Selasa, 18 November 2014

Kohanudnas TNI sangat perlukan pesawat buru sergap

Kohanudnas TNI sangat perlukan pesawat buru sergap
Satu dari dua Sukhoi Su-30MKI yang menyergap pesawat terbang nomor registrasi VH terbang di belakang obyek pelanggar wilayah udara nasional itu. Su-30MKI itu dari Skuadron Udara 11 TNI AU yang berpangkalan di Pangkalan Udara Utama TNI AU Hasanuddin, Makassar, Sulawesi Selatan. (Dinas Penerangan TNI AU)

… penanganan pelanggaran ruang udara nasional mengandalkan pesawat tempur Sukhoi… “
Markas Komando Pertahanan Udara Nasional (Kohanudnas) TNI sangat memerlukan penambahan pesawat buru sergap lengkap dengan sistem persenjataannya untuk memastikan kedaulatan ruang udara nasional.
“Pangkalan TNI AU di Medan, Jakarta, Surabaya, Pontianak, dan Makassar perlu dilengkapi tiga pesawat buru sergap sehingga dapat cepat menangkap pelaku pelanggaran wilayah udara nasional,” tegas Panglima Komando Pertahanan Udara Nasional, Marsekal Muda TNI Hadiyan Sumintaatmadja, di Biak, Senin.
Dia ada di Biak untuk menyerahterimakan jabatan panglima Komando Sektor Pertahanan Udara Nasional IV, dari Marsekal Pertama TNI Asnam Muhidir kepada Kolonel Penerbang Fachri Adamy.
Sebagai komando utama pertahanan udara nasional, Komando Pertahanan Udara Nasional TNI tidak memiliki armada pesawat tempur sendiri. Pada masa Orde Lama, komando ini memiliki “satuan udara pantjar gas” sendiri, yang bisa langsung dikomando panglimanya setelah mendapat perintah dari panglima tertinggi TNI.
Setelah Orde Baru berkuasa hingga kini, yang memiliki jajaran pesawat tempur itu adalah Markas Besar TNI AU, yang terbagi ke dalam dua komando operasi, yaitu Komando Operasi Udara I TNI AU (wilayah barat) dan Komando Operasi Udara II TNI AU (wilayah timur).
Yang dimiliki “secara pribadi” Komando Pertahanan Udara Nasional TNI  adalah satuan-satuan radar, yang hingga saat ini berjumlah 20 satuan radar. 12 satuan radar dioperasikan di wilayah barat Indonesia dan delapan di wilayah timur.
Pada sisi lain, dia mengakui bahwa pengadaan pesawat tempur dan sistem arsenal aktif dan pasifnya memerlukan biaya negara yang tidak sedikit dan waktu cukup panjang untuk memproses hingga hadir di Tanah Air.
“Saat ini penanganan pelanggaran ruang udara nasional mengandalkan pesawat tempur Sukhoi. Ya jika jenis pesawat buru sergap kita punya akan sangat membantu percepatan pengejaran pesawat asing melintas secara tidak berizin,” kata Sumintaatmadja.
Dari sisi biaya operasionalisasi, pengerahan Sukhoi Su-27/30MKI dari Skuadron Udara 11 yang berpangkalan di Pangkalan Udara Utama TNI AU Hasanuddin, Makassar, sangat tinggi.
Sekitar Rp400 juta diperlukan untuk menerbangkan satu unit Su-27/30MKI Flanker itu, sedangkan operasi pengejaran dan pemaksaan mendarat atau patroli udara selalu dilakukan dalam flight berkekuatan dua unit pesawat tempur. (www.antaranews.com)

HUT ke-69, Marinir Disebut Kesatuan Terbaik di TNI

HUT ke-69, Marinir Disebut Kesatuan Terbaik di TNI
Prajurit Korps Marinir TNI AL. ANTARA/Eric Ireng

