Rabu, 01 Januari 2014

TNI AL serahkan miniatur KRI ke museum

KASAL Laksamana TNI Marsetio (ANTARA FOTO/Widodo S. Jusuf)

Kepala Staf TNI Angkatan Laut (KSAL) Laksamana TNI Marsetio menyerahkan 22 miniatur kapal perang TNI AL berikut pedang kehormatan dan buku tentang TNI AL ke Museum Jenderal TNI (Purn) Soesilo Soedarman di Cilacap, Jateng, guna menambah koleksi museum.

Koleksi sejumlah miniatur kapal perang tersebut diserahkan KSAL Laksamana TNI Marsetio kepada Ketua Dewan Kurator Museum Soesilo Soedarman, Indroyono Soesilo di Mabesal Cilangkap, Jakarta Timur, Selasa.

"Kami mendapatkan kehormatan kedatangan keluarga besar Soesilo Soedarman. Pemberian miniatur kami harap bisa lebih memberikan nuansa kemaritiman di Museum," kata KSAL.

Koleksi miniatur kapal-kapal perang TNI AL di dalam museum itu, selain untuk mengenang jasa almarhum Soesilo Soedarman kepada TNI AL juga diharapkan dapat lebih membangkitkan semangat dan jiwa bahari anak-anak bangsa, khususnya para generasi muda.

Indroyono Soesilo yang juga putra Soesilo Soedarman, yang secara simbolik menerima tambahan koleksi museum, menuturkan, dengan diserahkannya miniatur dapat menambah koleksi dan menjadi kebanggan tersendiri bagi masyarakat Cilacap secara khusus.

Almarhum Jenderal (Purn) Soesilo Soedarman semasa pengabdiannya sangat dekat dengan kelautan dan TNI AL. Antara lain, menjabat sebagai Komandan Divisi Taruna Akabri pertama (1966-1968) mendampingi Komandan Jenderal Akabri, Laksda Rachmat Sumengkar yang mencakup Akabri bagian darat, laut, udara, kepolisian.

Saat menjabat Ketua G-3/Personil Hankam (1973-1978), Soesilo Soedarman mendorong dibangunnya Laboratorium Kedokteran Gigi (Ladokgi) TNI AL di Jakarta. Almarhum jua pernah menjabat Komandan Jenderal Akabri (1978-1981) dimana KSAL adalah salah satu taruna AAL-nya.

Soesilo Soedarman lahir di Desa Nusajati, Maos, Cilacap, Jawa Tengah, pada 10 November 1928. Setelah menyelesaikan pendidikan dasar di Kecamatan Maos, Soesilo Soedarman melanjutkan pendidikan Taman Siswa di Yogjakarta dan menjadi salah satu murid Ki Hadjar Dewantara.

Usai menamatkan pendidikan Sekolah menengah, Soesilo Soedarman masuk pendidikan Akademi Militer Yogyakarta Angkatan I dan dilantik sebagai perwira berpangkat Letnan Dua oleh Presiden RI Soekarno.

Selasa, 31 Desember 2013

PTDI Siap Tawarkan Pesawat CN235 Untuk Militer Filipina


PT Dirgantara Indonesia (PT DI) memenangkan tender pengadaan pesawat untuk militer Filipina. Perusahaan pelat merah yang bermarkas di Bandung ini, siap menjual dua unit pesawat tipe NC212i dengan nilai 18 juta dollar AS atau setara 820 juta peso.
"Kita menang dua unit NC212i di proyek Light Lift Aircraft nilai budget 18 juta dolar," kata Direktur Niaga dan Restrukturisasi PT DI Budiman Saleh dalam keterangan tertulisnya, Senin (30/12/2013).
Tender pengadaan pesawat ini, kata Budiman, diadakan oleh Kementerian PertahananFiliphina untuk keperluan Angkatan Udara.
Masa proses pengerjaan untuk 2 unit diproyeksi menelan waktu 18-20 bulan. NC212i merupakan pesawat generasi terbaru dari pesawat tipe NC212-200 atau NC212-400. Pesawat ini merupakan pesawat berukuran kecil.
Pesawat ini, bisa digunakan untuk keperluan komersial, angkut personil militer, kargo, misi khusus hingga transpotasi VIP. Untuk versi sipil penerbangan sipil, pesawat ini bisa dipasang 24 kursi penumpang.
Budiman menjelaskan, PTDI juga berencana mengikuti tender pesawat tipe medium di Kementerian Pertahanan Filipina. PTDI siap menawarkan pesawat tipe CN235 Maritime Patrol Aircraft asli karya putra bangsa. "Januari 2014 kita akan ikut tender berikutnya untuk 3-4 maritime patrol/military transport CN235," ujarnya.
MI. 

