Senin, 03 Maret 2014

11 Kapal Perang Siap Laksankan Operasi Cakra Hiu-14



Sebanyak 11 Kapal Perang Republik Indonesia (KRI) siap melaksanakan tugas Operasi Cakra Hiu-14 dan Operasi Benteng Hiu-14, di Bawah Kendali Operasi (BKO) Gugus Tempur Laut (Guspurla) Koarmatim. Kesiapan dua satuan tugas operasi siaga tempur laut tersebut diasampaikan oleh Asisten Operasi (Asops) Danguspurla Koarmatim Kolonel Laut (P) Andi Abdul Aziz, di Markas Guspurlatim, Ujung, Surabaya, Jum’at (28/02).

Selain mengerahkan 11 kapal perang untuk memperkuat Operasi Cakra Hiu-14 dan Operasi Benteng Hiu-14, Guspurla Koarmatim melibatkan dua unsur Pesawat Udara patroli Maritim jenis Cassa, satu Hellikopter intai maritim, satu Kompi pasukan Marinir, dua Tim Komando Pasukan Katak (Kopaska), dua Tim Penyelam tempur TNI AL, dan unsur pangkalan di daerah.

Dua satuan tugas ini mengemban tugas pokok melaksanakan operasi siaga tempur laut meliputi pencegahan, penangkalan dan penindakan, di wilayah perairan yuridiksi nasional di perairan Timur Indonesia. Operasi Benteng Hiu-14 melaksanakan operasi di perbatasan wilayah laut Indonesia dengan Malaysia dan Operasi Benteng Paus-14 dengan tugas pokok melaksanakan operasi pengamanan perbatasan wilayah laut RI dengan Timor Leste dan Australia.

Kepada para komandan unsur yang terlibat dalam satuan tugas opersi tersebut Asops Danguspurlaarmatim menyampaikan beberapa hal yang perlu diperhatikan yakni  memastikan kesiapan kondisi teknis unsur dan kesamaan pemahaman tentang rencana operasi secara terinci. Hal ini dimaksudkan supaya dalam tahap pelaksanaan operasi dapat mencapai hasil yang optimal.

Turut hadir dalam kesempatan itu adalah Pabanrenops Danguspurlaarmatim, Komandan KRI Arun, Komandan KRI TBT, Komandan KRI SGG, Komandan KRI PDG, Komandan KRI SPT, Pilot U-623, Pilot P-850, Pilot NV-412, Komandan Tim Kopaska, Komandan Tim Marinir, Komandan Tim Penyelam serta perwakilan perwira unsur KRI yang terlibat.(Dispenarmatim).

Amankan Mantan Presiden dan Wapres, Panglima TNI Bentuk Grup D Paspampres


Amankan Mantan Presiden dan Wapres, Panglima TNI Bentuk Grup D Paspampres

Panglima TNI Jenderal Moeldoko 
 
Panglima TNI Jenderal TNI Moeldoko meresmikan Grup D Paspampres (Pasukan Pengamanan Presiden) TNI dalam suatu upacara militer, bertempat di Lapangan Hitam Mako Paspampres TNI Tanah Abang, Jakarta, Senin (3/3/2014).
Upacara Pengesahan Validasi Organisasi dan Tugas Paspampres TNI yaitu berupa penambahan satu Grup dari yang sudah ada selama ini tiga grup (Grup A, Grup B, Grup C) menjadi empat grup yaitu Grup D serta pembentukan satu Detasemen Pendukung yang berkedudukan langsung di bawah Danpaspampres TNI.
Dalam tugasnya, Grup D yang dikomandani oleh Letkol Inf Novi Helmy Prasetya lulusan Akabri 1993 melaksanakan pengamanan fisik jarak dekat terhadap mantan Presiden dan Wakil Presiden beserta keluarganya. Selanjutnya, untuk Detasemen Pendukung yang semula berada dibawah Grup C bertugas melatih dan membina kemampuan personil Paspampres TNI.
Panglima TNI dalam sambutannya mengatakan bahwa, pada konteks tugas apapun, TNI harus tampil profesional dan proporsional.

"Setiap satuan dan setiap prajurit TNI harus selalu menjaga profesionalitas, memiliki penampilan yang profesional, serta senantiasa menunjukkan sikap positif," kata Moeldoko, Senin (3/3/2014).
Menurutnya, penguatan profesionalitas inilah salah satunya menjadi dasar validasi organisasi satuan di jajaran TNI, yang terus dilaksanakan dan sempurnakan, guna optimalisasi pelaksanaan tugas-tugas yang diembankan negara kepada TNI dihadapkan kepada tantangan, ancaman dan perkembangan teknologi.
Dalam kaitan tersebut, peresmian validasi organisasi ini sebagai realisasi Peraturan Panglima TNI nomor 37 tahun 2013 tentang pokok-pokok organisasi dan prosedur Paspampres.

"Pada sisi lain, validasi ini merupakan penguatan struktural satuan Pampamres, dihadapkan kepada international VVIP security standard karena tugas Paspampres juga berkaitan erat dengan pengamanan VVIP internasional, yang searah dengan Peraturan Pemerintah nomor 59 tahun 2013, tentang pengamanan Presiden, Wakil Presiden dan mantan Presiden, mantan Wakil Presiden Republik Indonesia beserta keluarganya dan tamu negara setingkat kepala negara, dan/atau setingkat kepala pemerintahan," jelasnya.
Panglima TNI menegaskan bahwa keterampilan, kesemaptaan dan kesehatan prajurit TNI secara fisik menjadi faktor penentu, untuk dapat secara cerdas mengambil tindakan cepat dan mengendalikan situasi, serta memastikan objek dan propertinya dalam keadaan aman.

Oleh sebab itu, cara kerja yang profesional, disertai dengan kecermatan, kualitas berfikir yang cerdas, cepat, tajam dan akurat, serta kinerja yang semakin meningkat, harus menjadi ciri utama dari Paspampres TNI.
Pada kesempatan yang sama, dilaksanakan juga penganugerahan tanda kehormatan "Wira Karya" dari Presiden RI oleh Panglima TNI kepada para prajurit Paspampres TNI yang telah berjasa dalam pelaksanaan tugas pada KTT APEC XXI pada tahun 2013 di Nusa Dua Bali.

MBT Meningkatkan Peringkat Alutsista Menjadi Ke-4 di ASEAN



1379503995188425785

Perang darat tetap merupakan bagian terpenting pada konflik bersenjata. Perang darat moderen utamanya melibatkan pertempuran lapis baja. Pertempuran lapis baja mengandalkan alutsista lapis baja, khususnya tank. Diantara alutsista lapis baja, yang paling utama adalah Main Battle Tank.

13795045631087684689

Latar Belakang: Alutsista Lapis Baja
Terdapat 3 kategori tank: Main Battle Tank (MBT) atau Tank Tempur Utama (TTU), Medium Tank atau Tank Medium, dan Light Tank atau Tank Ringan.
1379504624854761368

Per definisi saat ini, tank adalah kendaraan tempur lapis baja dengan roda berantai, bobot 8 - 65 ton, kanon utama 70 - 150 mm diatas turet yang dapat berputar 360 derajat, operator 3 - 4 orang yang terlindung, dengan kemampuan kendaraan melewati rintangan, mobilitas tinggi, dan dapat menembak sasaran sambil bergerak.
MBT sendiri merupakan senjata utama diantara arsenal angkatan darat. Pada setiap perang sejak PDI, perebutan teritorial ditentukan oleh keunggulan tank (dalam pengertian luas, termasuk kualitas dan kuantitas). Dan MBT adalah tank tempur yang menjadi andalan utama.
Selama ini Indonesia belum pernah memiliki MBT, bahkan tidak memiliki tank medium, hanya tank ringan. Ketiadaan MBT ini adalah suatu pilihan strategis masa lalu. Selain pertimbangan biaya, berdasarkan sejarah, pada generasi pertama, hanya tank ringan yang efektif diproyeksikan ke kepulauan Nusantara. MBT generasi kedua umumnya dapat dihancurkan menggunakan RPG atau senjata kaliber besar, sehingga fungsinya kurang strategis. Di wilayah ini MBT moderen baru hadir pasca pembelian MBT oleh Malaysia tahun 2004, yang diikuti oleh Singapura tahun 2009.
Minimnya aset anti tank TNI pada masa lalu juga disebabkan karena TNI menggunakan metode unik dimana mortir dapat difungsikan sebagai senjata tembakan langsung, sehingga dapat dimanfaatkan sebagai senjata anti tank ringan, sementara menyederhanakan logistik tempur. Hal ini sangat efektif untuk operasi perang gerilya melawan musuh yang menggunakan tank ringan.
Berbeda dengan MBT generasi kedua, MBT moderen yang sering disebut sebagai generasi ketiga sangat sulit dihancurkan. MBT generasi ketiga hanya dapat dihancurkan oleh:
1. tembakan kanon 120mm dengan peluru anti tank modern, atau
2. dengan rudal anti tank moderen, atau
3. ranjau anti tank atau IED moderen, atau
4. serangan udara (rudal dari pesawat atau helikopter)
Hingga tahun 2012, TNI tidak memiliki arsenal tersebut diatas, sehingga pada dasarnya kemampuan tempur TNI tahun 2004 sampai dengan tahun 2012 teramat sangat rendah dibandingkan negara-negara tetangga. Artileri TNI umumnya dibawah 100mm, rudal anti tank hanya LAV dan RPG generasi lama, kemampuan ranjau IED tidak dikembangkan, dan kekuatan udara sangat lemah, tanpa rudal yang mampu menembus MBT generasi ketiga Malaysia dan Singapura. Pada saat ini pun (2013) kemampuan TNI masih sangat terbatas, karena berbagai persenjataan counter MBT masih dalam proses pengadaan, seperti Javelin dan howitzer 155mm CAESAR. Butuh waktu untuk pelatihan, distribusi, disamping pengadaan peluru yang sesuai untuk menangkal MBT.