Marinir adalah kesatuan tentara terbaik di negeri ini. Kepala Staf TNI Angkatan Laut Laksamana Marsetio menyebut itu dalam upacara parade dan defile hari ulang tahun Korps Marinir ke-69 di Lapangan Tembak Marinir F.X. Soepramono, Karang Pilang, Surabaya, Jawa Timur, Senin, 17 November 2014. “Kalian adalah kesatuan terbaik, tapi itu jangan sampai membuat tinggi hati dan lupa diri,” kata Marsetio dalam pesannya.
Marsetio juga mengingatkan peran Marinir yang semakin dibutuhkan terkait dengan kebijakan pemerintah menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia. Perihal itu pula dijanjikan penambahan alat-alat utama sistem persenjataan, seperti tank amfibi.
Upacara parade dan defile diwarnai unjuk berbagai kemampuan Korps Marinir. Dimulai dari kemampuan intelijen yang ditunjukkan oleh tujuh prajurit. Tujuh tentara itu muncul tiba-tiba dari dalam tanah (bunker) di hadapan lokasi berdiri Marsetio sebagai inspektur upacara.
Satu di antara prajurit itu membawa dan menyerahkan sketsa lukisan wajah Marsetio. Lukisan diklaim dibuat lewat pengamatan terhadap Marsetio di podium selama 12 menit. “Ini adalah kemampuan bertahan di tempat tak terduga untuk menyergap musuh,” kata narator.
Upacara juga dimeriahkan dengan unjuk kemampuan Marinir dengan tank-tank BMP 3F dan pasukan infanteri Marinir menembakkan peluru-pelurunya ke sasaran yang sudah dibuat. Seperti saat perayaan HUT TNI bulan lalu, upacara diakhiri dengan defile alutsista Korps Marinir. (www.tempo.co)

Kedaulatan Udara, Kepentingan Bangsa

 
http://assets.kompas.com/data/photo/2014/11/15/09512641-00-banjir2119780x390.JPG

Aktivitas di ruang Pusat Operasi Pertahanan Udara Nasional (Popunas), Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur, Selasa (28/10/2014), berjalan rutin. Layar di tembok utama memaparkan peta digital Indonesia, disertai angka-angka bergerak. Setiap angka mewakili sebuah pesawat. Popunas tak lain ruang utama di Komando Pertahanan Udara Nasional, yang bisa diibaratkan war room.
Pagi itu, Panglima Komando Pertahanan Udara Nasional (Pangkohanudnas) Marsekal Muda Hadiyan Sumintaatmadja dan Komandan Diklat TNI Mayjen (Mar) I Wayan Mendra memantau hari pertama latihan Tutuka Ke-38.
Tiba-tiba, pukul 08.22, ada laporan dari Komando Sektor Hanudnas (Kosekhanudnas) I di Halim Perdanakusuma, berdasarkan pantauan Satuan Radar 213 Tanjung Pinang dan radar sipil Tanjung Pinang, terkait pesawat asing yang masuk wilayah udara RI. Kosekhanudnas menyatakan, pesawat tipe Beechcraft King Air tanpa izin melintas (flight clearance). ”Latihan berhenti. Kita ubah ke rencana jingga,” kata Hadiyan.
Dua dari empat pesawat Sukhoi di Batam segera lepas landas. Namun, mereka kehilangan pesawat dari Singapura yang akan menuju Sibu, Malaysia, itu. Pukul 11.37, pesawat ini muncul lagi. Segera dua pesawat Sukhoi mengudara dan mencegat serta memaksa pesawat baling-baling ini mendarat.
Tepat pukul 13.30, Beercharft VH PK Singapura itu mendarat. Puluhan prajurit TNI AU bersenjata lengkap menghampiri pesawat. Dua siswa terbang, yaitu Xiang Bohong dan Zheng Cheng, serta instruktur Tan Chin Kian keluar perlahan dari pesawat.
Ketiganya tidak terlihat gentar dan sempat tersenyum saat digelandang ke ruang pemeriksaan. Saat petugas TNI AU meminta Kian mengambil berkas, ia bahkan menentang. Ia berkukuh terbang di area Malaysia dan sudah mendapat izin dari otoritas Malaysia. Namun, akhirnya ia mengaku salah dan ingin membayar denda Rp 60 juta dengan kartu kredit. Keesokan harinya, Kian dan kedua muridnya dibebaskan setelah membayar denda dan mengurus surat-surat.