PT Freeport Indonesia Masih Diteror Tembakan



Teror penembakan terus terjadi di areal PT Freeport Indonesia, Senin (30/12). Mobil patroli milik PT Freeport Indonesia dengan nomer lambung 01-4837 yang dikemudikan  Boyke Watuna tertembak di lampu kiri depan dan 1 tembakan di kaca depan tembus bodi. Boyke sendiri selamat dalam insiden tersebut. 

Hal ini dibenarkan Kabid Humas Polda Papua  AKBP Sulistyo Pudjo saat dikonfermasi SP, Selasa (31/12) pagi. “Penembakan terjadi pukul 13.46 WIT di Mile 41 dari arah kali Kopi, kemudian pada pukul 13. 48 WIT juga  terjadi penahanan 7 bus PT Freeport di tahan  di Chek Poin (CP) 40.

Mendapat info adanya penahanan bus tersebut tim gabungan  TNI Yonif 754/ENK dan Detasemen B Brimob Timika  menuju Tempat Kejadian Perkara (TKP) untuk melakukan bantuan, namun sampai disana para pelaku telah melarikan diri,”ujarnya.

Kata dia, penyisiran dilakukan   ke daerah kali kabur. “Ada patahan kayu yang terlihat ke arah Kali Kabur, juga tampak  1 orang OTK berlari ke arah Kali Kabur,”ujarnya.

Dalam catatan SP, aksi penembakan beruntun terjadi areal PT Freeport Indonesia di Mile 41, dimulai  Jumat (27/12) sekitar pukul 13.30 WIT. “Ada 8  trailer terkena tembakan, dan seorang supilr trailer bernama  Ansori (43) terluka  dibagian leher dan pinggangnya  serpihan kaca. Lalu  Senin (9/12) pukul 02.00 WIT terjadi  aksi  penembakan di Mile 41 areal PT Freeport.

Selanjutnya, aksi  penembakan terjadi lagi di areal PT Freeport  persisnya di Mile 40- 41 atau  70 meter dari  Pos Mile  40 pada  Rabu (11/12) pukul 12.40 WIT.Pada hari  Kamis (12/12) sekitar pukul  12.23 WIT aksi  penembakan misterius  terhadap  rombongan Komandan Korem 174 Merauke, diberondong tembakan di Mile  42.

“Hingga kini Polisi belum menemukan para pelaku yang suka menyerang dan menghilang. Upaya terus dilakukan namun belum berhasil,”ujarnya.

Satgas Yonarmed 8 Kostrad Terima 158 Senjata dan Amunisi Sitaan

Satuan Penugasan(Satgas) Batalyon Artileri Medan 8 Uddhata Yudha Kamis (14/11) menyerahkan sejumlah Senjata, dan amunisi berupa Bahan Peledak hasil sitaan kepada Mayor Arm Muh. Saifudin Kz Komandan Satuan tugas Yonarmed 8 Kostrad. Penyerahan dilakukan di markas Satgas Kotis B Yonarmed yang terletak di kelurahan/Kota Toboko, Kecamatan Ternate Selatan. Senjata yang diserahkan tersebut antara lain 14 pucuk senjata laras panjang, 4 pucuk pistol rakitan, 1 buah proyektil tipe 105 mm, 138 butir amunisi, dan 1 pucuk Senjata SO minimi.
Komandan Satgas Yonarmed 8 Kostrad Mayor Arm  Muh Saifudin Kz, mengatakan senjata yang disita lebih banyak di Kabupaten Pulau Morotai, Galela Kabupaten Halmhera Utara dan Obi Kabupaten Halmahera Selatan dengan jumlah kurang lebih ratusan senjata, termasuk Amunisi dan proyektil, “peyerahan senjata yang disitaan  oleh anggota sudah berulang kali, senjata yang ditemukan lebih banyak di Morotai, Galela dan Obi,” ujarnya.
Senjata yang ditemukan rata-rata usianya sudah lama karena sejak perang kedua. Namun, hampir rata-rata masih aktif. Senjata rakitan maupun otomasti banyak beredar di Kabupaten Pulau Morotai, meski pun pihaknya berhasil menemukan ratusan senjata. “senjata yang kami temukan usianya sudah sangat lama, ada sisa senjata konflik 1999 dan ada juga senjata perang dunia kedua,” katanya. Pihaknya melakukan razia dan berhasil mendapatkan ratusan senjata dengan cara pendekatan kepada masyarakat sehingga, senjata yang disimpan masyarakat dengan suka rela diserahkan ke aparat keamanan. “kita lakukan pendekatan kepada masyarakat, dan Alhamdulillah masyarakat dengan suka rela berikan kepada kita,”.
Dansatgas, menjelaskan sejata maupun bahan peledak yang telah disita akan dimusnakan. Untuk sejata bentuk pemusnahan di potong, sementara amunisi dan bahan pedak dimusnakan ditemapt khusus. “setalah kita sita, kita akan musnakan, untuk bentuk pemusnahan kita potong, dan untuk peluru dan bom pemusnahan di tempat khusus,” tuturnya. Pihaknya berharap kepada masrakat agar tidak lagi menyimpan dan menggunakan senjata maupun bahan peledak. Sebab, akan membahayakan masyarakat saat konflik.