Rencana Pengadaan
Kebutuhan MBT TNI awalnya diciptakan oleh AD Belanda, yang bermaksud mengurangi kekuatan tank-nya dengan menjual 100 MBT Leopard 2A4. Ini merupakan salah satu kebiasaan buruk akuisisi alutsista TNI dan Dephan yang tidak di bangun dengan rencana akuisisi melainkan lebih bersifat oportunistik.
Kendala eksternal terjadi saat pemerintah Belanda yang semula menawarkan tank bekas-nya, ternyata mendapat halangan dari parlemen-nya untuk menjual ke Indonesia. Per 2012, parlemen Belanda masih di dominasi oleh orang-orang yang anti Indonesia, dan juga beberapa partai jahat anti Islam yang sangat membenci Indonesia.
Kendala eksternal ini terpecahkan dengan datangnya tawaran dari perusahaan Jerman Rheinmetal, selaku bagian dari konsorsium produsen MBT Leopard, untuk menjual ke Indonesia. Rheinmetal adalah perusahaan senjata yang sangat terkemuka. Hampir 100% kanon tank MBT produksi negara-negara NATO adalah produk atau setidaknya didasari atas disain produk kanon smothbore Rheinmetal.
Harga sangat murah karena MBT Leopard 2A4 tersebut pada dasarnya di hibahkan oleh AD Jerman. TNI AD hanya perlu membayar Rheinmetal untuk upgrade dan revitalisasi MBT tersebut. Rheinmetal membuat paket upgrade MBT Leopard meniru perusahaan Jerman IBD yang sebelumnya menjual paket upgrade MBT Leopard ke Singapura.
Parlemen Jerman sendiri sebagaimana biasanya bersikap jauh lebih bersahabat dibandingkan dengan parlemen Belanda.
Kendala internal datang dari parlemen Indonesia sendiri. Alasan utama berasal dari beberapa penganut doktrin lama yang masih berfikiran bahwa MBT kurang sesuai untuk Indonesia. Pemikiran ini cukup berdasar, dengan argumen bahwa MBT Leopard yang ber bobot 60 ton akan sulit dan mahal untuk dioperasikan di Indonesia, dimana kebanyakan jalan dan jembatan memiliki batas kekuatan dibawah itu.
Terlepas dari perdebatan tersebut, setelah kunjungan DPR ke Jerman proyek pengadaan berjalan lancar, dan perdebatan berakhir tanpa argumen resolusi yang sampai pada rakyat.
Kontroversi kunjugan DPR ke Jerman

Daftar Belanjaan
Demikianlah tahun 2012 TNI melakukan pembelian 60 MBT Revolution, dan 40 MBT Leopard 2A4. Pembelian juga disertai beberapa tank pendukung, serta 50 Marder IFV (Infantri Fighting Vehicle). Konon kabarnya harga sangat miring: US $ 280 juta.
MBT Leopard 2 antara lain ditempatkan di YonKav 8/Tank Div Inf 2 Kostrad, Beji, Pasuruan. Batalion kavaleri ini dulu bermarkas di Bandung kemudian mengalami kekurangan kendaraan. Sebelumnya Yonkav 8 mengendarai tank ringan Scorpion dan Stormer.

Mari kita tinjau daftar belanjaan TNI AD lain yang terkait:
- ASTROS II MLRS: artileri peluncur multi rudal.
- CAESAR: artileri howitzer 155mm diatas mobil (self propelled).
- Grom, Starstreak, Kobra 5 SHORAD, TD-2000B: senjata anti pesawat.
- Javelin: rudal panggul anti tank generasi ketiga

Leopard 2A4
Jerman adalah salah satu negara produsen tank terbaik di dunia, selain AS dan Rusia. Keunggulan tank Jerman sudah sejak Perang Dunia. Salah satu disainer tank Jerman adalah Porsche. Pasca PDII, dilakukan kerjasama disain tank antara Jerman Barat, Prancis, dan Itali yang juga diikuti oleh Porsche dan Rheinmetall. Prancis kemudian mengembangkan AMX-30, sementara Jerman Barat memilih disain Porsche, yang kemudian di produksi menjadi MBT Leopard 1, yang di produksi oleh Krauss-Maffei Wegmann GmbH & Co. Prototipe Leopard 2AV dan XM1 sempat disandingkan untuk kerjasama pembuatan tank generasi ketiga AS dan Jerman, namun kerjasama dibatalkan. AS memilih XM1 dan membangun M1 Abrams, sedangkan Jerman melanjutkan Leopard 2AV menjadi Leopard 2. Tank Leopard 2 kemudian dikembangkan menjadi versi terkini Leopard 2A7, yang dipercaya oleh banyak pihak sebagai MBT terbaik di dunia saat ini.
Sekalipun berbeda disain, namun hampir seluruh tank generasi ketiga NATO berdasarkan disain kanon Rheinmetal 120mm (L44 / L55). Sementara tank generasi ketiga Pakta Warsawa umumnya berdasarkan disain 2A46 (D-81T) 125mm.

Leopard 2A4 diproduksi hingga tahun 1992 untuk menghadapi ancaman Uni Soviet. Dalam doktrin perang dingin NATO, Leopard 2A4 di-disain untuk menghadapi T-72 dan T-80 dalam jumlah lebih besar, dan kaliber kanon lebih besar (125mm). Dengan demikian Leopard 2A4 secara kualitas dirancang lebih baik.
Leopard 2A4 sendiri sudah mulai di pensiunkan dari angkatan darat Jerman dan dari berbagai negara Eropa. Sebagai andalan sejak 1998 digunakan Leopard 2A5 dan 2A6 yang lebih canggih, dan efisien. 

Leopard 2A4 bekas kemudian dijual murah ke berbagai negara dengan upgrade dan moderenisasi yang sering disebut sebagai MBT Leopard 2A4 Evolution. Tahun 2007, Singapura Armed Forces (SAF) membeli Leopard 2A4 Evolution ini dari perusahaan Jerman IBD. Versi Leopard 2A4 untuk Singapura kemudian disebut sebagai Leopard 2SG.
Rheinmetal adalah salah satu perusahaan yang menyediakan jasa peremajaan tank Leopard 2A4. Rheinmetal dikenal sebagai salah satu produsen senjata terkemuka di dunia. Khususnya bagian turret dan meriam dari Leopard umumnya di produksi oleh Rheinmetal. Leopard 2A4 dipersenjatai dengan kanon Rheinmetal L44 120mm. Terinspirasi oleh paket peremajaan IBD: Leopard 2A4 Evolution, maka Rheinmetal membuat program peremajaan sendiri: Leopard 2 Revolution yang dibeli oleh TNI AD.

MBT Revolution
TNI membeli 40 Leopard 2A4 dan 60 Leopard 2A4 yang telah di moderenisasi Rheinmetal dan disebut sebagai MBT Revolution.
Jika dibandingkan, Leopard 2A4 bentuknya terlihat sangat kecil, karena MBT Revolution menggunakan tambahan lapis baja AMAP-ADS. MBT Revolution seharusnya akan terlihat lebih gagah dibandingkan Leopard 2A4. Sesuai untuk parade 5 Oktober.
Advanced Modular Armor Protection (AMAP) adalah konsep perlindungan tambahan yang modular. Leopard 2A4 tanpa AMAP akan rusak jika terkena tembakan. Dengan armor modular, Leopard Revolution hanya perlu mengganti modul armor yang terkena. Dengan demikian tank dapat dengan cepat beroperasi kembali. Terdapat berbagai modul AMAP yang dapat ditambahkan untuk melindungi MBT.

AMAP-ADS adalah AMAP dengan tambahan Active Defense System (ADS), atau sistem pertahanan aktif. Berbeda dengan perlindungan lapis baja yang bersifat pasif, ADS terdiri atas sistem sensor di sekeliling tank yang dalam fraksi mikro detik mengaktifkan mekanisme pertahanan yang akan menabrak rudal yang datang sehingga rudal musuh tersebut meledak sebelum mengenai tank. Dengan teknologi ini, peluang MBT Revolution lebih besar untuk bertahan dari tembakan anti tank.

Salah satu kelemahan utama MBT Leopard di Indonesia adalah karena Leopard awalnya di disain untuk perang tank besar di tanah yang datar. MBT di perkotaan atau di daerah tropis dimana banyak pepohonan dan semak, sangat rentan terhadap serangan gerilya. Infantri diperkirakan tidak akan dapat menghancurkan MBT dengan satu kali tembak, tetapi gerilya dengan senjata anti tank yang baik dan pengetahuan tentang komposisi lapis baja akan dapat menghentikan atau bahkan menghancurkan tank jika operator tank tidak dapat melihat posisi gerilyawan tersebut dengan cepat.
Disini Rheinmetal memberikan upgrade andalan kepada MBT Revolution, berupa kemampuan melihat 360 derajat sekalipun dalam keadaan gelap, sehingga operator tank dapat dengan mudah melihat posisi infantri lawan. Melengkapi keunggulan situation awareness tersebut, MBT Revolution ditambahi dengan senjata mesin berpenggerak yang dapat dikendalikan dari dalam tank, sehingga operator tank tidak perlu keluar dari tank untuk menembak senjata mesin.
Masih banyak lagi kelebihan paket MBT Revolution dibandingkan MBT Leopard 2A4. Sayangnya, seperti biasa, sehubungan keterbatasan dana belum tentu seluruh fitur upgrade modular MBT Revolution dibeli TNI AD. Tetapi tentu saja fitur yang kurang dapat ditambahi sesuai kebutuhan dan kemampuan dana.

Kondisi Alutsista Regional 2012 (sebelum akuisisi MBT)
Alutsista di negara-negara ASEAN termasuk yang sangat tertinggal di dunia. Umumnya merupakan persenjataan peninggalan zaman perang dunia kedua dan zaman perang Vietnam. Sangat jauh tertinggal dibandingkan Australia, India, Jepang, Korea Selatan, atau bahkan Pakistan yang dulu pernah mendapat pinjaman pesawat tempur dari Indonesia.
Alutsista TNI termasuk yang sangat tertinggal di ASEAN. Berdasarkan kepemilikan alutsista, per 2012, TNI AD menempati urutan ke 7 dari 10 negara ASEAN, dimana alutsista TNI AD (sekalipun ditambah Marinir TNI AL), berada dibawah AD Kamboja dengan kebanyakan alutsista peninggalan Vietnam. Kamboja memiliki ratusan tank ringan (PT-76 dan Type 62) dan kendaraan tempur infantri (BTR-50, BTR-60, BMP-1), sementara TNI AD hanya sanggup meremajakan puluhan tank ringan AMX-13 tua. Tidak memiliki MBT dan tank medium. Hanya Marinir yang memiliki kendaraan tempur infantri modern BMP-3F dalam jumlah terbatas. Kendaraan truk pun tidak memadai bagi kompi-kompi senapan TNI AD. Ditambah kenyataan bahwa TNI AD tidak lagi memiliki ranjau anti personel, dan tidak memiliki bom kluster. 

