Peta Operasi Udara TNI AU yang pertama
|
Pernyataan Kemerdekaan Bangsa
Indonesia yang diproklamirkan tanggal 17 Agustus 1945 merupakan simbol
terlepasnya segala belenggu penjajahan yang telah lama dirasakan Bangsa
Indonesia, dan mempunyai arti sejak saat itu Bangsa Indonesia telah
mengambil sikap untuk menentukan nasib sendiri dalam segala aspek
kehidupan, serta menandakan lahirnya Negara Indonesia yang memiliki
kedaulatan dan kedudukan sama dengan negara-negara berdaulat lainya.
Akan tetapi, setelah proklamasi bukan berarti Indonesi
Perjuangan Bangsa Indonesia pasca
proklamasi dirasakan sangatlah berat, saat itu seluruh kekuatan angkatan
bersenjata Republik Indonesia masih sangat minim, baik dari segi jumlah
maupun tehnologinya. Kekuatan Angkatan Udara Republik Indonesia hanya
mengandalkan sisa-sisa peninggalan Jepang yang kondisinya sudah tidak
memungkinkan untuk dioperasionalkan. Sedangkan Pemerintah Belanda yang
belum rela dengan kemerdekaan Indonesia dan ingin berkuasa kembali di
Indonesia, sudah memiliki kekuatan udara yang besar dan tergolong
moderen, serta telah berpengalaman dalam kancah perang dunia.
Agresi Militer Belanda I
Kegagalan Perundingan Linggajati
antara Sekutu (Inggris), Belanda (NICA) dan Republik Indonesia,
merupakan pemicu terjadinya Agresi Militer Belanda yang pertama. Belanda
yang merasa dirinya lebih kuat, pada 21 Juli 1947 melaksanakan
agresinya dibeberapa wilayah republik Indonesia, baik di Jawa maupun
Sumatera. Tujuan agresi militer tersebut adalah untuk menduduki
seluruh Jawa Barat, kota-kota besar di Jawa seperti Semarang dan
Surabaya, serta daerah perkebunan dan minyak di Sumatera seperti Deli,
Palembang dan sekitarnya.
Dalam melaksanakan agresinya, Belanda
berusaha mengintimidasi dan memaksa kedudukan Indonesia makin mundur ke
pedalaman, serta menghancurkan potensi-potensi kekuatan udara Republik
Indonesia diberbagai daerah. Seluruh pangkalan udara Republik
Indonesia diserang secara serempak, mereka bergerak dengan mengandalkan
pesawat-pesawat tempur P-5 Mustang dan P-40 Kitty Hawk serta pesawat
pembom B-25/B-26. Penyerangan terhadap pangkalan-pangkalan udara
Republik Indonesia, yang saat itu masih dalam proses perintisan,
tentunya dimaksudkan untuk menghilangkan atau mengurangi kemampuan
Angkatan Udara Republik Indonesia, sehingga tidak mempunyai kesempatan
untuk mengadakan serangan udara terhadap Belanda. Demikian pula halnya
dengan Pangkalan Udara Maguwo Yogyakarta, tidak luput dari sasaran
serangan Belanda.
Serangan Belanda di Pangkalan Udara
Maguwo, dilaksanakan secara bergelombang. Serangan awal dilancarkan
pada pagi hari tanggal 21 Juli 1947, tetapi serangan awal ini mengalami
kegagalan, karena secara kebetulan cuaca di atas kota Yogyakarta
berkabut tebal sehingga Belanda tidak mampu melaksanakan serangan.
Kegagalan tersebut tidak mengurangi usaha Belanda untuk menghancurkan
Maguwo, karena pada siang harinya Belanda menyerang kembali. Selama 40
menit, empat buah pesawat pemburu Belanda menyerang dengan menjatuhkan
beberapa bom di atas lapangan terbang Maguwo dan Wonocatur, yang
menyebabkan timbulnya kebakaran di beberapa tempat, namun pesawat yang
telah disembunyikan sebelumnya luput dari serangan Belanda.
Pukul 14.10 WIB tanggal 23 Juli 1947,
Belanda kembali menyerang lapangan terbang Maguwo. Pesawat-pesawat
pemburu Belanda melepaskan tembakan mitraliur dan menjatuhkan granat
tangan. Serangan Belanda ini mendapat perlawanan dari anggota AURI,
satu pesawat Belanda kena tembak dan melarikan diri. Dua hari
berikutnya, yakni pada 25 Juli 1947 pukul 14.30 WIB, kembali Maguwo
diserang oleh dua pesawat P-40 Kitty Hawk Belanda. Meskipun demikian
perlawanan kita dari bawah tidak kendor sedikitpun. Dalam pertempuran
ini satu pesawat Belanda terkena tembakan pasukan penangkis serangan
udara dan melarikan diri kearah Solo.
Menjelang Magrib tanggal 25 Juli
1947, Belanda kembali melancarkan serangan berikutnya. Kali ini AURI
mengalami kerugian yang sangat besar, karena pesawat-pesawat tempur
Belanda menemukan pesawat-pesawat AURI yang sedang di run up.
Pada serangan yang kelima kalinya ini, beberapa pesawat Cukiu dan Cureng
AURI hancur, bahkan satu-satunya pesawat pembom AURI yang tersisa,
yaitu Pangeran Diponegoro I ikut hancur.
Serangan-serangan Belanda yang tidak
beraturan tersebut, menunjukan bahwa Belanda berusaha keras untuk
melumpuhkan dan menghancurkan kekuatan udara Republik Indonesia.
Penghancuran sasaran yang diperkirakan menjadi tulang punggung kekuatan
udara Republik Indonesia, dianggap Belanda sebaga salah satu cara
terbaik dalam mencegah Pangkalan Udara Republik Indonesia untuk
melakukan serangan, yang akan mengancam kedudukan maupun menyerang
daerah yang baru saja diduduki Belanda.
Serangan udara Belanda atas kekuatan
udara Republik Indonesia dapat dikatakan berhasil, sebagian besar hasil
pembinaan kekuatan udara Republik Indonesia yang telah dibangun selama
kurang lebih dua tahun setelah kemerdekaan hampir dapat dilumpuhkan.
