Jumat, 15 November 2013

Keunikan Pendaratan Helikopter Di Geladak Kapal Perang

 
Perjalanan dengan KRI Surabaya 591 meliput Armada Jaya XXXI/2012 Oktober lalu sangat mengesankan. Selain bisa menyaksikan dari dekat penembakan rudal Yakhont, Angkasa juga bisa menyimak pengoperasian helikopter di kapal perang TNI AL.  Oleh karena luas geladak terbatas, pendaratan dan lepas-landas harus dilakukan ekstra hati-hati dan prosedural. Berikut pengamatan langsung di Perairan Sulawesi.
                KRI Surabaya 591 adalah satu dari lima kapal Landing Platform Dock (LPD) yang dimiliki TNI Angkatan Laut. Meski disebut kapal perang, secara umum profil kapal ini tak sama dengan kapal perang dari kelas Van Speijk atau Sigma yang memiliki meriam, rudal dan persenjataan tempur lain. LPD hanya memiliki meriam 20 mm untuk sista antipesawat udara, namun (kelebihannya) bisa menjadi pangkalan militer terapung untuk dukungan operasi amfibi.
LPD, sejatinya pula, telah dirancang sebagai kuda beban yang amat moveable. Ia bisa berlayar kemana saja non-stop 23 hari dengan kecepatan 14 knot, tanpa isi bahan bakar. Selain bisa difungsikan menjadi kapal markas komando, ia juga bisa membawa ratusan pasukan pendarat, sejumlah tank, beberapa kendaraan tempur, kapal pendarat, serta helikopter-helikopter untuk mendukung gugus tugas armada laut. Geladak atasnya bisa didarati tiga helikopter. Dengan demikian, kapal perang yang sepintas mirip kapal induk kelas Tarawa ukuran mini ini juga bisa dikerahkan untuk dukungan misi kemanusiaan ke daerah-daerah yang terkena bencana.
                Khusus untuk lepas-landas dan pendaratan helikopter, kapal ini memiliki ruang kontrol penerbangan yang unik, dalam arti tidak besar namun proporsional. Ruang kontrol bernama Heli Control Room ini terletak di belakang anjungan, menghadap langsung geladak atau dek di buritan kapal, tempat helikopter-helikopter itu mendarat dan lepas-landas. Sementara di depan geladak ada hanggar untuk satu heli yang juga bisa dikontrol lewat HCR.
                Dari balik kaca ruang kontrol seluas 2 x 3 meter yang menempel di belakang anjungan ini, seorang perwira operasi yang didampingi seorang kelasi bisa melihat ke semua sisi geladak. Mereka bisa memantau kerja petugas ground-handling. Dari sini, mereka juga bisa memantau kedatangan helikopter dan memberi dukungan sinyal dan informasi slope dan arah untuk penerbang. Perwira operasi bisa berasal dari skadron udara tempat asal helikopter atau bisa pula perwira dari kapal yang bersangkutan.
Beda teknik approaching
                Mengoperasikan helikopter di kapal perang atau kapal laut menuntut keterampilan khusus karena lebih sulit ketimbang mendaratkan atau lepas landas dari pangkalan di daratan. Keterampilan khusus ini diperlukan karena helikopter-helikopter ini harus didaratkan atau lepas-landas di atau dari medium yang bergerak, di atas geladak yang luasnya terbatas. Penerbang harus menguasai teknik approaching yang amat berbeda dengan teknik pengoperasian di darat karena faktor kecepatan angin di atas laut yang beragam atau gampang berubah.
                “Keterampilan seperti ini wajib dikuasai setiap penerbang dan harus terus-menerus di-update. Ini penting karena, bahkan, sampai sekarang pun masih terjadi kecelakaan yang tidak perlu terjadi akibat penerbang salah mengantisipasi titik pendaratan yang benar, kecepatan dan arah angin atau kecepatan kapal,” tutur Letkol Laut (P) Muhammad Tohir, Komandan Skwadron 400 , Pusat Penerbangan TNI AL, kepada Angkasa dalam wawancara khusus di atas KRI Surabaya 591.
                Permasalahan seperti itu boleh jadi terdengar absurd namun faktual. Hal ini bisa dicontohkan dengan kasus terjungkalnya helikopter milik AL Kanada beberapa waktu lalu di ujung geladak gara-gara salah mengantisipasi titik pendaratan yang benar. Usut punya usut, musibah ini disebabkan oleh minimnya marking di atas  geladak.
Kasus tersebut terbilang aneh tapi nyata oleh karena menurut aturan internasional, marking dinyatakan harus ada, lengkap, jelas dan harus disertifikasi. Begitu juga dengan kelengkapan lampu-lampu (lighting) pemandu pendaratan dan lepas-landas. Permasalahan ini termasuk salah satu yang dibahas dalam pertemuan tahunan HOSTAC (Helicopter Operation from Ships other Than Aircraft Carriers) yang rajin dihadiri Letkol Tohir.
HOSTAC adalah program internasional beranggotan 34 negara untuk standarisasi penerbangan helikopter militer di atas kapal laut selain kapal induk. “Di pertemuan rutin ini, setiap permasalahan akan dicarikan pemecahan dan dibuatkan prosedur untuk mengatasinya. Ini demi mencegah kesalahan serupa di masa datang,” ujar Letkol Tohir.
                Untuk itu baik penerbang maupun perwira operasi yang bertugas di HCR memang bisa saja menolak pendaratan atau lepas landas jika kondisi atau keadaan memang tidak memungkinkan. Tak peduli bahwa yang helikopter tersebut sedang mengangkut helikopter atau logistik yang amat penting.
----------------
Sekilas LPD