Lima insiden
Tahun ini, total sudah ada lima insiden pendaratan paksa, dua lainnya di Medan dan Nusa Tenggara Timur (NTT). Kasus di Pangkalan TNI AU Supadio, Pontianak, adalah satu dari tiga insiden pendaratan paksa dalam sebulan terakhir. Kasus lain adalah pesawat baling-baling Australia BE 95 dari Darwin (Australia) ke Cebu (Filipina) yang mendarat paksa di Manado, 22 Oktober. Kasus satu lagi adalah pesawat pribadi bermesin jet Gulfstream IV berbendera Arab Saudi rute Singapura-Darwin yang mendarat paksa di Kupang, NTT, 3 November lalu, karena izin masuknya menggunakan pesawat untuk perjalanan haji Boeing 747.
Namun, jika ditelaah satu per satu, ada beberapa hal yang perlu disorot. Yang pertama soal pertahanan udara. Wilayah udara RI yang harus dijaga sangat luas, yaitu seluruh udara di atas laut dan daratan Indonesia sampai ke batas Zona Ekonomi Eksklusif 200 mil (370,4 kilometer) dari pantai.
Pengamat intelijen Susaningtyas Kertopati mengatakan, dari segi kedaulatan, udara adalah benteng pertama negara. Semua kekuatan asing masuk lewat udara dulu. Dan, ruang udara kerap dianggap rentan. Salah satu adalah tragedi 9/11 di Amerika Serikat. Perkembangan teknologi juga membuat udara menjadi medium penting dalam kehidupan warganya.
Marsekal Madya (Purn) Eris Herryanto yang pernah menjadi Panglima Kohanudnas menyoroti pentingnya wilayah udara terkait dengan lalu lintas komunikasi yang menggunakan gelombang elektromagnetik. Seandainya gelombang elektromagnetik itu diganggu, terbayangkan betapa banyak hubungan dan transaksi elektronik yang juga bisa terganggu. Bahkan, senjata modern electromagnetic pulse (EMP) dengan daya tinggi bisa merusak alat elektronik dengan radius ratusan kilometer.
Faktor kedua terkait operasi intelijen. Susaningtyas mengungkapkan, ada informasi strategis yang bisa diambil dari udara, misalnya dengan jenis kamera bersensor tertentu yang membutuhkan informasi spesifik tentang sumber daya alam. Sementara Eris mengatakan, informasi intelijen itu bisa saja sebagai bentuk tabungan data sehingga jika kapan-kapan diperlukan sudah tersedia. Soal kamera ini rupanya dimiliki oleh kru BE 95 yang dipaksa mendarat di Manado. Dua pilotnya, Maclean dan Jacklin, merupakan pilot profesional yang seharusnya tahu syarat administrasi masuk wilayah Indonesia.
Ada juga satu insiden pada Desember 2013 yang luput dari perhatian publik. Pesawat bea dan cukai Australia karena alasan cuaca mendarat darurat di Bandara Halim Perdanakusuma tanpa izin. Karena tugasnya, pesawat ini dilengkapi alat pengamatan lengkap dan tidak mengizinkan petugas Indonesia masuk dan memeriksa isi pesawatnya.
Kemungkinan ketiga adalah mengetes kesiapan Indonesia menjaga wilayah udaranya. Ini bukan hal sederhana karena melibatkan beberapa instansi pemberi izin, seperti Kementerian Luar Negeri, Kementerian Perhubungan, dan TNI. Selain itu, dibutuhkan radar yang merupakan kerja sama radar militer dan sipil yang kian terkoordinasi.
Setelah itu, kemampuan Indonesia mencegat pesawat tanpa izin. Di sini, masalah menjadi semakin rumit karena jumlah pesawat buru sergap Indonesia harus diakui tidak cukup untuk menjaga kedaulatan wilayah udaranya. (Edna C Pattisina/Emanuel Edi Saputra)

