Last Tiger di Langit Jakarta
Pada 9 Maret 1960, sekira pukul dua belas lebih dua puluh menit siang
hari, sebuah pesawat tempur jenis Mikoyan-Gurevich MIG-17F Fresco nomor
1112 melayang-layang rendah dengan kecepatan tinggi di langit Jakarta
dari arah tenggara. Arah yang ditujunya adalah Istana Merdeka. Pesawat
itu diidentifikasi milik Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI).
Sesampainya di atas Istana Merdeka, pesawat terbang tersebut melepaskan
serentetan tembakan mitraliyur ke arah halamannya dengan peluru kanon 23
mm. Mengenai apa saja yang bisa dikenainya: kantor telepon, halaman
rumput istana, tangga dan pilar istana, mobil, bahkan manusia. Sesudah
menembaki istana tersebut, pesawat tersebut naik lebih tinggi ke atas
dan melakukan manuver memutar. Setelahnya melepaskan lagi serentetan
tembakan ke arah sasarannya yang sama.
|
Pesawat Mig-17 yang dipakai Maukar. |
Orang-orang Jakarta yang berada di dekat lokasi kejadian kontan
terkesiap melihatnya. Mereka yang ada di dalam gedung perkantoran segera
berhamburan keluar disertai rasa ketakutan dan penasaran akan apa yang
tengah terjadi. KSAU Marsekal Suryadarma yang tengah rapat di gedung
Dewan Nasional, Dr. Soebandrio (Menteri Luar Negeri pada waktu itu) yang
sedang rapat di Departemen Luar Negeri, bahkan Presiden Soekarno
sendiri yang tengah memimpin rapat di gedung Dewan Nasional—kira-kira 20
meter dari arah istana, keluar untuk memeriksa keadaan.
“Istana ditembak!” Demikian histeris yang terdengar, berhasil
menyiutkan nyali setiap orang. Selepas menembaki istana, pesawat itu
mengarah ke barat, meninggalkan kepulan asap hasil tembakannya yang
masih membumbung tinggi-tinggi ke atas langit.
Dalam sebuah berita yang dikabarkan oleh Harian Rakjat keesokan
harinya, tertanggal 10 Maret 1960, aksi brutal pesawat ini mengakibatkan
sekurang-kurangnya delapan belas orang terluka. Di Istana Merdeka
sendiri ada empat orang korban luka-luka, yaitu seorang pegawai istana
dan seorang pekerja pengapur tembok istana terkena tembakan di kakinya,
seorang pegawai telepon istana dan seorang pejalan kaki yang sedang
berjalan di depan kantor Pertamina turut menjadi korban. Sementara
sebuah mobil yang sedang melintas di dekat Istana Merdeka juga tertembus
peluru pada bagian bagasinya.[1] Empat belas korban lainnya merupakan
korban yang berada di kawasan Cilincing, yang siang itu dirawat di RSUP.
Sepuluh nama para korban yang berhasil dicatat di pekabaran ialah para
wartawan Harian Rakjat. Di antaranya Eman, Sarah, Surjati, Anim, Djuhri,
Simiadi, Emik, Purwa, Ojok dan Suratmin.[2]
Ternyata MIG-17 itu, sehabis menembaki Istana Merdeka, masih melanjutkan
pekerjaannya yang belum tuntas. Penembakan ini sendiri direncanakan di
tiga titik, meliputi: tangki bahan bakar di Tanjung Priok (Cilincing),
Istana Merdeka (Istana Kepresidenan) dan Istana Bogor.[3] Selepas
menunaikan tugasnya, pesawat ini lantas direncanakan kabur ke arah Bogor
dan mendaratkan pesawatnya di kawasan yang sudah ditentukan. Di mana
sang pilot telah diatur untuk diselamatkan oleh pihak DI/TII (Darul
Islam/Tentara Islam Indonesia). Namun, tak sempat sampai di tempat yang
dituju, pesawat sudah mendarat darurat di sekisaran Leles, Garut, Jawa
Barat, karena kehabisan bensin. Dan ketika tertangkap semua orang
terkejut, siapa nyana penembak sekaligus pilot pesawat itu adalah
anggota AURI (Angkatan Udara Republik Indonesia), yang mempunyai kode
panggilan: Tiger.[4]
Siapa Tiger?
