PALING CANGGIH: KRI Bung Tomo dalam
pelayaran menuju Armatim Surabaya setelah menyambut KRI John Lie dan KRI
Usman-Harun di Karimunjawa. (Guslan Gumilang/Jawa Pos)
Menandai perayaan HUT Ke-69 TNI pagi
ini (7/10), jajaran TNI-AL meluncurkan tiga kapal perang RI (KRI)
terbaru dan paling canggih. Yakni, KRI Bung Tomo, KRI John Lie, dan KRI
Usman-Harun. Wartawan Jawa Pos SURYO EKO PRASETYO dan GUSLAN GUMILANG mendapat kesempatan on board tiga hari di KRI Bung Tomo dalam pelayaran perdananya pekan lalu.
SEDIKITNYA 24 KRI baru memperkuat armada
TNI-AL selama sepuluh tahun terakhir. Di antara puluhan kapal perang
berbagai tipe dan ukuran itu, tiga kapal mutakhir jenis
multi-role light frigate (MRLF) diklaim KSAL Laksamana TNI Marsetio
paling canggih bila dibandingkan dengan kapal kombatan yang pernah
dioperasikan maupun yang dikoleksi matra laut Merah Putih hingga kini.
”Spesifikasi MRLF sebagai kapal perusak
kawal radar yang multiperan anti-kapal atas permukaan, anti peperangan
udara, dan anti-kapal selam,” terang Marsetio yang ditemui di sela-sela
acara geladi bersih HUT Ke-69 TNI di gedung Candrasa, Mako Armatim,
Surabaya, Sabtu (4/10).
Kapal MRLF sangat siap menghadapi siapa
pun di medan tempur. Serangan dari kapal lain, dari udara, hingga kapal
selam dapat dihadapi. Kapal itu dilengkapi maritime surveillance untuk mengamati posisi lawan-lawannya.
Kemampuan MRLF dinilai Marsetio melebihi empat KRI jenis SIGMA (ship integrated geometrical modularity approach)
produksi Belanda 2003. Empat SIGMA itu adalah KRI Sultan Hasanuddin,
KRI Diponegoro, KRI Iskandar Muda, dan KRI Frans Kaisiepo. SIGMA
merupakan kapal kelas terakhir sebelum kedatangan MRLF. Sebelum itu,
TNI-AL mengoperasikan kapal-kapal eks Jerman. Yakni, kelas parchim dan kelas Van Speijk.
Tiga MRLF baru tersebut diseberangkan
dari galangan Barrow in Furness, Inggris, dalam dua gelombang. KRI Bung
Tomo (TOM) pada awal Agustus 2014, disusul KRI John Lie (JOL) dan KRI
Usman-Harun (USH) pada awal September lalu. Untuk persiapan parade
persenjataan dalam puncak peringatan HUT Ke-69 TNI di Mako Armatim hari
ini, KRI TOM tiba lebih dahulu di pangkalan Armada RI Kawasan Timur
(Armatim) pada pertengahan September. KRI TOM perlu waktu tak lebih dari
1,5 bulan untuk melayar dari Inggris ke Surabaya.
Setelah tugas menyeberangkan tuntas,
Kolonel Laut (P) Yayan Sofiyan yang menjadi komandan pertama KRI
mendapat tugas menyambut kedatangan KRI JOL dan KRI USH. Pelayaran
penyambutan dikemas dalam latihan manuver di Kepulauan Karimunjawa, Jawa
Tengah. KRI TOM berlayar dari Armatim ke Karimunjawa dengan didampingi
kapal kelas Van Speijk, yakni KRI Slamet Riyadi (SRI), bertemu KRI JOL
dan KRI USH di perairan timur laut Karimunjawa.
KRI JOL dan USH –begitu masuk perairan
Indonesia dari seberang Pulau Rondo, Aceh– berlayar ke tenggara dan
timur dengan dikawal kapal lain kelas Van Speijk, KRI Oswald Siahaan.
Kedua MRLF itu akhirnya bertemu ”saudara”-nya, KRI TOM, di utara laut
Karimunjawa Minggu (29/9). Setelah itu, mereka menuju Mako Armatim di
Surabaya untuk mengikuti parade persenjataan dalam acara perayaan HUT
Ke-69 TNI hari ini.
Tiga kapal MRLF sempat berlatih menembak
sasaran Pulau Gundul yang tidak berpenghuni di perairan Karimunjawa.
Penembakan menggunakan meriam OTO-Melara 76 mm. Setelah itu, berlanjut
latihan berbagai manuver. Formasi pertama berupa baris satu per satu ke
belakang. Dilanjutkan berjajar ke samping, formasi panah, dan tombak.
’’Latihan ini menguji semua kemampuan
dengan kecepatan tinggi. Kami putar (berbalik 360 derajat) ke kiri,
kemudian putar ke kanan. Alhamdulillah tidak ada kendala berarti,’’
tegas Yayan.
