Jumat, 22 November 2013

BIN Telah Berkomunikasi dengan Pimpinan Intelijen Australia

Isu penyadapan bukan pertama kali terjadi, respon  dan gerak cepat telah ditunjukan Badan Intelijen Negara (BIN)  yang sudah berkomunikasi dengan pimpinan intelijen Australia sesuai instruksi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Demikian pernyataan Bambang Wiyono, Deputi Komunikasi dan Informasi BIN, di kantor BIN, Jakarta, Senin, 18 November 2013.                                      
"Terkait isu penyadapan, BIN telah melakukan komunikasi langsung dengan pimpinan intelijen Australia, dan sebagai bagian dari langkah membangun komunikasi yang baik antara lembaga intelijen Indonesia dan Australia" ungkap Bambang Wiyono.
Lebih lanjut Bambang menjelaskan komunikasi tersebut dilakukan untuk meminta kepastian tentang kegiatan penyadapan dan meminta jaminan bahwa tidak ada kegiatan penyadapan untuk saat ini dan selanjutnya. Pimpinan intelijen Australia, juga memberikan perhatian besar terkait isu penyadapan dengan melakukan evaluasi internal secara menyeluruh terhadap sistem dan kinerja intelijen mereka.
“BIN terus melakukan komunikasi dan mendukung langkah-langkah diplomatik dari Kementerian Luar Negeri dalam menyikapi isu penyadapan ini," tegas Deputi VI Ka BIN.
Sebenarnya tidak ada lagi hal baru, lanjut Bambang, kecuali penyebutan secara lebih spesifik target-target penyadapan yang berasal dari Edward Snowden yang masih memerlukan evaluasi secara mendalam dari aspek pembuktian dan kapasitasnya. Termasuk juga motivasinya, dengan mencermati situasi dan posisinya saat ini.
Bambang menambahkan BIN menangkap adanya tendensi provokatif dalam pemberitaan terkait penyadapan yang dilakukan Australia terhadap Indonesia.
“Pengulangan berita menyangkut isu penyadapan ini memberikan kesan adanya hal-hal bertendensi provokatif, terkait hubungan yang telah terjalin antara Indonesia dengan Australia, “ ujar Bambang Wiyono.
Menurut Bambang isu penyadapan perlu disikapi secara cermat dan tepat, jangan sampai Indonesia masuk dalam situasi di luar kepentingan nasional sendiri, serta tetap menjaga kewibawaan nasional kita.
Bambang memberikan saran dalam penerapan sistem komunikasi yang aman dengan menggunakan persandian atau enkripsi, meskipun komunikasi dimungkinkan tersadap, namun konten komunikasinya tidak dapat dibuka atau dibaca.
"Sehubungan dengan itu, penggunaan sarana dan sistem komunikasi yang aman, sesuai dengan tata aturan yang telah ditentukan, agar kiranya benar-benar menjadi atensi dan dilaksanakan oleh para pihak yang bertanggungjawab dalam penanganannya untuk mengamankan komunikasi para pejabat terkait," tutupnya.
BIN. 

