Pesawat
Tempur Sukhoi SU-30MKI Lengkap Dengan Persenjataan (Dispenau)
Pada minggu
terakhir Oktober hingga awal November 2014, pesawat-pesawat Sukhoi TNI AU
dibawah kendali Komando Pertahanan Udara Nasional telah unjuk gigi, dengan
melakukan penyergapan dan memaksa turun (force down) tiga pesawat yang masuk
dalam kategori penerbangan gelap (black flight) di wilayah Indonesia. Yang
dimaksud dengan black flight (Hanudnas menyebut Lasa-X), adalah penerbangan
yang melintas di wilayah Indonesia, bukan pesawat regular tetapi tidak
mempunyai ijin lintas terbang. Ijin yang dimaksud adalah seperti yang tertera
dalam UU Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan dan Keputusan Dirjen
Perhubungan Udara, dimana pesawat asing tanpa ijin yang melanggar wilayah
kedaulatan NKRI akan diusir atau dipaksa mendarat di bandara tertentu di
wilayah NKRI. Ijin yang dimaksud adalah filght clearance atau flight approval
dari Dirjen Perhubungan udara serta security clearance yang dirilis oleh Mabes
TNI.
Terkait
dengan Pertahanan Udara Nasional, Kohanudnas merupakan ujung tombak Kotama
Operasional TNI AU yang bertugas melaksanakan penegakan hukum di udara dan
mengatur seluruh potensi kekuatan udara bangsa Indonesia. Kohanudnas melakukan
monitoring seluruh penerbangan yang melintas di wilayah kedaulatan NKRI, dimana
sebagai pelaksana pertahanan udara dilaksanakan oleh Komando Sektor Hanudnas.
Dalam kaitan pengamanan wilayah udara menghadapi black flight, pesawat tempur
sergap TNI AU akan langsung dikendalikan oleh Panglima Kosek apabila diperlukan
untuk melakukan penyergapan. Tugas pokok Kosek Hanudnas (I s/d IV) adalah
menyelenggarakan dan mengendalikan operasi pertahanan udara di wilayahnya,
sesuai pembagian tanggung jawab geografis wilayah Hanudnas untuk mendukung
tugas Kohanudnas. Dalam melaksanakan tugasnya Kohanudnas didukung oleh Satuan
Radar TNI-AU yang ditempatkan di berbagai daerah, pesawat tempur TNI AU,
batalyon rudal Paskhasau, serta diperkuat oleh Detasemen Rudal TNI AD dan KRI
TNI AL yang mempunyai kemampuan hanud. Masa kini dengan telah lengkapnya
kemampuan radar yang mampu meng-cover seluruh wilayah tanah air, sulit bagi
sebuah pesawat asing yang akan terbang menyelundup tanpa diketahui oleh
Kohanudnas/Kosek Hanudnas. Selain itu Kohanudnas juga telah mampu
mengintegrasikan data dari radar-radar sipil di seluruh Indonesia.
Operasi Penyergapan dan Force Down
oleh Sukhoi 27/30 TNI AU
Rabu, 22 Oktober 2014, Force Down di
Menado
Kronologis
penyergapan pesawat sipil dari Australia. Pada pukul 07.41 WITA, Radar
Kohanudnas mendeteksi adanya Lasa-X di jalur udara A-461 berdasarkan route
chart. Sesuai dengan prosedur, Pengendali Operasi yang bekerjasama dengan MATSC
(Makassar Air Traffic Centre) mengendalikan dan memerintahkan obyek melalui
komunikasi radio agar pesawat tersebut membelok keluar dari wilayah udara
nasional. Akan tetapi peringatan tidak dituruti oleh pesawat yang beregistrasi
VH-RLS, dan tetap terbang dari Darwin meuju ke Ambon. Panglima Kosek Hanudnas
II, , Marsma TNI Tatang Harlyansyah, memerintahkan Pusat Komando Sektor
Pertahanan Udara Nasional II berkedudukan di Makassar menggelar operasi
penyergapan. Dua pesawat tempur Sukhoi Su-30MKI dari Skuadron Udara 11 (Thunder
Flight), diterbangkan dari Lanud Hasanudin dengan dipersenjatai peluru kendali
untuk melaksanakan operasi penyergapan. Menurut Kadispenum Mabesau, Kolonel Pnb
Agung Sasongkojati, "Pada pukul 09.02 WITA, Thunder Flight tinggal landas
menuju sasaran, dan pada pukul 10.38 WITA berhasil menyergap pesawat sasaran
pada posisi 150 mil laut, pada ketinggian 10.000 kaki dan kecepatan 170 knots
di sebelah selatan Manado," katanya. Black flight tersebut ternyata sebuah
Beechcraft C-55 Baron, kemudian oleh Sukhoi berhasil dipaksa mendarat (force
down) pada pukul 11.29 WITA di Pangkalan Udara TNI AU Sam Ratulangi, Manado.
