Minggu, 17 November 2013

Cyber Defense Libatkan Semua Komponen Bangsa

Dalam menghadapi acaman pertahanan negara yang bersifat nir militer khususnya di bidang cyber, sebagai leading sector-nya adalah Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo), tetapi apabila  ancaman tesebut sudah menyangkut kedaulatan, keutuhan wilayah dan keselamatan bangsa, maka Kementerian Pertahanan dan TNI mempunyai kewenangan penuh dengan didukung oleh seluruh komponen bangsa yang lain.

Cyber Defense Libatkan Semua Komponen Bangsa

Demikian dikatakan Direktur Komponen Pendukung Direktorat Jenderal Potensi Pertahanan (Dir Komduk Ditjen Pothan Kemhan) Ir Bennyta Suryo Septanto, MT,  saat menjadi nara somber dalam Forum Discussion Group (FGD) tentang “Standarisasi  Keamanan Informasi Pertahanan Siber Nasional”, Kamis (14/11) di Jakarta.

Lebih lanjut Dir Komduk Ditjen Pothan Kemhan mengatakan, dalam sistem pertahanan yang bersifat semesta, dalam menghadapi ancaman militer walaupun leading sector-nya itu TNI tatapi perlu didukung komponen lain.  Demikian juga dalam menghadapi ancaman nir militer seperti ancaman cyber, walaupun leading sector-nya Kemenkominfo tentunya kementerian lainnya, TNI dan Polri serta komponen bangsa yang lain diharapkan juga terlibat.

“Sesuai dengan Undang Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara, bahwa ancaman cyber termasuk dalam ancaman nir militer, dimana dalam menghadapi ancaman nir militer leading sector adalah kementerian diluar pertahanan sesuai dengan jenis ancamannya”, jelasnya.

Dalam rangka menghadapi ancaman pertahanan negara di bidang cyber, Kemhan saat ini sedang membangun system pertahanan cyber nasional dengan menyiapkan regulasi, kelembanggaan/organisasi, infrastruktur pendukung dan menyiapkan Sumber Daya Manusia dengan mengadakan pelatihan-pelatihan.

FGD diselenggarakan oleh Ditjen Pothan Kemhan dan dihadiri kurang lebih 40 peserta yang berasal dari instansi pemerintah, akademisi dan komunitas IT.  FGD ini diselenggarakan dengan tujuan untuk mendapatkan masukan-masukan dari pihak-pihak terkait tentang bagaimana system pertahanan cyber nasional akan dibangun.

Selain Dir Komduk Ditjen Pothan Kemhan, FGD juga menghadirkan nara sumber Staff Khusus Menteri Komunikasi dan Informatika Rudi Luminto dan dimoderatori oleh Dosen Luar Biasa Jurusan Informatika ITB Setiadi Yazid, Ph.D.

PT.DI Yakin N-219 Bisa Dibuat



PT Dirgantara Indonesia yakin 90% kalau program pembuatan pesawat N-219 bakal jalan. Keyakinan itu didasari dengan sudah mengucurnya dana untuk pengembangannya dan adanya persetujuan DPR, tinggal menunggu kelengkapan dokumentasi.

                Kabar gembira karena program pesawat N-219 yang akan dibuat oleh PT Dirgantara Indonesia (DI) bakal jalan. Program yang sudah dicanangkan sejak tahun 2002 itu akan melalui tahap pengajuan aplikasi untuk proses sertifikasi ke DKUPPU (Direktorat Kelaikan Udara Pengoperasian Pesawat Udara) Ditjen Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan. Pengajuan type certificate application ini rencananya dilakukan pada Oktober ini.

                “Kami akan ajukan aplikasi jika sudah mendapat signing contract dari LAPAN,” kata Budi Sampurno, Program Manager N-219, Direktorat Teknologi dan Pengembangan PT DI, awal September lalu di Bandung. Jika pengajuan aplikasi sertifikat untuk mendapatkan  type certificate itu diajukan pada Oktober ini, berlakunya tiga tahun sampai Oktober 2016. Targetnya, pada kuartal pertama 2016, pesawat sudah mendapatkan sertifikasi untuk diproduksi.