                Kemajuan teknologi dan meningkatnya kebutuhan akan peralatan tempur yang mumpuni telah mendorong berbagai pabrikan untuk menciptakan alat utama sistem senjata yang tepat sesuai kebutuhan customer, tak terkecuali untuk kapal-kapal pendarat pasukan. Landing Platform Dock adalah salah satu alat utama yang terus-menerus diperbaharui rancangannya oleh sebab kebutuhan tersebut. Seperti dituntut petinggi Angkatan Laut AS, kini sebuah LPD baru bisa dikatakan layak jika mampu mengangkut sekaligus enam sampai tujuh Landing Craft Air Cushion dan bisa mendukung operasi Expenditionary Strike Group.
Kebutuhan masa kini dan masa datang juga menuntut LPD  bisa didarati helikopter sehingga harus memiliki geladak atau deck yang layak dan bersertifikasi. Dengan demikian, selain sangat layak difungsikan kapal transpor untuk para marinir, LPD juga bisa dimanfaatkan sebagai kapal markas dan pangkalan operasional di tengah laut. Dan untuk alasan tertentu, kapal ini juga harus bisa dikerahkan untuk misi pertolongan ke daerah bencana.
Oleh karena spektrum fungsi yang luas, berbagai negara pun antusias membeli LPD. Bahkan sampai ada yang sampai memesan menurut kebutuhan yang spesifik. TNI AL sendiri sejauh ini sudah memiliki lima unit yang sama-sama berasal dari Kelas Makassar. KRI Makassar 590 adalah LPD kedua buatan Daesun Shipbuilding & Engineering Co., Korea Selatan, yang dirancang berdasarkan LPD pertama, KRI Tanjung Dalpele. KRI Tanjung Dalpele selanjutnya berubah nama dan fungsi jadi KRI Dr Suharso, satu-satunya kapal rumah sakit yang dimiliki TNI. LPD ketiga adalah KRI Surabaya. Sementara LPD keempat dan kelima, yakni KRI Banjarmasin 592 dan KRI Banda Aceh 593, tidak lagi dibangun di Korea Selatan tapi di fasilitas PT PAL, Surabaya.
Meski berasal dari satu kelas, dalam beberapa sisi, KRI Surabaya 591 dan KRI Banjarmasin 592 toh memiliki perbedaan. Misalnya, dalam hal luas geladak untuk pendaratan helikopter. Geladak KRI Surabaya lebih kecil dan hanya bisa didarati dua helikopter, sementara geladak KRI Banjarmasin lebih luas dan bisa didarati tiga helikopter. Lebih jauh tentang fisik teknis KRI Surabaya, simak boks spesifikasinya.

Fairey AS.4 Gannet TNI AL



Si Gembul Pemburu Kapal Selam

Seperti halnya TNI AU, Angkatan Laut pernah merasakan satu dasawarsa memiliki alutsista yang disegani di kawasan Selatan pada awal hingga pengujung 1960-an. Di air asin TNI AL diperkuat kapal penjelajah kelas Sverdlov dan kapal selam kelas Whisky.Sedangkan di udara hadir pembom torpedo Il-28T, heli Mi-4 ASW, serta AS.4 Gannet.

Embrio kekuatan udara TNI AL terbentuk ketika diresmikannya Staf Penerbangan di bawah Staf Operasi Mabesal pada 4 Februari 1950 yang kemudian disempurnakan menjadi Dinas Penerbangan ALRI pada 17 Juni 1956. Menyadari tanggung jawab menjaga wilayah laut RI yang luas, Penerbal mulai memikirkan untuk memiliki kekuatan udara yang dapat mengawasi dan menjaga wilayah laut dari gangguan kapal permukaan maupun kapal selam asing. Pertengahan tahun 1950-an Indonesia melakukan negosiasi dengan AS untuk mendapatkan pesawat terbang intai maritim Grumman S-2F Tracker. Namun sayang keinginan tersebut ditolak karena pada saat itu sedang terjadi masalah politik internal di dalam negeri AS.