Singapura, memiliki 95 Leopard 2SG (setara dengan MBT Revolution), telah memperbaharui 200 AMX-13-nya menjadi AMX-13 SM1, memproduksi kendaraan tempur infantri Bionix dalam jumlah besar, ditambah 1000 APC M113A2, infantri Singapura dapat dikatakan sepenuhnya lapis baja (mechanized). Singapura tidak meratifikasi konvesi anti ranjau dan bom kluster, sehingga memiliki sejumlah besar ranjau dan bom kluster.
Malaysia memiliki MBT PT-91M dan ratusan kendaraan tempur infantri ACV300. Thailand memiliki MBT T-84 disamping ratusan tank medium dan ratusan tank ringan, serta kendaraan tempur infantri Type-85. Myanmar dengan ratusan T-72, juga dengan ratusan tank medium, tank ringan, dan kendaraan tempur infantri.
AD terkuat di ASEAN adalah Vietnam, dengan ribuan tank dan kendaraan lapis baja, ribuan artileri, bahkan memiliki rudal balistik SS-1 Scud B dengan komponen produksi dalam negeri.
Hal ini menggambarkan betapa mengenaskannya alutsista TNI AD.

1393748987711280750

Peningkatan Alutsista TNI AD 2015
Kapabilitas militer Malaysia dan Singapura mungkin menjadi faktor pendorong utama TNI membeli MBT Leopard 2A4 tahun 2012, dengan delivery hingga 2014. Menyusul Singapura, Indonesia membeli 60 MBT Revolution, 40 MBT Leopard 2A4, 50 IFV Marder.
TNI juga mengadakan 180 ATGM Javelin dan 150 ATGM NLAW, menyusul Singapura yang mengadakan 1000 ATGM Spike dan 3000 ATGM Matador.

13937491231114435700
Dengan peningkatan ini, berdasarkan urutan kepemilikan alutsista, per 2015, TNI AD (termasuk Marinir) naik peringkat menjadi urutan ke-4, melampaui alutsista Malaysia, Myanmar, dan Kamboja yang sebelumnya berada diatas. Kamboja dan Myanmar karena keterbatasan dana belum dapat melakukan pengadaan MBT. Malaysia hanya mengadakan 48 MBT PT91M yang secara kualitas dan kuantitas masih berada dibawah Leopard 2A4 Indonesia.
Vietnam, Singapura, dan Thailand masih memiliki peringkat alutsista diatas TNI. Thailand dispekulasikan akan mengadakan 100 T84 Oplot sehingga bisa jadi akan memiliki 200 MBT pada 2015. Vietnam yang sudah memiliki T72 sekitar 100 unit diyakini berencana mengadakan MBT T90 dalam waktu dekat.
Singapura meraih keunggulan peringkat alutsista bukan hanya oleh Leopard 2SG, tetapi karena memiliki kavaleri moderen dengan dukungan sishanud yang sangat handal yang dikembangkan bersama Israel. Disamping itu Singapura memiliki sejumlah besar ATGM moderen: Spike dan Matador yang membuat infantri-nya dapat menghentikan kavaleri moderen lawan. Lebih lengkap lagi, kavaleri Singapura selain dilengkapi dengan sistem radar terintegrasi, termasuk radar anti artileri yang memberikan keunggulan dalam perang artileri, juga memiliki kemampuan perang elektronik yang sangat kapabel dibandingkan dengan kekuatan di kawasan. Belum lagi artileri Singapura dilengkapi oleh bom kluster dan penyebar ranjau anti personel, sementara TNI tidak memilikinya karena DPR sudah meratifikasi perjanjian internasional yang melarang TNI menggunakan bom kluster dan ranjau.
Terlepas dari berbagai kekurangan tersebut, peningkatan peringkat alutsista TNI sangan berarti baik bagi bangsa Indonesia maupun bagi personel TNI. Peningkatan peringkat kepemilikan alutsista ini adalah hal yang sangat positif dari pengadaan MBT Leopard TNI AD.
Dengan tetap perlu mengingat bahwa peringkat kepemilikan alutsista BUKAN peringkat kapabilitas militer. Namun dari peringkat ini dapat tergambar posisi TNI dibandingkan dengan negara-negara ASEAN.
Untuk memberi gambaran lain dari kondisi TNI diluar peringkat alutsista, berikut diberikan gambaran peringkat tentara darat TNI di tahun 2012.

1393749366480289774
Disini terlihat bahwa alutsista bukanlah segala-galanya. Ada berbagai aspek lain yang menentukan kemampuan tempur tentara nasional. Dari peringkat ini terlihat kelemahan TNI yang sangat mendasar karena:
A. Tidak memiliki kekuatan cadangan.
Komponen cadangan di negara demokrasi hanya dapat dikatakan ada jika diatur dengan baik oleh perundang-undangan. Berbagai permasalahan dalam penyusunan doktrin dan perundang-undangan mengakibatkan Indonesia selama puluhan tahun tidak lagi memiliki komponen cadangan. Artinya jumlah pasukan darat Indonesia terbatas pada jumlah TNI: yaitu ke 12 divisi wilayah (yang sangat tidak efisien untuk perang moderen) dan 4 korps: Kostrad (kekuatan sekitar 30.000), Marinir (kekuatan sekitar 30.000), Kopasus (kekuatan sekitar 10.000) dan Paskhas (kekuatan sekitar 10.000). Efektifitas ke 12 divisi sangat terbatas, sehingga mobilisasi akan sangat lambat dilakukan untuk membentuk kekuatan tempur strategis di tingkat nasional. Akibatnya efektif TNI hanya memiliki sekitar 80.000 pasukan yang siaga dari ke 4 korps tersebut diatas.

B. Kemampuan mobilisasi pasukan sangat terbatas oleh kondisi geografis dan keterbatasan infrastruktur.
Bila dikembalikan dalam konteks Leopard 2A4, mobilisasi kavaleri TNI memiliki banyak keterbatasan akibat infrastruktur nasional yang masih sangat terbatas.
1. Kapal angkut amfibi yang ada saat ini belum mampu mengangkut MBT sekelas Leopard secara efektif. Kapal pengangkut tank untuk Leopard masih tengah diupayakan pengadaannya. Demikian pula pelabuhan yang dapat menampung pendaratan Leopard juga masih sangat terbatas di Indonesia.

2. Keterbatasan angkut dalam pulau disebabkan karena belum adanya jaringan kereta api yang memadai di kepulauan Indonesia. Keberadaan jaringan kereta api adalah faktor kunci pengerahan pasukan moderen yang juga sejalan dengan perkembangan perekonomian daerah.

3. Keterbatasan depo logistik, baik bahan bakar, perbaikan, maupun amunisi. Dalam konteks pemanfaatan MBT secara optimal, akan ditemui berbagai kendala manajemen logistik tersebut.
Hal lain yang menurunkan manfaat dari pengadaan Leopard adalah kurangnya alutsista yang dibutuhkan agar MBT dapat beroperasi secara optimal.

Kekurangan kepemilikan alutsista yang paling menurunkan daya tempur MBT adalah:
1. Kekurangan alutsista pertahanan udara mobil yang dapat mendukung gerakan unit kavaleri moderen. TNI secara khusus belum memiliki kemampuan pertahanan udara yang memadai. TNI AD misalnya hanya memiliki pertahanan udara jarak dekat, sekitar 5 km. TNI AL sendiri baru memiliki Korvet F2000 yang mampu melindungi dari serangan udara dalam jangkauan 25 km. Sistem pertahanan udara TNI AD yang dikembangkan dengan Thales berbasis CM2000 diperkirakan lebih bersifat statis, tidak terkait dengan pembentukan sistem pertahanan udara mobil untuk mendukung kavaleri moderen yang diujung tombaki oleh MBT. Tanpa payung udara jarak jauh dan menengah, unit kavaleri terancam menjadi sasaran tembak yang sangat mahal.

2. Kekurangan dalam perang elektronik membatasi kemampuan komunikasi tempur TNI pada kondisi perang. Pihak penyerang dapat dengan mudah melakukan jamming atas komunikasi tempur sehingga unit-unit militer tidak dapat berperang secara terkoordinasi. Kelemahan sistem komunikasi tempur TNI sudah dirasakan sejak lama, khususnya jika berhadapan dengan negara-negara berkemampuan electronic warfare moderen seperti Singapura, Thailand, apalagi Australia.

3. Terdapat 2 jenis keterbatasan TNI dalam menghadapi perang moderen, pertama adalah keterbatasan oleh ratifikasi perjanjian pembatasan senjata, sehingga TNI memiliki keterbatasan alutsista seperti bom kluster, ranjau, dsb, sementara beberapa negara di kawasan tidak meratifikasi perjanjian tersebut. Keterbatasan kemampuan tempur anti tank dari infantri TNI akibat terbatasnya jumlah senjata anti tank moderen. TNI hanya memiliki Javelin yang cukup efektif menghadapi kavaleri moderen. Dengan keterbatasan persenjataan ini keunggulan jumlah potensial TNI tidak dapat dimanfaatkan secara optimal, sebaliknya, musuh dengan jumlah jauh lebih kecil akan mampu menetralisir kemampuan kavaleri TNI.

Kekurangan yang paling mendasar adalah belum tersusunnya doktrin perang moderen TNI yang solid. Pengadaan didasari atas penentuan daftar belanja dari 3 angkatan yang masing-masing berfikir untuk diri sendiri, tanpa adanya penyatuan konsep Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, atau Angkatan Perang Republik Indonesia yang ditujukan untuk memiliki angkatan perang moderen yang efektif. TNI yang bertempur sebagai 1 angkatan, bukan 3 gerombolan terpisah yang sibuk dengan perimbangan kekuatan, masing-masing dengan kepentingan masing-masing, dan dipenuhi saling tidak percaya.

Lebih jauh lagi, doktrin tempur lapis baja belum dimiliki, sehingga pengadaan MBT menjadi sangat mubazir. Alih-alih membentuk divisi kavaleri moderen, yang diwujudkan justru rencana menyembunyikan MBT sebagai salah satu sasaran tembak utama dari serangan udara musuh. Hal ini tidak membuat MBT memjadi tidak bermanfaat, hanya saja potensi dari pengadaan MBT menjadi tidak tercapai, yaitu untuk membentuk angkatan perang modern.