Beberapa pangkalan udara di Pulau Jawa dapat diduduki, Pangkalan Udara
Bugis (Malang) dan Kalijati dapat dikuasai Belanda, selain itu pesawat
terbang yang ada di Pangkalan Udara Maospati, Panasan, dan Cibeureum
banyak yang dihancurkan Belanda, sedangkan di Pangkalan Udara Maguwo
hanya tersisa dua Cureng, satu Guntei dan satu Hayabusa.
Kekuatan Udara yang Memprihatinkan
Pada tanggal 29 September 1945
tentara Inggirs (Sekutu) tiba di Indonesia dan mendarat di Pelabuhan
Tanjung Priok. Pendaratan Inggirs di Indonesia ini, menyertakan pula
aparat Belanda atau Netherlands Indies Civil Administration
(NICA), yang ingin kembali berkuasa dan menjajah Indonesia. Namun
Rakyat Indonesia tidak ingin lagi menjadi bangsa yang terjajah, rakyat
Indonesia bangkit melawan tentara Sekutu dan NICA menggunakan senjata
rampasan dari Jepang dan senjata tradisional yang ada. Pertempuran
berkobar dimana-mana, ibukota kolonial Batavia berhasil diduduki
Belanda, akibatnya para nasionalis memindahkan ibukota dan pusat
pemerintahan di Yogyakarta.
Bersamaan dengan masuknya Sekutu dan
NICA di Indonesia, seluruh kekuatan udara Republik Indonesia merupakan
pesawat-pesawat peninggalan Jepang, yang tersebar dibeberapa pangkalan
udara, seperti Maguwo, Bugis dan Andir. Jenis-jenis pesawat yang
ditinggalkan Jepang terdiri dari berbagai jenis pesawat, yaitu jenis
pesawat latih Nishikoreng, Cukiu dan Cureng, pesawat pemburu Hayabusha
dan Sansikishin, pesawat pembom Guntai dan Sakai, serta pesawat
pengintai Nakajima. Kondisi pesawat peninggalan Jepang tersebut,
semuanya dalam keadaan rusak hanya beberapa saja yang masih kelihatan
utuh.
Setelah Belanda melancarkan
agresinya, fasilitas penerbangan dan pesawat-pesawat yang telah
diperbaiki oleh para tehnisi Angkatan Udara Republik Indonesia berhasil
dihancurkan Belanda, bahkan beberapa pangkalan udara berhasil dikuasai
oleh Belanda. Meskipun demikian, kenyataan tersebut tidak mengendorkan
semangat para pendahulu TNI Angkatan Udara, justru menjadi motivasi
untuk terus berjuang dalam mempertahankan kemerdekaan. Dengan berbekal
empat pesawat yang tersisa di pangkalan udara Maguwo, para pendahulu TNI
Angkatan Udara melakukan perlawanan dan melancarkan serangan balik
terhadap daerah-daerah yang berhasil diduduki Belanda.
Gagasan untuk melakukan pembalasan
lewat udara terhadap kedudukan Belanda, menjadi pemikiran utama para
pemimpin Angkatan Udara, terutama bentuk tindakan balasan yang akan
dilaksanakan, karena kesiapan pesawat yang ada tidak memadai, dan
kemampuan terbang operasional para kadet penerbang saat itu terbatas
pada penerbangan pengintaian. Atas dasar itu, maka Komandan Sekolah
Penerbang Komodor Muda Udara A. Adisutjitpo, merasa sayang kalau para
penerbang muda ini “gugur”, beliau menginginkan agar mereka lebih dulu
ditingkatkan kecakapan terbangnya untuk mampu menerbangkan pesawat
tempur, bahkan tercetus kata-kata beliau bahwa andai kata harus
mengadakan serangan balas akan dilakukan oleh beliau sendiri. Gagasan
beliau tersebut disampaikan sebelum berangkat ke luar negeri.
Tetapi situasi waktu yang sangat
mendesak untuk melakukan serangan balasan, maka setelah Komodor Muda
Udara Adisutjipto dan rombongannya berangkat melaksanakan missinya ke
luar negeri, para teknisi di Maguwo secara diam-diam sibuk dengan
melaksanakan modifikasi dan mengadakan pemeriksaan beberapa pesawat
terbang seperti Hayabusha, Cureng dan Guntai. Pesawat-pesawat tersebut
dipersiapkan untuk dijadikan pesawat pembom, kegiatan tersebut memang
sangat dirahasiakan. Dibawah pimpinan Basir Surya, para teknisi
memeriksa dan memperbaiki pesawat-pesawat yang dapat dipersiapkan untuk
melaksanakan misi operasi. Sedangkan pada bidang teknik persenjataan
dipimpin oleh Opsir Muda Udara I Eddie Sastrawidjaja. Sementara itu
pimpinan Angkatan Udara Komodor Udara S. Suryadarma dan Komodor Muda
Udara Halim Perdanakusuma mengadakan rapat-rapat tertutup.
Sejalan dengan proses penyiapan
pesawat oleh para tehnisi AURI, pada tanggal 28 Juli 1947 lebih kurang
pukul 19.00, seorang kurir ke Mess Perwira di Wonocatur yang membawa
perintah KSAU yang ditujukan kepada empat orang kadet AURI, yaitu Kadet
Penerbang Mulyono, Sutardjo Sigit, Suharnoko Harbani, dan Bambang
Saptoadji agar menghadap Komodor Udara S. Suryadarma dan Komodor Muda
Udara Halim Perdanakusuma. Panggilan yang sangat dirahasikan itu
menyangkut rencana operasi udara yang akan ditugaskan kepada keempat
penerbang tersebut. Rencana operasi ini disampaikan sendiri oleh
Komodor Muda Udara Halim Perdanakusuma selaku Perwira Operasi dengan
penjelasan-penjelasan seperlunya. Operasi udara itu berupa pengeboman
atas kota-kota yang menjadi kubu musuh di Jawa Tengah. Pelaksanaannya
tidak bersifat perintah tetapi sukarela, namun demikian tidak ada
seorang pun dari para penerbang itu yang menolak tawaran tersebut.