Gagal mendapatkan Tracker, Penerbal mengincar pesawat Gannet buatan Fairey. Gayung bersambut, Pemerintah Inggris memberikan lampu hijau sehingga pada 1957 kontrak pembelian Gannet ditandatangani. Tahun 1959 TNI AL segera mengirim para kadetnya untuk belajar menerbangkan Gannet langsung di pabrik Fairey di White Waltham. Mereka yang dikirim di antaranya Eddy Tumengkol, Subadi, Kunto Wibisono, dan Budiarto. Kadet TNI AL lainnya belajar menerbangkan jet latih Vampire milik RAF di Oakington, di antaranya Lmd Cokrodirejo dan Hamami. Kelak mereka diperbantukan kepada AURI untuk menerbangkan pesawat Vampire, melatih pilot baru, dan memelihara kemampuan terbang mereka.

Berbasis kapal induk

Sejatinya Gannet adalah pesawat yang dioperasikan dari kapal induk dengan sayap utama yang bisa dilipat (dua tekukan) serta memiliki kail pengait di bawah ekor untuk pendaratan. Namun Indonesia tidak memperoleh jenis ini karena Gannet untuk TNI AL adalah versi AS.1 & T.2 bekas pakai Fleet Air Arm, Royal Navy yang telah dimodifikasi dan di-upgrade menjadi varian setara tipe AS.4 & T.5 menggunakan mesin lebih powerfull namun sayap utama telah diubah menjadi model tetap alias tidak bisa dilipat. Lain halnya dengan Gannet milik Angkatan Laut Jerman dan Australia. Mereka memperolehnya dari jalur produksi baru yakni varian AS.4 dan T.5 yang telah mengadopsi mesin baru.

Dari ke-18 Gannet yang dimiliki TNI AL, dua unit merupakan versi latih yakni model T.5 dan sisanya versi ASW. Tipe AS.4 yang perannya sebagai pemburu kapal selam dilengkapi dengan torpedo yang tersimpan dalam bomb bay di perutnya yang gendut. Pesawat ini juga dipersenjatai roket tanpa kendali yang menggantung di sayap utama serta rumah radar pencari yang bisa ditarik ke dalam perut pada bagian bawah belakang pesawat. AS.4 diawaki tiga orang. Yakni pilot dan navigator merangkap observer yang berada dalam satu ruang, serta operator radio-radar di kokpit dengan posisi duduk terpisah menghadap ke belakang ekor pesawat.

Gannet didukung oleh mesin turboprop Double Mamba (populer dengan sebutan Twin Pac) buatan Armstrong-Siddeley. Mesin ini menggerakkan bilah baling-baling model tumpuk yang berputar berlawanan arah (contra rotating). Kelebihan mesin ini adalah salah satu mesin dapat dimatikan untuk penerbangan jelajah ekonomis, atau jika salah satu mesin gagal bekerja maka pesawat tidak akan mengalami masalah dalam penanganan terbang terkait dengan penggunaan mesin contra rotary tersebut.

Gannet milik TNI AL telah mengadopsi mesin tipe baru Double Mamba Mark 101 berdaya 3.035 SHP lebih besar dibanding Double Mamba Mark 100 yang dipakai pada versi AS.1 berdaya 2.950 SHP.

Langsung menuju palagan

Dua pesawat dari pengiriman pertama tiba di Surabaya tahun 1960. Berangsur-angsur disusul pesawat berikutnya hingga total genap menjadi 18 unit masuk Skwadron Udara 100 antikapal selam bermarkas di Morokrembangan, Surabaya. Belum genap dua tahun berdinas AS.4 Gannet dilibatkan dalam Operasi Trikora, dikirim ke wilayah timur untuk mengawasi dan meng-cover laut sekitar Sulawesi hingga laut Banda yang berpangkalan di Liang, Ambon.

Selepas Trikora, Gannet ditarik ke sarangnya. Malang tak dapat ditolak, sebuah Gannet mengalami kecelakaan disekitar Ambon waktu menjalani penerbangan malam dari Mapanget, Manado ke Liang, Ambon. Pesawat baru ditemukan secara tak sengaja setahun kemudian di Gunung Salahatu.