Pesawat dengan registrasi VH-RLS dengan pilot Jacklin Greame Paul dan Mc Clean
Richard Wayne, yang berkebangsaan Australia itu mengudara dari Darwin dalam
perjalanan menuju ke Cebu City, Filipina. Setelah dilakukan pemeriksaan oleh
aparat Lanud Sam Ratulangi, penerbangan tidak dilengkapi dengan flight aproval
dan security clearance. Setelah dilakukan pengurusan surat-surat ijin lengkap,
pesawat sesuai aturan Dirjen Perhubungan Udara di denda Rp60 juta dan diijinkan
melanjutkan perjalanan.
forcedown
cesna singapura Sukhoi TNI AU saat Menyergap Cessna Singapura VH-PFK (Foto :
Dispenau)
Selasa, 28 Oktober 2014, Force Down
di Pontianak
Kronologis
penyergapan. Pada hari Selasa (28/10/2014), Popunas (Pusat Operasi pertahanan
udara nasional) menerima informasi dari Posek I Halim tentang adanya pesawat
yang dikendalikan oleh ATC Singapura terbang tanpa security clearance.
Penerbangan termonitor sekitar pukul 8.00 WIB, dimana jajaran radar
Kosekhanudnas I di kepulauan Riau mendeteksi adanya sebuah pesawat asing yang
melintas di wilayahIndonesia, berangkat bagian selatan Singapura menuju Sibu
Kinabalu, Malaysia.
Panglima
Kosekhanudnas I Marsma TNI Fahru Zaini Isnanto yang berada di Pusat Operasi
Sektor Hanudnas I di Lanud Halim Perdanakusuma Jakarta segera memerintahkan
para penerbang Sukhoi yang sedang mengikuti latihan pertahanan udara Tutuka
XXXVII tahun 2014 segera bersiap melakukan operasi hanud untuk menyergap
(Intercept) pesawat asing yang diketahui sebagai Lasa-x (karena tanpa ijin).
Setelah
positif pesawat tersebut diyakini hanya dilengkapi Flight Plan dari ATC
Singapura dan tidak dilengkapi ijin lintas (security clearance dan flight
aproval) untuk pesawat non-reguler dari pemerintah Indonesia, maka dua pesawat
Sukhoi 27/30 Flanker TNI AU (Klewang Flight) yang dilengkapi rudal udara-ke
udara R-73 Archer diterbangkan dari Bandara Hang Nadim Batam untuk mengejarnya.
Namun hingga jarak 200 Nm dari Batam posisi pesawat terbang asing tersebut
telah memasuki wilayah udara Malaysia, perintah penyergapan dibatalkan dan
Klewang Flight kembali ke Bandara Hang Nadim Batam.
Pada pukul
11.28 WIB, radar Kosekhanudnas I memonitor pesawat yang sama terpantau kembali
pada posisi di utara Pontianak dengan rute kembali menuju Seletar Singapura.