BIN Telah Berkomunikasi dengan Pimpinan Intelijen Australia

Jakarta (19/11/2013)-  Isu penyadapan bukan pertama kali terjadi, respon  dan gerak cepat telah ditunjukan Badan Intelijen Negara (BIN)  yang sudah berkomunikasi dengan pimpinan intelijen Australia sesuai instruksi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Demikian pernyataan Bambang Wiyono, Deputi Komunikasi dan Informasi BIN, di kantor BIN, Jakarta, Senin, 18 November 2013.                                     
"Terkait isu penyadapan, BIN telah melakukan komunikasi langsung dengan pimpinan intelijen Australia, dan sebagai bagian dari langkah membangun komunikasi yang baik antara lembaga intelijen Indonesia dan Australia" ungkap Bambang Wiyono.
Lebih lanjut Bambang menjelaskan komunikasi tersebut dilakukan untuk meminta kepastian tentang kegiatan penyadapan dan meminta jaminan bahwa tidak ada kegiatan penyadapan untuk saat ini dan selanjutnya. Pimpinan intelijen Australia, juga memberikan perhatian besar terkait isu penyadapan dengan melakukan evaluasi internal secara menyeluruh terhadap sistem dan kinerja intelijen mereka.
“BIN terus melakukan komunikasi dan mendukung langkah-langkah diplomatik dari Kementerian Luar Negeri dalam menyikapi isu penyadapan ini," tegas Deputi VI Ka BIN.
Sebenarnya tidak ada lagi hal baru, lanjut Bambang, kecuali penyebutan secara lebih spesifik target-target penyadapan yang berasal dari Edward Snowden yang masih memerlukan evaluasi secara mendalam dari aspek pembuktian dan kapasitasnya. Termasuk juga motivasinya, dengan mencermati situasi dan posisinya saat ini.
Bambang menambahkan BIN menangkap adanya tendensi provokatif dalam pemberitaan terkait penyadapan yang dilakukan Australia terhadap Indonesia.
“Pengulangan berita menyangkut isu penyadapan ini memberikan kesan adanya hal-hal bertendensi provokatif, terkait hubungan yang telah terjalin antara Indonesia dengan Australia, “ ujar Bambang Wiyono.
Menurut Bambang isu penyadapan perlu disikapi secara cermat dan tepat, jangan sampai Indonesia masuk dalam situasi di luar kepentingan nasional sendiri, serta tetap menjaga kewibawaan nasional kita.
Bambang memberikan saran dalam penerapan sistem komunikasi yang aman dengan menggunakan persandian atau enkripsi, meskipun komunikasi dimungkinkan tersadap, namun konten komunikasinya tidak dapat dibuka atau dibaca.
"Sehubungan dengan itu, penggunaan sarana dan sistem komunikasi yang aman, sesuai dengan tata aturan yang telah ditentukan, agar kiranya benar-benar menjadi atensi dan dilaksanakan oleh para pihak yang bertanggungjawab dalam penanganannya untuk mengamankan komunikasi para pejabat terkait," tutupnya.
- See more at: http://www.bin.go.id/nasional/detil/247/1/19/11/2013/bin-telah-berkomunikasi-dengan-pimpinan-intelijen-australia#sthash.EfhnJWVu.dpuf