Menjaga Langit Barat dengan Elang “Hibah”


Tahun ini adalah tahun pertama kedatangan burung-burung besi F-16 upgrade dari USA. Semakin mendekati hari kedatangan, semakin banyak pula pro-kontra menanggapi kehadirannya.
f-16-2014
F-16 Block 25 Refurbish Memperkuat Indonesia Tahun 2014

Pihak yang pro menganggap bahwa keputusan pemerintah untuk menerima hibah ini adalah hal yang wajar untuk mengejar kuantitas sebelum meraih kualitas. Sementara yang kontra tentu saja menganggap bahwa mendatangkan pesawat bekas meskipun di-upgrade hingga block 52 bahkan mungkin nanti ada block 70, 80, 100 dan seterusnya, tetap saja percuma mengingat dinamika kawasan yang akan kedatangan pesawat-pesawat tempur canggih sekelas gen 4,5++ hingga gen 5.
Terlepas dari pro-kontra tersebut, mari kita menyimak “pengalaman tempur” pesawat ini sebelum memberi penilaian. Kata yang dibold itu sengaja dibuat untuk menekankan arti pengalaman yaitu bukti empiris ketimbang teori berdasarkan spesifikasi.
Coba perhatikan beberapa pandangan pilot-pilot Amerika dan Eropa yang pernah menggunakannya baik dalam latihan skala besar maupun pertempuran sesungguhnya.
Menurut Letkol Philip “Rico” Malebranche dari USAF, F-16 mampu meladeni pesawat sekelas F-15 Eagle dengan baik. “F-16 itu kecil, ringan dan lincah” katanya. Meskipun memiliki kecepatan maksimum dan menanjak yang lebih rendah, namun ia mempunyai RCS yang kecil sehingga menyulitkan untuk dibidik (spot), dan juga dapat menandingi F-15 pada ketinggian rendah dengan manuver-manuver ekstrim.
USAF sendiri memerlukan kehadiran F-16 untuk mendampingi penempur kelas berat F-15 dalam menghadapi pesawat blok timur dari type ringan seperti Mig-21 pada pertempuran WVR. Lagi menurut Rico, dengan Thrust to Weight ratio yang lebih tinggi ketimbang F-18 E/F super hornet, pada kecepatan tinggi F-16 mampu mengatasi super hornet dengan cara menanjak hingga 3000 meter di atas F-18 kemudian bermanuver untuk menempatkan F-18 tetap di depan HUD (head up display pilot). Namun hal ini menjadi berbahaya pada kecepatan yang lebih rendah dimana F-18 mampu menaikkan hidungnya lebih mudah ketimbang F-16.
Bagaimana dengan pesawat lain?
Dibanding Mirage 2000, F-16 tidak banyak kehilangan daya ketika harus bermanuver cepat dalam radius kecil. Sedangkan jika dibandingkan dengan Eurofighter Typhoon, F-16 mampu melayaninya pada ketinggian di bawah 10.000 kaki. Pada jelajah di atas 10.000 kaki maka kemampuan aerodinamis dan komputerisasi Typhoon tidak mampu diatasi oleh F-16.
24 pesawat tempur F-16 akan memperkuat Skadron 16 Pekanbaru, Riau
24 pesawat tempur F-16 akan memperkuat Skadron 16 Pekanbaru, Riau

Bagaimana implementasi di lapangan?
Dengan homebase di Pekanbaru, maka hanya sekian menit F-16 sudah dapat mengintip langit tetangga. Itu berarti tidak diharuskan ketinggian jelajah di atas 10.000 kaki, yang berarti pilot-pilot F-16 tetap dapat mengandalkan keunggulan F-16 dalam manuver ketinggian rendah ketika harus bertemu pesawat-pesawat dari tetangga.
Namun, Geografi lingkungan mulai dari Pekanbaru hingga Batam juga berupa dataran rendah dan laut, termasuk flat sehingga tiada tempat untuk sembunyi atau bermanuver di area sempit yang merupakan keunggulan utama F-16.
Terhadap Sonora yang akan mendatangkan F-35, memang fitur silumannya cukup memusingkan untuk dihadapi oleh TNI-AU baik pilot tempur maupun arhanud. Tapi jangan lupa, kita punya marinir dan dari Batam semua pergerakan pesawat dapat terlihat jelas bahkan dengan mata telanjang. Keunggulan siluman itu menjadi sia-sia jika disiapkan pengamat dengan 4-5 shift sehari dilengkapi panduan malam dan kamera infra merah karena Singapura belum mampu meluncurkan pesawatnya tanpa terlihat dari wilayah Indonesia kecuali mereka mengirim dari luar Singapura.
Terhadap Sonotan, nah ini yang agak sulit. Garis pantai yang panjang di sepanjang pesisir selatan Jawa hingga Bali, NTB, NTT, laut Arafura hingga Papua sangat memungkinkan ditembus kapan saja baik siang maupun malam (karena lalu lintas udara dan air di kawasan tersebut juga relatif tidak seramai di Barat-Utara).
Akuisisi rudal khusus yang bisa mentracking pesawat siluman menjadi keharusan di area selatan ini. Tidak mungkin nanti setelah mendatangkan Su-35, kita selalu mengirim 2 sukhoi tersebut untuk patroli (tracking IRST terhadap pesawat siluman sangat efektif menggunakan 2 pesawat bersamaan dengan cara menggiring seperti nelayan menggunakan pukat harimau yang ditarik 2 perahu). Sampai ditemukannya teknologi yang secara efisien dapat melacak pesawat siluman, maka wilayah selatan tetap adalah lubang hitam kita. Mungkin biar seimbang, Kilo harus terus berpatroli dengan tujuan tidak untuk melacak pesawat siluman musuh (yang memang tidak dimungkinkan), namun lebih kepada keseimbangan bahwa kitapun bisa menerobos garis pagar sonotan. (by Maling Jemuran).
Sumber: Theaviationist.com

Minggu, 02 Maret 2014

The Legend F-16 A/B Block 15 OCU TNI AU “The Dragons”

F-16 TNI AU
Dibalik Keputusan Pembelian
Terbentuknya skuadron udara 3 yang berkedudukan di Iswahyudi, Madiun, diawali dengan kebutuhan Indonesia akan pesawat tempur yang berdaya gempur tinggi dan berteknologi tinggi pada saat itu yaitu di era tahun 80-an. Indonesia butuh pesawat  demikian dengan tujuan  untuk menyejajarkan diri dengan negara-negara lain dalam penguasaan dan pemilikan jet tempur berteknologi tinggi. Oleh karena itulah, Menhankam/ Pangab M. Yusuf mewakili Presiden Soeharto ingin menyatakan permintaan langsung kepada Presiden Amerika Serikat Ronald Reagan untuk diperbolehkan membeli pesawat tempur F-16 Fighting Falcon . Menhan AS pada saat itu menjawab, “NO”, dengan alasan yang politis sebab F-16 hanya dijual ke negara-negara NATO dan Israel saja.
 
M. Yusuf pada saat itu ngambek mendengar kalimat penolakan tersebut. Adu urat antara Menhan AS dengan M. Yusuf terjadi, dimana M. Yusuf tetep keukeuh pada pendirian semula agar bisa ketemu langsung Ronald Reagan. Karena tidak terjadi kesepakatan, akhirnya M. Yusuf pulang dengan rasa tidak senang kepada pihak AS. Ketika melihat tamunya langsung pulang dari pertemuan tsb, pihak AS  merasa bingung dan akhirnya mengejar rombongan tersebut sampai Tokyo dan membujuk-bujuk M. Yusuf agar mau kembali meneruskan pembicaraan. Akhirnya setelah diadakan pertemuan kembali, permintaan Indonesia akan pesawat F-16 diluluskan. Mungkin klo M. Yusuf tidak ngambek maka Indonesia tidak mendapat pesawat ini…. :D

Proyek Bimasena
 
Untuk merespon persetujuan AS tentang pembelian F-16 RI, maka diadakan persiapan-persiapan yang dianggap perlu untuk melancarkan kegiatan ini yang kemudian dinamakan “Proyek Bimasena”. Proyek ini dipimpin oleh Marsekal Muda TNI S. Adi dimana  kegiatan yang dilakukan misalnya menyiapkan perkantoran, hanggar, taxi way, gudang serta bangunan-bangunan lain yang diperlukan di lapangan udara Iswahyudi, Madiun.
 
Kontrak pembelian F-16 dari AS ke pemerintah RI ditanda tangani pada tanggal 30 Agustus 1986 dimana pada kontrak tersebut dinyatakan bahwa RI membeli 12 pesawat F-16 Fighting Falcon dengan paket harga pembelian dari AS sebesar 329 juta dolar. Paket pembelian ini termasuk pembelian pesawat, pelatihan penerbang dan crew teknisi, ongkos pengiriman pesawat dan juga spare part pesawat untuk 2 tahun pemakaian mencakup 107.000 item.
Pada tanggal 12 Desember 1989, dan disambut langsung oleh Menhankam/Pangab L.B Moerdani  di Lanud Iswahyudi, Madiun. Akhirnya,   kedua F-16 pertama yang dimiliki oleh RI mendarat setelah melakukan perjalanan ferry yang panjang dari Dallas Fort Worth, Texas. Penerbangan perdana ini dilakukan oleh Mayor Penerbang Sidehabi dan Mayor Penerbang Rodi Suprasodjo. Penerbangan ferry ini memakan waktu dari tanggal 8 sampai dengan tanggal 12, melewati rute Dallas – Hawai-Guam – Madiun.  Diselingi menginap istirahat dan isi bahan bakar di Hawaii serta di Guam.  Bagaimana dengan 10 pesawat F-16 RI yang lain? Ternyata kedatangan pesawat-pesawat tersebut tidak sekaligus, namun secara bertahap. Dan akhirnya pada tahun 1990, lengkap sudah elang-elang udara ini mengisi homebase mereka di skuadron 3,  lanud Iswahyudi dan siap menjaga kedaulatan wilayah udara RI. Dengan telah lengkapnya F-16 RI, proyek Bimasena dinyatakan berakhir.