Menurut Palmana Banandhi dari Tim Program N-219, tahun 2014 pesawat ditargetkan roll out dan setahun kemudian terbang perdana. Untuk terbang perdana, pesawat membutuhkan flight permit dengan mengaplikasi beberapa dokumen analisis teknis dan pengujian-pengujian di darat (ground).  Izin terbang perdana (khusus) akan dikeluarkan DKUPPU setelah melalui pengecekan di darat dan lulus tes.  “Starting dari situ, mulai flight test,” ujarnya. Setelah itu, untuk mendapatkan sertifikasi akhir, pesawat membutuh 630 flight hours. Saat ini,  N-219 baru tahap preliminary design.

Proses panjang
                Pembuatan pesawat buatan anak bangsa ini melalui proses yang sangat panjang. Kata Judho Birawono Santoso dari Tim Program N-219, pihaknya melakukan survei dan studi pasar sejak tahun 2004. Sebelum memasuki tahap produksi, PT DI melakukan requirement market, kebutuhannya, dan problemnya seperti apa. Tahun 2006 dilakukan penerbangan dengan Twin Otter untuk survei ke Papua, yang akan menjadi area penerbangannya. Diperoleh masukan, antara lain, pesawat harus bisa mendarat di pegunungan dengan landasan yang tidak rata dan panjang tak lebih dari 500 meter. Masukan lain juga diterima dari airline, misalnya tentang daya tempuh yang dibutuhkannya. Tahap ini disebut dengan fase requirement development, yang dilakukan sampai menemukan bentuk yang kira-kira dapat menjadi solusi nantinya.

                 Ada era ketika program ini nyaris tak terdengar beritanya. Tahun 2008, sewaktu Budi dipercaya khusus menangani N-219, banyak pekerjaan “administrasi” yang harus dilakukan agar program ini dapat diwujudkan. Kini ia optimis karena dana untuk pembangunan dan pengembangannya sudah ada. Dana Rp1 triliun untuk pengembangan proyek-proyek baru di PT DI sudah mengucur dan di sana ada bagian untuk N-219. Begitu pula dengan dana Rp310 miliar, yang diturunkan kepada LAPAN. Lembaga ini memang sudah ditugaskan untuk mengembangkan pesawat berkapasitas di bawah 30 penumpang sejak tahun 2008. LAPAN sebagai Reseach & Development dan PT DI sebagai manufakturnya.

                Sebenarnya dana Rp310 miliar yang sudah menjadi pagu definitif tahun 2014 itu belum cukup untuk mengembangkan N-219 dalam satu tahun ke depan.  Setelah melalui pengajuan dan yustifikasi dari Bappenas, akan dianggarkan lagi Rp90 miliar untuk tahun 2015. Jika sudah demikian, LAPAN sudah dapat memberikan kontrak tidak mengikat kepada PT DI; LAPAN sebagai pemilik proyek dan PT DI sebagai kontraktornya. “Kami tawarkan pada mereka untuk kerja bareng dengan kami. Kompensasi dari pemberian kontrak itu, kami kasih knowledge,” papar Budi.

Pengajuan aplikasi
Walaupun pemilik proyek N-219 itu LAPAN, tapi persyaratan untuk pengajuan sertifikasi itu harus yang memiliki DOA (Design Organization Approve), yang hanya dimiliki oleh PT DI. Menurut Budi, dulu regulator mengacu ke FAA (AS), yang membolehkan setiap badan usaha mengajukan aplikasi, selama objeknya memenuhi kriteria regulasi. Namun sekarang regulator mengacu ke EASA (Eropa),  yang mensyaratkan pengajuan aplikasi harus organisasi yang memiliki DOA kelas D atau yang sudah diaudit mampu mendesain pesawat terbang.  

“Kami akan perkenalkan pesawat N-219 ini mengarah ke komuter dengan regulasi CASR atau FAR 23. Ini pesawat kelas kecil dengan maksimum 19 penumpang,” tutur Budi. Pada FAR 23 ini ada kelas transpor, komuter, dam aerobatik. Dipilih kelas komuter karena bisa menjadi pesawat yang dapat terbang berjadwal, sementara kelas transpor harusnya hanya untuk pesawat carter saja. Bobot N-219 akan dibuat 15.500 pon (komuter sampai 19.000 pon, transpor 12.500 pon).

Presiden SBY Terima Anugerah Warga Kehormatan Korps Brimob

PRESIDEN Susilo Bambang Yudhoyono dijadwalkan akan menerima penganugerahan sebagai warga kehormatan Korps Brimob Polri.

Presiden SBY Terima Anugerah Warga Kehormatan Korps Brimob
 
Upacara penganugerahan tersebut rencananya akan dilaksanakan di Lapangan Mako Korps Brimob Polri, Jumat (15/11) pukul 15.10 WIB.