Pada kesempatan itu, ditunjuk pula para penembak udaranya (air gunner). Mereka adalah Kaput, Dulrachman dan Sutardjo. Ketiga air gunner tersebut merupakan teknisi berpangkat Bintara, yang belum pernah mendapat pendidikan “gunnery”
dari AURI. Modal utama mereka adalah keberanian dan bersedia untuk
berkorban dalam mempertahankan kemerdekaan Bangsa Indonesia.
Pada pertemuan tersebut, KMU Halim
Perdanakusuma menjelaskan secara rinci rencana penyerangan kedudukan
Belanda di Semarang dan Salatiga, yaitu :
1. Kadet Udara I Mulyono
ditugaskan menyerang Semarang yang disertai penembak udara Sersan Udara
Dulrachman menggunakan pesawat pembom tukik Guntei.
2. Kadet Udara I Bambang Saptoadji ditugaskan mengawal pesawat pembom Guntei menggunakan pesawat Hayabusha.
3. Kadet Udara I Sutardjo
Sigit didampingi penembak udara Sersan Udara Sutardjo dan Kadet
Penerbang Suharnoko Harbani didampingi penembak udara Sersan Udara Kaput
menyerang Salatiga menggunakan pesawat Cureng.
Sasaran pemboman dan tembakan
ditentukan hanya pada kedudukan dan markas militer lawan, penerbangan
yang dilaksanakan harus menghindari Boyolali, karena pasukan Belanda
telah masuk ke daerah tersebut. Di samping itu, para penerbang tidak
diperbolehkan untuk terbang langsung menuju sasaran, tetapi harus
membuat dog-leg, yaitu terbang ke arah timur, baru kemudian
belok ke kiri menuju sasaran, dengan tetap memperhatikan taktik
pendadakan. Penyerangan akan dilaksanakan sedini hari mungkin, selama
kurang lebih satu jam, untuk menghindari penyergapan dan pengejaran
lawan. Apabila serangan selesai, para penerbang diinstruksikan untuk
segera kembali ke Maguwo, dengan tree top level (terbang serendah mungkin) dan hedge-hopping.
Teknik ini dimaksudkan untuk mengurangi ruang gerak pesawat musuh yang
jauh lebih tinggi kecepatanya, apa bila mereka mengejar dan mau
menyergap.
Selesai briefing, mereka bergabung
dengan para tehnisi pesawat yang sedang berusaha memperbaiki dan
mempersenjatai pesawat yang akan digunakan. Untuk melengkapi
persenjataan Guntei, para teknisi tidak mengalami kesulitan, karena
pesawat jenis ini termasuk pesawat tempur. Pesawat pembom Guntei yang
berhasil diperbaiki mampu membawa bom seberat 400 kg. di samping itu,
juga dipasang sebuah senapan mesin yang diletakan di belakang penerbang.
Sedangkan pada pesawat Cureng, para
teknisi harus bekerja keras, karena pesawat ini digunakan sebagai
pesawat latih. Berkat ketekunan para tehnisi, pesawat cureng berhasil
dimodifikasi menjadi pesawat pembom, dengan menempatkan sebuah bom
seberat 50 kg di bawah kedua sayapnya. Untuk melepaskan bom-bom
tersebut, disebelah kiri tempat duduk penerbang dibasang tiga buah
handle (pegangan) yang terbuat dari kayu dengan warna yang
berbeda-beda. Yang kiri warna Merah untuk melepaskan bom di bawah sayap
kiri, yang tengah warna Kuning untuk melepaskan kedua bom sekaligus,
yang kanan berwarna Hijau untuk melepaskan di bawah sayap kanan.
Selain dilengkapi bom, pesawat Cureng
dilengkapi pula dengan senapan mesin. Dari kedua pesawat Cureng yang
disiapkan, hanya satu pesawat yang bisa dipasang senapan mesin, karena
satu pesawat Cureng yang akan diawaki Sutardjo Sigit tidak ada tempat
kedudukan (mounting)-nya untuk memasang senapan mesin, sehingga
pesawat ini sama sekali tidak dapat membela diri apabila disergap
musuh. Sebagai gantinya, pesawat Cureng tersebut diberi bom-bom bakar
yang dibungkus dengan kain Blacu.
Sedangkan pesawat Hayabusha tidak
jadi digunakan, karena adanya kerusakan pada system persenjataanya.
Meskipun para juru teknik telah berusaha dengan bekerja keras sampai
pukul 01.00 dini hari tanggal 29 Juli 1947, kerusakan pada sistim
persenjataan pesawat Hayabusha belum juga dapat diatasi. Dengan demikian
Kadet Penerbang Bambang Saptoadji merasa sangat kecewa. Setibanya di
Mess Wonocatur tempat mereka disiagakan penuh, Ia mendatangi ketiga
kadet penerbang lainnya untuk dibujuk agar salah seorang bersedia
diganti. Mereka tidak mau melepaskan tugas yang telah dipercayakan pada
pundak masing-masing.
Sebelum melaksanakan misi operasi
penyerangan, ketiga kadet penerbang hanya diberi kesempatan untuk
beristirahat sekitar 2 jam. Pada pukul 03.00 dini hari, mereka
dibangunkan dan pukul 04.00 sudah harus siap di lapangan terbang Maguwo
untuk menerima briefing dari kepala teknisi Bapak Sudjono, yang
sebelumnya tidak mengetahui akan adanya serangan balas AURI terhadap
Belanda. Bapak Sudjono menjelaskan tentang tugas yang akan dilakukan
para teknisi setelah pesawat kembali dari melakukan penyerangan.
Briefing berikutnya adalah dari Meteo yang dilakukan oleh Bapak Patah
dengan menggunakan peta yang dipakai di sekolah dasar yang memberikan
gambaran mengenai kabut rendah, angin tenang dan lainya. Sedangkan
mengenai kesiapan pemadam kebakaran diberikan oleh Bapak Djunaedi.