Paradigma Baru Ancaman Intelijen Masa Kini



Perkembangan dinamika dan lingkungan strategis mengakibatkan perubahan paradigma, sehingga spektrum ancaman bergeser dari ancaman bersifat non fisik berubah menjadi perang masa depan bersifat cyber war. Atas dasar itulah intelijen Indonesia harus menyesuaikan dengan bentuk dan sifat ancaman perang tersebut. Kemajuan teknologi harus menjadi peluang bagi intelijen Indonesia untuk mencapai tujuan dan kepentingan nasional disertai dengan mengintensifkan pengembangan SDM intelijen baik kecerdasannya maupun nasionalisme. Demikian intisari pendapat mantan Deputi Bidang Produksi dan Analisa Badan Koordinasi Intelijen Negara/BAKIN (Red: sekarang BIN) Supono Soegirman, yang juga penulis buku intelijen berjudul “Intelijen Profesi Unik Orang-Orang Aneh”, dalam wawancara di Jakarta, beberapa waktu lalu.
Berikut petikan wawancara dengan mantan Deputi III BAKIN, Supono Soegirman.
Bagaimana perjalanan karir Anda di bidang intelijen?
Awal karir di BAKIN, saya bertugas sebagai liason dengan DPR, setelah mengalami reorganisasi ditempatkan di salah satu Direktorat Riset Deputi Bidang Luar Negeri BAKIN. Saya sempat menjabat sebagai Kepala Seksi Vietnam, Kasubdit Asia Tenggara, kemudian dipindah ke direktorat operasional dan ditugaskan ke luar negeri. Kembali dari luar negeri ditugasi sebagai Direktur Riset dan Analisa di lingkungan Deputi III (Deputi Produksi dan Analisa BAKIN). Kemudian seusai pendidikan Lemhanas saya ditugasi menjadi staf ahli bidang Sosial Budaya, dan puncaknya dipercaya menduduki jabatan eselon I sebagai Deputi III BAKIN.
Apa motivasi Anda menulis buku tentang intelijen?
Terdapat peribahasa latin "verba volant, scripta mament", artinya kata-kata lisan menguap, tulisan langgeng. Peribahasa tersebut merupakan salah satu pertimbangan mendorong saya menulis buku tentang intelijen, agar masyarakat umum punya persepsi yang benar terhadap dunia intelijen. Buku-buku yang saya tulis menggunakan bahasa populer agar mudah dimengerti masyarakat sebagai "stay behind of intelligence", bersikap kondusif bagi kinerja intelijen. Selama ini tulisan-tulisan berbahasa Indonesia tentang intelijen masih sulit ditemukan. Dilain pihak, banyak terdapat cukup banyak film tentang intelijen yang umumnya justru mudah memberi gambaran keliru. Apabila persepsi masyarakat tentang profesi intelijen dapat proporsional, maka akan dapat meringankan sebagian tugas-tugas intelijen.
Respon publik terhadap tulisan-tulisan saya tentang intelijen cukup konstruktif.  Komentar langsung dalam seminar, pertemuan maupun pertanyaan tertulis melalui media sosial, meskipun disampaikan dalam kalimat-kalimat pendek, menumbuhkan harapan bahwa pembaca bersedia memberikan pemahaman terhadap profesi intelijen sebagaimana semestinya. Sejauh ini buku-buku tentang intelijen yang memadai dalam arti mampu mengobati rasa dahaga masyarakat tanpa harus mengumbar rahasia negara, sekaligus bermanfaat untuk kepentingan literatur pendidikan maupun konsumsi masyarakat luas dirasa masih kurang. Munculnya buku-buku tentang intelijen yang mampu menjembatani berbagai kepentingan tersebut tentu akan membawa banyak manfaat.
Bagaimana pendapat Anda tentang intelijen masa kini dan konsep smart intelligence?
Smart Intelligence merupakan sebuah terminologi yang dapat digunakan untuk mendiskripsikan bagaimana seharusnya postur intelijen ideal dalam menyikapi paradigma baru era keterbukaan. Seperti diketahui, era keterbukaan diwarnai dengan kemajuan teknologi komunikasi, telah menjadikan informasi, termasuk klasifikasinya terbatas, bahkan tertutup, sebagai komoditi yang mudah diakses oleh siapa saja, bukan lagi monopoli intelijen. Berbagai media sosial seperti internet, termasuk google, yahoo, bahkan face book, twitter, menyediakan beragam informasi berharga yang bisa diolah menjadi sebuah produk analisis bernilai tinggi. Akan tetapi, perlu diingat, tidak selamanya data yang tersedia di media sosial tersebut akurat. Bisa saja data-data tersebut merupakan "desepsi", penyesatan, atau mungkin data yang belum teruji kesahihan dan validitasnya.
Intelijen masa kini dan konsep smart inteligence ideal bagi BIN, harus sesuai tantangan yang dihadapi kedepan, setidaknya perlu memenuhi beberapa kriteria, yakni responsif, simpatik, kreatif, dan nasionalis. Responsif dalam arti cepat memberikan reaksi terhadap setiap situasi yang berkembang cepat. Intelijen tidak boleh ketinggalan informasi yang tersedia di media-media sosial, terlebih kalah cepat dengan unsur-unsur masyarakat biasa. Intelijen perlu bereaksi cepat, tetapi harus akurat sebagaimana moto "velox et excatus". Intelijen harus simpatik, menghadapi paradigma keterbukaan menghendaki model "penggalangan" halus, tidak memberikan kesan menakutkan. Intelijen harus kreatif, banyak akal, banyak ide terutama ketika menganalisis sesuatu masalah. Sedangkan nasionalisme harus tetap merupakan dasar pijak intelijen, dalam rangka menghadapi ancaman kedepan terhadap eksistensi, integritas dan kedaulatan NKRI. Dalam nasionalisme tentu terkandung sifat keberanian, semangat berkorban dan semangat pengabdian.
Apa pendapat Anda tentang ancaman intelijen masa kini?