Tiger adalah nama kode panggilan yang diberikan kepada Maukar oleh
pangkalan AURI, sebelum ia melesat di udara untuk sebuah sesi latihan
menerbangkan pesawat. Di kalangan AURI, Maukar memang relatif cukup
dikenal. Dia berpangkat Letnan II Pnb dan termasuk salah seorang pilot
AURI terbaik pada masanya. Kariernya di dunia penerbangan dimulai ketika
ia mendaftarkan diri masuk ke AURI, sesudah gagal masuk mendaftar
sebagai pilot Garuda karena tidak memenuhi persyaratan kesehatan.
|
Daniel "Tiger" Maukar tengah. |
Maukar lahir di Bandung pada 20 April 1932. Nama lengkapnya adalah
Daniel Alexander Maukar. Orang tuanya bernama Karel Herman Maukar (ayah)
dan Enna Talumepa (ibu). Meskipun masih berdarah Manado, Sulawesi
Utara, dan dengan kultur Manado yang tetap dipertahankan dalam kehidupan
keluarganya, sesungguhnya ia cukup jauh dari adat-istiadat Manado. Ia
adalah anak ketiga dari lima bersaudara: Paula, Herman, Daniel, Nancy
dan Vivi—di mana masing-masing dari kelimanya menyandang nama keluarga
Maukar, yang dipakai di belakangnya.
Darah dan jiwa keprajuritan diturunkan dari garis tradisi ayahnya. Ia
adalah polisi berpangkat ajun komisaris besar, dan pernah menjabat
Acting Kepala Polisi Jakarta. Maukar mengeyam pendidikan formal di
Sekolah Dasar (SD) Akebono Jatinegara, Jakarta Timur. Selulusnya dari
sana, ia melanjutkan ke Sekolah Menengah Pertama (SMP) K (Kristen).
Setamatnya SMP K Dani hendak melanjutkan ke Sekolah Menengah Pelayaran,
namun urung dilakukan sebab Karel Herman Maukar menganjurkannya untuk
melanjutkan ke Sekolah Menengah Atas (SMA). Alasan ini membuat Dani
memutuskan untuk melanjutkan pendidikannya ke SMA Gang Batu.
Ihwal ketertarikannya pada dunia penerbangan bermula saat ia duduk di
bangku kelas 3 SMA—umur yang tepat bagi seseorang menetapkan
cita-citanya. Suatu hari di Bandara Kemayoran, ada pameran mengenai
pesawat, bahkan ada undian tiket joy flight dengan pesawat Convair milik
Garuda. Dani memenangkan salah sebuah tiket tersebut. Semenjak itulah
ia mengaku keranjingan dengan hal-hal yang berbau penerbangan dan
pesawat. Bahkan selulusnya dari SMA ia sudah punya cita-cita: menjadi
pilot. Karena itu ia mendaftar seleksi masuk sekolah pilot di Garuda.
Sayangnya gagal lolos karena tidak memenuhi persyaratan kesehatan.
Kegagalan ini membuat Dani bekerja demi mengisi kekosongan waktu.
Pekerjaan yang dilakoninya adalah menjadi agen polisi selama rentang
waktu 1952-1954. Dua tahun berikutnya, Dani ikut tes kembali, tetapi
tidak di Garuda. Ia mendaftarkan dirinya di AURI dan diterima, tepatnya
pada 1 Januari 1956. Dari sini Dani memulai langkah baru di AURI dengan
mengikuti latihan dasar kemiliteran di Margahayu, Bandung, Jawa Barat.
Dua tahun berselang (awal 1958), ketika Permesta sedang gencar-gencarnya
melakukan aksi-aksi pemberontakan, Dani telah menyandang brevet
penerbang AURI. Tak lama sesudah itu ia ditempatkan di Skuadron 3,
sebelum akhirnya harus berangkat ke Palembang untuk melaksanakan misi
show of force terhadap elemen PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik
Indonesia) yang masih bertahan. Usai melakukan dinas di Palembang Maukar
terpilih untuk dikirim ke Mesir. Pemilihan untuk mengirimnya ke sana
penuh dengan suatu kerahasiaan yang cukup rumit. Ada fakta yang
menyebutkan bahwa keberangkatannya ke Mesir adalah untuk menyelesaikan
misi lain. Ada pula yang mengatakan bahwa pihak AURI khawatir kalau
Maukar ditarik masuk ke Permesta—kelak ketakutan ini menjadi kenyataan.
Apalagi sejumlah laporan menunjukkan Dani sudah diincar Permesta. Selama
di Mesir, tanpa sepengetahuannya, dirinya terus diawasi agar terhindar
dari orang-orang yang tidak dikehendaki.[5]
Maukar dikirim bersama dengan enam penerbang lainnya, di antaranya
Sukardi, Ibnoe Subroto, Saputro, Sofyan Hamzah, Kuncoro Sidhi dan Dani.