Pada pukul 11.43 WIB Pangkosekhanudnas I kembali memerintahkan unsur Sukhoi
klewang flight di Batam untuk melaksanakan “Scramble Take Off” untuk operasi
penyergapan. Pada pukul 12.23 WIB pesawat asing tersebut dapat ditemukan serta
diidentifikasi secara visual pada posisi sekitar 213 Nm dan radial 091° dari
Batam pada ketinggian 26.000 ft, kecepatan 250 Knots, pesawat sipil dengan dua
propeller tipe Beechraft -9L, registrasi VH-PFK di wilayah NKRI, di sebelah
selatan Kepulauan Natuna, Propinsi Kepulauan Riau.
Sumber
Dispenau menjelaskan, bahwa saat akan di force down ke Lanud Supadio Pontianak,
penerbang bersikeras menolak dengan alasan berada dalam frekuensi radio
Singapore Control, dan mereka bersikeras bahwa mereka tidak melanggar wilayah
udara nasional Indonesia , dan mereka terbang melewati jalur penerbangan
internasional dibawah ijin dan kendali ATC Singapura.
Melalui
frekwensi darurat penerbang Sukhoi menjelaskan bahwa meskipun berada di Wilayah
Informasi Penerbangan Singapura (Singapore FIR) dan sudah mengisi Flight Plan
di seletar namun mereka dan ATC Singapura harus mematuhi hukum dan aturan
penerbangan Indonesia yang harus melengkapi persyaratan ijin lintas berupa
flight aproval dan security clearance bagi pesawat non regular. Penerbang
VH-PFK dan ATC Singapura tidak bisa membantah fakta pelanggaran tersebut dan
mereka berhadapan dan beresiko tinggi melawan perintah dua pesawat tempur TNI
AU yang bersenjata lengkap di atas ruang udara kedaulatan Indonesia.
Pada
akhirnya pesawat Singapura tersebut mau bekerja sama untuk dan mendarat di
Lanud Supadio Pontianak dengan tetap dikawal dua Sukhoi. Air cover tetap
dilakukan kedua Flanker (SU-27 dan SU-30) tersebut dan setelah Beechcraft
mendarat, keduanya kembali ke Hang Nadiem Batam. Pesawat itu berisi tiga orang
crew dalam rangka training yang diidentifikasi bernama kapten Tan Chin Kian
(Instruktur, Singapura, lahir 13 Oktober 1950), Xiang Bohong (Trainee Chinese,
lahir 07 Mei 1989), dan Zheng Chen (Trainee, Chinese, lahir 01 Maret 1990).
Setelah dilakukan pengurusan surat ijin, pesawat dilepas dengan denda Rp60
juta.
Penyergapan
HZ-103 Saudi Oleh Sukhoi TNI AU (Sumber foto : Dispenau)
Senin, 3 November 2014, Force down
di Kupang
Pesawat
tempur Sukhoi 27/30 TNI AU kembali memaksa mendarat sebuah private jet Saudi
Arabian Airlines pada hari Senin tanggal 03 November 2014. Pesawat jet pribadi
jenis Gulfstream IV dengan no HZ-103 ini berangkat dari Singapura menuju Darwin
Australia sebelum menuju tujuan akhir Brisbane.
Kronologis
penyergapan (Menurut Kadispenau, Marsma TNI Hadi Tjahyanto, Selasa, 4 November
2014). Jajaran radar Kosek Hanudnas I Halim Perdanakusuma, Jakarta, telah
memonitor gerak-gerik Gulfstream IV dengan registrasi HZ-103 itu sejak
melintasi wilayah udara Kepulauan Riau dan memasuki Kalimantan yang masuk
kategori sebagai Lasa-X (tanpa ijin). Berdasarkan enroute chart (peta udara
internasional) adalah M-774 menuju Australia. Di atas Kota Palangkaraya,
Kalimantan Tengah, tanggung jawab pengawasan diambil alih Kosek Hanudnas II
Makasar untuk menindak lanjuti dengan operasi penindakan penyergapan.