Intelijen masa kini dengan prestasi intelijen masa lalu, tentu tidak bisa dibandingkan, karena situasi dan tantangan yang dihahapi berbeda. Perubahan lingkungan strategis saat ini dibanding dengan masa lalu juga berbeda. Pada masa lalu, interaksi negara-negara di dunia ditandai rivalitas antara blok Barat dan blok Timur. Blok Barat yang anti komunis dipimpin Amerika Serikat. Sedangkan blok Timur yang berhaluan komunis - sosialis dipimpin oleh Uni Soviet. Berhubung Indonesia baru saja terhindar dari malapetaka pemberontakan-kudeta G30S-PKI, maka seakan Indonesia berada dalam orbit blok Barat. Kondisi ini tidak mudah bagi intelijen, sebab pada dasarnya kepentingan nasional RI tidak selamanya otomatis sejalan dengan blok Barat, dan tidak otomatis selamanya berseberangan dengan blok Timur.
Dalam pengabdian pada kepentingan nasional, intelijen senantiasa berpegang pada adagium "tidak ada kawan atau lawan yang abadi, kecuali kepentingan". Sekedar contoh, semula musuh AS adalah komunis. Setelah Uni Soviet dan negara-negara Eropa Timur runtuh, komunis bukan lagi dirasakan sebagai musuh utama, dan saat ini teroris menjadi musuh terbesarnya.  Bagi RI, kejahatan luar biasa yang harus dihadapi adalah korupsi dan teroris, selanjutnya paham liberal dan radikal lain yang dapat menggerus ideologi Pancasila, juga perlu diwaspadai. Sejarah membuktikan sesuai perkembangan dan dinamika situasi, telah terjadi perubahan paradigma, sehingga spektrum ancaman juga berubah. Apalagi dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, ternyata bentuk ancaman dimasa mendatang juga berubah. Ancaman dan perang yang semula bersifat fisik militer, bergeser pada bentuk-bentuk ancaman dan perang bersifat non fisik, multi-dimensi mencakup banyak bidang, termasuk perang masa depan di dunia maya/cyber war. Oleh karena itu, intelijen Indonesia juga perlu menyesuaikan dengan bentuk dan sifat ancaman - perang baru tersebut.
Intelijen Indonesia yang dikomandani oleh BIN, tampaknya sangat antisipatif. Beberapa diantaranya adalah penyempurnaan organisasi dengan dibentuknya sebuah Deputi yang menyediakan sarana dan infrastruktur untuk perang cyber. Selain itu juga telah dibentuk sebuah Deputi yang menghimpun pasukan perang cyber. Dengan perkuatan dua deputi tersebut, intelijen Indonesia diharapkan bukan hanya akan mampu menangkal ekses negatif dampak serangan cyber pihak asing yang mengarah pada pembentukan opini sesat, namun jika diperlukan juga diharapkan mampu melakukan "specified mission" lainnya.
Apa pendapat Anda tentang ancaman perang cyber bagi intelijen?
Ancaman perang cyber yang harus dihadapi Intelijen Indonesia, utamanya BIN cukup berat. Sebagaimana perang fisik yang memerlukan dukungan keunggulan teknologi, perang cyber sangat dipengaruhi kecanggihan teknologi. Di bidang kecanggihan teknologi inilah Indonesia harus mengakui ketinggalan terutama bila dihadapkan dengan negara-negara Barat. Celakanya, masyarakat Indonesia sedang gandrung menikmati kecanggihan teknologi komunikasi dan informasi ciptaan negara-negara lain, tanpa menyadari akan mudah menjadi sasaran pembentukan opini pihak lain yang belum tentu sejalan dengan kepentingan nasional RI. Sekedar contoh, Indonesia merupakan negara terbanyak kelima dalam hal penggunaan perangkat "dunia maya". Sebagai ilustrasi, pada akhir 2012 pengguna internet tercatat sekitar 62 juta, dan pengguna twitter mencapai sekitar 32 juta, demikian pula pemanfaatan media sosial lainnya cukup berkembang.
Tentu saja, semua media sosial memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing.  Bagi intelijen Indonesia, kemajuan teknologi yang dimiliki oleh negara-negara barat sekalipun, harus dilihat sebagai peluang untuk pencapaian tujuan dan kepentingan nasional. Itu sebabnya ketika menyadari kekurangan yang dimiliki yakni bidang teknologi komunikasi, maka tidak ada pilihan lain kecuali mengintensifkan pengembangan SDM intelijen, baik kecerdasannya maupun nasionalismenya. Kecanggihan SDM yang terdukung oleh nasionalisme tinggi akan mampu menyiasati kelebihan peralatan teknologi pihak lain, agar menjadi sesuatu yang kondusif bagi kepentingan nasional RI.
Bagaimana Anda melihat peran penting SDM intelijen?
Peran SDM dalam pelaksanaan tugas intelijen sangat penting. SDM intelijen populer dengan istilah "human intelligence" atau “humint”, sebagaimana perumpamaan yang berbunyi "the man behind the gun". Secanggih apapun teknologi yang digunakan, kalau humint-nya tidak punya semangat pengabdian, apalagi tidak cerdas, maka "senjata" yang ada ditangannya akan menjadi senjata makan tuan. Perlu dijaga keyakinannya bahwa apa yang dilakukan petugas intelijen akan bermanfaat bagi negara dan masyarakat banyak. Selanjutnya berbagai pendidikan dan refreshing course kepada humint amat perlu dilakukan, terutama untuk meningkatkan kemampuan, memelihara dan menyegarkan ilmu pengetahuan dan ketrampilannya agar tetap menjaga dan meningkatkan profesionalitasnya sebagai petugas intelijen. Sementara itu, yang berdimensi keluar, keunggulan humint terkait upaya membangun jaringan agen di dalam negeri maupun diluar negeri, perlu terus dikembangkan. Meskipun demikian, perlu diingat bahwa operasi tertutup menggunakan jaringan agen memerlukan dana dan resiko besar. Bagi intelijen Indonesia yang perlu dipupuk terus adalah patriotisme dan semangat pengabdian kepada tanah air.
BIN. 