Panglima TNI lepas satuan tugas Konga XX-K ke Kongo

Pasukan TNI sudah bergabung dengan misi perdamaian PBB sejak 1950-an. Tahun 1957 Indonesia mengirim pasukan Konga I ke Mesir, Konga II ke Kongo pada 1960 serta kontingen-kontingen pasukan lain untuk mendukung misi perdamaian PBB di sejumlah negara.(ANTARA FOTO/Jafkhairi) 

Panglima TNI Jenderal TNI Moeldoko melepas 175 anggota Satuan Tugas Kontigen Garuda (Konga) XX-K untuk bertugas selama satu tahun bersama misi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk Stabilisasi di Republik Demokratik Kongo (Mission de l'Organisation des Nations Unies Pour la Stabilisation en Republique Democratique du Congo/MONUSCO).

"Mereka akan berangkat pada Selasa malam (31/12) dan akan melaksanakan tugas pemelihara perdamaian dunia di Democratic Republic of Congo selama satu tahun," kata Panglima TNI, yang menjadi inspektur upacara pelepasan di Markas Besar TNI Cilangkap, Jakarta Timur, Selasa.

Ia mengatakan pasukan itu akan menggantikan Satuan Tugas Kizi TNI Konga XX-J/MONUSCO yang masa tugasnya berakhir pada Desember 2013.

Satuan Tugas Kizi TNI Konga XX-K beranggotakan 175 orang yang terdiri atas 148 TNI Angkatan Darat, 18 TNI Angkatan Laut, lima TNI Angkatan Udara, dan empat personel dari Mabes TNI.

Satuan tugas itu dipimpin oleh Mayor CZI Nurdihin Adi Nugroho (abituren Akademi Militer Tahun 1998) yang dalam keseharian menjabat sebagai Komandan Detasemen Zeni Bangunan-2 Kodam VI/Mulawarman.

Menurut Moeldoko, Satuan Tugas Kizi TNI Konga XX-K/MONUSCO akan melakukan pemeliharaan jalan dari Dungu ke Ngilima, pemeliharaan rutin Runway Dungu, pembangunan hanggar Helipad, pengaspalan taxi way, dan pembuatan jembatan di Moke Faradje.

Pasukan juga akan membangun jalan dari Faradje ke Gilima sepanjang 24 kilometer dan perbaikan jalan Dungu- Faradje sepanjang 140 kilometer serta melanjutkan tugas pasukan sebelumnya.

Sebelum berangkat ke Kongo, pasukan Konga XX-K/MONUSCO telah melakukan latihan penyiapan di Pusat Misi Penyelenggara Perdamaian (PMPP) TNI Sentul Bogor, Jawa Barat, selama satu bulan.