Berdasarkan informasi dari Biro Pers, Media, dan Informasi Istana Kepresidenan, Ibu Negara Ani Bambang Yudhoyono juga dijadwalkan akan hadir mendampingi Presiden SBY pada acara tersebut.

Strategi. 

Jumat, 15 November 2013

Kronologi Keberhasilan Indobatt Redakan Ketegangan Tentara Libanon dan Israel

Di penghujung penugasannya sebagai peace keepers di bumi Lebanon Selatan, personel TNI yang tergabung dalam Satgas Indobatt (Indonesian Battalion) Kontingen Garuda XXIII-G/UNIFIL (United Nations Interim Force In Lebanon) tetap semangat.

Kronologi Keberhasilan Indobatt Redakan Ketegangan Tentara Libanon dan Israel

Dibawah pimpinan Letkol Inf Lucky Avianto, selaku Komandan Satgas (Dansatgas) Indobatt, Kontingen Garuda terus berbuat yang terbaik dan tetap membawa nama baik Indonesia.

Terbukti, Satgas Indobatt tidak hanya berhasil menyabet kemenangan di beberapa cabang olah raga, yang digelar oleh UNIFIL. Satgas Indobatt juga berhasil meredakan ketegangan antara LAF (Lebanese Armed Force) dan IDF (Israel Defence Force), di wilayah TP 37 (UTM 2816342-682341) beberapa waktu lalu.

Kejadian tersebut bermula saat tim dari Kompi Alpha Indobatt, yang dipimpin oleh Lettu Inf MS. Yahya Ginting mengutus regu jaganya, untuk melaksanakan tugas jaga di TP 37. Tepatnya di wilayah perbatasan (blue line) antara Lebanon dengan Israel.

Tim yang berjumlah enam personel dan dipimpin oleh Serda Basuki, tiba-tiba saja mendapati tiga personel IDF yang sudah siap mengambil posisi tiarap dan membidik ke arah personel LAF saat sedang melakukan patroli.

Dengan cepat, personel Indobatt bertindak menjadi penyekat dan menghadap kedua belah pihak (LAF-IDF), sambil mengibarkan bendera PBB dan berteriak 'peace' hingga berkali-kali.

Di tengah ketegangan tersebut, personel Indobatt yang bertugas saat itu juga melakukan negosiasi selama kurang lebih 6 menit, dan menghasilkan menyepakati untuk meredakan ketegangan.

Akhirnya tentara IDF pun menghentikan bidikannya dan segera meninggalkan tempat tersebut, termasuk dari pihak LAF juga meninggalkan tempat tersebut. Hingga kondisi kembali normal seperti semula.

Ketegangan tersebut juga langsung dilaporkan kepada Sektor Timur dan diteruskan ke Headquaters UNIFIL di Naqoura. Menerima laporan tersebut Force Commander Mayjen Paolo Serra, memberikan apresiasi dan penghargaan kepada Indobatt. 

“Satgas Indobatt dinilai telah berhasil melaksanakan Mandat UNSCR 1701, sesuai STIR (Standardised Tantical Incident Reaction) V.26 point 2 (Foreseeable Blue Line Ground Incident Between LAF and IDF)," kata Force Commander, melalui siaran persnya, Kamis (14/11/2013).

Atas kejadian tersebut, melalui apel luar biasa di Lapangan Soekarno Markas Indobatt UN Posn 7-1, Adshid al-Qusayr, Lebanon Selatan, Dansatgas Indobatt Letkol Inf Lucky Avianto menyerahkan piagam penghargaan kepada enam personel Kompi Alpha, yang telah berhasil melaksanakan misi perdamaian atas apresiasi dan penghargaan yang diberikan Force Commander kepada Satgas Indobatt.