Minggu, 16 November 2014

PT Dahana Siapkan Bom untuk Sukhoi

Bom P-100 PT Dahana untuk Sukhoi (photo: ARC.web.id)
Bom P-100 PT Dahana untuk Sukhoi (photo: ARC.web.id)

PT Dahana tengah memproduksi bom untuk melengkapi persenjataan pesawat tempur jenis Sukhoi milik Tentara Nasional Indonesia Angkatan Udara. “Untuk sementara, kami produksi 600 bom,” kata Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu saat ditemui Tempo di pabrik bahan peledak di Cibogo, Subang, Jawa Barat, Jumat, 14 November 2014.
Menurut dia, bom sebanyak itu diproduksi hanya untuk memenuhi kebutuhan latihan. “Kalau buat persiapan perang, ya, kurang. Kecuali ditujukan untuk memenuhi kebutuhan dua skuadron Sukhoi buatan Rusia,” ujarnya. Bom buatan Dahana memang belum dipersiapkan untuk kepentingan ekspor. “Kepentingan dalam negeri dulu, baru ekspor.”
Direktur Utama PT Dahana Ferry Sampurno mengatakan bom produksi perusahan pelat merah itu kini sudah masuk tahap uji coba. “Tes sedang dilakukan TNI AU di Lumajang,” ujar Ferry.
Menurut dia, uji coba selanjutnya dilakukan pada 15 Desember 2014 di Madiun dan Makassar, langsung di pesawat Sukhoi. Massa satu unit bom buatan para putra bangsa itu 40 kilogram TNT. “Daya ledak 400 gram bom ini bisa menghancurkan satu rumah tipe 45,” kata Ferry. 

(TEMPO.CO).

