Kita sebagai prajurit angkatan udara sangat familiar
dengan olah raga terjun payung, baik itu terjun olah raga maupun
militer. Untuk itu kita perlu mengenal lebih dekat dengan Marsdya TNI
Purn HM. Soedjono. Beliau adalah salah satu tokoh pelopor, perintis
terjun payung yang dimiliki TNI AU.
Awal ketertarikan ia ke dunia militer adalah pada saat
sekolah di AMS Yogyakarta. Ketika kelas tiga, pemuda Soedjono melamar
untuk masuk Vrijwilling Vliegers Corps (VVC) yang merupakan
suatu korps Penerbang Sukarela Belanda. Setelah diadakan berbagai tes,
akhirnya Soedjono terpilih diantara para pemuda yang lainnya untuk
mengikuti pendidikan. Soedjono bersama para calon siswa lainnya
berlatih terbang di sekolah tersebut setiap sore hari di daerah Sekip.
Pesawat yang digunakan adalah pesawat buatan Belanda dan pelatihnya
tentara Militaire Lucthvaart (ML) Belanda. Pemerintah Belanda
menyadari bahwa disaat mendekati Perang Dunia ke- II dibutuhkan banyak
tenaga penerbang yang akan diterjunkan ke berbagai front pertempuran.
Pada saat mendekati Perang Dunia ke- II, ia bersama para
pemuda lainnya dimiliterisasi untuk dijadikan tentara wajib militer. ia
bersama para siswa lainnya kemudian dibawa ke Tasikmalaya, lalu ke
Bandung, kemudian dari Jakarta diungsikan ke Australia melalui jalur
laut. Jadi sebelum tentara pendudukan Jepang masuk ke wilayah Hindia-
Belanda, pemuda Soedjono sudah berangkat terlebih dahulu ke Australia.
Setelah sampai di Australia rupanya timbul berbagai permasalahan baru
seperti keterbatasan instruktur penerbang untuk melatih calon-calon
penerbang, minimnya persediaan bahan bakar pesawat dan permasalahan
lainnya. Dari permasalahan yang ada pemerintah Belanda kemudian membuat
kebijakan yaitu para calon penerbang tersebut diberangkatkan ke
Amerika Serikat untuk berlatih terbang.
Dari Amerika Serikat , Soedjono kemudian dikembalikan lagi ke Australia untuk dilatih di Jungle Warfare Training Camp
di Queensland sebelum diberangkatkan ke front pertempuran di Biak.
Satu tahun di front pertempuran Biak, ia lalu mendapat istirahat di
kota Melbourne lalu ke Brisbane Australia. Sebelum berangkat lagi ke front
pertempuran, pada pertengahan bulan September 1945, ia mendengar berita
bahwa Proklamasi Kemerdekaan Indonesia telah dikumandangkan pada
tanggal 17 Agustus 1945. Untuk itu ia mencari informasi ke berbagai
sumber untuk mendapat keterangan mengenai kondisi terakhir di Indonesia.
Soedjono dengan berbagai cara, akhirnya tiba dengan
selamat di tanah air, pesawat yang ditumpangi mendarat dengan selamat di
Lapangan Udara Kemayoran pada tanggal 5 Oktober 1945. Tiba di tanah
air, Soedjono melihat masih banyak tentara Jepang yang berkeliaran.
Bersama Bapak Halim Perdanakusuma dan Bapak Roeslanoedanoeroesamsi
berusaha mencari kontak dengan para pemuda untuk bisa sampai ke kota
Yogyakarta. Pada saat tiba di Lapangan Udara Kemayoran, ia masih
mengenakan seragam Belanda, dengan memakai topi pet, membawa pistol
sehingga membuat orang-orang pribumi segan, malah cenderung takut untuk
didekati kalau ditanya informasi seputar keadaan di tanah air. Akhirnya
dengan pertolongan beberapa tokoh pejuang ia bisa berangkat ke
Yogyakarta melalui Stasiun Manggarai.
Sebelum berangkat ia dipesan oleh Dr. Kuswolodigo agar
jangan bertanya macam-macam karena tentara dan mata-mata Belanda ada
dimana-mana, di samping itu juga agar tidak menimbulkan kecurigaan pihak
Belanda tentang keberadaan mereka. Sesampainya di Yogyakarta, ia
menginap di rumah orang tua Bapak Roeslanoedanoeroesamsi yaitu Bapak
Brontodiningrat. Kemudian ia menghubungi orang-orang di KNI pusat dan
Polisi. Polisi datang ke tempat Soedjono menginap di rumah orang tua
Bapak Roeslan. Tindakan polisi selanjutnya bukan membantu apa yang
diminta Soedjono tetapi justru menahannya mungkin karena kesalah
pahaman. Setelah ditahan kemudian atas pertolongan temannya yang bernama
Umar Slamet ia dibebaskan.