Keunikan Pendaratan Helikopter Di Geladak Kapal Perang

 
Perjalanan dengan KRI Surabaya 591 meliput Armada Jaya XXXI/2012 Oktober lalu sangat mengesankan. Selain bisa menyaksikan dari dekat penembakan rudal Yakhont, Angkasa juga bisa menyimak pengoperasian helikopter di kapal perang TNI AL.  Oleh karena luas geladak terbatas, pendaratan dan lepas-landas harus dilakukan ekstra hati-hati dan prosedural. Berikut pengamatan langsung di Perairan Sulawesi.
                KRI Surabaya 591 adalah satu dari lima kapal Landing Platform Dock (LPD) yang dimiliki TNI Angkatan Laut. Meski disebut kapal perang, secara umum profil kapal ini tak sama dengan kapal perang dari kelas Van Speijk atau Sigma yang memiliki meriam, rudal dan persenjataan tempur lain. LPD hanya memiliki meriam 20 mm untuk sista antipesawat udara, namun (kelebihannya) bisa menjadi pangkalan militer terapung untuk dukungan operasi amfibi.
LPD, sejatinya pula, telah dirancang sebagai kuda beban yang amat moveable. Ia bisa berlayar kemana saja non-stop 23 hari dengan kecepatan 14 knot, tanpa isi bahan bakar. Selain bisa difungsikan menjadi kapal markas komando, ia juga bisa membawa ratusan pasukan pendarat, sejumlah tank, beberapa kendaraan tempur, kapal pendarat, serta helikopter-helikopter untuk mendukung gugus tugas armada laut. Geladak atasnya bisa didarati tiga helikopter. Dengan demikian, kapal perang yang sepintas mirip kapal induk kelas Tarawa ukuran mini ini juga bisa dikerahkan untuk dukungan misi kemanusiaan ke daerah-daerah yang terkena bencana.
                Khusus untuk lepas-landas dan pendaratan helikopter, kapal ini memiliki ruang kontrol penerbangan yang unik, dalam arti tidak besar namun proporsional. Ruang kontrol bernama Heli Control Room ini terletak di belakang anjungan, menghadap langsung geladak atau dek di buritan kapal, tempat helikopter-helikopter itu mendarat dan lepas-landas. Sementara di depan geladak ada hanggar untuk satu heli yang juga bisa dikontrol lewat HCR.
                Dari balik kaca ruang kontrol seluas 2 x 3 meter yang menempel di belakang anjungan ini, seorang perwira operasi yang didampingi seorang kelasi bisa melihat ke semua sisi geladak. Mereka bisa memantau kerja petugas ground-handling. Dari sini, mereka juga bisa memantau kedatangan helikopter dan memberi dukungan sinyal dan informasi slope dan arah untuk penerbang. Perwira operasi bisa berasal dari skadron udara tempat asal helikopter atau bisa pula perwira dari kapal yang bersangkutan.
Beda teknik approaching
                Mengoperasikan helikopter di kapal perang atau kapal laut menuntut keterampilan khusus karena lebih sulit ketimbang mendaratkan atau lepas landas dari pangkalan di daratan. Keterampilan khusus ini diperlukan karena helikopter-helikopter ini harus didaratkan atau lepas-landas di atau dari medium yang bergerak, di atas geladak yang luasnya terbatas. Penerbang harus menguasai teknik approaching yang amat berbeda dengan teknik pengoperasian di darat karena faktor kecepatan angin di atas laut yang beragam atau gampang berubah.
                “Keterampilan seperti ini wajib dikuasai setiap penerbang dan harus terus-menerus di-update. Ini penting karena, bahkan, sampai sekarang pun masih terjadi kecelakaan yang tidak perlu terjadi akibat penerbang salah mengantisipasi titik pendaratan yang benar, kecepatan dan arah angin atau kecepatan kapal,” tutur Letkol Laut (P) Muhammad Tohir, Komandan Skwadron 400 , Pusat Penerbangan TNI AL, kepada Angkasa dalam wawancara khusus di atas KRI Surabaya 591.
                Permasalahan seperti itu boleh jadi terdengar absurd namun faktual. Hal ini bisa dicontohkan dengan kasus terjungkalnya helikopter milik AL Kanada beberapa waktu lalu di ujung geladak gara-gara salah mengantisipasi titik pendaratan yang benar. Usut punya usut, musibah ini disebabkan oleh minimnya marking di atas  geladak.
Kasus tersebut terbilang aneh tapi nyata oleh karena menurut aturan internasional, marking dinyatakan harus ada, lengkap, jelas dan harus disertifikasi. Begitu juga dengan kelengkapan lampu-lampu (lighting) pemandu pendaratan dan lepas-landas. Permasalahan ini termasuk salah satu yang dibahas dalam pertemuan tahunan HOSTAC (Helicopter Operation from Ships other Than Aircraft Carriers) yang rajin dihadiri Letkol Tohir.
HOSTAC adalah program internasional beranggotan 34 negara untuk standarisasi penerbangan helikopter militer di atas kapal laut selain kapal induk. “Di pertemuan rutin ini, setiap permasalahan akan dicarikan pemecahan dan dibuatkan prosedur untuk mengatasinya. Ini demi mencegah kesalahan serupa di masa datang,” ujar Letkol Tohir.
                Untuk itu baik penerbang maupun perwira operasi yang bertugas di HCR memang bisa saja menolak pendaratan atau lepas landas jika kondisi atau keadaan memang tidak memungkinkan. Tak peduli bahwa yang helikopter tersebut sedang mengangkut helikopter atau logistik yang amat penting.
----------------
Sekilas LPD