Riset Roket Kendali RKN 200 Indonesia

  ROKET RKN 200 INI PANJANGNYA  3.5 METER MERUPAKAN  JENIS ROKET KENDALI DAN  100 PERSEN PROTOTIPE HASIL KARYA LEMBAGA PENERBANGAN DAN ANTARIKSA NASIONAL LAPAN  DI MASA MENDATANG  ROKET INI AKAN DIGUNAKAN SEBAGAI RUDAL PENGENDALI PERSENJATAAN KEDIRGANTAARAN OLEH DEPARTEMEN PERTAHANAN RI  RKN 200 INI MERUPAKAN ROKET KENDALI KELAS MENENGAH YANG MEMILIK JARAH JELAJAH 12 KILOMETER
ROKET RKN 200 INI PANJANGNYA 3.5 METER MERUPAKAN JENIS ROKET KENDALI DAN 100 PERSEN PROTOTIPE HASIL KARYA LEMBAGA PENERBANGAN DAN ANTARIKSA NASIONAL LAPAN DI MASA MENDATANG ROKET INI AKAN DIGUNAKAN SEBAGAI RUDAL PENGENDALI PERSENJATAAN KEDIRGANTAARAN OLEH DEPARTEMEN PERTAHANAN RI
RKN 200 INI MERUPAKAN ROKET KENDALI KELAS MENENGAH YANG MEMILIK JARAH JELAJAH 12 KILOMETER
Bberbeda dengan roket balistik, jenis roket kendali dilengkapi “mata dan otak” di dalamnya, sehingga bisa diarahkan ke target lain. Mata pada roket kendali disebut seeker atau pencari target dengan teknologi infra merah. Sedangkan, otaknya atau controller berisikan program-program (on board computer). Sementara actuator berfungsi menggerakkan roket. Jeni roket ini dilengkapi pula beragam sensor sehingga dapat terbaca kondisi dan kerja roket saat itu.
Sistem kendali roket ada jenis otonomous atau sistem kontrolnya berdiri sendiri, sehingga saat diluncurkan roket sudah memiliki peta kerja sendiri. Atau, roket kendali yang masih perlu memerlukan bantuan perintah kerja dari darat.
Sistem kendali tersebut dapat dipasang di moncong roket (canard) yang bisa sangat responsif dengan berbagai bentuk yaitu delta, trapezium, atau square.Atau, dipasang di sirip belakang (tail control).
image
ROKET JENIS ROKET KENDALI DOUBLE STAGE INI BERBOBOT 130 KILO TERDIRI DUA BAGIAN HULU ROKET DAN BADAN PENGGERAK ROKET YANG MEMILIKI KELEBIHAN POSISION STEINER RUDAL PENCARI TARGET YANG DI KENDALIKAN DARI JARAK JAUH
Sedangkan, daya dorong di bagian ekor (sistem motor) dibagi dua bagian yaitu, buster dan sustainer. Buster berfungsi hanya untuk mendorong roket terbang sampai kecepatan tertentu, kemudian dilanjutkan sustainer untuk mempertahankan laju roket.
image
Sustainer roket menggunakan propelan dengan pembakarnya cigarette burning dengan daya bakarnya cukup lama, dan menghasilkan tenaga yang tidak terlampau besar. Keunggulan menggunakan sustainer, roket lebih mudah dikendalikan karena terbangnya tidak terlalu kencang, dan waktu terbangnya cukup lama.
Roket kendali dapat diluncurkan dari berbagai arah tergantung kebutuhan, diantaranya diluncurkan dari udara ke permukaan (air to surface), permukaan ke permukaan (surface to surface), atau dari udara ke darat (air to ground). Sedangkan, daya jangkau bisa jarak pendek (sort range), menengah (medium range), atau jauh (long range), dengan kisaran radius 5- 1000 km.
imageKelebihan roket kendali, tidak hanya untuk target tidak bergerak (point target atau area target), tapi juga diarahkan pada target bergerak, seperti pesawat tempur dan kapal musuh.
Sebelum diluncurkan, dilakukan serangkaian uji coba di darat. Dalam uji coba ini, simulasi dilakukan menggunakan software khusus. Parameter-parameter roket yang akan diluncurkan dimasukkan dalam komputer, termasuk sistem kontrolnya juga menggunakan software tersebut. Sehingga arah kendali roket akan terlihat dalam layar komputer.
Juga dilakukan uji terowongan angin dengan memasang roket di dalamnya. Kemudian sistem kontrol dinyalakan untuk melihat arah gerak roket, baik kendali sirip, perputaran hingga kestabilan konfigurasi sistem . Tentu saja, kecepatan angin yang dipasang harus mendekati kecepatan roket. (by: Telik Sandi).