Saat
dilakukan komunikasi oleh ATC Makassar untuk pengecekan flight clearance,
penerbang mencoba melakukan desepsi dan memberikan ijin palsu. Kadispenau
menjelaskan, "Pilot menyebutkan dia sudah memiliki ijin penerbangan dengan
nomor ijin 5042+AUNBLN+DAU3010+2014. Setelah diperiksa ulang, itu nomor ijin
melintas bagi pesawat pengangkut jemaah haji jenis Boeing B-747-400,"
katanya. Selanjutnya dijelaskan, "Makin mencurigakan setelah ditanya
berulang-ulang mengenai perijinan, dia menambah kecepatan, yang semula 0,75
Mach menjadi 0,85 Mach," kata Hadi.
Pengendali
Operasi pertahanan udara di Popunas Jakarta dan Posek II Makasar menilai
pesawat tersebut berniat kabur secepatnya keluar dari wilayah NKRI menuju
Australia. Komandan Skadron Udara 11 (Sukhoi) mendapat informasi dari Asops
Kosek II bhw ada laporan sasaran “black flight” dari Singapura menuju Darwin,
yang posisinya mendekati Banjarmasin. Skadron 11 menyiapkan dua Sukhoi SU-30
Flanker (Thunder Flight). Pangkosek Hanudnas II Marsma TNI Tatang Herlyansah di
Pusat Operasi Sektor (Posek) Hanudnas II di Makassar, dibawah komando penuh
Pangkohanudnas Marsda TNI Hadiyan Sumintaatmaja dari Pusat Operasi Pertahanan
Udara Nasional (Popunas) di Lanud Halim Perdanakusuma memerintahkan operasi
penyergapan. Dua Sukhoi-30 dengan penerbang Vincent / Wanda dan Tamboto/ Ali
melaksanakan Scramble dan take off (12.12 WIB).
Saat itu
posisi target 200 km di Selatan Makasar dengan kecepatan 0.80 Mach (864 kmpj)
dengan ketinggian 41 ribu kaki. Pesawat Gulfstream yang terbang pada ketinggian
41 ribu kaki nampaknya tahu jika dikejar dan meningkatkan kecepatan semula dari
kecepatan jelajah 0.74 Mach (700 kmpj) menjadi 0.85 Mach (920 kmpj). Namun
Sukhoi mengejar dengan kecepatan suara yaitu antara 1.3 – 1.55 Mach (1400- 1700
kmpj). Thunder Flight melaksanakan pengejaran sampai melewati Eltari, Kupang
dan berhasil meng-intercept, mendekati pesawat tersebut dan dapat melaksanakan
komunikasi dengan radio di sekitar jarak 85 Nm atau 150 km dari Kupang serta
sudah mendekati perbatasan wilayah udara Timor Leste.
Crew pesawat
Gulfstream IV tidak mempunyai pilihan lain saat diperintahkan dan diarahkan
oleh Thunder Flight menuju Lanud Eltari Kupang (Mengingat angkernya SU-30 TNI
AU tersebut yang dipersenjatai dengan rudal R-73 Archer yang canggih.) Pada
pukul 13.25 WIB pesawat Gulfstream IV Saudi Arabia tersebut landing di Lanud
Eltari menyusul pada pukul 13.32 WIB kedua pesawat Su-30 MK2 juga landing di
Lanud Eltari setelah melakukan air cover. Gemuruh suara mesin jet Sukhoi sempat
mengejutkan penduduk di Kupang.
Dalam
pemeriksaan unsur Lanud yang terdiri dari Intelijen Pengamanan dan petugas
Dishubud, didapat penjelasan, Captain Pilot Gulfstream IV, registrasi HZ-103,
adalah Waleed Abdulaziz M , setelah diperiksa tidak memiliki ijin lintas
wilayah NKRI. Pesawat tersebut diketahui terbang dari Singapura tujuan
Australia mengangkut tim pendahulu yang akan mempersiapkan kunjungan pangeran
Kerajaan Arab Saudi ke Australia.