F-16 Fighting Falcon Indonesia
 
F-16 Fighting Falcon adalah jet tempur multi-peran yang dikembangkan oleh General Dynamics, di Amerika Serikat. Pesawat ini awalnya dirancang sebagai pesawat tempur ringan, dan akhirnya berevolusi menjadi pesawat tempur multi-peran yang sangat populer. Kemampuan F-16 untuk bisa dipakai untuk segala macam misi inilah yang membuatnya sangat sukses di pasar ekspor, dan dipakai oleh 24 negara selain Amerika Serikat. Pesawat ini sangat popular di mata international dan telah digunakan oleh 25 angkatan udara. F-16 merupakan proyek pesawat tempur Barat yang paling besar dan signifikan, dengan sekitar 4000 F-16 sudah di produksi sejak 1976. Pesawat ini sudah tidak diproduksi untuk Angkatan Udara Amerika Serikat, tapi masih diproduksi untuk ekspor.
12 Pesawat F-16 RI yang dipesan dari AS terdiri dari 8 pesawat berkursi tunggal (A) dan 4 pesawat berkursi ganda (B) dimana kedua pesawat tersebut merupakan F-16 dari Block 15 (Operational Capability Upgrade ) OCU. F-16 A/B Block 15 OCU  dilengkapi Westinghouse AN/APG-66 Pulse-doppler radar, Pratt & Whitney F100-PW-200 turbofan, dengan 14.670 lbf (64.9 kN), 23.830 lbf (106,0 kN) dengan afterburner.
F-16 A/B Block 15 OCU berbeda dengan versi awal dari F-16 produksi awal. F-16 A/B Block 15 OCU dibuat dengan memenuhi standar Operational Capability Upgrade (OCU), yang mencakup mesin F100-PW-220 turbofans dengan kontrol digital, kemampuan menembakkan AGM-65, AMRAAM, dan AGM-119 Penguin, serta pembaruan pada kokpit, komputer, dan jalur data. Berat maksimum lepas landasnya bertambah menjadi 17.000 kg.

SPESIFIKASI F-16 SECARA UMUM :
Manufacturer: General Dynamics
Crew: 1/2
Engines: 1 Pratt &Whitney F100- PW-100 or -220 turbofan or I General Electric F110-GE-100 turbofan
Max power: F100-PW-220: 23,800 Ib (10,796 kg) static thrust F110-GE-100: 28,900 Ib (13,109 kg) static thrust
Internal fuel capacity: F-16 C: 6,972 Ib (3,162 kg) or approx 1,073 US gal(4,060 liters)F-16 D: 5,785 Ib (2,624 kg) or approx 890 US gal (3,369 liters)
External fuel capacity: 6,760 Ib (3,066 kg) or approx 1,040 US gal (3,936 liters)
WEIGHTS:
Empty: 18,238 Ib (8,273 kg) combat weight (50 % fuel and 2 Sidewinder AAMs)F100-PW-220: 26,250 Ib(11,907kg)F110-GE-100: 27,350 Ib(12,406 kg)
Max takeoff: 42,300 Ib (19,187 kg)
DIMENSIONS:
Wingspan to rails: 31 ft (9.45 m)
with missiles: 32 ft 10 in (10m)
Length: 49 ft 3 in (15.03 m)
Height: 16 ft 8 in (4.95 m)
Wing area: 300 ft2 (27.87 m2)
PERFORMANCE:
Max speed: more than 1,146 kts (1,320 mph; 2,124 km/h) or Mach 2 ceiling 60,000 ft (18,300 m)
Radius: F-16 A, with 6 500-lb (227-kg) bombs, hi-lo-hi.
Internal fuel: 295 nm(340 mi; 547 km) F-16 C, weapons load unspecified: more than 500 nm (575 mi; 925 km)
Ferry range: more than 2,100 nm (2,420 mi; 3,891 km)
Armament: 1 M61 20-mm multibarrel cannon with 515 rounds and 2 450-lb (204-kg) capacity wingtip launch rails for AAM and 6 wing, 1 belly, and 2
inlet weapons stations for AAM, bombs, air-toground missiles, fuel, rockets, chaff/flare dispensers, or electronics pods; of these:2 700-lb (318-kg) capacityouter wing pylons for AAM only 2 3,500-lb (1,588-kg) middle wing pylons AAM and other stores 2 4,500-lb (2,041-kg)inboard wing pylons for other stores only 1 2,200-lb (998-kg) capacity fuselage hardpoint for bombs,dispensers, or fuel2 900-lb (408-kg) inlet stub pylons for electronics pods
Radar: AN/APG-68 pulse- Doppler

Usaha Percobaan Pembunuhan Sukarno Oleh Maukar

Last Tiger di Langit Jakarta

Pada 9 Maret 1960, sekira pukul dua belas lebih dua puluh menit siang hari, sebuah pesawat tempur jenis Mikoyan-Gurevich MIG-17F Fresco nomor 1112 melayang-layang rendah dengan kecepatan tinggi di langit Jakarta dari arah tenggara. Arah yang ditujunya adalah Istana Merdeka. Pesawat itu diidentifikasi milik Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI).

Sesampainya di atas Istana Merdeka, pesawat terbang tersebut melepaskan serentetan tembakan mitraliyur ke arah halamannya dengan peluru kanon 23 mm. Mengenai apa saja yang bisa dikenainya: kantor telepon, halaman rumput istana, tangga dan pilar istana, mobil, bahkan manusia. Sesudah menembaki istana tersebut, pesawat tersebut naik lebih tinggi ke atas dan melakukan manuver memutar. Setelahnya melepaskan lagi serentetan tembakan ke arah sasarannya yang sama.

[Sejarah Indonesia] Usaha Percobaan Pembunuhan Sukarno Oleh Maukar - Bagian 1
Pesawat Mig-17 yang dipakai Maukar.

Orang-orang Jakarta yang berada di dekat lokasi kejadian kontan terkesiap melihatnya. Mereka yang ada di dalam gedung perkantoran segera berhamburan keluar disertai rasa ketakutan dan penasaran akan apa yang tengah terjadi. KSAU Marsekal Suryadarma yang tengah rapat di gedung Dewan Nasional, Dr. Soebandrio (Menteri Luar Negeri pada waktu itu) yang sedang rapat di Departemen Luar Negeri, bahkan Presiden Soekarno sendiri yang tengah memimpin rapat di gedung Dewan Nasional—kira-kira 20 meter dari arah istana, keluar untuk memeriksa keadaan.

“Istana ditembak!” Demikian histeris yang terdengar, berhasil menyiutkan nyali setiap orang. Selepas menembaki istana, pesawat itu mengarah ke barat, meninggalkan kepulan asap hasil tembakannya yang masih membumbung tinggi-tinggi ke atas langit.

Dalam sebuah berita yang dikabarkan oleh Harian Rakjat keesokan harinya, tertanggal 10 Maret 1960, aksi brutal pesawat ini mengakibatkan sekurang-kurangnya delapan belas orang terluka. Di Istana Merdeka sendiri ada empat orang korban luka-luka, yaitu seorang pegawai istana dan seorang pekerja pengapur tembok istana terkena tembakan di kakinya, seorang pegawai telepon istana dan seorang pejalan kaki yang sedang berjalan di depan kantor Pertamina turut menjadi korban. Sementara sebuah mobil yang sedang melintas di dekat Istana Merdeka juga tertembus peluru pada bagian bagasinya.[1] Empat belas korban lainnya merupakan korban yang berada di kawasan Cilincing, yang siang itu dirawat di RSUP. Sepuluh nama para korban yang berhasil dicatat di pekabaran ialah para wartawan Harian Rakjat. Di antaranya Eman, Sarah, Surjati, Anim, Djuhri, Simiadi, Emik, Purwa, Ojok dan Suratmin.[2]

Ternyata MIG-17 itu, sehabis menembaki Istana Merdeka, masih melanjutkan pekerjaannya yang belum tuntas. Penembakan ini sendiri direncanakan di tiga titik, meliputi: tangki bahan bakar di Tanjung Priok (Cilincing), Istana Merdeka (Istana Kepresidenan) dan Istana Bogor.[3] Selepas menunaikan tugasnya, pesawat ini lantas direncanakan kabur ke arah Bogor dan mendaratkan pesawatnya di kawasan yang sudah ditentukan. Di mana sang pilot telah diatur untuk diselamatkan oleh pihak DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia). Namun, tak sempat sampai di tempat yang dituju, pesawat sudah mendarat darurat di sekisaran Leles, Garut, Jawa Barat, karena kehabisan bensin. Dan ketika tertangkap semua orang terkejut, siapa nyana penembak sekaligus pilot pesawat itu adalah anggota AURI (Angkatan Udara Republik Indonesia), yang mempunyai kode panggilan: Tiger.[4]

Siapa Tiger?

Tiger adalah nama kode panggilan yang diberikan kepada Maukar oleh pangkalan AURI, sebelum ia melesat di udara untuk sebuah sesi latihan menerbangkan pesawat. Di kalangan AURI, Maukar memang relatif cukup dikenal. Dia berpangkat Letnan II Pnb dan termasuk salah seorang pilot AURI terbaik pada masanya. Kariernya di dunia penerbangan dimulai ketika ia mendaftarkan diri masuk ke AURI, sesudah gagal masuk mendaftar sebagai pilot Garuda karena tidak memenuhi persyaratan kesehatan.

[Sejarah Indonesia] Usaha Percobaan Pembunuhan Sukarno Oleh Maukar - Bagian 1
Daniel "Tiger" Maukar tengah.

Maukar lahir di Bandung pada 20 April 1932. Nama lengkapnya adalah Daniel Alexander Maukar. Orang tuanya bernama Karel Herman Maukar (ayah) dan Enna Talumepa (ibu). Meskipun masih berdarah Manado, Sulawesi Utara, dan dengan kultur Manado yang tetap dipertahankan dalam kehidupan keluarganya, sesungguhnya ia cukup jauh dari adat-istiadat Manado. Ia adalah anak ketiga dari lima bersaudara: Paula, Herman, Daniel, Nancy dan Vivi—di mana masing-masing dari kelimanya menyandang nama keluarga Maukar, yang dipakai di belakangnya.

Darah dan jiwa keprajuritan diturunkan dari garis tradisi ayahnya. Ia adalah polisi berpangkat ajun komisaris besar, dan pernah menjabat Acting Kepala Polisi Jakarta. Maukar mengeyam pendidikan formal di Sekolah Dasar (SD) Akebono Jatinegara, Jakarta Timur. Selulusnya dari sana, ia melanjutkan ke Sekolah Menengah Pertama (SMP) K (Kristen). Setamatnya SMP K Dani hendak melanjutkan ke Sekolah Menengah Pelayaran, namun urung dilakukan sebab Karel Herman Maukar menganjurkannya untuk melanjutkan ke Sekolah Menengah Atas (SMA). Alasan ini membuat Dani memutuskan untuk melanjutkan pendidikannya ke SMA Gang Batu.