Memperkuat Armada Kapal Selam

Keteledoran beberapa rezim pemerintahan terdahulu dalam urusan pertahanan khususnya armada bawah laut adalah sikap mencla mencle dalam pengadaan alutsista strategis kapal selam.  Sejak era reformasi yang berjalan 16 tahun baru pada rezim SBY diputuskan melakukan pengadaan kapal selam Changbogo dari Korsel yang merupakan teknologi fotocopy U-209 Jerman, kurang lebih sama dengan Cakra Class yang sudah dimiliki Indonesia.
Tidak ada rotan akar pun jadilah, setidaknya itulah ungkapan nyanyian untuk menyenangkan hati pada sebuah lagu berjudul “Changbogo”.  Daripada tidak ada, ya diterima saja yang ada meski dapatnya pada tikungan terakhir. Karena bungkusan pengadaan itu berlabel transfer teknologi, sebuah paham baru dalam setiap pengadaan alutsista berteknologi modern.
KRI Nanggala 402
Saat ini sedang didengungkan melalui gelombang FM siaran pemerintah bahwa negara ini resmi menganut paham “maritimiyah” dalam perjalanan sejarahnya lima tahun ke depan. Artinya akan memaksimalkan potensi kemaritiman termasuk menjaga kedaulatan, kebanggaan, naluri bahari dan keuntungan finansial yang ada di dalamnya.  Laut dan kekayaan yang ada didalamnya adalah milik bangsa Indonesia dan akan dieksploitasi semaksimal mungkin, termasuk dijaga sekuat mungkin.  Itulah tekad yang sudah didengungkan.
Ironi selama hayat dikandung badan negeri yang dua pertiga wilayahnya adalah perairan justru tidak pernah memaksimalkan potensi kelautan dan perikanan yang dimilikinya.  Berpuluh tahun hanya berorientasi pada “tanah tok” padahal jelas-jelas disebut “tanah air” Indonesia.  Sumber daya air, sumber daya kelautan, sumber daya perikanan dan sumber daya energi fosil di laut dibiarkan saja alias tidak dikelola dengan manajemen pemberdayaan.
Termasuk urusan pertahanan, yang diperkuat hanya matra darat sementara matra laut apalagi matra udara tak memiliki kekuatan pukul apalagi gebuk.  Lima tahun terakhir ini ada pergeseran perkuatan.  AL dan AU mulai diperkuat dengan mendatangkan berbagai alutsista berkualifikasi striking force.  Khusus untuk AL perkuatan armada tempurnya mengabaikan kekuatan alutsista bawah air. Mengapa demikian, karena 3 kapal selam buatan Korsel yang sedang dibangun itu belum mampu menggaharkan secara kualitas apalagi kuantitas.
Armada KRI, kapal selam harus mengawalnya
Ayo berhitung sederhana.  Jika seluruh program pengadaan kapal selam itu rampung tahun 2018 termasuk pembuatan 1 kapal selam di PT PAL, artinya kita memiliki 5 kapal selam termasuk 2 kapal selam tua Cakra dan Nanggala.  Tetapi banyak yang tak tahu ketika 3 kapal selam kelas Changbogo sudah operasional, 2 kapal selam Cakra Class mestinya sudah harus purna tugas.  Saat ini hanya KRI Nanggala saja yang bisa beroperasi penuh sementara saudara kembarnya KRI Cakra lebih banyak istirahat karena sering demam, termasuk demam panggung melihat kapal selam jenis lain yang dimiliki tetangga.