Setelah itu pemuda Soedjono mulai memasuki kancah
revolusi dengan secara resmi masuk ke AURI tanggal 1 April 1946 dengan
mendapatkan Nomor Registrasi Prajurit (NRP) 461010. Mengawali karir di
AURI dengan pangkat Opsir Udara II menjabat Perwira Staf Khusus
merangkap perwira diperbantukan pada Komandan Pangkalan Udara Maguwo
dengan tugas khusus untuk mengatur pertahanan pangkalan dan disiplin
lainya, karena Komodor Muda Udara A.Adisutjipto yang ditunjuk untuk
menjabat sebagai Komandan Pangkalan, sibuk mendidik calon-calon
penerbang di Sekbang Maguwo.
Kegiatan lainnya yang dilakukannya adalah melatih para
pemuda untuk menjadi anggota Pasukan Pertahanan Pangkalan (PPP),
kemudian atas perintah Markas Tertinggi AURI melalui Komodor Muda Udara
Halim Perdanakusuma pada1947 membentuk pasukan payung pertama
(paratroop). Soedjono dengan semangat yang menyala-nyala melaksanakan
perintah yang telah diberikan oleh Markas Tertinggi AURI dengan senang
hati. Oleh karena ia belum pernah melaksanakan terjun, langkah pertama
yang dilakukan beliau adalah mendatangi orang-orang yang berpengalaman
dalam hal paracutis, di samping itu ia mempelajari sendiri teori-teori
terjun payung.
Secara kebetulan Soedjono mendapatkan payung-payung
bekas peninggalan Belanda yang sudah lama tidak terpakai di Pangkalan
Udara Maguwo. Soedjono sendiri secara kebetulan baru mendapatkan
informasi kalau ada pelipat payung zaman Belanda yaitu Legino, Amir
Hamzah, dan Pungut. Mereka itu telah melaksanakan latihan penerjunan
pertama kali tanggal 11 Februari 1946 di Pangkalan Udara Maguwo. Di
samping itu Soedjono bertemu dengan Opsir Muda Udara I Soekotjo yang
pernah bergabung dengan Angkatan Laut Belanda, melaksanakan penerjunan
dalam Operasi Perang Dunia ke- II. Soejono kemudian menghubungi
orang-orang tersebut untuk membantu memberikan teori dan praktek tentang
penerjunan. Opsir Muda Udara I Soekotjo dengan senang hati membagikan
pengetahuan dan pengalamannya pada Soedjono mengenai teori dan praktek
terjun payung meliputi teknik pendaratan klasik dengan koprol, juga
membagikan ilmu operasi pendaratan di daerah yang diduduki musuh seperti
menghilang bila sedang diikuti musuh disuatu kota dan lain sebagainya.
Soedjono bersama Opsir Muda Udara I Soekotjo mencoba
sendiri untuk melakukan latihan terjun payung dengan pesawat Cureng
bersayap ganda yang dikemudikan Komodor Muda Udara A.Adisutjipto dan
Kadet Udara I Gunadi. Pesawat Cureng sebetulnya tidak lazim digunakan
untuk terjun payung, karena pesawat tersebut merupakan pesawat latih
yang tidak memungkinkan seorang penerjun meloncat dari dalam pesawat.
Untuk itu ada teknik tersendiri untuk loncat dari pesawat, dimana
penerjun keluar dari dalam pesawat kemudian merayap ke sisi kiri atau
kanan pesawat untuk persiapan terjun. Setelah siap dengan posisi
jongkok di pinggir sayap pesawat kemudian merebahkan diri kebelakang
agar tidak tersangkut ekor pesawat.
Pelaksanaan latihan terjun yang dilakukan oleh Soedjono dan
Soekotjo disaksikan oleh sejumlah petinggi AURI diantaranya KSAU Komodor
Udara S Suryadarma, Perwira Operasi Komodor Muda Udara Halim
Perdanakusuma. Baru penerjunan ke dua Suryadarma meninggalkan tempat
latihan. Namun dari cerita yang didapat dari orang terdekat rupanya
Komodor Suryadarma tidak tega melihat kalau percobaan terjun yang
dilakukan oleh kedua orang tersebut mengalami kegagalan. Tuhan Maha
Besar penerjunan yang dilakukan oleh Soedjono dan Soekotjo berhasil
dilakukan dengan baik meskipun payung yang digunakan Soekotjo mengalami
robek setelah melakukan penerjunan. Atas perintah KSAU Suryadarma,
Soedjono juga mendapat tugas untuk melatih para pemuda yang akan
diterjunkan di Kalimantan di bawah pimpinan Mayor Tjilik Riwut pada
tanggal 17 Oktober 1947 dengan tugas untuk mendrop pasukan di belakang
garis depan musuh.