Jejak Soeharto : Petualangan Politik Seorang Jenderal Godean

 
September, tahun 1945. Para pemuda Indonesia sibuk melucuti persenjataan Jepang. Ibu Umiyah Dayino, 75 tahun, masih ingat sebuah pemandangan. Soeharto, eks tentara Peta, sering datang ke bilangan Pathook di Yogya. Sebuah kawasan yang kini terkenal sebagai pusat oleh-oleh bakpia ini, sekitar 50 tahun silam, menjadi sarang berkumpul pemuda-pemuda bawah tanah yang disebut Kelompok Pathook. Para pemuda itu berkumpul, berdiskusi, berbagi informasi, merakit senjata, menjalin hubungan dengan tokoh-tokoh partai. Penggerak-penggerak utama “geng” ini adalah Dayino, Koesomo Soendjojo, dan Denyoto. Semuanya kini sudah almarhum. Umiyah, yang tinggal di Ngabean, Yogya, adalah janda dari Dayino. “Dulu, rumah ini memang menjadi rumah kedua markas pemuda Pathook. Markas utama ada di rumah Koesomo Soendjojo, di Kampung Pathook,” katanya kepada TEMPO suatu sore.
Di situlah Soeharto sering mendengar orang berdiskusi. Memang tak sampai setiap hari, tapi ia bisa saja mampir dua kali seminggu. Ia tiba setiap pukul delapan malam dan dan bertahan sampai pukul tiga pagi. Itu semua dilakukan untuk “belajar politik” kepada Dayitno dan Soendjojo, yang dekat dengan para politisi sosialis. Adalah Marsoedi, seorang eks tentara Peta, yang memperkenalkan Soeharto kepada kelompok Pathook. “Pemuda Pathook itu seperti pemuda Menteng 31 Jakarta. Semua berkumpul di situ, apakah itu PKI atau yang lain,” tutur Marsoedi, mengenang. Ibrahim, 76 tahun, mantan anggota Pathook, masih ingat betul bahwa yang sering meladeni makanan atau minuman untuk Soeharto adalah seorang bernama Munir. Ia adalah Ketua Serikat Buruh. “Munir kemudian dijatuh hukuman mati oleh Soeharto, padahal mereka pernah sama-sama di Pathook,” kata Ibrahim. Jika wartawan menyempatkan diri melacak masa lalu Soeharto di Yogyakarta dan menemukan kembali aktivis-aktivis Kelompok Pathook dulu itu ada alasannya.
 
Sebuah buku berjudul Suharto: A Political Biography karya R.E. Elson, yang baru saja meluncur dalam jumlah terbatas dan berharga jual Rp 400 ribu, menyinggung tentang Kelompok Pathook ini. Boleh disebut di situlah proses pembentukan pemikiran pertama Soeharto. Atau, bisa dikatakan bahwa Pathook adalah sebuah potret kecil bagaimana cara dan gaya Soeharto berkawan. Di Pathook, ia tidak larut dalam pergaulan. Ia mengambil jarak. “Ia bukan anggota,” tutur Ibrahim. Soeharto lebih banyak diam, tapi agaknya ia secara saksama mengamati kecenderungan karakter dan sikap orang, sehingga ketika tiba suatu “masa” ia dihadapkan pada sikap memilih mana kawan, mana lawan, ia telah siap. Ia bahkan tega mengorbankan sahabatnya sendiri. Munir, yang punya nama lengkap Mohammad Munir, dieksekusi pada Mei tahun 1985.
 
Marsudi, orang yang membukakan cakrawala politik Soeharto, yang kemudian menjadi perwira intel Soeharto, juga dijebloskan ke penjara selama lima tahun di zaman Orde Baru. Tudingannya? Anggota Partai Komunis Indonesia. Buku ini adalah sebuah hasil penelitian yang disusun secara komprehensif dan hati-hati. Ada beberapa hal yang tetap menjadi pertanyaan: misalnya, sosok misterius Syam Kamaruzaman, yang sesungguhnya adalah anggota Kelompok Pathook.
Banyak spekulasi mengatakan, kelak kemudian hari ia menjadi agen ganda dan merupakan kunci utama Peristiwa G30S. Sayang, Elson tidak memberi ruang untuk mengeksplorasi misteri Syam. Ada hal lain yang menarik yang sekilas disentuh Elson, yakni soal penyelundupan Soeharto akhir tahun 1940-an. Ibu Umiyah, misalnya, mendengar sebuah versi cerita bahwa, ketika Soeharto memimpin Brigade X (Wehtkreise III) di Yogyakarta, ia sudah terlibat penyelundupan. Menggunakan bahan-bahan dari WTIR (Wekelijks Territoriaal Inlichtingen Rapport) dan NEFIS (Netherland Forces Intelligence Service), Elson membenarkan dugaan itu. Sayangnya, pemaparannya hanya sekilas. Elson juga menuturkan periode kepanglimaan Soeharto di Semarang tahun 1950-1959 secara selintas. Pada Juli 1957, saat menjadi Panglima Jawa Tengah di Semarang, Soeharto mendirikan YPTE (Yayasan Pembangunan Teritorium Empat).
Mereka mendapatkan modal awal sebesar Rp 419,352 dari pajak kopra dan sumbangan Persatuan Pabrik Rokok Kudus. Tahun itu juga, Soejono Hoemardani, staf Soeharto, bekerja sama dengan YPTE mendirikan NV Garam di Salatiga, yang bergerak di bidang transportasi. YPTE mendapatkan sepuluh persen dari keuntungan. Masih pada tahun yang sama, Soejono membeli separuh saham PT Dwi Bakti. Separuh saham lainnya diambil oleh anak angkat Gatot Subroto, yaitu Mohammad Bob Hassan, dan pengusaha Sukaca. Pada akhir tahun 1957, luar biasa, modal YPTE langsung mencapai Rp 18 juta. Pada Agustus 1958, YPTE mendirikan NV Pusat Pembelian Hasil Bumi, perusahaan jual-beli produksi pertanian.
Pada tahun 1959, kekayaan YPTE melonjak menjadi Rp 35 jutaan, sehingga YPTE bisa meminjamkan uang sebesar Rp 1 juta rupiah untuk mengembangkan industri kecil di Jawa Tengah. Agustus 1959, YPTE melangkah lebih jauh lagi: menanamkan investasi sebesar Rp 15 juta untuk membeli Pabrik Gula Pakis. Untuk mengatasi kekurangan stok pangan di Jawa Tengah, Soeharto membuat kebijakan mengadakan barter gula dengan beras dari Thailand dan Singapura. Maka, diutuslah agen-agen YPTE bernama Bob Hasan dan Soejono Hoemardani untuk membuat koordinasi tukar-menukar ilegal antara Jawa Tengah dan Singapura.
 