On board
pada pesawat 13 orang (7 penumpang, 2 pilot, 2 kopilot, dan 2 pramugari).
Sebanyak 13 orang termasuk kru menjalani pemeriksaan. Mereka adalah captain
pilot, Waleed Abdul Aziz dan Abdullah Aziz Ibrahim; dua co pilot, Muhammed
Suliman dan Muhammed Saud; dua pramugari, Kaitouni Oulaya dan Safa; serta para
penumpang, yakni Muhammed Dhafir, Sami Amadh, Muhammed Abdulah, Hussin Ali,
Khalid Mushabbad, Atiah Ayed, dan Domino Domingo. Setelah diperiksa, pesawat
tidak membawa barang berbahaya.
Kepala
Penerangan Lanud El Tari, Kapten Sigit menjelaskan, "Pesawat dilepas
setelah Kedutaan Besar Arab Saudi di Jakarta melengkapi dokumen surat izin
terbang (flight clearance) di wilayah Indonesia, dan membayar denda Rp 60 juta
yang akan disetor ke kas negara," katanya. Senin malam hari yang sama,
pesawat tersebut diizinkan melanjutkan penerbangan ke Australia sekitar pukul
22.42 WITA.
Dispenau
merilis berita, Gulfsteram IV ini dilepas oleh otoritas penerbangan Singapura
tanpa diberi informasi tentang persyaratan Flight Clearance untuk melintasi
ruang udara Indonesia bagi pesawat tak terjadwal. Memang mereka membuat Flight
Plan di Singapura namun karena melewati ruang udara yang menjadi wilayah
jurisdiksi dan kedaulatan Indonesia, maka semua penerbangan tak terjadwal harus
memiliki ijin penerbangan khusus dari pemerintah RI.
Semua aturan
ini tidak saja berlaku bagi pesawat sipil namun berlaku juga bagi pesawat
militer negara lain seperti Singapore yang tidak boleh menggunakan wilayah
udara Indonesia sebagai tempat berlatih atau kegiatan lain, serta jika mereka
hendak melintas ruang udara Indonesia juga harus memiliki ijin lengkap dari
pemerintah Indonesia
Pengawasan Udara NKRI Semakin Ketat
dan Canggih
Tiga kasus
operasi penyergapan udara yang terjadi pada bulan Oktober-awal November adalah
merupakan sebagian kecil contoh bahwa kini Kohanudnas dengan kelengkapan radar
dan pesawat tempur yang semakin canggih telah mampu menunjukkan peran utama
dalam mempartahankan dan menjaga kedaulatan wilayah udara NKRI.
Operasi
penyergapan telah berulang kali dilakukan oleh pesawat-pesawat tempur TNI AU
sebelumnya dan beberapa di force down. Bahkan pernah terjadi kasus Bawean
antara pesawat tempur AS dari kapal induk dengan dua F-16. Kini TNI AU telah
dilengkapi dengan pesawat tempur canggih dari Flanker Family (Su-27 dan SU-30).
Sukhoi Su-27
(kode NATO: Flanker) adalah pesawat tempur yang awalnya diproduksi oleh Uni
Soviet, dan dirancang oleh Biro Desain Sukhoi. Pesawat ini direncanakan untuk
menjadi saingan utama generasi baru pesawat tempur Amerika Serikat (yaitu F-14
Tomcat, F-15 Eagle, F-16 Fighting Falcon, dan F/A-18 Hornet). Su-27 memiliki
jarak jangkau yang jauh, persenjataan yang berat, dan kelincahan yang tinggi.
Sukhoi TNI AU adalah Su-27 MKM sebanyak 10 buah di Skadron-11, dengan dislokasi
di Lanud Hasanudin, Makassar. Bentuk Su-27 dan Su-30 hampir mirip karena itu
hanya satu yang ditayangkan (perbedaan utama pada warna lorengnya, Su-27
Abu-abu, Su-30 Biru).