Rombongan kecil ini dipilih sebagai upaya menyiapkan awak bagi MIG-17
yang dipesan AURI dari Uni Soviet (kini Rusia). Persis 1 Mei 1958
rombongan kecil ini lantas diberangkatkan ke Mesir. Mereka berada di
Mesir selama 6 sampai 7 bulan dan berakhir di tanggal terakhir bulan
November. Dari Mesir, mereka berpindah ke Polandia untuk materi night
fighter.[6]
Sekelumit Mengenai Dewan Manguni
Seperti sudah disebutkan di atas, semasa pendidikan Maukar di AURI, suhu
perpolitikan di Indonesia medio 1957-1960 memanas. Dua pergolakan yang
besar di daerah munculnya. Pertama, pada 2 Maret 1957, Permesta
dideklarasikan oleh H.N. Ventje Sumual. Disusul setahun berikutnya, pada
15 Februari 1958, PRRI didirikan. Penyebab kemunculan
pergolakan-pergolakan ini adalah ketidakpuasan masyarakat, khususnya
tentara, di daerah bersangkutan terhadap kebijakan pemerintah pusat.
Beberapa tuntutan yang diinginkan yaitu: (1) perbaikan yang progresif
dan radikal terhadap masalah pimpinan negara, (2) penyelesaian kericuhan
dalam pimpinan Angkatan Darat, (3) pemberian otonomi seluas-luasnya
bagi Pemerintah Daerah Sumatera Tengah, dan (4) menghapuskan
kecenderungan “sentralisme” dalam birokrasi yang menyebabkan “stagnasi”
dan “korupsi” dalam pembangunan.[7] Akan tetapi, bahkan sebelum PRRI
pecah pada bulan Februari 1958, fokus protes pemberontakan sebenarnya
telah berpindah dari Nasution dan kepemimpinan ABRI (Angkatan Bersenjata
Republik Indonesia) ke Presiden Soekarno dan pendukungnya yang
beraliran kiri.[8]
Tuntutan ini semakin memburuk karena peristiwa Cikini. Pada 30 November
1957 dilakukan usaha percobaan pembunuhan Soekarno yang pertama kalinya.
Peristiwa ini membikin kondisi didaerah-daerah yang sudah tidak tenang
menjadi bergejolak.[9] Selanjutnya hal ini memberi ilham kepada beberapa
orang pemimpin militer di Sulawesi untuk menyatukan para bawahan.
Sebagaimana Majalah Tempo mencatat:
Sumual mengajak mereka bersatu. Ia sendiri gerah melihat anak buahnya hidup berdesakan di tangsi-tangsi kumuh. “Maka lahirlah Perjuangan Semesta,”
katanya. Sumual yang diangkat menjadi “Panglima Permesta”, membacakan
“proklamasi” di kantor Gubernur Sulawesi di Makassar pada pagi 2 maret
1957.[10]
Prosesi tercetusnya proklamasi Permesta, dipaparkan dengan baik oleh
Barbara Sillars Harvey dalam bukunya Permesta, Pemberontakan Setengah
Hati:
Pada tengah malam 1 Maret itu, orang-orang sipil terkemuka di Makassar
dibangunkan dari tidur mereka oleh pasukan berseragam membawa undangan
untuk satu pertemuan di Gubernuran; ke tempat itulah mereka akan dibawa
dengan segera.[11]
Sekitar lima puluh orang berkumpul dalam pertemuan itu, yang secara
resmi dibuka pukul tiga subuh oleh Komandan TT-VII, Sumual. Ia
membacakan proklamasi keadaan darurat perang di Indonesia Timur.[12]
Daerah inti Permesta adalah di Sulawesi: di Makassar, tempat perencanaan
proklamasi itu dan di Minahasa, di ujung utara dari pula itu, tempat
rakyat dalam satu tahun mempersiapkan diri melawan pemerintah pusat di
bawah bendera Permesta.[13]
Ketika Permesta resmi dideklarasikan, Dewan Hasanuddin, yang tidak jadi
terbentuk, dan Dewan Manguni turut bergabung sebagai bagian di dalamnya.
Dewan Manguni terbentuk atas inisiatif Kapten GK. Montolaw dkk. pada
akhir 1956. Pimpinan dewan itu terdiri atas Henk. L. Lumanauw (Ketua),
A.C.J. Mantiri (Direktur Pelayaran Rakyat Indonesia, Manado) dan Hein
Montolalu sebagai anggota serta Jan Torar (Sekretaris).[14] Setelah itu
Dewan Manguni yang bergabungnya di Permesta mengubah namanya menjadi
Brigade Manguni sebagai bagian dari satuan-satuan otonomi di dalam
organisasi militer Permesta. Didapuk sebagai pimpinannya adalah Laurens
Saerang.