Soal barter inilah yang membawa Soeharto ke hadapan tim pemeriksa Angkatan Darat dengan tuduhan korupsi. Pada April 1957 di Jakarta, diresahkan oleh kabar merebaknya korupsi di lingkungan tentara, A.H. Nasution meng-instruksikan membuat tim investigasi korupsi. Pada 18 Juli 1959, sebuah tim inspeksi dari Jakarta dipimpin Brigadir Jenderal Sungkono tiba di Semarang. Aspek-aspek finansial YPTE diperiksa oleh tim yang diketuai Letnan Kolonel Sumantri. Pada 13 Oktober 1958, Soengkono mengeluarkan pernyataan pers di Semarang tentang kegiatan YPTE. Keuntungan yayasan ini digunakan untuk membeli pompa air, traktor, pupuk para petani di Jawa Tengah, dan untuk membantu para pensiunan ABRI dan kebutuhan sehari-hari keluarga serdadu, misalnya membantu bila ada kematian atau pernikahan atau membeli kebutuhan sehari-hari. Akhirnya, tim tersebut menyatakan bahwa kasus barter ilegal Soeharto “dapat dimaafkan” lantaran itu dilakukan untuk kesejahteraan petani dan prajurit.
Posisi Elson sendiri tampak sependapat dengan “keputusan resmi”. Ia menyangsikan bahwa segala uang itu masuk ke kantong pribadi Soeharto, lantaran dari risetnya ia mendapat fakta bahwa kehidupan Soeharto di Semarang sederhana . “As far as I am aware, Suharto himself was not directly involved in such maters, and there is no evidence that connects him directly to a share in the profits of these business, ” (Sepanjang yang saya ketahui, Soeharto tidak terlibat secara langsung dalam kasus itu, dan tak ada fakta yang mendukung bahwa dia mendapatkan bagian keuntungan dari bisnis ini-Red.), demikian ditulis Elson. Elson juga menampik anggapan umum bahwa hubungan bisnis di bawah tangan antara Soeharto dan Liem Sioe Liong terjalin di Semarang karena-menurut Elson-pada saat itu fokus bisnis Liem berganti.
Oktober 1956, Liem mendirikan NV Bank Asia, yang kelak akan menjadi Bank Central Asia (BCA). Tahun 1957, Liem telah meninggalkan Kudus dan pindah ke Jakarta. Hubungan erat Soeharto dan Liem-menurut Elson-baru ketika di Jakarta, di awal Orde Baru. Yang menjadi soal, dengan kesimpulan seperti itu adakah Elson telah mewawancarai beberapa saksi hidup saat itu? Wartawan TEMPO menemui Mayor Jenderal (Purnawirawan) Moehono, yang pada waktu itu menjabat sebagai Jaksa Agung Muda yang diutus Nasution untuk mendampingi tim kecil Ibrahim untuk memeriksa Soeharto.
“Jauh sebelum membentuk Yayasan Teritorial Empat, Soeharto sudah melakukan korupsi, yaitu penjualan mobil-mobil tua, sejumlah mobil yang usianya belum mencapai lima tahun ikut dilegonya,” tutur Muhono. Dalam daftar pustaka, misalnya, Elson menggunakan referensi buku Letnan Jenderal Purnawirawan Mochammad Jassin, mantan Panglima Komando Daerah Militer Brawijaya 1967-1970: Saya Tidak Pernah Minta Ampun pada Soeharto.
Entah apakah Elson mewawancarai langsung Jassin atau tidak. Sebab, dalam wawancaranya dengan media pada tahun 1998, Jassin mengatakan: “Tiga tahun yang lalu saya tanya ke Pak Nas sewaktu dia mengawinkan cucunya, ‘Pak Nas, katanya Soeharto itu pernah jadi penyelundup.’ Dia bilang, ‘Iya bukan hanya teh, ada cengkih, besi tua, tekstil. Menurut Jassin, sebenarnya Soeharto sudah mau dipecat olek Pak Nas tapi diselamatkan oleh Gatot Soebroto.’
Menurut Muhono, yang pertama kali melaporkan penyelundupan ini adalah Pranoto Reksosamudra. Itulah sebabnya Soeharto sangat dongkol kepada Pranoto, yang dikenalnya di Pathook itu. Ketika di Semarang, ternyata Pranoto menjadi rival politik Soeharto. Pranoto inilah yang oleh Bung Karno ditunjuk sebagai caretaker keamanan pasca-G30S. Tapi, kemudian, Pranoto ditahan oleh Soeharto selama 15 tahun (dari 16 Februari 1966 sampai 16 Februari 1981). Kepada TEMPO, Umiyah, istri Dayino, menyatakan bagaimana ia ingat saat Pranoto keluar dari penjara. Ketika itu suaminya, Dayino, menemui Pranoto.