Pengamat Intelijen: Densus 88, Operator Penyadapan Australia

Gedung BNN (ist)
Gedung BNN (ist)

Detasemen Khusus Antiteror (Densus 88) Polri telah menjadi operator penyadapan yang dilakukan intelijen Australia terhadap Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan tokoh Indonesia lainnya.
Analisis itu disampaikan pengamat intelijen, Umar Abduh, kepada intelijen (20/11), menanggapi bocoran data intelijen yang diobral mantan agen CIA, Edward Snowden. “Penyadapan intelijen Australia melibatkan Densus 88,” ungkap Umar.
Menurut Umar, pusat operasi penyadapan intelijen Australia di Indonesia berada di salah satu bagian gedung Badan Narkotika Nasional (BNN), Cawang, Jakarta Timur.  “Pusat penyadapan itu dikomando dari gedung BNN,” ungkap Umar.
Umar mengungkapkan, sejak tujuh tahun lalu, Indonesia ikut menandatangani “Pakta Kesetiaan”, Joint Inter Agency Counter Drug Operation Center (JIACDOC), dengan Amerika Serikat, Kanada, Australia, Selandia Baru dan Jepang.
“Bersama AS, Australia, Kanada, Selandia Baru, dan Jepang, Indonesia siap dan rela dimonitor atau  disadap melalui program bantuan JIACDOC. Dit IV/Narkoba membentuk JIACDOC,  dengan bantuan US–DEA dan NSA dii beberapa kota Indonesia,” ungkap Umar.
JIACDOC, kata Umar, diimplementasikan dalam bentuk pengembangan suatu pusat data computer yang dapat dipakai oleh agensi atau badan penegakan hukum yang bergerak di bidang narkoba dengan bantuan pihak pihak yang terkait.
Pusat data JIACDOC berada di bawah payung dan koordinasi BNN. Sementara anggotanya terdiri dari pihak Polri, Bea Cukai, Imigrasi, Hubla Dephub dan pihak Otorita Pelabuhan Udara (Angkasa Pura).  “Survey/assesment oleh Team Teknis dan Penilai (Engineering & Assesment Team) dari DEA sejumlah 7 orang dan dari Polri 1 ( satu) orang yang akan meninjau ke lokasi Pusat JIACDOC,” pungkas Umar.