Brigade Manguni inilah yang kemudian dituding sebagai dalang dibalik
aksi penembakan dari udara yang dilakukan oleh Maukar. Beberapa sumber
menyebutkan, setelah melalui beberapa pertempuran-pertempuran sengit di
Sulawesi, pada akhirnya posisi Permesta mulai melemah. Ini terjadi
sesudah Kotamobagu berhasil dikuasai tentara-tentara pemerintah pusat
pada September 1959. Akan tetapi, kekalahan itu tidak mutlak disebabkan
kejatuhan Kotamobagu saja. Faktor terpentingnya adalah perpecahan di
dalam tubuh Permesta itu sendiri. Perpecahan itu meletus mengenai
beberapa masalah pokok: penempatan satuan-satuan militer;
pengambilalihan sikap terhadap bagian pemberontakan yang dilangsungkan
di Sumatera, terutama setelah proklamasi Republik Persatuan Indonesia
(RPI) pada Februari 1960; serta perundingan-perundingan dengan
pemerintah pusat.[15] Selain itu, perpecahan itu juga terjadi akibat
ketidakcocokan pribadi.[16]
Pada 1961, Pemesta menyatakan kembali ke pangkuan ibu pertiwi
(Indonesia), sesudah pihak pemerintah pusat menyerukan kepada pihak
Permesta untuk kembali ke Republik. Kemudian dalam periode 11-15
Februari 1961, 11.343 orang dari Brigade Manguni, anggota Persatuan
Wanita Permesta (PWP) dan orang-orang dari Lima pangkalan gerilya di
Langoan-Kakas, di bawah pimpinan Laurens Saerang, menyerah kepada
Republik. Mereka diterima dalam suatu upacara resmi pada 15 Februari
1961 oleh Mayor Jenderal Ahmad Yani.[17]
Brigade Manguni Mendekati Maukar
Dalam medio sebelum kembalinya pihak Permesta ke Republik Indonesia,
mereka melakukan pendekatan secara sistematis kepada Maukar. Pendekatan
tersebut dilakukan oleh pihak Brigade Manguni yang telah menyebarkan
jaringannya sampai ke Jakarta.
Daniel Alexander Maukar melakukan aksi pemboman dan penembakan dengan
pesawat MIG-17-nya, karena dipicu sebuah rasa kecewa terhadap presiden.
Namun, gosip-gosip yang beredar di tahun-tahun itu menyebutkan pemicu
utamanya adalah karena Molly—tunangan Maukar—yang “digoda” oleh
Soekarno. Lain lagi dengan yang diwartakan koran-koran sekurun 1960-an,
yang menyebutkan ayah Maukar, Karel Herman Maukar, ditangkap dengan
tuduhan menyimpan senjata api.[18] Aksi ini disponsori oleh teman-teman
Maukar di Brigade Manguni yang ada di Jakarta. Brigade Manguni secara
tidak langsung berada di bawah pimpinan Ventje Sumual dan Sam Karundeng.
Pada akhir 1958, selepas kepulangannya dari Mesir, Daniel Maukar mulai
didekati secara sistematis oleh Brigade Manguni. Salah satu yang
mempermudah jalan ini adalah keikutsertaan Herman, kakaknya, di dalam
brigade ini. Beraneka ragam rencana kerap dibeberkan ke telinganya,
namun tak pernah ditanggapinya secara serius. Termasuk rencana kakaknya,
Herman, untuk menyabotase sebuah kapal tanker yang akan membawa minyak
ke Sumatera. Herman berencana meletakkan dinamit di kayu-kayu penahan
dermaga, di mana dinamit ini akan meledak jika tersenggol oleh kapal
tanker. Dani menganggap hal itu konyol dan hanya akan membuang-buang
waktu dan sangat sia-sia.
Menurutnya, dinamit tidak bakal mampu menjebol beton, ibarat kata hanya
seperti memasang petasan, bunyinya besar tetapi efek ledakannya kecil.
Lebih gilanya lagi, Herman merencanakan pemasangan dinamit ini dengan
menyelam memakai snorkel saat pemasangan.[19] Akan tetapi pikiran gila
ini urung dilakukan. Lain kesempatan Herman bermaksud meledakkan kereta
api pembawa bensin. Usaha ini pun gagal karena keburu ada pemeriksaan
perlintasan rel kereta api. Atau bahkan Herman bersama organisasinya
pernah berniat merencanakan penculikan Bung Karno untuk kemudian memaksa
Sang Proklamator menghentikan konfrontasi.
Soal hasut menghasut, kehadiran wartawan India yang indekos di rumah
orang tuanya, melengkapi semua pengaruh yang diterimanya. Kokar nama
wartawan India itu. Ia banyak bertutur mengenai ketimpangan pembangunan
sarana-prasarana di Manado dan ia usai mengadakan kunjungan dari sana.
Penuturan-penuturan inilah yang membuat Dani, secara perlahan namun
pasti—seiring perjalanan waktu, akhirnya berminat masuk Brigade Manguni
dan turut serta ambil bagian rencana-rencananya.