Kedua sahabat ini berangkulan dan Pranoto berpesan kepada Dayino: “No, kowe ojo melu-melu sing kuoso iki, mergo sing kuoso iki iblis (Kamu jangan ikut-ikutan yang berkuasa, karena yang berkuasa ini iblis).” Bagian penting lain yang menarik tapi terasa tak memuaskan dahaga pembacanya adalah bab G30S-PKI. Elson tampak bersikap ekstrahati-hati. Ia tidak ingin terjebak dalam teori konspirasi. Ia sama sekali tidak menyentuh kontroversi keterlibatan CIA di balik G30S-PKI atau bahwa Soeharto semacam soldier of fortune yang menjual negara.
Bagaimanapun, sikap hati-hati Elson ini memiliki sisi positif karena ia mampu menunjukkan kritik terhadap Kol. Latief. Berdasar bahan-bahan wawancara surat kabar, buku, dan pleidoi Latief, ia menunjukkan beberapa bagian yang tidak konsisten dalam pernyataan Kolonel Latief. Misalnya, pengakuan Latief bahwa semenjak di Brigade X ia menjadi anak buah Soeharto bertentangan dengan pengakuannya yang lain.
Kesimpulan Elson, sebetulnya baik Latief maupun Untung sama sekali tidak akrab dengan Soeharto. Bahwa fakta Soeharto pernah menghadiri perkawinan Untung adalah hal yang dilebih-lebihkan. Elson berpendapat Soeharto tidak terlibat dalam peristiwa itu. Tapi dia menangguk untung. Bagi Elson, Soeharto adalah sosok yang sulit diketahui isi hatinya. Di tengah misterinya, Elson menganggap kekuatan utama Soeharto adalah kemampuannya membuat kalkulasi politik.
Salah satu prinsip Soeharto: ia tak akan bertindak sebelum sampai ada tanda jelas. Ia sabar, tahan, menunggu momen tepat, meskipun dalam rentang itu korban nyawa berjatuhan. Contohnya adalah pada waktu malam pembunuhan jenderal itu. Mendengar laporan Latief bahwa ada penculikan jenderal, ia tidak bertindak apa-apa. Mungkin ia melihat sebuah kesempatan bagi dia sendiri untuk maju. Demikianlah taktik politik Soeharto.
Menurut analisis Elson, Soeharto juga tak suka pada seorang pesaing atau rival. Banyak pengamat menganggap, sesungguhnya dalam praktek politik sehari-hari Soeharto tak ada orang dekat yang betul-betul dipercaya Soeharto. Sebab, jika orang itu mulai menonjol dan dianggapnya “keluar” dari arahannya, ia akan digencet. Elson menganggap Soeharto tak akan menghancurkan lawan (pesaingnya) apabila dia melihat kesempatan untuk membuat sang lawan berubah menjadi anak buahnya. Bila tak tunduk, ia akan berusaha keras mengisolasi pesaingnya hingga dia tidak akan mendapat dukungan. Sepanjang sejarah, kita lihat Ali Sadikin yang “dibuang” di masa Orde Baru. Bahkan soal sepele seperti bentuk mata uang pun bisa jadi masalah besar bagi Soeharto.
Ketika Jusuf Ronodipuro mengusulkan agar kita memiliki uang kertas bergambar Sukarno, Soeharto tak setuju kalau Soekarno hanya tampil sendirian. Akhirnya, uang pecahan itu diputuskan menampilkan gambar Sukarno-Hatta. Menurut Elson, unsur pembalasan dendam juga menjadi bagian gaya kepemimpinan Soeharto. Seorang sumber TEMPO menceritakan, begitu Sultan Hamengku Buwono IX menjadi wakil presiden, ia ingat betapa Soeharto tampak senang. Kepada sumber TEMPO tersebut, Soeharto mengatakan bahwa kini Raja Jawa-lah yang harus tunduk pada dirinya-petani dari Desa Kemusuk. Dari pernyataan itu, terasa udara dendam kelas.
Kelemahan utama dalam kepemimpinan Soeharto adalah dia bukan pemimpin yang memiliki visi. Model kepemimpinannya, menurut Elson, sangat instrumental, sederhana. Langkah-langkah yang diambilnya banyak yang karena kebutuhan konkret dan praktis. Ia seolah pengamal ekstrem pepatah Latin, Carpe Diem: raihlah hari ini. Soeharto tak banyak membaca. Elson pernah mendapat cerita bagaimana seorang lingkaran dalam Istana pernah diam-diam ingin “mendidik” Soeharto.