Lemsaneg Akui Kedutaan Besar RI di Beberapa Negara Disadap

Alat sadap ditemukan di sejumlah KBRI. Pemerintah telah memprotes.

Salah satu KBRI.
Salah satu KBRI. (KBRI Seoul)
Lembaga Sandi Negara mengakui ada indikasi penyadapan di beberapa kantor Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di luar negeri. Mereka pun selalu melaporkan upaya penyadapan itu kepada tim terpadu dan tim kepresidenan, namun tidak disampaikan ke publik karena persoalan intelijen bersifat rahasia.

“Indikasi penyadapan selalu ada. Hanya kami tidak bisa pastikan siapa yang memasang alat sadap itu,” kata Kepala Lemsaneg Mayor Jenderal TNI Djoko Setiadi di Jakarta, Jumat 22 November 2013. Menurutnya, alat sadap yang ditemukan di sejumlah KBRI itu tidak bermerek sehingga tidak diketahui pihak mana yang membuat produk tersebut.

Itulah yang membuat Lemsaneg sulit mengetahui pihak mana yang bertanggung jawab dalam mencuri informasi di KBRI beberapa negara. “Seratus persen kami tidak tahu siapa yang pasang alat sadap. Setelah kami telusuri tidak ada ciri-ciri khusus pada alat itu,” kata dia.

Untuk diketahui, di ruang kerja Duta Besar RI di Canberra Australia dan di Washington DC Amerika Serikat pernah ditemukan alat sadap. Pemerintah Indonesia bahkan telah melayangkan protes. Namun kedua negara terkait tidak mengakui. Alat yang dipasang di KBRI itu disebut pemerintah masing-masing negara sebagai bagian dari upaya membantu Indonesia aman dari ancaman terorisme.

Saat ini hubungan Australia dan Indonesia memburuk paska terkuaknya penyadapan Badan Intelijen Australia (DSD) terhadap Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono, istri, dan para pejabatnya. Indonesia menghentikan kerjasama militer dan intelijen dengan Australia untuk sementara waktu sampai pemerintah Australia memberikan penjelasan resmi atas aksi spionase itu.

Polri antisipasi penyadapan Densus 88 oleh Australia

Kasus penyadapan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ( SBY ) oleh Australia membuat Polri was-was. Korps Bhayangkara itu pun mengantisipasi penyadapan alat-alat komunikasi Densus 88 Antiteror yang didatangkan dari Australia.

Polri antisipasi penyadapan Densus 88 oleh Australia
densus . merdeka.com

Kepala Divisi Humas Mabes Polri Irjen Polisi Ronny F Sompie di Gedung Divisi Humas Mabes Polri, Jakarta, mengatakan upaya antisipasi penyadapan sudah dilakukan.

"Namun demikian saya harus tanya kepada Densus 88 dan Bareskrim Polri, apakah ada kemungkinan segala macam data yang ada di Densus 88 tersadap, terekam, dan bisa disalahgunakan untuk kepentingan negara lain, termasuk oleh Australia, itu akan kita evaluasi," kata Ronny F Sompie , Kamis (21/11).

Menurut Ronny, saat ini peralatan teknologi informasi yang digunakan Densus banyak bergantung dari pihak luar. Baik yang bentuknya bantuan hibah maupun yang dibeli secara langsung.

"Kita akan evaluasi kalau ada masukan dari IPW, saya kira Densus 88 saat membangun alat itu masih di bawah Kabareskrim Polri atau membeli atau menerima hibah alat itu, sudah dari awal sudah mengetahui kemungkinan adanya penyadapan," ujar Ronny.

Selain untuk penanganan terorisme, peralatan Polri dari Australia lainnya juga untuk kebutuhan cyber crime. Menurut Ronny, pihak kepolisian akan mengantisipasi itu kalau-kalau Australia menyertakan alat sadap dalam peralatan itu.

"Ada hibah dari Australia yang berkaitan dengan cyber crime. Tapi apakah mereka memasang alat itu dengan alat mereka untuk memudahkan penyadapan, tentunya perlu kita antisipasi," kata Ronny.