Ihwal ketertarikannya pada dunia penerbangan bermula saat ia duduk di bangku kelas 3 SMA—umur yang tepat bagi seseorang menetapkan cita-citanya. Suatu hari di Bandara Kemayoran, ada pameran mengenai pesawat, bahkan ada undian tiket joy flight dengan pesawat Convair milik Garuda. Dani memenangkan salah sebuah tiket tersebut. Semenjak itulah ia mengaku keranjingan dengan hal-hal yang berbau penerbangan dan pesawat. Bahkan selulusnya dari SMA ia sudah punya cita-cita: menjadi pilot. Karena itu ia mendaftar seleksi masuk sekolah pilot di Garuda. Sayangnya gagal lolos karena tidak memenuhi persyaratan kesehatan. Kegagalan ini membuat Dani bekerja demi mengisi kekosongan waktu. Pekerjaan yang dilakoninya adalah menjadi agen polisi selama rentang waktu 1952-1954. Dua tahun berikutnya, Dani ikut tes kembali, tetapi tidak di Garuda. Ia mendaftarkan dirinya di AURI dan diterima, tepatnya pada 1 Januari 1956. Dari sini Dani memulai langkah baru di AURI dengan mengikuti latihan dasar kemiliteran di Margahayu, Bandung, Jawa Barat.

Dua tahun berselang (awal 1958), ketika Permesta sedang gencar-gencarnya melakukan aksi-aksi pemberontakan, Dani telah menyandang brevet penerbang AURI. Tak lama sesudah itu ia ditempatkan di Skuadron 3, sebelum akhirnya harus berangkat ke Palembang untuk melaksanakan misi show of force terhadap elemen PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia) yang masih bertahan. Usai melakukan dinas di Palembang Maukar terpilih untuk dikirim ke Mesir. Pemilihan untuk mengirimnya ke sana penuh dengan suatu kerahasiaan yang cukup rumit. Ada fakta yang menyebutkan bahwa keberangkatannya ke Mesir adalah untuk menyelesaikan misi lain. Ada pula yang mengatakan bahwa pihak AURI khawatir kalau Maukar ditarik masuk ke Permesta—kelak ketakutan ini menjadi kenyataan. Apalagi sejumlah laporan menunjukkan Dani sudah diincar Permesta. Selama di Mesir, tanpa sepengetahuannya, dirinya terus diawasi agar terhindar dari orang-orang yang tidak dikehendaki.[5]

Maukar dikirim bersama dengan enam penerbang lainnya, di antaranya Sukardi, Ibnoe Subroto, Saputro, Sofyan Hamzah, Kuncoro Sidhi dan Dani. Rombongan kecil ini dipilih sebagai upaya menyiapkan awak bagi MIG-17 yang dipesan AURI dari Uni Soviet (kini Rusia). Persis 1 Mei 1958 rombongan kecil ini lantas diberangkatkan ke Mesir. Mereka berada di Mesir selama 6 sampai 7 bulan dan berakhir di tanggal terakhir bulan November. Dari Mesir, mereka berpindah ke Polandia untuk materi night fighter.[6]

Sekelumit Mengenai Dewan Manguni

Seperti sudah disebutkan di atas, semasa pendidikan Maukar di AURI, suhu perpolitikan di Indonesia medio 1957-1960 memanas. Dua pergolakan yang besar di daerah munculnya. Pertama, pada 2 Maret 1957, Permesta dideklarasikan oleh H.N. Ventje Sumual. Disusul setahun berikutnya, pada 15 Februari 1958, PRRI didirikan. Penyebab kemunculan pergolakan-pergolakan ini adalah ketidakpuasan masyarakat, khususnya tentara, di daerah bersangkutan terhadap kebijakan pemerintah pusat.

Beberapa tuntutan yang diinginkan yaitu: (1) perbaikan yang progresif dan radikal terhadap masalah pimpinan negara, (2) penyelesaian kericuhan dalam pimpinan Angkatan Darat, (3) pemberian otonomi seluas-luasnya bagi Pemerintah Daerah Sumatera Tengah, dan (4) menghapuskan kecenderungan “sentralisme” dalam birokrasi yang menyebabkan “stagnasi”  dan “korupsi” dalam pembangunan.[7] Akan tetapi, bahkan sebelum PRRI pecah pada bulan Februari 1958, fokus protes pemberontakan sebenarnya telah berpindah dari Nasution dan kepemimpinan ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) ke Presiden Soekarno dan pendukungnya yang beraliran kiri.[8]

Tuntutan ini semakin memburuk karena peristiwa Cikini. Pada 30 November 1957 dilakukan usaha percobaan pembunuhan Soekarno yang pertama kalinya. Peristiwa ini membikin kondisi didaerah-daerah yang sudah tidak tenang menjadi bergejolak.[9] Selanjutnya hal ini memberi ilham kepada beberapa orang pemimpin militer di Sulawesi untuk menyatukan para bawahan. Sebagaimana Majalah Tempo mencatat:

Sumual mengajak mereka bersatu. Ia sendiri gerah melihat anak buahnya hidup berdesakan di tangsi-tangsi kumuh. “Maka lahirlah Perjuangan Semesta,” katanya. Sumual yang diangkat menjadi “Panglima Permesta”, membacakan “proklamasi” di kantor Gubernur Sulawesi di Makassar pada pagi 2 maret 1957.[10]

Prosesi tercetusnya proklamasi Permesta, dipaparkan dengan baik oleh Barbara Sillars Harvey dalam bukunya Permesta, Pemberontakan Setengah Hati:

Pada tengah malam 1 Maret itu, orang-orang sipil terkemuka di Makassar dibangunkan dari tidur mereka oleh pasukan berseragam membawa undangan untuk satu pertemuan di Gubernuran; ke tempat itulah mereka akan dibawa dengan segera.[11]

Sekitar lima puluh orang berkumpul dalam pertemuan itu, yang secara resmi dibuka pukul tiga subuh oleh Komandan TT-VII, Sumual. Ia membacakan proklamasi keadaan darurat perang di Indonesia Timur.[12]

Daerah inti Permesta adalah di Sulawesi: di Makassar, tempat perencanaan proklamasi itu dan di Minahasa, di ujung utara dari pula itu, tempat rakyat dalam satu tahun mempersiapkan diri melawan pemerintah pusat di bawah bendera Permesta.[13]

Ketika Permesta resmi dideklarasikan, Dewan Hasanuddin, yang tidak jadi terbentuk, dan Dewan Manguni turut bergabung sebagai bagian di dalamnya. Dewan Manguni terbentuk atas inisiatif Kapten GK. Montolaw dkk. pada akhir 1956. Pimpinan dewan itu terdiri atas Henk. L. Lumanauw (Ketua), A.C.J. Mantiri (Direktur Pelayaran Rakyat Indonesia, Manado) dan Hein Montolalu sebagai anggota serta Jan Torar (Sekretaris).[14] Setelah itu Dewan Manguni yang bergabungnya di Permesta mengubah namanya menjadi Brigade Manguni sebagai bagian dari satuan-satuan otonomi di dalam organisasi militer Permesta. Didapuk sebagai pimpinannya adalah Laurens Saerang.

Brigade Manguni inilah yang kemudian dituding sebagai dalang dibalik aksi penembakan dari udara yang dilakukan oleh Maukar. Beberapa sumber menyebutkan, setelah melalui beberapa pertempuran-pertempuran sengit di Sulawesi, pada akhirnya posisi Permesta mulai melemah. Ini terjadi sesudah Kotamobagu berhasil dikuasai tentara-tentara pemerintah pusat pada September 1959. Akan tetapi, kekalahan itu tidak mutlak disebabkan kejatuhan Kotamobagu saja. Faktor terpentingnya adalah perpecahan di dalam tubuh Permesta itu sendiri. Perpecahan itu meletus mengenai beberapa masalah pokok: penempatan satuan-satuan militer; pengambilalihan sikap terhadap bagian pemberontakan yang dilangsungkan di Sumatera, terutama setelah proklamasi Republik Persatuan Indonesia (RPI) pada Februari 1960; serta perundingan-perundingan dengan pemerintah pusat.[15] Selain itu, perpecahan itu juga terjadi akibat ketidakcocokan pribadi.[16]

Pada 1961, Pemesta menyatakan kembali ke pangkuan ibu pertiwi (Indonesia), sesudah pihak pemerintah pusat menyerukan kepada pihak Permesta untuk kembali ke Republik. Kemudian dalam periode 11-15 Februari 1961, 11.343 orang dari Brigade Manguni, anggota Persatuan Wanita Permesta (PWP) dan orang-orang dari Lima pangkalan gerilya di Langoan-Kakas, di bawah pimpinan Laurens Saerang, menyerah kepada Republik. Mereka diterima dalam suatu upacara resmi pada 15 Februari 1961 oleh Mayor Jenderal Ahmad Yani.[17]

Brigade Manguni Mendekati Maukar

Dalam medio sebelum kembalinya pihak Permesta ke Republik Indonesia, mereka melakukan pendekatan secara sistematis kepada Maukar. Pendekatan tersebut dilakukan oleh pihak Brigade Manguni yang telah menyebarkan jaringannya sampai ke Jakarta.

Daniel Alexander Maukar melakukan aksi pemboman dan penembakan dengan pesawat MIG-17-nya, karena dipicu sebuah rasa kecewa terhadap presiden. Namun, gosip-gosip yang beredar di tahun-tahun itu menyebutkan pemicu utamanya adalah karena Molly—tunangan Maukar—yang “digoda” oleh Soekarno. Lain lagi dengan yang diwartakan koran-koran sekurun 1960-an, yang menyebutkan ayah Maukar, Karel Herman Maukar, ditangkap dengan tuduhan menyimpan senjata api.[18] Aksi ini disponsori oleh teman-teman Maukar di Brigade Manguni yang ada di Jakarta. Brigade Manguni secara tidak langsung berada di bawah pimpinan Ventje Sumual dan Sam Karundeng.