                Kemajuan teknologi dan meningkatnya kebutuhan akan peralatan tempur yang mumpuni telah mendorong berbagai pabrikan untuk menciptakan alat utama sistem senjata yang tepat sesuai kebutuhan customer, tak terkecuali untuk kapal-kapal pendarat pasukan. Landing Platform Dock adalah salah satu alat utama yang terus-menerus diperbaharui rancangannya oleh sebab kebutuhan tersebut. Seperti dituntut petinggi Angkatan Laut AS, kini sebuah LPD baru bisa dikatakan layak jika mampu mengangkut sekaligus enam sampai tujuh Landing Craft Air Cushion dan bisa mendukung operasi Expenditionary Strike Group.
Kebutuhan masa kini dan masa datang juga menuntut LPD  bisa didarati helikopter sehingga harus memiliki geladak atau deck yang layak dan bersertifikasi. Dengan demikian, selain sangat layak difungsikan kapal transpor untuk para marinir, LPD juga bisa dimanfaatkan sebagai kapal markas dan pangkalan operasional di tengah laut. Dan untuk alasan tertentu, kapal ini juga harus bisa dikerahkan untuk misi pertolongan ke daerah bencana.
Oleh karena spektrum fungsi yang luas, berbagai negara pun antusias membeli LPD. Bahkan sampai ada yang sampai memesan menurut kebutuhan yang spesifik. TNI AL sendiri sejauh ini sudah memiliki lima unit yang sama-sama berasal dari Kelas Makassar. KRI Makassar 590 adalah LPD kedua buatan Daesun Shipbuilding & Engineering Co., Korea Selatan, yang dirancang berdasarkan LPD pertama, KRI Tanjung Dalpele. KRI Tanjung Dalpele selanjutnya berubah nama dan fungsi jadi KRI Dr Suharso, satu-satunya kapal rumah sakit yang dimiliki TNI. LPD ketiga adalah KRI Surabaya. Sementara LPD keempat dan kelima, yakni KRI Banjarmasin 592 dan KRI Banda Aceh 593, tidak lagi dibangun di Korea Selatan tapi di fasilitas PT PAL, Surabaya.
Meski berasal dari satu kelas, dalam beberapa sisi, KRI Surabaya 591 dan KRI Banjarmasin 592 toh memiliki perbedaan. Misalnya, dalam hal luas geladak untuk pendaratan helikopter. Geladak KRI Surabaya lebih kecil dan hanya bisa didarati dua helikopter, sementara geladak KRI Banjarmasin lebih luas dan bisa didarati tiga helikopter. Lebih jauh tentang fisik teknis KRI Surabaya, simak boks spesifikasinya.

Fairey AS.4 Gannet TNI AL



Si Gembul Pemburu Kapal Selam

Seperti halnya TNI AU, Angkatan Laut pernah merasakan satu dasawarsa memiliki alutsista yang disegani di kawasan Selatan pada awal hingga pengujung 1960-an. Di air asin TNI AL diperkuat kapal penjelajah kelas Sverdlov dan kapal selam kelas Whisky.Sedangkan di udara hadir pembom torpedo Il-28T, heli Mi-4 ASW, serta AS.4 Gannet.

Embrio kekuatan udara TNI AL terbentuk ketika diresmikannya Staf Penerbangan di bawah Staf Operasi Mabesal pada 4 Februari 1950 yang kemudian disempurnakan menjadi Dinas Penerbangan ALRI pada 17 Juni 1956. Menyadari tanggung jawab menjaga wilayah laut RI yang luas, Penerbal mulai memikirkan untuk memiliki kekuatan udara yang dapat mengawasi dan menjaga wilayah laut dari gangguan kapal permukaan maupun kapal selam asing. Pertengahan tahun 1950-an Indonesia melakukan negosiasi dengan AS untuk mendapatkan pesawat terbang intai maritim Grumman S-2F Tracker. Namun sayang keinginan tersebut ditolak karena pada saat itu sedang terjadi masalah politik internal di dalam negeri AS.