Sejarah telah membuktikan bahwa dengan kekuatan 12 kapal selam yang dimiliki Indonesia pada saat Trikora, merupakan faktor penggentar yang membuat Belanda harus cabut dari bumi Papua berdasarkan rekomendasi AS.  Soalnya pesawat mata-mata AS yang berpangkalan di Filipina waktu itu menangkap jelas kegiatan operasi kapal selam Indonesia di perairan Maluku.  Tetapi setelah itu kita seperti melupakan faktor penggentar yang mampu mewibawakan teritori laut NKRI itu. 
Tahun-tahun berikutnya satuan armada kapal selam seperti di bonsai bahkan sempat mati suri hanya dengan mengoperasikan KRI Pasopati di akhir tahun tujuh puluhan.  Mulai tahun delapan puluh sampai saat ini praktis kita hanya punya 2 kapal selam, ya sikembar itu Cakra dan Nanggala.  Bahu membahu mereka berdua menjalankan tugas rahasia dengan frekuensi tinggi.  Dua-duanya telah melaksanakan overhaul di Korsel, dua-duanya telah menjelajah lekuk-lekuk bawah air negeri ini tanpa pernah mengeluh. Kasihan banget si kembar itu yang memang harus “tabah sampai akhir”, sesuai motto korps Hiu Kencana.
Era presiden “maritim” Jokowi, kita sangat mengharapkan adanya revisi cara pandang, revisi cara lihat betapa kita harus punya alternatif lain untuk menambah kapal selam tanpa harus menunggu Changbogo selesai dibangun. Tegasnya ada perolehan percepatan pengadaan kapal selam dari jenis lain untuk memperbanyak kuantitas dan meninggikan kualitas armada kapal selam. 
Singapura sudah punya lima kapal selam dan pesan lagi 2 kapal selam teknologi Jerman terkini.  Padahal negerinya cuma seluas Batam.  Vietnam sudah punya 4 kapal selam Kilo dari Rusia, demikian juga Malaysia dengan 2 Scorpene.  Negeri-negeri itu punya kapal selam dengan teknologi dan persenjataan gahar sementara RI meski unggul dalam jumlah kapal perang atas air, armada kapal selamnya kalah kelas, jelas kalah kelas.  Itulah sebabnya memang harus “tabah sampai akhir”.
Harus ada penambahan minimal 4 kapal selam selain Changbogo.  Bisa saja dari Jerman atau Rusia, terserah pengambil kebijakan.  Kita butuh minimal 4 kapal selam selain Changbogo untuk menghadapi cuaca ekstrim yang diperkirakan akan terjadi di kawasan regional kita.  Tahun 2020 armada angkatan laut Cina sudah menjelma menjadi srigala.  Negara tetangga kita saja sudah bersiap dengan cuaca ekstrim dengan memperkuat armada kapal selam mereka.
Jangan sampai kita kembali “telat mikir” dengan membiarkan satuan kapal selam terlunta-lunta.  Sudah seharusnya kita menjadikan satuan kapal selam setara dengan kekuatan di era Trikora dan Dwikora.  Orientasi kemaritiman yang didengungkan dengan nada tinggi mestinya diimbangi dengan perkuatan armada laut khususnya satuan kapal selam. Bukankah ujung-ujung dari program kemaritiman itu adalah kewibawaan kedaulatan.  Komponen utama penjaga nilai itu adalah armada KRI dengan kekuatan bawah laut yang disegani.  Masih ada yang membantah ?
****
Jagvane