Peristiwa 9 Maret 1960 itu merupakan bagian dari rencana makar yang
sudah direncanakan sejak tanggal 2 Maret 1960, berbarengan dengan hari
jadi Permesta. Akan tetapi pelaksanaan rencana hari yang ditentukan (2
Maret) dan keesokan harinya (3 Maret) gagal. Meskipun gagal rencana
makar tak pernah padam. Bahkan, Dani berjanji akan membantu semaksimal
mungkin dan meminta untuk segera disampaikan rencana tersebut kepada
Sukanda Bratamanggala, eks kolonel dan menjadi pimpinan Front Pemuda
Sunda (FPS), Legiun Sunda.[20] Serangan tersebut akan bergerak dari
Bandung menuju Jakarta.
Seputar kegagalan rencana penyerangan tanggal 2 Maret itu, Maukar sempat
menanyakannya secara langsung kepada beberapa pihak Brigade Manguni
yang bisa bertanggung jawab mengambil keputusan, ketika kebetulan ada
misi penerbangan ke Paris van Java, Bandung. Ditanyai begitu sejumlah
pihak yang ditemuinya malah kelihatan grogi. Hal ini terbukti dari
jawaban-jawaban mereka yang tidak masuk akal. Mereka bilang tanggalnya
tidak cocok-lah, harinya bukan hari baik-lah atau masih tunggu tanda
dari atas. Akhirnya setelah ada perdebatan panjang mengenai hal
tersebut, Maukar lantas menemui Mayor Sutisna. Dalam pertemuan ini
Maukar diberi briefing (pengarahan) daerah mana yang akan menjadi
sasaran.
Awalnya Sutisna meminta Maukar menembaki Lapangan Terbang Halim Perdana
Kusuma, namun Maukar menolak dengan alasan Halim adalah rumahnya. Ia
meminta jika ingin membuat sasaran, jangan jadikan AURI sebagai sasaran.
Berikutnya hasil pertemuan itu menyepakati tiga target yang harus
dibombardir Maukar. Istana Merdeka, tangki bahan bakar di Tanjung Priok,
dan Istana Bogor. Dan usai membombardir tempat-tempat tersebut, ia akan
dilarikan ke Singapura. Akan tetapi, Dani menolak butir terakhir. Ia
takut nanti keluarganya yang ada di sini akan diincar pemerintah.[21]
Karena menolak akhirnya disepakati kalau pendaratan darurat Maukar akan
diatur di kawasan Darul Islam di Jawa Barat. Kota Malambong dan
Panumbangan yang terpilih sebagai tempat pendaratan karena selain
termasuk kawasan DI, dua tempat tersebut kebetulan sedang dikuasai oleh
Batalion 324, yaitu batalion yang sengaja dikirim dari Sulawesi Utara
untuk menumpas gerombolan DI. Karena masih memiliki darah Manado, para
konseptor pemboman yakin Dani akan diselamatkan oleh mereka. Dalam hal
konsep penyerangan ini, peran Sutisna sangat menentukan.
Inilah Saatnya
Sebetulnya aksi penembakan melalui pesawat Mig-17 ini zonder persiapan
sama sekali. Hal ini dikatakan Daniel Maukar untuk menegaskan betapa
buruknya koordinasi saat itu. Hanya ambil peta untuk mencari wilayah
Panembangan, membikin garis-garis koordinat, selesai. Kekurangan
persiapan ini merupakan kelalaian yang berakibat buruk, karena pasca
menembaki Istana Bogor, ia kehilangan arah hingga akhirnya mendarat
darurat di areal persawahan.
9 Maret 1960, di pagi hari cuaca cerah mengiringi denyut nafas kehidupan
Jakarta. Tak terkecuali aktivitas yang dilaksanakan di Skadron Udara 11
yang berpangkalan di Kemayoran. Seperti biasa, latihan sudah menjadi
kegiatan rutin skadron tempur ini. Apalagi secara politis, Indonesia
sedang dalam masa konfrontasi dengan Belanda terkait masalah Irian
Barat. Namun, pagi itu Dani tidak terlihat di antara rekan-rekannya.
Ternyata ia pergi ke Bandung sehari sebelumnya menemui Sam Karundeng
(salah seorang pimpinan Brigade Manguni) dan Herman Maukar. Kunjungan
itu dilakukan sebagai tahap persiapan terakhir. Oleh karena itu ia
sengaja membawa pesawat MIG-15 untuk melancarkan rencananya.
Pagi hari sekira pukul 04.30, tanggal 9 Maret, Dani diantar Kapten
Komarudin, Teknisi Kepala di Skadron 11 ke Lanud Hussein Sastranegara
untuk balik ke Jakarta. Sekira pukul 06.00, Dani berlalu dari Bandung
bersama Rob Lucas—temannya Herman yang dua tahun menetap di Belanda
untuk urusan bisnis. Tak lama kemudian pesawat sudah mendarat di
Kemayoran. Dani lantas larut dalam aktivitas harian skadron. Seorang
perwira mengatakan padanya bahwa hari itu Mayor Udara Leo Wattimena
memerintahkan untuk melakukan penerbangan supersonik (supersonic
flight).
|
Inilah Mig-17 AURI bernomor 1162 yang dipakai Maukar/ |
Mengenai cara menerbangkan pesawat hingga kecepatan supersonik dengan
MIG-17 yang jelas-jelas subsonik, Leo Wattimena selanjutnya menjelaskan.