Sementara,
Sukhoi Su-30 (kode NATO: Flanker-C) adalah pesawat tempur yang dikembangkan
oleh Sukhoi Rusia pada tahun 1996. Pesawat ini adalah pesawat tempur
multi-peran, yang efektif dipakai sebagai pesawat serang darat. Pesawat ini
bisa dibandingan dengan F/A-18E/F Super Hornet and F-15E Strike Eagle Amerika
Serikat, (unggul dari Super Hornet saat latihan Pitch Black 2012). Pesawat ini
adalah pengembangan dari Su-27UB, dan memiliki beberapa varian. Seri Su-30K dan
Su-30MK telah sukses secara komersial. Varian-varian ini diproduksi oleh KNAAPO
dan Irkut, yang merupakan anak perusahaan dari grup Sukhoi. KNAAPO memproduksi
Su-30MKK dan Su-30MK2. Enam buah Su-30 MK2 kini memperkuat Skadron 11, Wing-5
Koopsau-II.
Pesawat
Sukhoi telah dilengkapi rudal udara ke udara dan rudal udara ke permukaan.Lini
rudal udara ke permukaan (Air to Surface Missile), yaitu Kh-31P dan Kh-29TE.
Sementara di lini rudal udara ke udara, TNI AU memboyong R-77 dan R-73. Rudal
R-77 buatan Rusia ini sanggup melesat dengan kecepatan 4 Mach hingga jarak 80
km. Sementara rudal R-73 (Kode NATO; AA-11 Archer), bisa disebut sebagai rudal
yang punya komparasi full dengan Sidewinder AIM-P2 dan AIM-P4.
Nah, kini
Kohanudnas telah mampu mengordinasikan jajaran dibawahnya (Kosek-I s/d IV)
beserta jajarannya, serta rentang kendali kodal dengan Koopsau yang membawahi
skadron-skadron tempur yang siap setiap saat untuk mempertahankan dan
mengamankan wilayah kedaulatan NKRI. Operasi dari tiga contoh penyergapan
diatas menunjukkan ketat serta rapihnya kodal antara unsur pimpinan Hanudnas,
Kosek, Radar militer dan sipil, Skadron Udara, penerbang tempur, ATC Bandara,
Pejabat di Pangkalan Udara (Lanud).
Penyergapan
Gulfstream Saudi Arabia menunjukkan walau walau ada black flight dengan
kecepatan hampit Mach-1, mereka tetap terkejar oleh Sukhoi dengan kecepatan
Mach 1,5. Dari semuanya ini, membuktikan bahwa alutsista modern telah mampu diawaki
oleh personil-personil TNI AU, dan kini manajemen operasi dan perang udara
telah semakin tertata.
Suatu hal
yang sangat positif dari pengoperasian pesawat tempur Sukhoi sebagai back bone
pertahanan udara, secara psikologis kini militer Indonesia (kekuatan udara)
oleh militer asing dinilai telah mampu memonitor dan bereaksi cepat terhadap
setiap penerbangan asing dalam rangka mempertahankan kedaulatan wilayah.
Negara-negara lain tidak akan bisa seenaknya mengacak-acak wilayah RI seperti
pada masa lalu.
Semoga hasil
dan bukti positif operasi penyergapan black flight tersebut semakin meyakinkan
pimpinan nasional, Presiden Jokowi untuk kembali melanjutkan penataan
modernisasi alutsista TNI. Kini TNI AU, Mabes TNI serta Kementerian Pertahanan
mempunyai pekerjaan rumah untuk memilih, menentukan serta melakukan penggantian
pesawat tempur F-5 Tiger yang harus sudah pensiun karena sudah tidak valid
sebagai alutsista pertahanan udara (pesawat tempur sergap). Mudah-mudahan dalam
renstra selanjutnya penggantian ini dapat di realisasikan. Semoga bermanfaat.
Oleh :
Marsda TNI (Pur) Prayitno Ramelan, Pengamat Intelijen
www.ramalanintelijen.net