Pada pukul 05.00, ketiga pesawat mulai taxi-out ke posisi take-off,
yang sebelumnya dilepas oleh KSAU Komodor Udara S. Suryadarma dan
Komodor Muda Udara Halim Perdanakusuma. Ketiga pesawat take off secara
bergantian, Pesawat Guntei yang diterbangkan oleh Mulyono dan Dulrachman
sebagai "air-gunner" terbang terlebih dahulu. Kemudian disusul pesawat Chureng yang dikemudikan oleh Sutardjo Sigit yang dibantu Sutardjo sebagai "air-gunner". Selanjutnya Suharnoko Harbani dengan Kaput juga menggunakan pesawat Chureng merupakan pesawat yang terakhir mengangkasa.
Untuk membantu tinggal landas,
dipasang sebuah lampu sorot pada ujung landasan di belakang pesawat,
maksudnya agar mendapat cukup penerangan. Dengan demikian landasan
bisa nampak terang oleh sorot lampu tersebut dan memberi sedikit
keuntungan bagi pilot untuk menentukan batas pesawat baru mulai
mengudara. Mereka tidak diperkenankan menggunakan lampu dan peralatan
lain dalam pesawat untuk menjaga kerahasiaan operasi yang sedang
dilaksanakan. Ketiga pesawat tidak dibekali peralatan navigasi dan
komunikasi, masing-masing kru pesawat hanya dibekali senter yang
berfungsi sebagai alat komunikasi apa bila diperlukan. Walaupun para
penerbang ini belum berpenglaman terbang malam, dengan penuh ketekunan
dan kewaspadaan mereka bergiliran meninggalkan landasan terbang Maguwo
secara lancar.
Pemboman Kota Semarang
Dengan menggunakan pesawat terbang
pembom jenis Guntai, Kadet Penerbang Mulyono memulai pelaksanaan operasi
udara atas kota Semarang sebagai sasaran urutan pertama. Rute
penerbangan yang dipakai dalam operasi udara ini memakai cara yang
paling mendasar dan sederhana dalam ilmu navigasi yaitu dengan cara dead reckonning
yang memperhitungkan arah dan kecepatan angin, keadaan cuaca dan lain
sebagainya, karena penerbangan tersebut dilakukan pada malam hari yang
tidak memungkinkan para penerbang mengamati tanda-tanda di daratan (land-marks)
untuk dipakai sebagai pedoman. Para awak pesawat hanya dibekali
lampu senter (battery) sebagai pertolongan dan bantuan sekedar apabila
diperlukan penggunaannya. Komunikasi antar awak ataupun antara pesawat
satu dan lainnya hanya dilakukan dengan isyarat sandi yang dilakukan
lewat sinar lampu senter tersebut, itupun kalau terpaksa saja.
Untuk menuju kesasaran para penerbang diinstruksikan tidak langsung menuju sasaran, tetapi menempuh suatu rute dogleg,
yang telah diplot oleh komodor Muda Udara Halim Perdanakusuma. Untuk
pesawat Guntai ke Semarang dan pesawat Cureng ke Salatiga. Dogleg tersebut berupa terbang kejurusan timur selama sekian puluh menit, kemudian belok sekian derajat untuk langsung menuju sasaran.
Setelah take off, Kadet
Penerbang MuIyono menunggu sejenak, setelah terlihat pesawat Cureng dari
kejauhan, maka Ia segera melesat langsung menuju sasaran di Semarang.
Secara fisik serangan dalam rangka operasi udara terhadap kota Semarang
dilakukan pada hari Selasa, 29 Juli 1947 pukul 06.10 pagi dan pesawat
Guntai ini menyerang dari arah utara. Menghadapi arah posisi yang
demikian, maka Kadet Penerbang Mulyono, menggunakan taktik pendadakan (surprise)
dengan mengambil titik awal arah serangan yang dianggap paling aman.
Setelah pesawat Guntai ini mendekati daerah sasaran, tidak langsung
melakukan serangan udara dengan segera, tetapi terlebih dahulu membelok
untuk mengitarinya. Kesempatan tersebut dipakai untuk memahami medan dan
menjajaki kemungkinan sasaran pemboman dan tembakan yang akan dituju.
Setelah memasuki kawasan di atas laut Jawa, berulah pesawat mi membelok
kembali kearah selatan dan menyerang Semarang dari arah utara.
Siasat ini tidak diketahui sama
sekali oleh Belanda. Selain itu Belanda memang tidak memperkirakan,
bahwa pesawat RI akan mampu hadir di atas wilayah kekuasaannya, apalagi
mewujudkan suatu bentuk serangan. Di luar dugaan dan perkiraan kemampuan
tersebut, ternyata pagi itu salah satu pusat kekuatan Belanda di Jawa
harus menghadapi serangan udara Republik Indonesia. Selain itu perkiraan
tepat telah diambil oleh Kadet Penerbang Mulyono bahwa pertahanan udara
musuh akan kebobolan dengan serangan yang datang dari arah laut.
Setelah selesai melakukan operasi
pendadakan ini, pesawat segera diarahkan langsung kembali ke pangkalan
semula. Kadet Penerbang Mulyono baru mendaratkan pesawat Guntai-nya pada
urutan terakhir, setelah kedua pesawat Cureng Kadet Penerbang Suharnoko
Harbani dan Kadet Penerbang Soetardjo Sigit memasuki landasan Pangkalan
Udara Maguwo, karena misi Kadet Penerbang Mulyono mengambil jarak yang
terjauh dibandingkan dua misi operasi udara yang lain.
Pemboman Kota Salatiga
Setelah pesawat pembom Guntai yang
diterbangkan oleh Kadet Penerbang Mulyono berhasil tinggal landas dan
mengudara, maka segera Kadet Penerbang Soetardjo Sigit mengambil posisi
untuk bersiap-siap berangkat. Sinar Lampu sorot yang sangat terang dan
menyinari landasan dari ujung ke ujung, menjadi pedoman dan arah dalam
melaksanakan tinggal landas di pagi hari yang gelap dan dingin itu.