Dia mengakui, MRLF secara persenjataan
paling lengkap daripada KRI kelas lain. Sebelum mengomandani KRI TOM,
Yayan malang melintang di berbagai kapal kombatan. Di antaranya, kelas
SIGMA KRI Frans Kaisiepo dan Van Speijk KRI Ahmad Yani. Persenjataan di
tiga MRLF itu didesain sama. Kapal-kapal tersebut berdimensi panjang 95
meter dengan lebar 12,7 meter dan tinggi 15,49 meter. Masing-masing
dilengkapi sedikitnya lima instalasi persenjataan.
Selain meriam standar OTO-Melara 76 mm,
kapal dilengkapi peluncur rudal Exocet MM40 dan senapan pertahanan DS
30B Remsig kaliber 30 mm. Dua senjata khas dari BAE Systems di MRLF itu
adalah peluncur misil udara MICA dan peluncur torpedo 324 mm.
’’Sistem teknologi peralatan di MRLF ter-computerized dan semua serbasensitif,’’ terang Yayan. Sensitivitas yang dimaksud berupa early warning system.
Teknologi tersebut menggabungkan
efektivitas biaya dengan standar aturan angkatan laut dunia. MRLF bisa
menjadi kapal siluman yang tak bisa dideteksi radar bagi kapal target.
Selain bertebaran closed circuit television (CCTV), sensor di MRLF sangat peka terhadap gangguan seperti asap.
Sistem pengendalian terintegrasi dari anjungan kapal maupun pusat informasi tempur (PIT) secara real time
dapat mendeteksi kerusakan. Misalnya, ada sedikit gangguan di sistem
mesin maupun peralatan pendukung, sensornya spontan menyala. Sistem
tersebut mampu menghasilkan tingkat keselamatan tinggi dengan getaran
minimal.
’’Saya bisa memantau semua itu langsung
dari ruangan komando ini. Pasukan khusus (di TNI-AL seperti Satuan
Pasukan Katak dan Batalyon Intai Amfibi Korps Marinir maupun Detasemen
Jala Mangkara) masuk kapal ini dari pintu mana pun pasti akan
ketahuan,’’ ulas alumnus AAL angkatan 38/1993 itu.
Lantaran segala sesuatunya dapat
dipantau dari ruang komando, dia bisa mengetahui segala gerak-gerik anak
buahnya maupun keberadaan orang asing di kapalnya.
Kapal-kapal tersebut diyakini lebih dari
layak menjaga perairan Indonesia. Laju jelajah MRLF bisa mencapai 31
knot (1 knot setara 1,8 kilometer per jam). Kecepatan itu tergolong
tinggi untuk kendaraan laut. Kecepatan kapal setara 55,8 kilometer per
jam. Hampir sama dengan kecepatan minimal mobil di jalan tol.
Jawa Pos yang mendapat izin
dari Panglima Armatim Laksda TNI Sri Mohamad Darojatim untuk mengikuti
latihan manuver KRI TOM turut merasakan tantangan yang tidak biasa
berada di dalam MRLF. Meski cuaca pagi hingga sore relatif cerah,
gelombang laut pada malam sempat membuat kapal terguncang agak keras.
Perut bisa terasa mual bagi yang tidak terbiasa menaiki kapal perang
berlayar.
”Kencangkan tali penambat helikopter dan
peralatan-peralatan sebelum latihan manuver.” Demikian bunyi perintah
Yayan kepada kru penerbang Pusat Penerbangan TNI-AL maupun kru kapal
yang tergabung dalam satgas KRI TOM. Peringatan perwira menengah senior
dengan tiga melati di pundak itu cukup beralasan. Sebab, ketika kapal
berputar 360 derajat, kemiringan kapal dilihat dari anjungan bisa
mencapai hampir 30 derajat.
Menurut bintara penerangan Dispen
Armatim Peltu Era Budi Suganjar, berada di dalam MRLF termasuk lebih
tenang daripada berlayar dengan SIGMA. ’’Saya merasakan naik KRI TOM ini
seperti di kapal kelas Van Speijk dan lebih smooth dibanding berada di dalam SIGMA,’’ jelas Ganjar.
Berdasar gambar dimensi MRLF, kapal
tersebut dilengkapi properti semacam sirip ikan di kanan kiri lunas yang
berfungsi sebagai penyeimbang.
Tantangan lainnya, para penumpang harus
siap menghadapi temperatur udara di dalam ruang kapal yang rata-rata 20
derajat Celsius. Suhu udara dalam kapal yang masih kinyis-kinyis
itu termasuk dingin. Ruang tidur di geladak X yang disiapkan untuk ABK
terasa lebih dingin daripada suhu di ruang lain. Meski begitu, penumpang
bisa menghangatkan tubuh di ruang dapur.
’’Saya tidak menyangka di sini lebih
dingin daripada pengalaman saya berlayar di KRI Sultan Hasanuddin,’’
komentar Ahmad Taufik, staf khusus Badan Intelijen Negara, yang turut
dalam tim dokumentasi satgas itu. (www.jawapos.com)