“Dhi, saya mau membuat Patung Dirgantara untuk memperingati
dan menghormati para pahlawan penerbang Indonesia. Kau tahu kalau Bangsa
Amerika, Bangsa Soviet, bisa bangga pada industri pesawatnya. Tetapi
Indonesia, apa yang bisa kita banggakan? Keberaniannya!!!” (Percakapan
Bung Karno dengan Edhi Sunarso di teras belakang Istana Negara, Jakarta,
1964).
Kehadiran monumen Patung Dirgantara di
kawasan Pancoran, Jakarta Selatan sejak tahun 1970-an bukan hanya
sebagai salah satu ikon terpenting ibukota. Namun ironisnya, tidak semua
orang mengenal penggagas dan pembuatnya, apalagi memahami gagasan dan
permasalahan yang melatarbelakangi proses pembuatannya.
Untuk memamahi lebih dalam kisah di balik proses pembuatan Patung
Dirgantara, penulis melakukan wawancara langsung dengan Edhi Sunarso
(82), pematung legendaris kepercayaan Presiden Sukarno di kediamannya di
Jl. Kaliurang Km 5,5 No. 72 Yogyakarta. Edhie yang mantan dosen pasca
sarjana Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta ini pada tahun
1945-1950 juga pernah terlibat dalam perjuangan fisik menjaga
kemerdekaan RI.
Bertemu Bung Karno
Dalam kesempatan peresmian “Tugu Muda” Semarang tahun 1953 yang
dikerjakan oleh Sanggar Pelukis Rakyat pimpinan Hendra Gunawan, Edhi
Sunarso bertemu dengan Bung Karno. Kala itu Bung Karno menghampiri Edhi
dan berkata, “Selamat ya, sukses.” Edhi terdiam bingung mendapat ucapan
tersebut. Beberapa hari kemudian ia baru tahu kalau dirinya menjadi
juara kedua lomba seni patung internasional yang diselengarakan di
London dengan judul “Unknown Political Prisoner”.
Usai menyelesaikan pembuatan relief Museum Perjuangan di daerah
Bintaran Yogyakarta tahun 1959, Edhi dipanggil Bung Karno untuk
menemuinya di Jakarta. Panggilan tersebut sempat membuatnya terkejut.
Dalam hati Edhi bertanya-tanya ada kepentingan apa Bung Karno
memanggilnya ke Jakarta. Selain dia, dua seniman lainnya, yaitu Henk
Ngatung dan Trubus juga mendapat panggilan serupa.
Pagi-pagi Edhi sudah sampai di Istana Merdeka, Jakarta. Ia disambut
kepala rumah tangga kepresidenan dan kemudian menuju teras belakang
istana. Kira-kira pukul 07.00 pagi Bung Karno yang masih mengenakan
piyama datang menemui Edhi.
"Selamat pagi, sudah pada minum teh?" sapa Bung Karno ramah. Tanpa
basa-basi Bung Karno kemudian meminta Edhie untuk membuat sketsa Patung
Selamat Datang dalam rangka menyambut para atlet dan ofisial Asian Games
yang akan datang ke Jakarta. "Saya minta patungnya dibuat dari perunggu
setinggi sembilan meter. Nanti akan saya letakkan di bundaran depan
Hotel Indonesia," lanjut Bung Karno.
Beberapa saat kemudian Henk Ngantung dan Trubu datang bergabung. Bung
Karno kemudian memperagakan ide patung selamat datang yang ia inginkan.
"Begini lho," ujar Bung Karno sambil mengangkat tangannya melebar ke
atas, ke kanan dan kiri. “Selamat datang, selamat datang para
olahragawan ke Indonesia,” demikian Bung Karno menjelaskan.