Pesawat terasa lebih berat, karena adanya muatan tambahan dua bom
masing-masing seberat 50 kg yang digantungkan pada kedua sisi sayap dan
beberapa buah bom bakar. Untuk itu diperlukan kecepatan lepas landas
yang lebih tinggi supaya lebih aman, sehingga suatu sudut tanjakan
tertentu dapat dipenuhi.
Disisi lain tanjakan pesawat harus diusahakan jangan sampai terlampau terjal agar kecepatan tidak berkurang dan mencapai stalling speed
yang dapat mengakibatkan pesawat jatuh. Pesawat berhasil naik dengan
sempurna dan dapat mengatur keseimbangan setelah pada ketinggian yang
cukup. Kadet Penerbang Soetardjo Sigit selaku flight leader membuat satu lingkaran untuk memberi kesempatan waktu kepada wing man Kadet Penerbang Suharnoko Harbani agar bergabung dalam formasi menuju ke sasaran.
Selain itu, untuk menerbangkan
pesawat jenis ini diperlukan suatu keuletan dan keterampilan para
penerbangnya, karena pesawat ini tidak dibekali lampu penerangan dan
radio sebagai sarana perhubungan. Mereka hanya dibekali lampu senter
saja dengan isyarat-isyarat tertentu yang diperlukan untuk berhubungan.
Sehingga usaha Kadet Penerbang Soetardjo Sigit untuk memberikan
kesempatan kepada wing man Kadet Penerbang Suharnoko Harbani
supaya mengikutinya tidak berhasil. Dalam kegelapan di pagi buta
tersebut dengan menyalakan lampu senter yang dipegangnya, Kadet
Penerbang Soetardjo Sigit mencoba mengarahkan sinarnya ke segala penjuru
sekelilingnya dengan harapan dapat dilihat oleh rekannya. Ternyata
Kadet Penerbang Suharnoko Harbani tidak mengikutinya. Setelah jelas
tidak ada pesawat yang mengikutinya, maka Kadet Penerbang Soetardjo
Sigit mengambil keputusan untuk melaksanakan misi operasi ini secara
sendirian, meskipun hal tersebut berarti bertambahnya resiko, karena
tidak adanya wing man menyebabkan pula tidak adanya senjata
penangkis bila diserang pesawat musuh, sebab pesawat Kadet Penerbang
Soetardjo Sigit tidak dilengkapi dengan senapan mesin penangkis serangan
musuh.
Sama halnya dengan pesawat Guntei, setelah take off, pesawat Cureng juga membuat gerakan dogleging,
yaitu mula-mula terbang lurus ke arah timur untuk beberapa menit, baru
kemudian membelok ke kiri dalam jumlah derajat tertentu kemudian menuju
ke arah sasaran, setelah dijalani beberapa menit akan sampai pada
sasaran kota Salatiga, gerakan ini di maksudkan untuk menghindari kota
Boyolali.
Siasat pendadakan di Salatiga cukup
berhasil, karena setelah sampai diatas kota Salatiga, lampu-lampu
listrik masih menyala, tetapi kelihatan sepi. Seperti juga operasi
udara di kota Semarang, Belanda sama sekali tidak menyangka dan
memperkirakan kemampuan RI untuk mengadakan serangan balas ke Salatiga.
Sesuai petunjuk sebelumnya, sasaran yang dituju ialah daerah di sebelah
utara kota Salatiga, yang diperkirakan sebagai pusat kekuatan militer
Belanda. Untuk mengorientasi sasaran, Kadet Penerbang Soetardjo Sigit
membuat satu kali putaran, setelah sasaran yang diinginkan sudah ampak,
yang disebut dalam pengarahan dan dikatakan sebagai Markas Militer
Belanda, ia segera membuat bombing run yang pertama.
Di dalam pesawat ada tiga tangkai pegangan (handle)
kayu yang berturut-turut dari kiri ke kanan yaitu berwarna merah,
kuning dan hijau. Ia menukikkan pesawatnya menuju sasaran kemudian
menarik handle yang merah untuk melepaskan bom di bawah sayap
sebelah kiri, pesawat oleng ke kanan, karena terganggu keseimbangannya.
Sekejap api menyembur jauh di belakang bawah yang disusul dengan suara
ledakan bom yang dijatuhkan.
Dengan menjaga keseimbangan
pesawatnya, Kadet Penerbang Soetardjo Sigit bermaksud membuat bombing
run yang kedua. Ia menarik handle yag berwarna Hijau untuk melepaskan
bom sebelah kanan, namun gagal karena tangkai pegangan patah. Serangan
berikutnya ditempuh dengan cara menukikkan kembali pesawatnya, akan
tetapi gagal juga, karena handle yang di tengah berwarna kuning
ketika ditarik juga patah. Handle yang berwarna kuning tersebut
berfungsi untuk melepaskan kedua buah bom sebelah kiri dan kanan
sekaligus. Usaha ketiga kalinya ini ternyata gagal lagi, sedangkan bom
masih tetap tergantung dan tidak terlepas.
Kadet Penerbang Soetardjo Sigit tetap
berusaha untuk melepaskan bom yang tersisa dan masih tergantung di
bawah sayap sebelah kanan dengan cara menarik kabel yang terkait dengan
bom agar dapat terlepas. Tetapi untuk ini diperlukan usaha khusus tanpa
mengurangi kemampuan mengendalikan pesawat, apalagi saat itu berada di
atas wilayah musuh, yang sewaktu-waktu dapat menembaknya. Untuk
menarik kabel, Kadet Penerbang Soetardjo Sigit harus menundukkan kepala
serendah-rendahnya, sehingga tidak dapat memandang ke luar cockpit.
Ketiga kabel tersebut akhirnya berhasil diraih dengan tangan kirinya
sambil tangan kanannya mengendalikan kemudi pesawat. Dengan menahan
napas ditariknya kuat-kuat ketiga kabel tersebut dan akhimya berhasil
juga.