Pada akhir 1958, selepas kepulangannya dari Mesir, Daniel Maukar mulai didekati secara sistematis oleh Brigade Manguni. Salah satu yang mempermudah jalan ini adalah keikutsertaan Herman, kakaknya, di dalam brigade ini. Beraneka ragam rencana kerap dibeberkan ke telinganya, namun tak pernah ditanggapinya secara serius. Termasuk rencana kakaknya, Herman, untuk menyabotase sebuah kapal tanker yang akan membawa minyak ke Sumatera. Herman berencana meletakkan dinamit di kayu-kayu penahan dermaga, di mana dinamit ini akan meledak jika tersenggol oleh kapal tanker. Dani menganggap hal itu konyol dan hanya akan membuang-buang waktu dan sangat sia-sia.

Menurutnya, dinamit tidak bakal mampu menjebol beton, ibarat kata hanya seperti memasang petasan, bunyinya besar tetapi efek ledakannya kecil. Lebih gilanya lagi, Herman merencanakan pemasangan dinamit ini dengan menyelam memakai snorkel saat pemasangan.[19] Akan tetapi pikiran gila ini urung dilakukan. Lain kesempatan Herman bermaksud meledakkan kereta api pembawa bensin. Usaha ini pun gagal karena keburu ada pemeriksaan perlintasan rel kereta api. Atau bahkan Herman bersama organisasinya pernah berniat merencanakan penculikan Bung Karno untuk kemudian memaksa Sang Proklamator menghentikan konfrontasi.

Soal hasut menghasut, kehadiran wartawan India yang indekos di rumah orang tuanya, melengkapi semua pengaruh yang diterimanya. Kokar nama wartawan India itu. Ia banyak bertutur mengenai ketimpangan pembangunan sarana-prasarana di Manado dan ia usai mengadakan kunjungan dari sana. Penuturan-penuturan inilah yang membuat Dani, secara perlahan namun pasti—seiring perjalanan waktu, akhirnya berminat masuk Brigade Manguni dan turut serta ambil bagian rencana-rencananya.

Peristiwa 9 Maret 1960 itu merupakan bagian dari rencana makar yang sudah direncanakan sejak tanggal  2 Maret 1960, berbarengan dengan hari jadi Permesta. Akan tetapi pelaksanaan rencana hari yang ditentukan (2 Maret) dan keesokan harinya (3 Maret) gagal. Meskipun gagal rencana makar tak pernah padam. Bahkan, Dani berjanji akan membantu semaksimal mungkin dan meminta untuk segera disampaikan rencana tersebut kepada Sukanda Bratamanggala, eks kolonel dan menjadi pimpinan Front Pemuda Sunda (FPS), Legiun Sunda.[20] Serangan tersebut akan bergerak dari Bandung menuju Jakarta.

Seputar kegagalan rencana penyerangan tanggal 2 Maret itu, Maukar sempat menanyakannya secara langsung kepada beberapa pihak Brigade Manguni yang bisa bertanggung jawab mengambil keputusan, ketika kebetulan ada misi penerbangan ke Paris van Java, Bandung. Ditanyai begitu sejumlah pihak yang ditemuinya malah kelihatan grogi. Hal ini terbukti dari jawaban-jawaban mereka yang tidak masuk akal. Mereka bilang tanggalnya tidak cocok-lah, harinya bukan hari baik-lah atau masih tunggu tanda dari atas. Akhirnya setelah ada perdebatan panjang mengenai hal tersebut, Maukar lantas menemui Mayor Sutisna. Dalam pertemuan ini Maukar diberi briefing (pengarahan) daerah mana yang akan menjadi sasaran.

Awalnya Sutisna meminta Maukar menembaki Lapangan Terbang Halim Perdana Kusuma, namun Maukar menolak dengan alasan Halim adalah rumahnya. Ia meminta jika ingin membuat sasaran, jangan jadikan AURI sebagai sasaran. Berikutnya hasil pertemuan itu menyepakati tiga target yang harus dibombardir Maukar. Istana Merdeka, tangki bahan bakar di Tanjung Priok, dan Istana Bogor. Dan usai membombardir tempat-tempat tersebut, ia akan dilarikan ke Singapura. Akan tetapi, Dani menolak butir terakhir. Ia takut nanti keluarganya yang ada di sini akan diincar pemerintah.[21]

Karena menolak akhirnya disepakati kalau pendaratan darurat Maukar akan diatur di kawasan Darul Islam di Jawa Barat. Kota Malambong dan Panumbangan yang terpilih sebagai tempat pendaratan karena selain termasuk kawasan DI, dua tempat tersebut kebetulan sedang dikuasai oleh Batalion 324, yaitu batalion yang sengaja dikirim dari Sulawesi Utara untuk menumpas gerombolan DI. Karena masih memiliki darah Manado, para konseptor pemboman yakin Dani akan diselamatkan oleh mereka. Dalam hal konsep penyerangan ini, peran Sutisna sangat menentukan.
 

Inilah Saatnya

Sebetulnya aksi penembakan melalui pesawat Mig-17 ini zonder persiapan sama sekali. Hal ini dikatakan Daniel Maukar untuk menegaskan betapa buruknya koordinasi saat itu. Hanya ambil peta untuk mencari wilayah Panembangan, membikin garis-garis koordinat, selesai. Kekurangan persiapan ini merupakan kelalaian yang berakibat buruk, karena pasca menembaki Istana Bogor, ia kehilangan arah hingga akhirnya mendarat darurat di areal persawahan.

9 Maret 1960, di pagi hari cuaca cerah mengiringi denyut nafas kehidupan Jakarta. Tak terkecuali aktivitas yang dilaksanakan di Skadron Udara 11 yang berpangkalan di Kemayoran.  Seperti biasa, latihan sudah menjadi kegiatan rutin skadron tempur ini. Apalagi secara politis, Indonesia sedang dalam masa konfrontasi dengan Belanda terkait masalah Irian Barat. Namun, pagi itu Dani tidak terlihat di antara rekan-rekannya. Ternyata ia pergi ke Bandung sehari sebelumnya menemui Sam Karundeng (salah seorang pimpinan Brigade Manguni) dan Herman Maukar. Kunjungan itu dilakukan sebagai tahap persiapan terakhir. Oleh karena itu ia sengaja membawa pesawat MIG-15 untuk melancarkan rencananya.

Pagi hari sekira pukul 04.30, tanggal 9 Maret, Dani diantar Kapten Komarudin, Teknisi Kepala di Skadron 11 ke Lanud Hussein Sastranegara untuk balik ke Jakarta. Sekira pukul 06.00, Dani berlalu dari Bandung bersama Rob Lucas—temannya Herman yang dua tahun menetap di Belanda untuk urusan bisnis. Tak lama kemudian pesawat sudah mendarat di Kemayoran. Dani lantas larut dalam aktivitas harian skadron. Seorang perwira mengatakan padanya bahwa hari itu Mayor Udara Leo Wattimena memerintahkan untuk melakukan penerbangan supersonik (supersonic flight).

[Sejarah Indonesia] Usaha Percobaan Pembunuhan Sukarno Oleh Maukar - Bagian 2
Inilah Mig-17 AURI bernomor 1162 yang dipakai Maukar/

Mengenai cara menerbangkan pesawat hingga kecepatan supersonik dengan MIG-17 yang jelas-jelas subsonik, Leo Wattimena selanjutnya menjelaskan. Untuk mencapai supersonik pesawat harus dibawa ke ketinggian 36.000 kaki, kemudian dengan full throttle pesawat ditukikkan ke bawah hingga mencapai kecepatan suara. Sementara bintara di ruang operasi menyusun list penerbang hari itu. Tiger callsign bagi Letnan Dua Udara Daniel Maukar menempati urutan terakhir list. Tiap-tiap pesawat diberi jeda waktu selama sejam. Sembari menunggu giliran, Dani beristirahat secukupnya. Ia masih sempat bertemu iparnya Captain Edi Tumbelaka, seorang pilot Garuda.

Ketika jam menunjukkan pukul 11.45, Dani tahu bahwa gilirannya telah tiba. Ia mengambil sebuah helm dan dibawanya menuju pesawat MIG-17F Fresco nomor 1112. Pandangannya diarahkan ke selatan, melihat kondisi alam, langit sedikit berawan waktu itu namun hari tetap cerah. Dipandu teknisi, Dani memeriksa kesiapan pesawat lantas naik ke kokpit.

"Kemayoran tower, good morning from Tiger, do you read me?"

"Good morning Tiger. This is Kemayoran tower, read you five by five (loud and clear), come in."[1]

"Tiger local flying. Request to start engine, over."

 "Roger, Tiger, you are cleared to start engine."[2]

Sedetik kemudian Dani melongok kepada teknisi yang berdiri di samping kanannya untuk mengonfirmasi penyalaan baterai. Pesawat dinyalakan dan turbin mesin menggelegar. Dani memerhatikan tachometer bergerak dari angka 2.000, 3.000 dan 4.000 rpm. Perlahan ia mendorong  ke bawah fuel level dan membuka throttle secara bertahap  untuk mencapai tenaga penuh. Setelah memeriksa power, giliran flaps, air brakes, trims, controls hood, cockpit pressurizing system, oxygen mask dan blinker indicator, ia memberi tanda segalanya siap.

"Kemayoran tower, from Tiger, over."

"Roger Tiger, come in."

"Tiger request taxi and take off instructions, over."

"Roger. Taxi to holding position of runway in use one seven. Wind easterly 25 knots. Altimeter setting 75,8 centimeters. Please call back on holding position." Maukar pun menutup kanopi dan selanjutnya mengenakan safety belt lock.

"Kemayoran tower, Tiger on holding position, ready to go, over."

"Roger, Tiger, you are cleared for take off."

Menurut penjelasan yang diberikan, Daniel Maukar harus membawa pesawat heading ke selatan Jakarta. Akan tetapi ia memiliki rencana lain, setelah sempat menanyai seorang personel pangkalan yang habis mengambil bensin di sebuah pangkalan bahan bakar di depan Istana Merdeka pada pagi, apakah bendera kuning berkibar. Dan ketika yang ditanya berkata tidak, ia yakin presiden Soekarno sedang tidak ada di Istana.

Sasaran pertama yang akan menjadi sasaran tembaknya ialah kilang minyak Shell di kawasan Tanjung Priok, Jakarta Utara. Dani mengarahkan pesawatnya ke timur ketika ketinggian pesawat mencapai 4.500 kaki. Kemudian mengaktifkan tombol senjata, flipped on gunsight. Tangki-tangki minyak Shell Oil sudah di depan mata, persis di sisi kiri jalurnya. Ketika itu posisi tangki 90 derajat dari sisi kiri ketika Dani menukik. Sudut terbaik untuk menembak adalah 60 derajat, namun sepertinya sudah tidak ada waktu. Jarinya menekan trigger.