Tak sempat beristirahat lama, Gannet kembali memenuhi panggilan tugas. Kali ini dalam Operasi Dwikora dari 1964-1966 untuk mengawasi perairan di sepanajang perbatasan Singapura hingga selat Karimata dan berbasis di Tanjung Pinang, Riau. Gannet juga terbang dari Denpasar, Bali guna memantau pergerakkan kapal lawan di wilayah selatan Samudra Hindia. Bak senjata makan tuan, Inggris harus menghadapi senjata buatannya sendiri. Dengan digunakananya Gannet oleh TNI AL makin membuat Inggris berang, hingga memutuskan pasokan suku cadangnya. Dalam konflik ini Inggris juga menggunakan Gannet AEW.3 yakni versi Airborne Early Warning yang dioperasikan oleh Fleet Air Arm No.849 Squadron.

Sebagai tambahan informasi, sebelum konflik Dwikora mencapai ujungnya, sayap Penerbal bertambah kuat dengan datangnya sembilan helikopter Mi-4 versi ASW yang dimasukkan ke dalam Skwadron Udara 400. Taring Penerbal bahkan makin meruncing dengan diterimanya 12 Il-28 second hand dari Uni Soviet, 10 di antaranya versi pembom torpedo Il-28T lengkap dengan torpedo RAT-52 sebanyak 59 unit yang hadir pada kuartal pertama tahun 1965 dan menghuni Skwadron Udara 500 di Juanda, Surabaya. Di tahun yang sama AL mendapat limpahan pula 14 unit Il-28 dari TNI AU.

Dengan pecahnya pemberontakan PKI September 1965 dan berujung bergantinya kekuasaan Pemerintahan RI, konflik bersaudara dengan Malaysia berakhir damai di atas meja perundingan. Meski hubungan diplomatik dengan Inggris kembali normal, tapi suku cadang pesawat Gannet TNI AL tak mendapatkan gantinya.

Lambat laun kinerja pesawat mulai menurun. Dengan terpaksa Penerbal pun akhirnya melakukan kanibalisasi agar pesawat tetap bisa operasional. Awal tahun 1970-an diputuskan seluruh Gannet tersisa harus beristirahat panjang. Walau dalam dua operasi militer yang dijalani Gannet tak pernah melepaskan senjatanya, namun Si Gembul memasuki masa purna bakti dengan terhormat sebagai veteran perang sejati. 

Moncong Hiu Yang Melegenda


Sejarah motif ini sangat panjang. Di Indonesia mulai dikenal menjelang akhir Perang Kemerdekaan ketika Belanda membawa armada P-51D Mustang yang saat itu disebut dengan Cocor Merah. Ada juga yang menyebutnya Mustang Gigi.
         