Gagal mendapatkan Tracker, Penerbal mengincar pesawat Gannet buatan Fairey. Gayung bersambut, Pemerintah Inggris memberikan lampu hijau sehingga pada 1957 kontrak pembelian Gannet ditandatangani. Tahun 1959 TNI AL segera mengirim para kadetnya untuk belajar menerbangkan Gannet langsung di pabrik Fairey di White Waltham. Mereka yang dikirim di antaranya Eddy Tumengkol, Subadi, Kunto Wibisono, dan Budiarto. Kadet TNI AL lainnya belajar menerbangkan jet latih Vampire milik RAF di Oakington, di antaranya Lmd Cokrodirejo dan Hamami. Kelak mereka diperbantukan kepada AURI untuk menerbangkan pesawat Vampire, melatih pilot baru, dan memelihara kemampuan terbang mereka.

Berbasis kapal induk

Sejatinya Gannet adalah pesawat yang dioperasikan dari kapal induk dengan sayap utama yang bisa dilipat (dua tekukan) serta memiliki kail pengait di bawah ekor untuk pendaratan. Namun Indonesia tidak memperoleh jenis ini karena Gannet untuk TNI AL adalah versi AS.1 & T.2 bekas pakai Fleet Air Arm, Royal Navy yang telah dimodifikasi dan di-upgrade menjadi varian setara tipe AS.4 & T.5 menggunakan mesin lebih powerfull namun sayap utama telah diubah menjadi model tetap alias tidak bisa dilipat. Lain halnya dengan Gannet milik Angkatan Laut Jerman dan Australia. Mereka memperolehnya dari jalur produksi baru yakni varian AS.4 dan T.5 yang telah mengadopsi mesin baru.

Dari ke-18 Gannet yang dimiliki TNI AL, dua unit merupakan versi latih yakni model T.5 dan sisanya versi ASW. Tipe AS.4 yang perannya sebagai pemburu kapal selam dilengkapi dengan torpedo yang tersimpan dalam bomb bay di perutnya yang gendut. Pesawat ini juga dipersenjatai roket tanpa kendali yang menggantung di sayap utama serta rumah radar pencari yang bisa ditarik ke dalam perut pada bagian bawah belakang pesawat. AS.4 diawaki tiga orang. Yakni pilot dan navigator merangkap observer yang berada dalam satu ruang, serta operator radio-radar di kokpit dengan posisi duduk terpisah menghadap ke belakang ekor pesawat.

Gannet didukung oleh mesin turboprop Double Mamba (populer dengan sebutan Twin Pac) buatan Armstrong-Siddeley. Mesin ini menggerakkan bilah baling-baling model tumpuk yang berputar berlawanan arah (contra rotating). Kelebihan mesin ini adalah salah satu mesin dapat dimatikan untuk penerbangan jelajah ekonomis, atau jika salah satu mesin gagal bekerja maka pesawat tidak akan mengalami masalah dalam penanganan terbang terkait dengan penggunaan mesin contra rotary tersebut.

Gannet milik TNI AL telah mengadopsi mesin tipe baru Double Mamba Mark 101 berdaya 3.035 SHP lebih besar dibanding Double Mamba Mark 100 yang dipakai pada versi AS.1 berdaya 2.950 SHP.

Langsung menuju palagan

Dua pesawat dari pengiriman pertama tiba di Surabaya tahun 1960. Berangsur-angsur disusul pesawat berikutnya hingga total genap menjadi 18 unit masuk Skwadron Udara 100 antikapal selam bermarkas di Morokrembangan, Surabaya. Belum genap dua tahun berdinas AS.4 Gannet dilibatkan dalam Operasi Trikora, dikirim ke wilayah timur untuk mengawasi dan meng-cover laut sekitar Sulawesi hingga laut Banda yang berpangkalan di Liang, Ambon.

Selepas Trikora, Gannet ditarik ke sarangnya. Malang tak dapat ditolak, sebuah Gannet mengalami kecelakaan disekitar Ambon waktu menjalani penerbangan malam dari Mapanget, Manado ke Liang, Ambon. Pesawat baru ditemukan secara tak sengaja setahun kemudian di Gunung Salahatu.