Untuk mencapai supersonik pesawat harus dibawa ke ketinggian 36.000
kaki, kemudian dengan full throttle pesawat ditukikkan ke bawah hingga
mencapai kecepatan suara. Sementara bintara di ruang operasi menyusun
list penerbang hari itu. Tiger callsign bagi Letnan Dua Udara Daniel
Maukar menempati urutan terakhir list. Tiap-tiap pesawat diberi jeda
waktu selama sejam. Sembari menunggu giliran, Dani beristirahat
secukupnya. Ia masih sempat bertemu iparnya Captain Edi Tumbelaka,
seorang pilot Garuda.
Ketika jam menunjukkan pukul 11.45, Dani tahu bahwa gilirannya telah
tiba. Ia mengambil sebuah helm dan dibawanya menuju pesawat MIG-17F
Fresco nomor 1112. Pandangannya diarahkan ke selatan, melihat kondisi
alam, langit sedikit berawan waktu itu namun hari tetap cerah. Dipandu
teknisi, Dani memeriksa kesiapan pesawat lantas naik ke kokpit.
"Kemayoran tower, good morning from Tiger, do you read me?"
"Good morning Tiger. This is Kemayoran tower, read you five by five (loud and clear), come in."[1]
"Tiger local flying. Request to start engine, over."
"Roger, Tiger, you are cleared to start engine."[2]
Sedetik kemudian Dani melongok kepada teknisi yang berdiri di samping
kanannya untuk mengonfirmasi penyalaan baterai. Pesawat dinyalakan dan
turbin mesin menggelegar. Dani memerhatikan tachometer bergerak dari
angka 2.000, 3.000 dan 4.000 rpm. Perlahan ia mendorong ke bawah fuel
level dan membuka throttle secara bertahap untuk mencapai tenaga penuh.
Setelah memeriksa power, giliran flaps, air brakes, trims, controls
hood, cockpit pressurizing system, oxygen mask dan blinker indicator, ia
memberi tanda segalanya siap.
"Kemayoran tower, from Tiger, over."
"Roger Tiger, come in."
"Tiger request taxi and take off instructions, over."
"Roger. Taxi to holding position of runway in use one seven. Wind
easterly 25 knots. Altimeter setting 75,8 centimeters. Please call back
on holding position." Maukar pun menutup kanopi dan selanjutnya mengenakan
safety belt lock.
"Kemayoran tower, Tiger on holding position, ready to go, over."
"Roger, Tiger, you are cleared for take off."
Menurut penjelasan yang diberikan, Daniel Maukar harus membawa pesawat
heading ke selatan Jakarta. Akan tetapi ia memiliki rencana lain,
setelah sempat menanyai seorang personel pangkalan yang habis mengambil
bensin di sebuah pangkalan bahan bakar di depan Istana Merdeka pada
pagi, apakah bendera kuning berkibar. Dan ketika yang ditanya berkata
tidak, ia yakin presiden Soekarno sedang tidak ada di Istana.
Sasaran pertama yang akan menjadi sasaran tembaknya ialah kilang minyak
Shell di kawasan Tanjung Priok, Jakarta Utara. Dani mengarahkan
pesawatnya ke timur ketika ketinggian pesawat mencapai 4.500 kaki.
Kemudian mengaktifkan tombol senjata, flipped on gunsight. Tangki-tangki
minyak Shell Oil sudah di depan mata, persis di sisi kiri jalurnya.
Ketika itu posisi tangki 90 derajat dari sisi kiri ketika Dani menukik.
Sudut terbaik untuk menembak adalah 60 derajat, namun sepertinya sudah
tidak ada waktu. Jarinya menekan trigger.
Det… det… det… det… 3.500 kaki, 3.000, 2.800, gun sight berhenti pada
baris pertama tangki, pada ketinggian 2.400 kaki. Berondongan kanon
Nudelman-Rokhter NR-23 kaliber 23 mm itu ternyata kurang sempurna,
terlihat dari
tracer yang jatuh di depan target. Tidak ada
kesempatan untuk mengulangi, Dani menggerutu sambil mengarahkan pesawat
ke selatan untuk membuat belokan.
Karena tahu ada larangan pesawat melintas di atas pusat kota, Dani membawa pesawat terbang rendah (
tree top)
untuk menghindari deteksi radar. Ia berada di atas Pasar Senen dan dari
kejauhan Istana sudah terlihat. Pesawat terbang lurus ke selatan
membelah Jalan Sabang dengan ketinggian 3.600 kaki. Selepas berbelok
Istana terlihat di sebelah kiri dan Dani sudah dalam track yang benar.