Bung Karno kemudian meminta Edhie menjadi ketua tim pelaksana serta
meminta Henk Ngantung dan Trubus untuk membantu. Edhie yang saat itu
baru memiliki pengalaman membuat patung batu, memberanikan diri
berbicara. “Pareng matur Pak. Sebenarnya saya belum pernah
membuat patung perunggu. Jangankan setinggi sembilan meter, sepuluh
sentimeter saja belum pernah,” ujar Edhi terus terang.
"Eeh, saudara Edhi. Kamu punya rasa bangga berbangsa dan bernegara
tidak? Saya kira kau punya itu. Saya pernah dengar kalau kamu pernah
menjadi pejuang dan dipenjara Belanda. Iya ndak? Iya kan?” kata
Bung Karno. Edhi hanya bisa mengiyakan pertanyaan Bung Karno. "Kalau
begitu, kamu tidak bisa bilang gak bisa. Kau harus bilang sanggup!”
tegas Bung Karno sambil tertawa.
Seperti terkena sihir, akhirnya Edhi menyanggupi permintaan Bung
Karno. Usai mengerjakan Monumen Patung Selamat Datang, ia pun masih
diminta untuk membuat Monumen Bebaskan Irian Barat di Lapangan Banteng
dan diorama Monas. Tahun 1964 Bung Karno kembali meminta Edhi membuat
Monumen Patung Dirgantara yang saat ini lebih populer dengan sebutan
Patung Pancoran.
Pahlawan Dirgantara
Dari sekian banyak proyek pembuatan monumen dari Bung Karno, Edhie
mengakui kalau pembuatan Patung Dirgantara nyaris mandek. Patung
Dirgantara dimaksudkan Bung Karno untuk menghormati jasa para pahlawan
penerbang Indonesia yang atas keberaniaannya berhasil melakukan
pengeboman terhadap kedudukan Belanda di Semarang, Ambarawa, dan
Salatiga menggunakan pesawat-pesawat bekas peninggalan Jepang.
"Kita memang belum bisa membuat pesawat terbang, tetapi kita punya
pahlawan kedirgantaraan Indonesia yang gagah berani. Kalau Amerika dan
Soviet bisa membanggakan dirinya karena punya industri pesawat, kita
juga harus punya kebanggaan. Jiwa patriotisme itulah kebanggaan kita!
Karena itu saya ingin membuat sebuah monumen manusia Indonesia yang
tengah terbang dengan gagah berani, untuk menggambarkan keberanian
bangsa Indonesia. Kalau dalam tokoh pewayangan seperti Gatotkaca yang
tengah menjejakkan bumi,” ujar Edhie Sunarso mengenang perkataan Bung
Karno panjang lebar.
Bung Karno meminta Edhie untuk memvisualisasikan sosok lelaki gagah
perkasa yang siap terbang ke angkasa. Bahkan Bung Kano kemudian berpose
sambil berkata, “Seperti ini lho, Dhi. Seperti Gatotkaca menjejak
bentala.”
Setelah model Patung Dirgantara selesai, Edhie mengusulkan kepada
Bung Karno agar patung yang rencananya berbentuk seorang manusia yang
memegang pesawat di tangan kanannya diubah. "Pak, dengan memegang
pesawat di tangan kok terlihat seperti mainan," ujar Edhie. "Bagaimana
kalau di tangan kanannya tidak usah ada pesawat. Cukup dengan gerak
tubuh manusia saja, didukung gerak selendang yang diterpa angin,” lanjut
Edhie. “Yo wis Dhi, nek kowe anggep luwih apik yo ora usah dipasang. Ora usah digawe,” jawab Bung Karno.
Pembuatan monumen Patung Dirgantara sempat terhenti karena terjadi
peristiwa G30S/PKI. Di satu sisi Edhie juga sudah tidak memunyai
bahan-bahan, dan tidak memunyai uang lagi untuk melanjutkan pekerjaan.
Ia bahkan menanggung utang kepada pemiliki bahan perunggu dan kepada
bank. (Kolonel Sus M. Akbar Linggaprana)