Hiasan ini sangat populer hampir di setiap era ada saja pesawat yang dihiasai dengan motif seperti ini. Tampilanya dari zaman ke zaman nyaris tidak jauh berbeda yaitu bentuk gigi yang menyeringai warna putih dengan ekspresi mata yang sedang marah. Dan jika menggunakan baling-baling pada bagian ujung (cone) hidung pesawat biasanya diberi warna merah.
Kalau diperhatikan pesawat yang menggunakan motif ini adalah keluaran pabrikan dari AS. Padahal Luftwaffe adalah yang pertama kali mengunakannya di tahun 1915 pada pesawat Roland C.II yang dipiloti oleh Oberleutnant Ritter von Schlech. Cuma saat itu motifnya masih bernama Walfisch (ikan paus) dengan bentuk gambar yang belum begitu jelas. Tapi inilah yang menjadi cikal baka dari motif moncong hiu.
Barulah pada saat PD II bergelora motifnya mulai terlihat jelas, yaitu pada Messerschmitt 110 dari 11Gruppe ZG76 Haifisch (ikan hiu) yang menjadi standar dari kesatuan itu dan terlihat juga di beberapa glider tempur Gotha Go 242A. Rupanya motif ini juga disenangi oleh pihak Sekutu terutama Amerika Serikat dimana hampir di semua jenis pesawat kalau tidak dihiasi lukisan wanita seksi ya tentunya moncong hiu itu. Sebut saja seperti pada pesawat P-38 Lightning,P-39D Airacobra, P-51A/B Mustang,dan P-61 Black Widow. Bahkan pesawat-pesawat pembom pun tidak mau ketinggalan seperti A-20 Havoc, B-17 Flying Fortress, B-24 Liberator, B-25 Mitchell, B-26 Marauder, dan A-26 Invader. Rupanya motif gigi hiu ini juga mewabah sampai ke pesawat kecil seperti L-4 Piper Cub dan L-5 Stinson .
Flying Tiger
            Motif moncong hiu ini baru benar-benar melegenda saat digunakan oleh  para penerbang yang tergabung dalam AVG (American Volunteer Group) yang bertugas di Burma ketika bertempur melawan Jepang. Ide penggunaan motif ini datang ketika Letjen Claire Chennault ingin membuat insignia yang khas pada tiga skadron pesawat tempurnya yaitu P-40. Untuk memenuhi keinginan pimpinanya beberapa penerbang dengan bantuan seniman lokal mencoba membuat sketsa dari kapur tulis motif gigi hiu pada bagian moncong pesawatnya. Ide ini sebenarnya sudah ada sebelum pimpinan kharismatik itu memintanya dan ternyata sketsa yang diajukan disetujui. Para penerbang ini juga mengakui bahwa ide ini mereka adopsi dari pesawat tempur milik Jerman yang bertempur di atas pulau Kreta.
            Dengan tambahan gambar seekor macan bersayap sedang menerkam, sejak saat itu nama pangilan dari AVG dikenal dengan The Flying Tiger. Apalagi setelah majalah Time terbitan 6 Desember 1943 sampulnya membuat ilustrasi wajah sang jenderal dengan latar lukisan macan terbang.
            Perang Dunia II usai tapi konflik berlanjut di Semenanjung Korea, rupanya motif ini masih tetap disenangi. Mungkin selain lebih indah pesawat yang dilukis motif moncong hiu ini akan terlihat lebih garang. Selain Mustang yang sudah menggunakan terlebih dahulu, beberapa pesawat jenis jet yang baru pertama kali diterjunkan dalam pertempuran ramai-ramai mengadopsi motif ini seperti F-80C Shooting Star dan F-86 Sabre.
            Konflik berlanjut ke Perang Dingin, motif moncong hiu tetap hadir. Peminatnya lumayan banyak, paling tidak di awal konflik saja sejumlah pesawat tempur menggunakannya seperti F-9F Panther, F-11F Tiger, F-86D Sabre Dog, F-89D Scorpion, F-94B Star Fire, dan F-102A Delta Dagger
            Perang Dingin semakin memanas. Dengan dimulainya Perang Vietnam pesawat dibuat semakin canggih dan helikopter mulai digunakan untuk bertempur. Motif moncong hiu masih saja diminati seperti yang terlihat pada pesawat-pesawat F-8H Crusader, F-105D Thunderchief, OV-1C Mohawk, F-4 Phantom, AH-1G Cobra,UH-1B Huey, A-7 Corsair, dan OV-10A Bronco.
            Era Perang Vietnam berlalu, bahkan Perang Dingin pun berakhir. Dunia memang masih menyisakan beberapa perang besar seperti Perang Malvinas dan Perang Teluk, tapi masih ada saja pesawat yang menggunakan motif ini seperti F-14 Tomcat, A-10Thunderbolt, dan F-16C Fighting Falcon yang berpangkalan di Jerman bahkan ada juga pesawat F-15E Strike Eagle yang meggunakan motif moncong hiu walaupun tidak terlalu menonjol.
            Di Amerika yang masih setia menggunakan motif ini adalah pesawat A-10 dari 23rd Fighter Group yang berpangkalan di Lanud Macdill, Florida. Belum lama ini memperingati 70 tahun (1942-2011) dari skadron Flying Tiger dengan mengundang para pelakunya yang masih ada.
            Di Indonesia motif moncong hiu ini mulai dikenal ketika Belanda membawa pesawat P-51D Mustang sebagai kekuatan tempurnya dan sebagian menggunakan motif moncong hiu. Di sinilah mulai dikenal sebutan Cocor Merah dan Mustang Gigi. Sampai Indonesia menyatakan kemerdekaannya dan memiliki Angkatan Udara sendiri (AURI) dengan modal pesawat-pesawat yang diserahkan oleh Belanda kepada Indonesia. Motif moncong hiu ini masih dipertahankan yang saat itu Mustang tergabung dalam Skadron Udara 3.
            Setelah tertidur cukup lama TNI AU kembali menghidupkan motif ini pada pesawat tempur terbarunya yaitu EMB-314 Super Tucano. Legenda Si Cocor Merah diharapkan bisa bangkit lagi di dalam Skadron Udara 21.

7 Generasi Jet Latih TNI AU


Datangnya pesawat jet latih T-50 Golden Eagle mengisi jajaran alutsista TNI AU memberikan harapan baru dalam upaya pembangunan kekuatan dirgantara nasional. Pesawat Lead in Fighter Trainer (LIFT) generasi terbaru ini diharapkan menjadi jenjang untuk meningkatkan kapabilitas para penerbang tempur TNI AU di masa sekarang dan mendatang. T-50 merupakan jenis jet latih ketujuh yang dioperasikan TNI AU setelah de Haviland Vampire, MiG-15 UTI, L-29 Dolphin, T-33A T-Bird, Hawk Mk.53, dan Hawk 109. Berikut selayang pandang tujuh jet latih TNI AU dan perjalanan panjang penantian T-50. Disiapkan oleh Roni Sontani dilengkapi tulisan Rangga Baswara dan Setiyo Nugroho.