Ketinggian diturunkan dan sedetik kemudian ia kembali menghujani
jalan-jalan Jakarta dengan tembakan dari sudut tembakan 45 derajat. Dani
sempat melihat tembakan keduanya ini mengenai pilar-pilar di sisi kanan
Istana Merdeka dan merontokkan kaca-kaca besar di belakang pilar
tersebut.
Suara mesin Klimov VK-1F afterburning turbo jet seperti merontokkan
jantung warga Jakarta siang bolong itu. Karena setelah menembak, Dani
langsung pulled up dan menyalakan afterburner untuk segera kabur,
meninggalkan suara menggelegar yang menakutkan. Di bawah nampak
keramaian lalu lintas dan sedikit kemacetan. Pesawat kembali membuat
belokan tajam dan dengan sengaja Dani kembali mengarahkan pesawat ke
selatan, persisnya di atas Jalan Sabang. Saat itulah Dani tanpa sadar
merasa grogi, tangannya terasa basah, ada perasaan tidak enak di
hatinya.
Pesawat dikebut ke selatan dan dalam lima menit ia sudah di atas Bogor.
Target terakhir ini cukup gampang ditemukan. Walau sudah ada rasa malas
untuk menembak, Dani tetap merampungkan misi terakhirnya. Dani
menghabiskan semua peluru kanon 37 mm di hidung pesawat setelah beberapa
kali macet. Tidak seperti Istana Merdeka, tembakan kali ini tidak
mengenai satu pun gedung Istana. Dani membawa pesawat menanjak ke
ketinggian 18.000 kaki dan mengambil heading Bandung.
Tiba-tiba,
"Tiger, Tiger, from Kemayoran tower, over." Panggilan itu berkali-kali menyahut di telinga Dani, namun tidak dibalas.
"Tiger, Tiger, if you read me please check your fuel."
Dani tetap bungkam, karena sekali ia membalas posisinya akan diketahui.
Radio dimatikan. Pesawat melaju cukup kencang menuju Bandung. Benak
Dani bergalau. Ia membayangkan reaksi Molly apabila tahu apa yang sudah
dilakukannya. Pun membayangkan reaksi sang ayah. Hingga ia tidak
menyadari sudah terbang jauh, tanpa kendali arah. Ketika tersadar, ia
tidak tahu persis berada di mana. Namun Dani yakin, ia pasti sudah
mendekati Garut.
Sesuai rencana, Dani harus menemukan enam titik api unggun, tiga di kiri
tiga di kanan, sebagai tanda landing site. Tapi apa lacur, di bawah ia
melihat begitu banyak api unggun. Sepertinya petani sedang membakar
gabah dan asapnya membumbung di mana-mana. Ketimbang pusing, Dani ambil
langkah tepat ke selatan, berharap jatuh di laut. Ketinggian mulai
diturunkan. Karena buruknya persiapan, memang tidak pernah ada
komunikasi antara Bandung dengan tim penunggu di Garut. Jarak yang jauh
untuk dicapai lewat darat. Tim yang mestinya ke Malambong untuk
berkoordinasi, menurut Dani juga tidak pernah berangkat. Sampai akhirnya
MIG-17 yang diterbangkannya mendarat darurat di persawahan Kadungoro,
Leles, Garut, Jawa Barat[3] setelah tiga kali overhead untuk memastikan
lokasi pendaratan.
Setelah menurut perhitungan yang pasti bahwa pesawat itu tidak melampaui
batas waktu terbangnya. Maka kepada pangkalan-pangkalan Angkatan Udara
Husein Sastranegara dan Halim Perdanakusumah diperintahkan untuk mencari
pesawat tersebut. Sebelumnya belly landing, Dani sudah menyiapkan
pistolnya. Senjata ini akan digunakannya untuk bunuh diri seandainya
pesawat terbenam lumpur saat pendaratan. Namun, belum sampai bunuh diri,
ia keburu ditangkap tentara yang telah mencarinya dengan melakukan
penyisiran wilayah Garut. Setelah ditangkap, sore harinya Komandan Lanud
Tasikmalaya Kapten Sumantri dan Letnan Subaryono serta seorang perwira
teknik datang mengunjunginya.
Di Jakarta, kekacauan segera terjadi sesaat setelah aksi Dani. Berita
mulai tersebar, termasuk di lingkungan AURI. Anehnya, tidak satu pun
tuduhan langsung terarah ke Dani. Begitu pun keluarga Maukar di daerah
Menteng, tak ada prasangka apa-apa. Di kepala sang Ayah, itu pasti ulah
Sofyan, anak Padang yang punya sedikit masalah dengan pemerintah. Sampai
ketika dipanggil Provost AURI pun, sang ayah tenang-tenang saja. Ketika
ditanya pendapatnya soal insiden yang terjadi hari ini, sang ayah hanya
menjawab, "Orang itu harus bertanggung jawab!"