Setiap pekan, sang sumber ini membawa setumpuk majalah luar negeri, seperti Time, ke ruang kerja Soeharto. Tapi, tiap kali ia datang, tumpukan majalah itu tak tersentuh. Sekali waktu di Yogyakarta, Sukarno menyebut Soeharto sebagai koppig (keras kepala). Sikap koppig ini juga terasa bagi masyarakat di bawah pemerintahannya karena Soeharto begitu defensif apabila ditanya soal bisnis keluarganya. Bahkan, ketika tahun 1990-an model nepotisme yang dia bangun rentan terhadap krisis, ia tetap defensif. Soeharto, menurut Elson, sedari awal selalu membutuhkan sumber-sumber pemasukan off budget (di luar pembukuan) yang tidak melalui pemeriksaan ketat. Ia menciptakan mesin-mesin uang seperti Ibnu Sutowo, yang sepak terjangnya di luar anggaran. Pada waktu itu, semua berjalan lancar karena faktor boom minyak. Semua “pelanggaran” yang dilakukan seolah terlegitimasi dengan kesuksesan Pertamina membangun apa saja. Penempatan personel militer ke dalam lapisan elite perusahaan sipil juga seolah menjadi absah.
Tahun 1967, ia menempatkan Soejono Humardani sebagai dewan utama Bank Windu Kencana milik Liem Sioe Liong. Ia seolah memberi model bagaimana tentara harus memanfaatkan sumber-sumber bisnis untuk membiayai operasinya. Ia juga membiarkan ketika istrinya, Tien Soeharto, mendirikan yayasan-yayasan filantropis yang dananya diperoleh dari perusahaan-perusahaan. Tahun 1966, bersama istri Ibnu Sutowo, Tien Soeharto mendirikan Yayasan Harapan Kita, yang dananya dijatah beberapa persen dari PT Bogasari.
Selanjutnya, lingkup yayasannya tambah beragam, dari yayasan agama sampai yang bersifat tradisi seperti Yayasan Mangadek, sebuah yayasan untuk memelihara Istana Mangkunegaran yang pasokan dananya dikoordinasi pengusaha Sukamdani. Soeharto, mengutip istilah Harry Tjan Silalahi, adalah seorang pemimpin petani yang memiliki mentalitas lumbung. Seorang petani sehari-hari penampilannya sederhana, cukup mengenakan kaus, asal lumbungnya penuh. Sosok Soeharto terlihat sederhana, tak suka pesta-pesta. Tapi ia puas lumbung keluarganya, sanak familinya, kroninya terisi untuk tujuh turunan. Mengutip analisis Jenderal Soemitro, Elson menyebut Soeharto memang lemah terhadap keluarganya. Itulah sebabnya kondisi fisiknya semakin merosot setelah kematian istrinya pada 28 April 1996. Padahal, sebelumnya saat kunjungan ke Kazakhstan, kondisi fisiknya masih bagus. Ia dikabarkan masih kuat menunggang kuda lokal yang larinya cepat. Sayang, Elson tak menjelajahi soal kematian Tien Soeharto.
Benarkah isu-isu yang tersebar selama ini? Atau ada fakta lain? Tentunya itu menarik diulas. “Kematian Ibu Tien karena serangan jantung seperti yang ditulis Elson itu tidak benar,” kata Muhono, yang di hari-hari kematian Tien Soeharto mengetahui keadaan dan suasana Cendana. Buku ini memang banyak bertumpu pada banyak pustaka dan riset dalam rangka upaya Elson mencari atau me-nemukan gaya personal kepemimpinan Soeharto. Inilah sebuah gaya yang, celakanya, begitu tertanam dalam birokrasi modern Indonesia. Elson tidak melakukan wawancara dengan Soeharto. Tapi, itu bukan soal. Sebab, Cyndi Adams, yang menyusun biografi Sukarno berdasar wawancara yang dalam dengan “pujaan”-nya itu, malah membuat bukunya itu mengandung banyak bias emosional.
Buku Elson terbilang cukup komprehensif hanya bila pembaca ingin mengetahui garis besar perjalanan politik Soeharto. Tapi, bila pembaca membaca buku ini dengan semangat “pembongkaran” sesuatu yang baru dalam misteri sosok Soeharto, atau jika ingin mendapat informasi atau data tekstual yang mengejutkan, tampaknya buku ini tak bisa menjadi pilihan.
Sebagaimana fitrah profesi penulisnya, buku ini adalah sebuah analisis yang komprehensif tentang petualangan politik Soeharto yang disusun dengan rapi dan teliti tanpa gelora atau keinginan untuk menggebrak.
*Sumber: Arsip Majalah Tempo 