Tak sempat beristirahat lama, Gannet kembali memenuhi panggilan tugas. Kali ini dalam Operasi Dwikora dari 1964-1966 untuk mengawasi perairan di sepanajang perbatasan Singapura hingga selat Karimata dan berbasis di Tanjung Pinang, Riau. Gannet juga terbang dari Denpasar, Bali guna memantau pergerakkan kapal lawan di wilayah selatan Samudra Hindia. Bak senjata makan tuan, Inggris harus menghadapi senjata buatannya sendiri. Dengan digunakananya Gannet oleh TNI AL makin membuat Inggris berang, hingga memutuskan pasokan suku cadangnya. Dalam konflik ini Inggris juga menggunakan Gannet AEW.3 yakni versi Airborne Early Warning yang dioperasikan oleh Fleet Air Arm No.849 Squadron.

Sebagai tambahan informasi, sebelum konflik Dwikora mencapai ujungnya, sayap Penerbal bertambah kuat dengan datangnya sembilan helikopter Mi-4 versi ASW yang dimasukkan ke dalam Skwadron Udara 400. Taring Penerbal bahkan makin meruncing dengan diterimanya 12 Il-28 second hand dari Uni Soviet, 10 di antaranya versi pembom torpedo Il-28T lengkap dengan torpedo RAT-52 sebanyak 59 unit yang hadir pada kuartal pertama tahun 1965 dan menghuni Skwadron Udara 500 di Juanda, Surabaya. Di tahun yang sama AL mendapat limpahan pula 14 unit Il-28 dari TNI AU.

Dengan pecahnya pemberontakan PKI September 1965 dan berujung bergantinya kekuasaan Pemerintahan RI, konflik bersaudara dengan Malaysia berakhir damai di atas meja perundingan. Meski hubungan diplomatik dengan Inggris kembali normal, tapi suku cadang pesawat Gannet TNI AL tak mendapatkan gantinya.

Lambat laun kinerja pesawat mulai menurun. Dengan terpaksa Penerbal pun akhirnya melakukan kanibalisasi agar pesawat tetap bisa operasional. Awal tahun 1970-an diputuskan seluruh Gannet tersisa harus beristirahat panjang. Walau dalam dua operasi militer yang dijalani Gannet tak pernah melepaskan senjatanya, namun Si Gembul memasuki masa purna bakti dengan terhormat sebagai veteran perang sejati. 

Moncong Hiu Yang Melegenda


Sejarah motif ini sangat panjang. Di Indonesia mulai dikenal menjelang akhir Perang Kemerdekaan ketika Belanda membawa armada P-51D Mustang yang saat itu disebut dengan Cocor Merah. Ada juga yang menyebutnya Mustang Gigi.
         