"Itu anak Bapak." Suara provos itu bagai petir di siang bolong di
telinga Karel Herman Maukar. Daniel Alexander Maukar pun ditetapkan
sebagai tersangka dan ditangkap.
Pengadilan Militer
|
Maukar dalam persidangan militer. |
Terkait peristiwa ini, beragam pendapat mulai muncul. Kolonel Siswadi
berpendapat bahwa peristiwa Maukar adalah suatu fragmen saja dari aksi
subversif yang sedang berkecamuk di negeri ini.[4] Pada 11 Maret 1960,
sekira pukul 09.30, KSAU Suryadarma beserta 120 orang perwira
penerbangan AURI menghadap ke Istana Merdeka. Letnan Kolonel Penerbang
Omar Dhani mewakili Korps Penerbang AURI menyampaikan pernyataan di
hadapan Presiden Soekarno, sebagai berikut:[5]
- Menyesal sebesar-besarnya atas terjadinya pengkhianatan terhadap tanah air yang telah membawa korban rakyat.
- Merasa salah, kurang waspada terhadap usaha-usaha memperalat kami
untuk menghilangkan kepercayaan rakyat yang telah diberikan kepada kami.
- Sanggup mengadakan tindakan-tindakan mencegah terulangnya kejadian.
- Tetap patuh kepada Presiden/Panglima Tertinggi dan bersedia menerima segala hukuman.
Sebagai bentuk pertanggung jawabannya, KSAU Suryadarma mengundur diri,
namun permintaan tersebut ditolak Presiden Soekarno. Pada sore harinya
giliran Komandan Skadron 11 Mayor Udara Leo Wattimena, datang menemui
Suryadarma. Ia menyatakan siap menerima tanggung jawab atas ulah anak
buahnya.
Sementara itu, 10 Maret 1960, Asisten Direktur Penerbangan AURI Mayor
Udara Agus Suroto, langsung mengumumkan bahwa Pengadilan AURI Daerah
Pertempuran akan mengadili Letnan Udara II Daniel Alexander Maukar.[6]
Meskipun pada kenyataannya Maukar mulai diadili 20 Juli 1960.[7] Setelah
melalui persidangan yang memakan waktu cukup panjang Letnan Udara II
Daniel Alexander Maukar dijatuhi hukuman mati, tetapi pelaksanaan
eksekusi urung dilakukan. Di saat yang hampir bersamaan, hampir sebagian
gerombolan Brigade Manguni diadili.
Dalam periode 11-15 Februari 1961, sekira 11.343 orang dari Brigade
Manguni, anggota Persatuan Wanita Permesta (PWP) dan orang-orang lima
pangkalan gerilya di Langoan-Kakas, di bawah pimpinan Laurens Saerang,
menyerah kepada Republik.[8] Diterangkan pula oleh Mr. Azwar Karim,
Penuntut Umum, tujuh orang anggota Brigade Manguni yang bergerak di Jawa
Barat akan diadili tanggal 23 Mei 1960. Instruksi Komando Daerah
Militer Djakarta Raya, di Pengadilan Negeri Istimewa Djakarta Raya, di
bawah pimpinan Hakim Mr. I Made Lapde.[9] Ketujuh anggota itu adalah
Jossy Talumena, Tielaque Henry Tombeng, Uthu, Jeffrie Tumumowu, Wim
Molte dan Willem Elean, Jan Tampi, Marcus Sia.[10] Mereka ini dituduh
melanggar staadblad tahun 1951 No. 78 pasal 1 ayat 1 dan diancam dengan
hukuman mati, yaitu memiliki dan menyimpan senjata api dan sekurun waktu
1959-1960 mengadakan rapat untuk makar di Jalan Lamandow Kebayoran Baru
dipimpin oleh Samuel Karundeng.[11]
Pada 22 Juni 1961, Presiden Soekarno mengeluarkan surat keputusan
presiden no. 322 tahun 1961 yang berisi pemberian amnesti dan abolisi
kepada para pengikut gerakan Permesta yang telah memenuhi panggilan
pemerintah kembali ke pangkuan ibu pertiwi.[12] Dani pun termasuk salah
satu orang yang mendapat amnesti presiden. Ia diampuni Soekarno tahun
1964. Namun baru betul-betul dibebaskan Maret 1968, pada era Soeharto
setelah melalui pelbagai proses bolak-balik. Sebagai KSAU, Suryadarma,
banyak membantu Dani, sejak proses persidangan hingga dibebaskan. Sampai
pada suatu hari, ayahnya secara tidak sengaja bertemu dengan
Suryadarma. Kepada Suryadarma, Karel Maukar menyampaikan terima kasih
atas kebaikan yang dilakukan Suryadarma terhadap anaknya.