Hari mulai terang matahari sudah
mulai memancarkan cahayanya di cakrawala timur, tiba-tiba ia teringat
bahwa juru tembaknya masih membawa bom bakar satu peti penuh. Dibuatnya
satu puteran terbang lagi sambil memberi isyarat kepada juru tembak yang
kini menjadi juru bom untuk siap-siap melemparkan bomnya. Ia memberi
isyarat agar bomnya dilemparkan, supaya pasti dapat meledak kunci
pengamannya harus dibuka satu persatu.
Pemboman Kota Ambarawa
Pada rencana operasi yang telah
digariskan sebelumnya, bahwa untuk menyerang Salatiga disiapkan dua buah
pesawat Cureng. Sebagai pimpinan misi ditunjuk Kadet Penerbang
Soetardjo Sigit, sedangkan Kadet Penerbang Suharnoko Harbani bertindak
sebagai wing man. Tetapi rencana ini harus juga mengalami perubahan karena beberapa faktor dan situasi yang terjadi di medan operasi.
Setelah Kadet Penerbang Suharnoko
Harbani tinggal landas dengan mengikuti prosedur keberangkatan
pesawat-pesawat sebelumnya, mulailah timbul masalah, Kadet Penerbang
Suharnoko Harbani telah keliru membututi sinar api yang keluar dari
mesin pesawat Guntai yang diterbangkan oleh Kadet Mulyono, karena
mengira pesawat tersebut adalah Cureng yang diterbangkan oleh Kadet
Penerbang Soetardjo Sigit. Tanpa ragu-ragu Kadet Penerbang Suharnoko
Harbani mengejar tanda tersebut, tetapi ternyata makin lama makin jauh
ketinggalan dan akhirnya tidak keihatan lagi. Hal ini memang sudah
sewajarnya, karena kecepatan pesawat Guntai lebih tinggi dari pesawat
Cureng, maka pesawat Guntai diberi tugas beroperasi di daerah sasaran
yang lebih jauh, yaitu kota Semarang.
Setelah kehilangan sinar api pesawat
Guntai, dan tidak berhasil menemukan pesawat Cureng Kadet Penerbang
Soetardjo Sigit. Kadet Penerbang Suharnoko Harbani segera berusaha
menentukan posisi pesawatnya, mengingat keterbatasan kemampuan dan waktu
operasi yang akan dilaksanakan. Saat-saat kritis yang perlu segera
diatasi tiba-tiba dia melihat sebuah danau dari kota di dekatnya. Dia
segera menganalisanya dan menarik suatu kesimpulan bahwa kota tersebut
adalah Ambarawa, yang berdekatan dengan Rawapening. Dengan cepat Ia
memutuskan untuk memilih kota Ambarawa sebagai sasarannya, karena kota
tersebut juga telah diduduki Belanda.
Kota Ambarawa tidak termasuk dalam
rencana operasi, memang bukan sasaran yang direncanakan semula. Setelah
yakin bahwa daerah yang dilaluinya merupakan daerah kekuasaan lawan, dia
kemudian tidak ragu-ragu lagi memulai serangan udara. Ketinggian
pesawat mencapai kurang lebih 3.000 kaki ke atas untuk sekedar
mengadakan terbang keliling sambil mengamati sasaran yang akan dituju.
Setelah mendekati sasara, pesawat kemudian menukik ke bawah kemudian
melepaskan bom secepatnya. Setelah itu harus terbang serendah-rendahnya
untuk mengelakkan kemungkinan serangan lawan, yang bisa saja saat itu
telah mengetahui keberadaanya.
Setelah selesai melaksanakan serangan
udara di atas kota Ambarawa, segera diputuskan untuk kembali ke
pangkalan semula. Sementara itu timbul keraguan sejenak, rute mana yang
akan dipakai/diambil untuk perjalanan kembali tersebut. Meskipun dari
Ambarawa dapat ditempuh langsung ke arah selatan sehingga dapat
memperpendek jarak untuk tujuan Maguwo, Yogyakarta. Namun pertimbangan
lain lebih memastikan, ialah bahwa Pimpinan Operasi telah menekankan
agar rute penerbangan kembali sama dengan ketika pemberangkatannya.
Tampak faktor keamanan menjadi bahan pertimbangan penting sehingga hal
ini perlu ditegaskan lagi sebelum operasi dilaksanakan.
Dengan demikian maka pesawat kembali
melalui rute semula, yaitu menuju arah antara Boyolali dengan danau di
Panasan, baru kemudian menuju ke Maguwo. Walaupun mempunyai rute
alternatif melalui Magelang tetapi tidak dipilihnya karena daerah
tersebut lebih sulit kondisi geografi dan cuacanya.
Tindakan berani dari
penerbang-penerbang RI dalam memberi serangan balas sungguh
mengagumkan. Lebih-lebih jika diingat bahwa tugas penerbangan semacam
itu baru pertama kali mereka lakukan. Apalagi kalau mengingat keadaan
pesawat yang serba terbatas kondisinya. Meskipun Taktis dan strategi
serangan itu tidak menimbulkan kerugian besar bagi Belanda, namun
serangan itu memberi pengaruh besar terhadap situasi dan kondisi saat
itu, karena sejak itu Belanda melakukan penggelapan penerangan pada
malam hari di seluruh Jawa Tengah.
Bahkan kejadian yang ditimbulkan atas
keberhasilan operasi udara ini, telah menarik perhatian opini dunia
luar. Radio Singapura telah menyiarkan kejadian tersebut sebagai
berita penting (Head Line) dalam acara siarannya dan disebutkan
mungkin sebagai kegiatan yang pertama dilakukan oleh Angkatan Udara
Republik Indonesia. Pokok acara yang disiarkan oleh radio Singapura
tersebut adalah, bahwa AURI telah menyerang pertahanan Belanda di
Semarang dan Salatiga.
Gugurnya Tiga Perintis TNI Angkatan Udara
Keberhasilan bangsa Indonesia/AURI
dalam melaksanakan operasi udara mendadak di kubu-kubu Belanda di kota
Semarang, Salatiga, dan Ambarawa dengan menggunakan tiga buah pesawat,
dapat menunjukan ke dunia internasional bahwa Republik Indonesia melalui
Angkatan Udaranya masih ada. Meskipun hasilnya tidak seberapa namun
hal ini sudah cukup menggembirakan bangsa Indonesia, khususnya anggota
AURI. Dengan keberhasilan ini memacu anggota lainnya untuk bisa
berbuat lebih banyak lagi meskipun dalam keadaan yang serba terbatas.