Hiasan ini sangat populer hampir di setiap era ada saja pesawat yang dihiasai dengan motif seperti ini. Tampilanya dari zaman ke zaman nyaris tidak jauh berbeda yaitu bentuk gigi yang menyeringai warna putih dengan ekspresi mata yang sedang marah. Dan jika menggunakan baling-baling pada bagian ujung (cone) hidung pesawat biasanya diberi warna merah.
Kalau diperhatikan pesawat yang menggunakan motif ini adalah keluaran pabrikan dari AS. Padahal Luftwaffe adalah yang pertama kali mengunakannya di tahun 1915 pada pesawat Roland C.II yang dipiloti oleh Oberleutnant Ritter von Schlech. Cuma saat itu motifnya masih bernama Walfisch (ikan paus) dengan bentuk gambar yang belum begitu jelas. Tapi inilah yang menjadi cikal baka dari motif moncong hiu.
Barulah pada saat PD II bergelora motifnya mulai terlihat jelas, yaitu pada Messerschmitt 110 dari 11Gruppe ZG76 Haifisch (ikan hiu) yang menjadi standar dari kesatuan itu dan terlihat juga di beberapa glider tempur Gotha Go 242A. Rupanya motif ini juga disenangi oleh pihak Sekutu terutama Amerika Serikat dimana hampir di semua jenis pesawat kalau tidak dihiasi lukisan wanita seksi ya tentunya moncong hiu itu. Sebut saja seperti pada pesawat P-38 Lightning,P-39D Airacobra, P-51A/B Mustang,dan P-61 Black Widow. Bahkan pesawat-pesawat pembom pun tidak mau ketinggalan seperti A-20 Havoc, B-17 Flying Fortress, B-24 Liberator, B-25 Mitchell, B-26 Marauder, dan A-26 Invader. Rupanya motif gigi hiu ini juga mewabah sampai ke pesawat kecil seperti L-4 Piper Cub dan L-5 Stinson .
Flying Tiger
            Motif moncong hiu ini baru benar-benar melegenda saat digunakan oleh  para penerbang yang tergabung dalam AVG (American Volunteer Group) yang bertugas di Burma ketika bertempur melawan Jepang. Ide penggunaan motif ini datang ketika Letjen Claire Chennault ingin membuat insignia yang khas pada tiga skadron pesawat tempurnya yaitu P-40. Untuk memenuhi keinginan pimpinanya beberapa penerbang dengan bantuan seniman lokal mencoba membuat sketsa dari kapur tulis motif gigi hiu pada bagian moncong pesawatnya. Ide ini sebenarnya sudah ada sebelum pimpinan kharismatik itu memintanya dan ternyata sketsa yang diajukan disetujui. Para penerbang ini juga mengakui bahwa ide ini mereka adopsi dari pesawat tempur milik Jerman yang bertempur di atas pulau Kreta.
            Dengan tambahan gambar seekor macan bersayap sedang menerkam, sejak saat itu nama pangilan dari AVG dikenal dengan The Flying Tiger. Apalagi setelah majalah Time terbitan 6 Desember 1943 sampulnya membuat ilustrasi wajah sang jenderal dengan latar lukisan macan terbang.
            Perang Dunia II usai tapi konflik berlanjut di Semenanjung Korea, rupanya motif ini masih tetap disenangi. Mungkin selain lebih indah pesawat yang dilukis motif moncong hiu ini akan terlihat lebih garang. Selain Mustang yang sudah menggunakan terlebih dahulu, beberapa pesawat jenis jet yang baru pertama kali diterjunkan dalam pertempuran ramai-ramai mengadopsi motif ini seperti F-80C Shooting Star dan F-86 Sabre.
            Konflik berlanjut ke Perang Dingin, motif moncong hiu tetap hadir. Peminatnya lumayan banyak, paling tidak di awal konflik saja sejumlah pesawat tempur menggunakannya seperti F-9F Panther, F-11F Tiger, F-86D Sabre Dog, F-89D Scorpion, F-94B Star Fire, dan F-102A Delta Dagger
            Perang Dingin semakin memanas. Dengan dimulainya Perang Vietnam pesawat dibuat semakin canggih dan helikopter mulai digunakan untuk bertempur. Motif moncong hiu masih saja diminati seperti yang terlihat pada pesawat-pesawat F-8H Crusader, F-105D Thunderchief, OV-1C Mohawk, F-4 Phantom, AH-1G Cobra,UH-1B Huey, A-7 Corsair, dan OV-10A Bronco.
            Era Perang Vietnam berlalu, bahkan Perang Dingin pun berakhir. Dunia memang masih menyisakan beberapa perang besar seperti Perang Malvinas dan Perang Teluk, tapi masih ada saja pesawat yang menggunakan motif ini seperti F-14 Tomcat, A-10Thunderbolt, dan F-16C Fighting Falcon yang berpangkalan di Jerman bahkan ada juga pesawat F-15E Strike Eagle yang meggunakan motif moncong hiu walaupun tidak terlalu menonjol.
            Di Amerika yang masih setia menggunakan motif ini adalah pesawat A-10 dari 23rd Fighter Group yang berpangkalan di Lanud Macdill, Florida. Belum lama ini memperingati 70 tahun (1942-2011) dari skadron Flying Tiger dengan mengundang para pelakunya yang masih ada.
            Di Indonesia motif moncong hiu ini mulai dikenal ketika Belanda membawa pesawat P-51D Mustang sebagai kekuatan tempurnya dan sebagian menggunakan motif moncong hiu. Di sinilah mulai dikenal sebutan Cocor Merah dan Mustang Gigi. Sampai Indonesia menyatakan kemerdekaannya dan memiliki Angkatan Udara sendiri (AURI) dengan modal pesawat-pesawat yang diserahkan oleh Belanda kepada Indonesia. Motif moncong hiu ini masih dipertahankan yang saat itu Mustang tergabung dalam Skadron Udara 3.
            Setelah tertidur cukup lama TNI AU kembali menghidupkan motif ini pada pesawat tempur terbarunya yaitu EMB-314 Super Tucano. Legenda Si Cocor Merah diharapkan bisa bangkit lagi di dalam Skadron Udara 21.