            HUT TNI ke-68 pada 5 Oktober tahun ini ditandai kado istimewa dengan telah berdatangannya beberapa alutsista baru melengkapi kekuatan TNI AD, TNI AL, dan TNI AU. Upaya pemerintah menggelontorkan anggaran untuk memperkuat alutsista yang dibutuhkan ketiga matra TNI ini patut diberi acungan jempol dan dukungan. Bagaimana pun Tentara Nasional Indonesia membutuhkan alutsista-alutsista yang sesuai dengan perkembangan zaman, selain pengembangan sumber daya manusia yang harus terus ditingkatkan.

            Khusus TNI AU, datangnya pesawat EMB-314 Super Tucano yang menggantikan OV-10F Bronco di Skadron Udara 21, lalu CN295 yang menggantikan Fokker 27 di Skadron Udara 2, pesawat Latih Dasar Grob G 120TP-A yang akan menggantikan pesawat AS-202 Bravo dan T-34C Turbo Mentor di Skadron Pendidikan 101, merupakan bagian dari pesawat-pesawat baru yang dibeli Indonesia dan telah datang secara bertahap.

Selain itu penambahan pesawat tempur Su-27SKM dan Su-30MK2 sehingga Skadron Udara 11 genap memiliki 16 unit Su-27/30 berikut persenjataan lengkapnya, menjadikan Skadron Udara 11 makin bergigi dan diperhitungkan negara-negara tetangga. Sementara rencana penambahan sembilan pesawat C-130H Hercules bekas pakai AU Australia untuk persiapan Skadron Udara 33 di Makassar diharapkan makin menambah kekuatan unsur pesawat angkut di wilayah Timur dan memenuhi kebutuhan dukungan pergerakan pesawat tempur, personel, maupun logistik latihan, masih ditunggu proses realisasinya. Demikian juga dengan pembelian helikopter Cougar yang akan dibuat oleh PT Dirgantara Indonesia akan meningkatkan kekuatan skadron sayap putar.

Sedangkan pembelian 24 F-16C Block 32+ yang dijadwalkan mulai mengisi Skadron Udara 16 di Pekanbaru tahun depan, akan melengkapi kekuatan tempur di wilayah Barat dan Tengah yang saat ini ditopang oleh dua skadron pesawat Hawk 109/209, yakni Skadron Udara 12 di Pekanbaru dan Skadron Udara 1 di Pontianak. Di wilayah Barat, TNI AU juga sedang mempersiapkan skadron intai baru yang akan diisi oleh pesawat CN235-200 MPA buatan PT Dirgantara Indonesia.

Dalam rencana ke depan, TNI AU juga akan mengganti pesawat F-5 Tiger II Skadron Udara 14. Beberapa pesawat sedang dalam tahap penjajakan pengkajian sehingga diharapkan nantinya didapatkan pesawat pengganti yang sesuai dan kapabilitasnya tinggi. Sementara pesawat tempur IFX yang dikerjasamakan produksinya dengan Korea Selatan, masih menunggu kelanjutan prosesnya terkait kebijakan pemerintahan baru di negeri itu.
Elang Emas.

Tanggal 11 September lalu, dua unit Elang Emas T-50i tiba di Lanud Iswahjudi, Magetan, Jawa Timur setelah melakukan penerbangan feri dari pabriknya, Korean Aviation Industries (KAI), di Sacheon, Gyeongsang, Korea Selatan. Penerbangan melalui Kaohsiung (Taiwan), Cebu (Filipina), serta Balikpapan, Kalimantan Selatan. Sebelum mendarat di sarangnya kedua pesawat yang diterbangkan oleh empat pilot uji KAI, Kwon Huiman, Lee Dong-kyo, Kang Cheol, dan Shin Donghak itu disambut oleh dua Hawk Mk.53 dengan callsign Hawk Flight di East Area Iswahjudi Aerodrome yang diterbangkan oleh Komandan Skadron Udara 15 Letkol Pnb Wastum beserta Mayor Pnb Hendra dan Kapten Pnb Gultom beserta Lettu Pnb Yudistira.

Setelah mendapat pengawalan dan penyambutan kehormatan, kedua Elang Emas join up dengan “saudara tua”-nya membentuk formasi kotak dipimpin flight leader Komandan Skadron Udara 15. Di bawah, Pangkoopsau II Marsda TNI Agus Supriatna, Danlanud Iswahjudi Marsma TNI Yuyu Sutisna, Vice Presiden KAI Kim Kyuhak, dan segenap pejabat TNI/Polri serta Muspida se-Karesidenan Madiun telah menunggu. Suasana riuh terdengar manakala pesawat bercat biru kuning T-50 dan abu-abu Hawk Mk.53 tampak dalam pandangan mata, melakukan flypass dua kali di atas hanggar Skadron Udara 15 dari arah yang berbeda.