Det… det… det… det… 3.500 kaki, 3.000, 2.800, gun sight berhenti pada baris pertama tangki, pada ketinggian 2.400 kaki. Berondongan kanon Nudelman-Rokhter NR-23 kaliber 23 mm itu ternyata kurang sempurna, terlihat dari tracer yang jatuh di depan target. Tidak ada kesempatan untuk mengulangi, Dani menggerutu sambil mengarahkan pesawat ke selatan untuk membuat belokan.

Karena tahu ada larangan pesawat melintas di atas pusat kota, Dani membawa pesawat terbang rendah (tree top) untuk menghindari deteksi radar. Ia berada di atas Pasar Senen dan dari kejauhan Istana sudah terlihat. Pesawat terbang lurus ke selatan membelah Jalan Sabang dengan ketinggian 3.600 kaki. Selepas berbelok Istana terlihat di sebelah kiri dan Dani sudah dalam track yang benar. Ketinggian diturunkan dan sedetik kemudian ia kembali menghujani jalan-jalan Jakarta dengan tembakan dari sudut tembakan 45 derajat. Dani sempat melihat tembakan keduanya ini mengenai pilar-pilar di sisi kanan Istana Merdeka dan merontokkan kaca-kaca besar di belakang pilar tersebut.

Suara mesin Klimov VK-1F afterburning turbo jet seperti merontokkan jantung warga Jakarta siang bolong itu. Karena setelah menembak, Dani langsung pulled up dan menyalakan afterburner untuk segera kabur, meninggalkan suara menggelegar yang menakutkan. Di bawah nampak keramaian lalu lintas dan sedikit kemacetan. Pesawat kembali membuat belokan tajam dan dengan sengaja Dani kembali mengarahkan pesawat ke selatan, persisnya di atas Jalan Sabang. Saat itulah Dani tanpa sadar merasa grogi, tangannya terasa basah, ada perasaan tidak enak di hatinya.

Pesawat dikebut ke selatan dan dalam lima menit ia sudah di atas Bogor. Target terakhir ini cukup gampang ditemukan. Walau sudah ada rasa malas untuk menembak, Dani tetap merampungkan misi terakhirnya. Dani menghabiskan semua peluru kanon 37 mm di hidung pesawat setelah beberapa kali macet. Tidak seperti Istana Merdeka, tembakan kali ini tidak mengenai satu pun gedung Istana. Dani membawa pesawat menanjak ke ketinggian 18.000 kaki dan mengambil heading Bandung.

Tiba-tiba, "Tiger, Tiger, from Kemayoran tower, over." Panggilan itu berkali-kali menyahut di telinga Dani, namun tidak dibalas. "Tiger, Tiger, if you read me please check your fuel." Dani tetap bungkam, karena sekali ia membalas posisinya akan diketahui. Radio dimatikan. Pesawat melaju cukup kencang menuju Bandung. Benak Dani bergalau. Ia membayangkan reaksi Molly apabila tahu apa yang sudah dilakukannya. Pun membayangkan reaksi sang ayah. Hingga ia tidak menyadari sudah terbang jauh, tanpa kendali arah. Ketika tersadar, ia tidak tahu persis berada di mana. Namun Dani yakin, ia pasti sudah mendekati Garut.

Sesuai rencana, Dani harus menemukan enam titik api unggun, tiga di kiri tiga di kanan, sebagai tanda landing site. Tapi apa lacur, di bawah ia melihat begitu banyak api unggun. Sepertinya petani sedang membakar gabah dan asapnya membumbung di mana-mana. Ketimbang pusing, Dani ambil langkah tepat ke selatan, berharap jatuh di laut. Ketinggian mulai diturunkan. Karena buruknya persiapan, memang tidak pernah ada komunikasi antara Bandung dengan tim penunggu di Garut. Jarak yang jauh untuk dicapai lewat darat. Tim yang mestinya ke Malambong untuk berkoordinasi, menurut Dani juga tidak pernah berangkat. Sampai akhirnya MIG-17 yang diterbangkannya mendarat darurat di persawahan Kadungoro, Leles, Garut, Jawa Barat[3] setelah tiga kali overhead untuk memastikan lokasi pendaratan.

Setelah menurut perhitungan yang pasti bahwa pesawat itu tidak melampaui batas waktu terbangnya. Maka kepada pangkalan-pangkalan Angkatan Udara Husein Sastranegara dan Halim Perdanakusumah diperintahkan untuk mencari pesawat tersebut. Sebelumnya belly landing, Dani sudah menyiapkan pistolnya. Senjata ini akan digunakannya untuk bunuh diri seandainya pesawat terbenam lumpur saat pendaratan. Namun, belum sampai bunuh diri, ia keburu ditangkap tentara yang telah mencarinya dengan melakukan penyisiran wilayah Garut. Setelah ditangkap, sore harinya Komandan Lanud Tasikmalaya Kapten Sumantri dan Letnan Subaryono serta seorang perwira teknik datang mengunjunginya.

Di Jakarta, kekacauan segera terjadi sesaat setelah aksi Dani. Berita mulai tersebar, termasuk di lingkungan AURI. Anehnya, tidak satu pun tuduhan langsung terarah ke Dani. Begitu pun keluarga Maukar di daerah Menteng, tak ada prasangka apa-apa. Di kepala sang Ayah, itu pasti ulah Sofyan, anak Padang yang punya sedikit masalah dengan pemerintah. Sampai ketika dipanggil Provost AURI pun, sang ayah tenang-tenang saja. Ketika ditanya pendapatnya soal insiden yang terjadi hari ini, sang ayah hanya menjawab, "Orang itu harus bertanggung jawab!"

"Itu anak Bapak." Suara provos itu bagai petir di siang bolong di telinga Karel Herman Maukar. Daniel Alexander Maukar pun ditetapkan sebagai tersangka dan ditangkap.

Pengadilan Militer

[Sejarah Indonesia] Usaha Percobaan Pembunuhan Sukarno Oleh Maukar - Bagian 2
Maukar dalam persidangan militer.

Terkait peristiwa ini, beragam pendapat mulai muncul. Kolonel Siswadi berpendapat bahwa peristiwa Maukar adalah suatu fragmen saja dari aksi subversif yang sedang berkecamuk di negeri ini.[4] Pada 11 Maret 1960, sekira pukul 09.30, KSAU Suryadarma beserta 120 orang perwira penerbangan AURI menghadap ke Istana Merdeka. Letnan Kolonel Penerbang Omar Dhani mewakili Korps Penerbang AURI menyampaikan pernyataan di hadapan Presiden Soekarno, sebagai berikut:[5]

  1. Menyesal sebesar-besarnya atas terjadinya pengkhianatan terhadap tanah air yang telah membawa korban rakyat.
  2. Merasa salah, kurang waspada terhadap usaha-usaha memperalat kami untuk menghilangkan kepercayaan rakyat yang telah diberikan kepada kami.
  3. Sanggup mengadakan tindakan-tindakan mencegah terulangnya kejadian.
  4. Tetap patuh kepada Presiden/Panglima Tertinggi dan bersedia menerima segala hukuman.

Sebagai bentuk pertanggung jawabannya, KSAU Suryadarma mengundur diri, namun permintaan tersebut ditolak Presiden Soekarno. Pada sore harinya giliran Komandan Skadron 11 Mayor Udara Leo Wattimena, datang menemui Suryadarma. Ia menyatakan siap menerima tanggung jawab atas ulah anak buahnya.

Sementara itu, 10 Maret 1960, Asisten Direktur Penerbangan AURI Mayor Udara Agus Suroto, langsung mengumumkan bahwa Pengadilan AURI Daerah Pertempuran akan mengadili Letnan Udara II Daniel Alexander Maukar.[6] Meskipun pada kenyataannya Maukar mulai diadili 20 Juli 1960.[7] Setelah melalui persidangan yang memakan waktu cukup panjang Letnan Udara II Daniel Alexander Maukar dijatuhi hukuman mati, tetapi pelaksanaan eksekusi urung dilakukan. Di saat yang hampir bersamaan, hampir sebagian gerombolan Brigade Manguni diadili.

Dalam periode 11-15 Februari 1961, sekira 11.343 orang dari Brigade Manguni, anggota Persatuan Wanita Permesta (PWP) dan orang-orang lima pangkalan gerilya di Langoan-Kakas, di bawah pimpinan Laurens Saerang, menyerah kepada Republik.[8] Diterangkan pula oleh Mr. Azwar Karim, Penuntut Umum, tujuh orang anggota Brigade Manguni yang bergerak di Jawa Barat akan diadili tanggal 23 Mei 1960. Instruksi Komando Daerah Militer Djakarta Raya, di Pengadilan Negeri Istimewa Djakarta Raya, di bawah pimpinan Hakim Mr. I Made Lapde.[9] Ketujuh anggota itu adalah Jossy Talumena, Tielaque Henry Tombeng, Uthu, Jeffrie Tumumowu, Wim Molte dan Willem Elean, Jan Tampi, Marcus Sia.[10] Mereka ini dituduh melanggar staadblad tahun 1951 No. 78 pasal 1 ayat 1 dan diancam dengan hukuman mati, yaitu memiliki dan menyimpan senjata api dan sekurun waktu 1959-1960 mengadakan rapat untuk makar di Jalan Lamandow Kebayoran Baru dipimpin oleh Samuel Karundeng.[11]

Pada 22 Juni 1961, Presiden Soekarno mengeluarkan surat keputusan presiden no. 322 tahun 1961 yang berisi pemberian amnesti dan abolisi kepada para pengikut gerakan Permesta yang telah memenuhi panggilan pemerintah kembali ke pangkuan ibu pertiwi.[12] Dani pun termasuk salah satu orang yang mendapat amnesti presiden. Ia diampuni Soekarno tahun 1964. Namun baru betul-betul dibebaskan Maret 1968, pada era Soeharto setelah melalui pelbagai proses bolak-balik. Sebagai KSAU, Suryadarma, banyak membantu Dani, sejak proses persidangan hingga dibebaskan. Sampai pada suatu hari, ayahnya secara tidak sengaja bertemu dengan Suryadarma. Kepada Suryadarma, Karel Maukar menyampaikan terima kasih atas kebaikan yang dilakukan Suryadarma terhadap anaknya.