Dilain pihak serangan udara ini
membuat pihak Belanda merasa kecolongan dan kalang kabut. Bahkan dapat
dikatakan membuat malu Bangsa Belanda. Mereka merasa bahwa agresi
militer yang dilancarkannya pada tanggal 21 Juli 1947, telah
menghabiskan seluruh kekuatan RI, terutama kekuatan udaranya. Tetapi
kenyataannya AURI masih mampu mengadakan serangan balas ke kubu
mereka. Akibatnya, Belanda membalas tindakan AURI ini dengan
menyerang sejumlah wilayah RI lagi seperti sebelumnya. Bahkan pesawat
Dakota VT-CLA yang dalam misi kemanusiaan menjadi korban balas dendam
Belanda, sehingga tiga orang tokoh dan perintis AURI yang datang bersama
pesawat itu gugur.
Peristiwa ini terjadi tidak jauh dari
pangkalan udara Maguwo pada hari itu juga dan berselang hanya beberapa
jam dari keberhasilan operasi udara yang telah dijalankan. Hal yang
menyedihkan dan membuat duka yang mendalam ialah tiga tokoh dan perintis
AURI yang berada didalam pesawat tersebut yakni Komodor Muda Udara
Agustinus Adisutjpto, Komodor Muda Udara Abulrachman Saleh dan Opsir
Muda Udara I Adisumarmo gugur bersama crew dan beberapa penumpang
pesawat.
Kebahagian dan kegembiraan yang
tercermin di wajah anggota AURI dengan serta merta berubah menjadi duka
yang mendalam, apalagi bagi pimpinan AURI. Pesawat yang telah
ditunggu oleh Kasau Komodor Udara Suryadi Suryadarma ini, ternyata
berakhir dengan tragis, ditembak oleh pesawat Belanda. Hal yang sangat
menyedihkan adalah bersama pesawat itu terdapat beberapa tokoh pendiri
angkatan udara yang selama ini sebagai tangan kanannya.
Kejadian itu merupakan suatu pukulan
berat bagi Angkatan Udara RI pada saat membutuhkan tokoh-tokoh yang
penuh dedikasi itu. Musibah itu benar-benar diluar dugaan Angkatan
Udara. Kalau saja crew pesawat VT-CLA Dakota mengikuti instruksi
Kasau pada saat itu, maka cerita sejarah akan lain. Kebahagian dan
kebanggaan mungkin tidak berobah menjadi petaka dan duka. Memang KSAU
Komodor Udara S. Suryadarma telah menginstruksikan melalui Perwakilan
AURI di Singapura supaya :
a. Penerbangan dilakukan pagi-pagi sekali atau sore hari menjelang matahari terbenam.
b. Setibanya di atas Maguwo, tidak perlu mengadakan putaran terlebih dahulu tetapi langsung mendarat.
c. Penerbangan dilaksanakan secara sendiri.
Peringatan Kasau tersebut karena
diperkirakan akan ada serangan balasan Belanda atas pemboman yang
dilakukan AURI di pagi hari, namun ia tidak mengetahui kapan. Oleh
karena itu ia menginstruksikan agar pesawat datang di waktu-waktu itu
yang diperkirakan militer Belanda longgar dalam pengawasannya.
Namun kenyataannya, Pesawat
meninggalkan Singapura pada pukul 13.00 tanggal 29 Juli 1947 menuju
Pangkalan Udara Maguwo. Entah instruksi KSAU tidak sampai atau ada
hal-hal lain yang dipertimbangkannya sehingga pesawat Dakota VT-CLA
berangkat tidak sesuai instruksi. Tidak ada pernyataan yang
mendukungnya.
Dalam perjalanan pulang ke tanah air,
penerbangan pesawat Dakota VT-CLA yang mula-mula aman itu, ternyata
ketika memasuki perairan Indonesia diatas Bangka-Bliton, pesawat pemburu
Belanda secara tiba-tiba muncul dan kemudian membuntutinya beberapa
saat sebelum menghilang. Selanjutnya dua pesawat pemburu Kitty Hawk
milik Belanda yang berpangkalan di Semarang, muncul namun segera
menghilang. Tidak lama kemudian kedua pesawat tersebut muncul lagi,
bahkan terus membuntuti.
Setelah menjalani lebih kurang tiga
jam penerbangan, sekitar pukul 16.00 sore, pesawat mendekati pangkalan
udara Maguwo. Para penjaga dan petugas lapangan terbang bersiap siaga,
melihat kedatangan pesawat yang belum jelas identitasnya, termasuk pula
personel penangkis serangan udara. Mereka belum mendapat informasi
mengenai rencana kedatangan Dakota itu. Namun tidak lama kemudian,
Kasau Komodor Udara Suryadarma memberi tahu tentang kedatangan pesawat
pengangkut tersebut, keteganganpun mereda. Bahkan berubah menjadi
harap-harap gembira atas hendak turunnya pesawat tersebut.
Pesawat Dakota VT-CLA tampak terbang
semakin rendah, dan melakukan putaran terakhir untuk mendarat. Sesaat
setelah roda-roda pendarat keluar dari tempatnya, secara tiba-tiba
dengan kecepatan tinggi dua pesawat P-40 Kitty Hawk Belanda yang
dipiloti oleh Letnan Satu B.J. Reusink dan Sersan Mayor W.E. Erkelens,
mengejar dan tanpa peringatan terlebih dahulu langsung memberondong
dengan senapan mesin. Tembakan-tembakan lawan ini tepat mengenai sebuah
mesin sebelah kiri, sehingga pesawat terbakar dan mengurangi daya
terbangnya. Akibatnya usaha untuk mencapai lapangan udara gagal.
Beberapa saat kemudian pesawat Dakota VT-CLA oleng.