Indonesia menjadi pengguna pertama T-50 di luar Korea Selatan. Pesawat yang tampilannya mirip dengan F-16 Fighting Falcon ini dikembangkan bersama oleh KAI dan Lockheed Martin, AS pembuat F-16. Indonesia membeli 16 unit T-50i dimana delapan unit diberi cat aerobatic painting dan delapan lainnya diberi cat camouflage painting.


Jalan Panjang Menyongsong T-50

Perjalanan panjang menentukan pengganti Hawk Mk.53 menjelang masa pensiunnya, bagi TNI AU merupakan masa yang sangat melelahkan. Terlebih karena kesiapan pesawat Hawk Mk.53 pun sudah semakin menurun. Dari delapan unit yang ada, tersisa sekitar dua unit saja yang laik terbang. Padahal, di pundak Skadron Udara 15 terletak beban untuk mencetak para pilot pesawat tempur TNI AU. Dampak dari embargo suku cadang oleh Inggris dan juga utilisasi pesawat yang sangat tinggi merupakan salah satu faktor penyebabnya.

Embargo yang diberlakukan Amerika Serikat kepada Indonesia dengan alasan kejahatan kemanusiaan di Timor Timur paska referendum tahun 1999, tak terkecuali Inggris sebagai sekutu utama AS dan sebagai produsen pesawat Hawk Mk-53 dan Hawk 109/200, memiliki andil utama dalam turunnya kesiapan alutsista TNI AU. Bagi TNI AU dampak yang dirasakan langsung adalah embargo terhadap suku cadang seluruh pesawat tempur buatan BAe Inggris ini.

Sementara di sisi lain pesawat Hawk Mk-53 sebagai pesawat advanced jet trainer bagi para calon penerbang tempur TNI AU tetap dituntut kesiapannya agar terus mampu mencetak penerbang-penerbang tempur handal, meskipun dengan jumlah pesawat yang minim. Selain itu diharapkan regenerasi para penerbang tempur tetap dapat berjalan dengan baik. Tuntutan profesionalisme dengan modal dan sarana pendukung yang serba terbatas pada waktu itu merupakan masa-masa sulit bagi TNI AU.

Di masa-masa sulit tersebut, tak terelakan sejumlah incident ataupun accident juga mendera TNI AU. Seolah-olah menunjukan bahwa sehebat apapun pesawat yang kita miliki tidak akan berarti apa-apa tanpa adanya perawatan dan ketersediaan suku cadang yang memadai. Pasca embargo tahun 1999 insiden diawali dengan jatuhnya pesawat Hawk Mk-53 pada 28 Maret 2000 di Lanud Iswahjudi, Madiun. Menyusul pada Juli 2000 pesawat A-4 Skyhawk jatuh saat melaksanakan patrol rutin di Sulawesi Selatan, kemudian pada 21 November 2000 kecelakaan kembali terjadi dan menimpa pesawat Hawk yang jatuh di Pontianak.

Tanggal 28 Maret 2002 cobaan dan pukulan berat kembali dialami TNI AU khusunya Skadron Udara 15 ketika dua Hawk Mk.53 yang sedang melakukan sesi latihan aerobatik bersenggolan di udara dan jatuh di kawasan Lanud Iswahjudi. Merupakan kehilangan besar bagi Skadron Udara 15, terlebih kehilangan penerbang-penerbang terbaiknya yang tidak terukur nilainya. Acara Open Day dibatalkan dan demi menghormati para penerbang yang gugur. Bendera  setengah tiang dikibarkan.

Peristiwa demi peristiwa getir dirasakan Skadron Udara 15 dan TNI AU, meski demikian semangat tentu tidak boleh patah. Perbaikan dan pembenahan terus dilakukan, bahkan wacana penggantian pesawat Hawk Mk.53 terus bergulir dengan dilakukannya kajian-kajian terhadap calon pesawat penggantinya.

