Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) menggandeng satuan
kerja PT Riset Perkebunan Nusantara, yaitu Pusat Penelitian Karet
(Puslitkaret) dalam penggunaan karet Ethylene Propilene Diene Monomer
(EPDM) sebagai material insulasi termal pada motor roket berbahan bakar
padat. Kerja sama tersebut ditandai dengan penandatanganan nota kerja
sama (MoU) baru-baru ini.
Kepala Lapan Thomas Djamaluddin mengatakan, semua roket membutuhkan
peredam panas antara tempat pembakaran bahan bakar dengan tabung roket.
Jika tanpa itu roket bisa meledak kalau panasnya tidak diredam.
“Kita menjalin kerja sama dengan PT RPN melalui Puslit karet untuk
pengembangan bahan yang bisa dijadikan peredam,” katanya di Jakarta,
Senin (20/10). Thomas menambahkan, Lapan sejauh ini sudah mengembangkan
roket berdiameter 100 milimeter, 120, 320, dan yang akan datang lebih
besar lagi 450, 550 milimeter.
Menurutnya untuk roket kecil seperti 100 dan 120 milimeter teknik
yang saat ini digunakan sudah memadai. Namun, untuk roket yang lebih
besar membutuhkan suhu pembakaran mencapai 3.000 derajat celcius perlu
dibuat peredam panasnya. Kemudian dikembangkanlah material karet.
“Roket-roket Lapan berdiameter 100, 120 milimeter saat ini sudah
mulai dipakai untuk keperluan sipil, termasuk uji roket sonda yang
membawa muatan sensor penelitian atmosfer. Selain itu roket Lapan juga
dikembangkan konsorsium roket nasional untuk roket pertahanan,”
ungkapnya.
Untuk roket yang lebih besar, roket sonda mempunyai kemampuan yang
lebih tinggi. Kementerian Pertahanan menggunakannya untuk pertahanan.
Tetapi Lapan terbatas hanya mengembangkan roket sipil. Nantinya, tujuan
akhir dari roket sonda ini sebagai roket peluncur satelit.
Dalam kerja sama tersebut terungkap bahwa karet ternyata merupakan
bahan yang dapat digunakan dalam roket. Secara sederhana, insulasi
termal adalah material atau proses atau metode yang berguna untuk
mengurangi laju perpindahan panas. Wahana antariksa, termasuk roket,
memiliki banyak kebutuhan insulasi. Untuk dapat meluncur sempurna, roket
memerlukan suhu 3.000 derajat celcius.
Pembakaran dengan suhu tinggi seperti itu dapat berakibat fatal
apabila sistem isolasi termal tidak bekerja dengan baik. Oleh karena
itu, diperlukan material karet atau polimer yang mampu menghambat
penjalaran panas pada saat pembakaran.
Kerja sama ini nantinya meliputi bidang penelitian, pengembangan,
perekayasaan, dan pemanfaatan ilmu pengetahuan serta teknologi bahan
alam dan sintetik untuk kedirgantaraan serta pemanfaatan teknologi
dirgantara untuk bidang perkebunan.
Kenangan roket Indonesia masa lalu (jas merah)
sejarah Roket dan Rudal di Indonesia dimulai sejak RI membeli berbagai
Rudal SAM (Surface to Air Missile) dari Uni Soviet. Di Era Sukarno kita
membeli persenjataan banyak untuk mempersiapkan konftontrasi Dwikora
maupun Trikora.
Industri roket bukan hal baru bagi Indonesia. Teknologi pembuatan
roket di Indonesia sudah dirintis sejak tahun 1960-an. Indonesia bahkan
termasuk negara kedua di Asia dan Afrika, setelah Jepang, yang berhasil
meluncurkan roketnya sendiri.
Sebenarnya pembangunan teknologi Rudal di dalam negeri sudah mulai
dirintis. Namun sayangnya, Indonesia gagal melakukan alih-teknologi.
ABRI (nama lama TNI) beserta ITB (Institut Teknologi Bandung) mencoba
dan melakukan pengembangan lebih lanjut tapi karena keterbatasan dana
dan politik, maka riset terasa lamban malah seperti terhenti. namun
bangsa kita telah berhasil menciptakan prototye beberapa roket.
Sebenarnya masih banyak roket-roket besar bikinan AURI dan ITB,
diantaranya WIDYA, YOGA, dan lain-lain, namun perkembangannya terhenti,
setelah tahun 1965, AURI kena getahnya kasus G-30S.
Roket Kartika : roket pertama hasil alih teknologi pertama
Roket Kartika 1 adalah roket pertama Indonesia hasil kerjasama AURI
dan ITB pada tahun 1962 berdasarkan perintah Perdana Menteri Juanda yang
merupakan hasil “pendidikan dan kursus kilat teknologi dari uni sovyet
saat itu. Bayangkan, tahun 1960 an hanya beberapa negara di dunia yang
bisa bikin roket dengan keterbatasan teknologi saat itu.
Dari hasil “belajar privat “itulah Indonesia akhirnya berhasil
meluncurkan roket buatannya sendiri yang bernama Kartika 1 dengan berat
220 Kg dari stasiun peluncuran roket Pameungpeuk, Garut, Jawa Barat.
Setelah itu perkembangan roket dan rudal semakin semarak di
Indonesia, bahkan Indonesia kembali meluncurkan roket Kartika 2 dengan
berat 66,5 Kg dan berjarak tempuh 50 Km. Namun sayang, setelah orde lama
jatuh, diganti orde baru. Perubahan poros politik terjadi. Rusia
ditingalkan dan beralih ke barat. Untuk mencegah kemajuan roket
Indonesia saat itu, muncullah “pembonsaian” terhadap kemajuan roket
Indonesia.
Riset dan penelitian dihentikan atas desakan Amerika Serikat dan
Inggris. Akibatnya, teknologi rudal dan roket kurang berkembang di era
orde baru dan membuat Indonesia semakin jauh tertinggal dibandingkan
negara-negara lain, bukan hanya di Asia namun di dunia. Boleh dibilang
saat memasuki Orde Baru teknologi roket Indonesia seperti mayat hidup.
Pada saat itu LAPAN belum terbentuk. LAPAN dibentuk tanggal 27
November 1963, melalui Keppres Nomor 236 tahun 1963, namun dibatasin
hanya untuk riset dan pendidikan, bukan untuk militer.
Boleh dibilang pembuatan roket Kartika 1 pada masa itu itu asli
buatan AURI bersama ITB (bisa diliat logo segilima merah putih di
fin-roket). Setelah Kartika sukses, barulah LAPAN lahir dengan personel
dari AURI dan ITB yg masuk tim riset PRIMA (Proyek Roket Militer dan
Ilmiah Awal).
Saat ini Lapan sedang bergerak maju untuk mengejar ketertingalannya,
dimulai dengan langkah kecil setapak demi setapak akan menjadi pembuka
jalan kejayaan bangsa Indonesia seperti dekade 1960. (by: Telik Sandi, Biro Jabodetabek)
Sumber : LAPAN
Ensiklopedia TNI AU dasawarsa 1960