Sebelum jatuh ke tanah, sayap pesawat
sempat menghantam pohon dan akhirnya jatuh di tanggul pematang sawah di
Desa Ngoto, Bantul sebelah selatan Yogyakarta, sekitar 2,5 km dari
pangkalan udara Maguwo. Badan pesawat patah menjadi dua, bagian ekor
masih utuh namun bagian lain hancur berkeping-keping. Dengan keadaan
yang demikian maka berserakan bantuan obat-obatan hasil sumbangan
berupa ½ ton verband dan sejumlah obat-obat sulpha dan penisilin di
sawah. Dari puing-puing pesawat itu tidak ditemukan sepucuk senjatapun
seperti yang dicurigai oleh Belanda.
Awak pesawat dan beberapa penumpang
gugur dalam peristiwa yang menyedihkan itu, termasuk tiga orang perintis
AURI. Hanya satu penumpang yang selamat ialah Abdulgani
Handonotjokro. Mereka yang gugur adalah Alexander Noel Constantine
(Pilot) dan istri Ny. A.N. Constantine berkebangsaan Australia, Roy
Hazellhurst (Co-pilot) berkebangsaan Inggris, Bhida Ram (Juru Teknik)
berkebangsaan India dan Zainul Arifin (Konsul Dagang Republik Indonesia
di Malaya). Tiga orang tokoh dan perintis AURI yang gugur adalah Komodor
Udara Adisutjipto, Komodor Udara Prof. Dr. Abdulrachman Saleh, Opsir
Muda Udara I Adi Sumarmo Wirjokusuma.
Sebenarnya keberangkatan pesawat
Dakota VT-CLA, yang membawa obat-obatan ini ke Indonesia telah disiarkan
secara khusus oleh mass media Malaya “The Malayan Times” sehari
sebelumnya. Pada siaran tersebut dinyatakan bahwa penerbangan pesawat
Dakota VT-CLA hanya bersifat pengiriman obat-obatan dan telah ada
persetujuan antara Pemerintah Inggris dan Pemerintah Belanda.
Disamping itu keberangkatan pesawat dari Singapura, biasanya telah
dikirim flight plan ke pemerintah Belanda di Indonesia melalui
telegram seiring dengan keberangkatan pesawat. Semestinya pengiriman
ini telah diterima oleh mereka pada hari itu juga. Dengan dasar
ketentuan-ketentuan hukum internasional yang telah dipenuhi itu, maka
pesawat Dakota VT-CLA pun seharusnya berlaku secara legal menuju Maguwo
Yogyakarta. Namun kenyataannya Belanda tetap menembak pesawat ini.
Hal ini merupakan fakta awal dari
pengkhianatan Belanda yang terencana untuk menghancurkan Dakota VT-CLA
yang tidak bersenjata itu. Sehingga sangat sukar untuk diterima oleh
pikiran yang sehat apabila pihak Belanda mengatakan, bahwa penembakan
pesawat Dakota VT-CLA itu “sangat terpaksa” karena tidak memakai tanda
palang merah dan tidak jelas tanda kebangsaannya. Bagaimanapun juga
pihak Belanda telah mengetahui, bahwa pesawat tersebut adalah Dakota
VT-CLA yang telah dibuntuti lebih dahulu.
Kabar tertembak jatuhnya pesawat
Dakota VT-CLA yang merenggut 3 orang tokoh AURI sungguh membuat duka
segenap masyarakat dan anggota AURI khususnya. Kedukaan yang tiada
taranya ini mendorong pemerintah untuk memberi kesempatan kepada
masyarakat guna memberikan salam terakhir dan hormat setinggi-tingginya
atas ketabahan dan tanggung jawab mereka sebagai prajurit AURI.
Pemerintah mengambil kebijaksanaan
untuk menyemayamkan pahlawan-pahlawan AURI tersebut dan korban yang
gugur lainnya di bekas gedung Hotel Tugu Yogyakarta dengan upacara
militer. Keesokan harinya, atas permintaan keluarga jenazah Komodor
Muda Udara Adisutjipto dan Komodor Muda Udara Prof. Dr. Abdulrachman
Saleh dimakamkan dipemakaman umum Kuncen Yogyakarta. Pemakaman bapak
Adisutjipto di pemakaman umum Kuncen I bagi yang beragama Katolik dan
Bapak Abdulrachman Saleh di Pemakaman keluarga, bagi yang beragama Islam
yang juga terletak di Kuncen. Sementara itu, Opsir Muda Udara I
Adisumarmo dan Zainul Arifin dimakamkan di pemakaman Semaki, yang
kemudian berubah menjadi Taman Makam Pahlawan Kusuma Negara Semaki.
Sedangkan korban warga negara asing dimakamkan di pemakaman Belanda yang
terletak disebelah selatan Yogyakarta.
Gugurnya ketiga tokoh perintis AURI
ini, bukan berarti perjuangan terhenti, bahkan memompa semangat anggota
AURI lainnya untuk berjuang melawan militer Belanda. Mempertahankan
kemerdekaan harus terus dilakukan agar benar-benar dicapai kemerdekaan
yang sesungguhnya dengan segera, agar tidak lagi di injak-injak oleh
kekuasaan asing yang berbuat semena-mena melalui kekuatan udaranya, yang
mengakibatkan sejumlah putra-putra terbaik Indonesia gugur. Oleh
karena itu kemajuan harus segera diraih untuk menjadi sarana mencapai
kemerdekaan yang diinginkan.
Agresi Militer Belanda, yang
menyerang seluruh wilayah RI ini, menimbulkan reaksi bagi negara-negara
lain di seluruh dunia, terutama negara-negara yang bersimpati pada
perjuangan bangsa Indonesia. Apalagi diketahui bahwa pesawat Dakota
VT-CLA yang sedang menjalankan misi kemanusiaan ditembak jatuh oleh
pesawat pemburu Belanda, menyebabkan korban yang tidak sedikit dari
beberapa warga negara asing. Hal ini semakin menarik simpati dunia.
Sejumlah negara mengajukan protes dan menginginkan agar masalah
Indonesia dibicarakan di Dewan Keamanan PBB. Protes ini didengar
dan disambut baik oleh PBB untuk dicarikan jalan damai.