Analisis. 

Dikritik, Seragam Loreng Brimob

Kapolri Jenderal Sutarman
Kepolisian Negara RI menggunakan kembali seragam loreng pelopor untuk Korps Brigade Mobil Polri. Keputusan itu sesuai keputusan Kapolri Nomor Kep/748/IX/2014 tentang Penggunaan Pakaian Dinas Lapangan Loreng yang dikeluarkan pada 24 September.
Ajang perayaan Hari Ulang Tahun (HUT) Ke-69 Brimob, Jumat (14/11/2014), di Depok, Jawa Barat, menjadi peresmian penggunaan kembali seragam loreng itu. Pada perayaan itu, semua polisi dan anggota Brimob menggunakan seragam tersebut.
Loreng pelopor atau loreng ”darah mengering” berwarna dasar hijau dipadu loreng berwarna hitam, putih, dan kuning. Seragam itu pertama kali dipakai Brimob pada 1962 ketika ikut serta dalam Operasi Mandala. Memasuki era reformasi, seragam itu dilarang digunakan seiring kedudukan Polri yang berpisah dari Tentara Nasional Indonesia (TNI) sekaligus mengukuhkan Polri sebagai kekuatan sipil yang dipersenjatai.
Kepala Polri Jenderal (Pol) Sutarman mengatakan, penggunaan baju dinas lapangan bermotif loreng guna mempertahankan nilai-nilai historis perjuangan Brimob. Selain itu, dia menganggap seragam itu efektif dipakai di tempat-tempat tertentu berkadar gangguan keamanan dan ketertiban tinggi, seperti hutan dan pegunungan.
Keputusan itu hasil evaluasi Polri terhadap korban jiwa anggota Brimob dalam upaya memberantas terorisme di Poso, Sulawesi Tengah, Februari lalu. ”Untuk menghindari korban tambahan dari anggota Brimob, saya memberlakukan kembali penggunaan seragam loreng itu dalam tugas-tugas operasional,” ujar Sutarman seusai menghadiri perayaan HUT Brimob.
Sutarman menyatakan, keputusan penggunaan seragam itu diatur oleh Kepala Korps Brimob Irjen Robby Kaligis. Seragam tersebut akan digunakan dalam upacara dan penugasan khusus. Adapun untuk penugasan di kota, dia mengimbau anggota Brimob tetap berseragam resmi Polri.
Robby mengungkapkan, penggunaan seragam loreng merupakan hal wajar bagi polisi yang melaksanakan operasi khusus. Hal itu juga berlaku di negara lain, seperti Thailand, Filipina, dan Malaysia.
Penggunaan seragam loreng, lanjutnya, merupakan penunjang tugas Brimob. ”Jangan hanya dilihat seragam apa yang kami pakai, tetapi bagaimana dampaknya terhadap keberhasilan tugas kami. (Seragam) Ini hanyalah sarana agar tugas tercapai dan berjalan lebih baik,” kata Robby.
Membingungkan
Direktur Lingkar Madani untuk Indonesia Ray Rangkuti berpendapat, penggunaan seragam loreng akan menyebabkan kebingungan di masyarakat mengenai tugas Brimob dan TNI di lapangan. Kemiripan seragam itu, tambah Ray, akan menyulitkan masyarakat memahami tugas Brimob dalam aspek keamanan dan tugas TNI sebagai penjaga pertahanan.
”Penggunaan seragam loreng itu sebaiknya tidak dilanjutkan. Sebab, apabila Brimob melakukan aksi tercela dalam penugasan, pamor TNI yang langsung tercoreng di masyarakat. Masyarakat sudah mengidentifikasi loreng adalah TNI,” tutur Ray.
Keputusan Kapolri mengeluarkan keputusan tersebut, menurut Ray, keliru. Dia menyayangkan keputusan itu tidak diawali koordinasi dengan TNI yang berwenang dengan simbol terkait seragam loreng. Penggunaan motif loreng pada seragam Brimob harus diwaspadai karena berpotensi mengembalikan Brimob menjadi militeristik.
Kriminolog Universitas Indonesia, Bambang Widodo Umar, mengatakan, Brimob bagian dari Polri, institusi sipil. Oleh karena itu, simbol dan tindakannya tidak boleh militeristik. Alasan sejarah penggunaan loreng adalah romantisisme semata yang tak boleh ada di atas fungsi. ”Fungsi dan pendekatan Brimob bersifat yuridis, bukan seperti militer yang kalah-menang,” kata Bambang.
Ia menyayangkan simbol militeristik Brimob karena sudah tak sesuai doktrin Tri Brata. ”Bedanya polisi dengan tentara itu hukum normatif dan perang. Ya, ini jauh berbeda,” ucapnya.
Anggota Komisi Kepolisian Nasional, Adrianus Meliala, menilai penggunaan loreng ini ada di wilayah abu-abu. Ia mengatakan, jika dilihat dari satu sisi memang jadi seakan militeristik.
Namun, ia melihat sisi lain, yaitu terkait tugas Brimob. Selain huru-hara dan penjinakan bom, Brimob bertugas melawan teror. Berbeda dengan Densus 88 yang bertugas di kota-kota besar, Brimob juga bertugas di hutan dan desa. ”Loreng perlu untuk kamuflase,” katanya.
Oleh karena itu, Adrianus berpendapat agar penggunaan loreng itu bersifat terbatas, yaitu sesuai kebutuhan kamuflase. ”Kami akan evaluasi penggunaan dan dampaknya seperti apa. Misalnya untuk ke pasar atau operasi SAR, tidak boleh dengan loreng,” ujarnya

Sumber: Kompas