singkat kata, kecepatan untuk laju kapal identik dengan konsumsi bahan
bakar yang ‘boros.’ Sebagain informasi, 1 knot sama dengan 1,85 km per
jam.
KRI Kujang 642 dan KRI Clurit, nampak dengan AK-630 pada haluan.
KRI Sampari dengan latar frigat Van Speijk.
Visual KCR 60 dengan meriam Bofors 57 mm.
Dengan performa kecepatan hingga 40 knot, banyak AL di dunia,
termasuk TNI AL, sudah merasa sreg untuk menempatkannya sebagai kekuatan
pemukul taktis. Dengan kecepatan antara 30 – 40 knot, si kapal cepat
sudah mampu mengejar korvet/frigat,
apalagi kapal-kapal penangkap ikan illegal, penyelundup dan perompak.
Selain bicara soal kecepatan, bekal senjata yang dibawa seperti meriam Bofors 57mm, Bofors 40mm, kanon PSU 20mm, torpedo,
dan rudal anti kapal, menjadikan sosok kapal cepat tak hanya unggul
dalam hal kegesitan, tapi juga efektif sebagai pemukul taktis yang
mematikan.
Dengan mengacu pada standar performa kapal cepat yang mampu melesat
diatas 30 knot, nyatanya menjadi dilema tersendiri di lingkup Satkat.
Pasalnya, dari beberapa tipe KCR (Kapal Cepat Rudal) dan KCT (Kapal
Cepat Torpedo), yang benar-benar punya kemampuan mesin dalam klasifikasi
kapal cepat hanya Mandau
Class. Ini merupakan KCR PSK (Patrol Ship Killer) atau dikenal
identitas PSSM (Patrol Ship Multi Mission). Sub varian yang diserahkan
ke Indonesia adalah PSSM Mark 5. Dalam penyebutan lainnya, KCR asal
Negeri Ginseng ini juga dikenal dengan sebutan Dagger Class. Mandau
Class terdiri dari KRI Mandau 621, KRI Rencong 622, KRI Badik 623, dan
KRI Keris 624.
KRI Mandau 621
KRI Badik 623
Dengan komposisi material lambung kapal yang terbuat dari bahan
alumunium, KCR Mandau Class sanggup ngebut hingga kecepatan maksimum 41
knot. Kecepatan yang terbilang super ini dapat dilalui berkat adopsi
kombinasi mesin turbin dan diesel. Mesin diesel digunakan saat kapal
melaju dengan kecepatan rendah, aktivasi mesin diesel turut mengehamat
konsumsi bahan bakar. Sementara mesin turbin diaktifkan saat kapal ingin
mencapai kecepatan maksimal, tentu dengan konsekuensi konsumsi bahan
bakar lebih boros. Mesin gas turbin memang lebih boros. Saat kapal
dengan dua propeller ini melaju pada kecepatan 20 knot maka bahan bakar
yang dibutuhkan adalah tiga ton per jam. Bila kecepatan ditingkatkan ke
angka 30 knot maka kebutuhan bahan bakar melonjak jadi empat ton per
jam. Saat mencapai kecepatan maksimal tercatat kapal butuh pasokan lima
ton bahan bakar per jam. Sementara dengan menggunakan mesin diesel, pada
kecepatan normal 12 knot, kapal cukup membutuhkan bahan bakar sebanyak
sembilan ton untuk kebutuhan berlayar selama sehari penuh.
Tapi sayangnya, usia Mandau Class yang di datangkan pada awal tahun
80-an sudah kian menua. Meski punya keunggulan dalam hal mesin, tapi
kemampuan sensor dan persenjataannya sudah ketinggalan jaman. Sebut saja
keberadaan meriam Bofors 57 mm MK1 dan rudal anti kapal MM38 Exocet.
Selain Mandau Class, susunan tipe kapal di armada Satkat TNI AL kini cukup beragam, mulai dari FPB-57 Nav I – Nav V, KCR40 Clurit Class, hingga KCR60 Sampari Class.
Sebagai kapal-kapal keluaran baru, bekal senjata dan sensor yang
ditanamkan jauh lebih sangar ketimbang Mandau Class. Seperti di FPB-57
Nav V ada meriam Bofors 57 MK2, torpedo SUT, dan rudal anti kapal C-802. Kemudian di Clurit Class dipasangi kanon CIWS AK-630 dan rudal anti kapal C-705.
Sementara di Sampiri Class, meski upgrade meriam-nya belum tuntas,
kapal ini mampu menggotong empat rudal anti kapal C-705. Baik Clurit
Class dan Sampiri Class mengadopsi desain anjungan streamline khas korvet SIGMA.
Meski unggul dalam banyak hal, FPB-57 Nav I – Nav V, KCR40 Clurit
Class, dan KCR60 Sampiri Class hanya mampu memacu kecepatan maksimum
antara 28 – 30 knot saja, lantaran kapal-kapal tersebut memang hanya
mengandalkan mesin diesel. Dengan kecepatan dibawah 30 knot, seharusnya
kapal-kapal tadi masuk di kelas kapal patroli (Satrol). Tapi karena
bekal senjatanya yang lethal, statusnya menjadi kapal cepat.
KDB Pejuang (kini KRI Badau), tampak masih dilengkapi rudal anti kapal MM-38 Exocet
Sebenarnya ada kapal cepat yang bermesin diesel dan mampu ngebut diatas 30 knot, yakni KRI Badau 841 dan KRI Salawaku 842.
Kedua kapal hibah dari Brunei ini sejatinya masuk dalam kelas KCR
Satkat, namun karena bekal rudal anti kapalnya sudah diangkat, statusnya
diturunkan sebagai kapal patroli. Dilihat dari spesifikasi mesin, KRI
Badau dan KRI Salawaku cukup perkasa, ditengai dua mesin diesel MTU 20V
538 TB91b 9000 bhp. Kecepatan maksimumnya yakni 32 knots (59 km/jam),
sementara kecepatan jelajahnya 14 knots dengan kapasitas bahan bakar
yang dapat dibawa adalah 16 ton.
Kejayaan Kapal Cepat di Era Soekarno
Menyabut persiapan operasi Trikora, di tahun 60-an TNI AL telah mengoperasikan kapal cepat. Yang paling fenomenal adalah KCT MTB (Motor Torpedo Boat) Jaguar Class buatan Jerman.
Seperti dalam misi penyusupan yang dilakukan KRI Matjan Kumbang 606,
KRI Harimau 607, dan KRI Matjan Tutul 602. Selain dibekali meriam Bofors 40mm/L70,
MTB besutan Jerman ini juga mampu melontarkan empat torpedo. Nah, KCT
MTB dengan dapur pacu 4 Mercedes-Benz MB 518 B diesel engines, mampu
melesatkan kapal hingga 42 knot (78 km per jam).
Kapal cepat kelas Komar yang digunakan oleh TNI AL, peninggalan operasi Trikora
Kapal Cepat Komar saat melepaskan rudal Styx
KRI Harimau 607.
Ada lagi Komar
Class buatan Uni Soviet, dengan 4 shaft M-50F diesels mampu mendorong
kapal hingga kecepatan 44 knot. Di masa lalu, TNI AL sempat memiliki 12
unit Komar Class. Kapal cepat ini pada masanya amat ditakuti di
kawasan Asia Tenggara, lantaran kapal ini mampu meluncurkan rudal anti
kapal Styx. Boleh dibilang, Komar Class TNI AL adalah KCR generasi pertama di Asia Tenggara. (Haryo Adjie)