Sejarah.

Operasi Tameng Cucut-13, KRI Kakap-811 Amankan Perbatasan RI–Philipina


Dalam rangka melaksanakan tugas Operasi Tameng Cucut-13, Kapal Perang RepubliK Indonesia (KRI) Kakap-811, mendapat tugas untuk mengamankan perairan perbatasan antara Republik Indonesia dengan Philipina. Saat ini kapal perang yang dikomandani oleh Mayor Laut (P) John David Nala Sakti, sedang melaksanakan bekal ulang di Dermaga TNI AL Samuel Langunyu, Bitung, Sulawesi Utara, Selasa (24/12). Kapal perang jenis Fast Patrol Boat (FPB) buatan PT. PAL Indonesia ini melaksanakan tugas dengan sandi Operasi Tameng Cucut-13, di Bawah Kendali Operasi (BKO) Gugus Tempur Laut (Guspurla) Koarmatim.
Tugas yang diemban KRI Kakap sebagai unsur tugas Operasi Tameng Cucut-13, yakni melaksanakan pengawasan di wilayah perbatasan khususnya di wilayah kerja Komando Armada RI kawasan timur. Operasi ini merupakan operasi laut dalam rangka mengamankan wilayah perbatasan RI – Philipina di sekitar perairan Laut Sulawesi. Adapun target operasi yakni pencegahan terhadap aksi tindak kejahatan dan pelanggaran di laut berupa pelanggaran batas wilayah perairan, illegal fishing, illegal entry, illegal logging, penyelundupan senjata, pembajakan dan terorisme di laut.

Disamping melaksanakan patroli laut, dilain kesempatan saat kapal sandar di dermaga, prajurit KRI Kakap melaksanakan olah raga bersama dan Open Ship bagi kalangan pelajar dan masyarakat umum serta penduduk setempat. Hal ini sebagai sebagai bentuk pemembinaan hubungan baik antara prajurit TNI AL dengan rakyat sekaligus sebagai wahana untuk membangkitkan rasa nasionalisme, patriotisme dan cinta tanah air, serta menumbuh kembangkan semangat jiwa bahari sebagai bangsa maritim.
Dalam melaksanakan tugas pokoknya, KRI Kakap-811 mendapatkan dukungan dari Pangkalan Utama Angkatan Laut (Lantamal) ataupun Pangkalan Angkatan Laut (Lanal), untuk melaksanakan bekal ulang atauapun kegiatan dukungan operasi yang lain. Pangkalan yang pernah disinggahi selama menjalankan opersi antara lain, Lantamal VI ( Makassar, Kendari), Lantamal VIII (Bitung, Tahuna) dan Lantamal IX (Ambon, Tual).

KRI Kakap-811 melaksanakan tugas Operasi Tameng Cucut-13, sejak tanggal 10 November Desember 2013. Selain menjalankan tugas pokok tugas lain yang telah dilaksanakan KRI Kakap selama kurang lebih dua bulan antara lain mengangkut amunisi berbagai jenis untuk Lanal Tahuna di Proponsi Sulawesi Uatara, turut menyukseskan kegiatan kunjungan kerja pejabat tinggi TNI AL dan olah raga lari bersenjata mengelilingi Kota Tual, Propinsi Maluku.
Penghujung akhir tahun 2013, merupakan akhir waktu pelaksanaan Operasi Tameng Cucut-13. Meskipun demikian prajurit KRI Kakap-811 tetap menjalankan tugas menjaga perairan laut dengan penuh semangat, demi tetap tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Hal ini semata-mata sebagai bentuk pengabdian terbaik untuk bangsa dan Ibu Pertiwi tercinta.(Dispenarmatim)