Angin segar
Tekad TNI AU untuk memensiunkan Hawk Mk.53 dan diganti dengan pesawat baru sudah bulat. Hal tersebut tertuang dalam rencana strategis (Renstra) 2005-2009 Mabes TNI AU yang berencana melakukan penggantian sejumlah alutsistanya seperti OV-10 Bronco, F-5 Tiger, Fokker-27, helikopter Sikorsky dan tentunya Hawk Mk-53. Angin segar berhembus ketika KSAU Marsekal Herman Prayitno saat itu, bertemu langsung dengan Dubes Ceko untuk Indonesia Pevel Rezac di Mabes TNI AU Cilangkap Jakarta awal November 2007. Hal tersebut terkait dengan pihak TNI AU yang mengajukan pengadaan pesawat tempur latih Aero L-159 ALCA buatan Republik Ceko sebagai calon pengganti Hawk Mk.53. Secara umum kunjungan Rezac bertujuan untuk menindaklanjuti kesepakatan kerjasama pertahanan antara RI dan Republik Ceko yang telah ditandatangani tahun 2006. Selain itu dibahas pula kemungkinan pembelian Aero L-159 ALCA oleh TNI AU.

 

Dari Vampire hingga Golden Eagle
Sejak AURI membentuk
De Havilland DH-115 Vampire
Dalam rentang 67 tahun sejak terbentuk, TNI AU telah mengoperasikan tujuh generasi pesawat jet latih. Generasi pertama jet latih TNI AU dimulai dengan hadirnya pesawat de Havilland DH-115 Vampire buatan Inggris tahun 1955. Sebanyak empat unit pesawat ini tiba di Pelabuhan Tanjung Priok pada 3 Desember 1955 dalam keadaan terurai dan kemudian dirakit di Lanud Andir (Husein Sastranegara) yang disiapkan menjadi home base-nya.

Sebelum pesawat tiba, TNI AU (saat itu sebutannya AURI) telah mengirimkan dua penerbangnya yakni Letnan Udara  (LU) I Leo Watimena dan Kapten Udara Roesmin Nurjadin ke Royal Air Force (AU Inggris) di Little Risington dan South Corney. Keduanya menjalani pendidikan terbang dan instruktur selama beberapa bulan di sana. TNI AU juga mengirimkan beberapa teknisi yang akan menangani pesawat pancar gas ini. Mereka adalah LU II Sarjono, LU II Kamarudin, dan Letnan Muda Udara (LMU) I Sutedjo. Para teknini ini pula yang kemudian setelah mengikuti pendidikan di Inggris merakit Vampire di Lanud Husein Sastranegara dibantu oleh dua orang teknisi dari Inggris. Pada tanggal 10 Januari 1956, empat unit pesawat Vampire datang lagi sehingga jumlahnya menjadi delapan unit.

Hadirnya pesawat-pesawat pancar gas dalam kekuatan TNI AU sekaligus menandai peningkatan alutsista udara AURI kala itu. Pesawat beregistrasi J-701 hingga J-708 ini semula dimasukkan ke dalam Kesatuan Pancar Gas (KPG) yang diresmikan langsung oleh KSAU Laksamana Muda Udara Suryadi Suryadarma tanggal 20 Februari 1956. Selanjutnya berdasarkan Surat Keputusan KSAU: Skep/56/III/1957 pada tanggal 20 Maret 1957. KPG selanjutnya diubah menjadi Skadron XI dengan sebutan Skadron Jet Pelatih Tempur yang peresmiannya dilaksanakan tanggal 1 Juni 1957. LU I Leo Wattimena ditunjuk sebagai komandan skadron pertamanya.

Vampire TNI AU adalah versi T.55 atau varian ekspor dari T.11 yang digunakan AU Inggris dengan tempat duduk side by side. Pesawat ini tak bersenjata dan murni digunakan sebagai pesawat latih lanjut untuk mencetak calon penerbang tempur. Vampire hanya bertahan selama tujuh tahun saja. Namun kehadirannya merupakan suatu lompatan hebat bagi TNI AU, karena di kala itu masih segelintir negara yang mengoperasikan pesawat jet latih. Kedelapan pesawat DH-115 ini akhirnya dijual ke India tahun 1963 akibat kekurangan suku cadang, dimana saat itu hubungan Indonesia dan Inggris mulai renggang akibat konflik serumpun antara Indonesia dan Malaysia.
Buku “Sejarah Angkatan Udara Indonesia 1950-1959” yang dikeluarkan Dispenau tahun 2005 menyebut, jumlah pesawat Vampire yang dimiliki TNI AU adalah 16 unit. Karena setelah pembelian delapan unit, AURI kemudian menambah lagi delapan unit Vampire sehingga total menjadi 16.
Spesifikasi DH-115 Vampire:
  • Awak                                     : 2 orang
  • Panjang                                             : 10,5 m
  • Rentang sayap                  : 11,5 m
  • Tinggi                                    : 2 m
  • Berat Kosong                     : 3.304 kg
  • MToW                                  : 5.620 kg
  • Mesin                                   : Goblin 35 centrifugal turbojet, 14.90 kN
  • Kecepatan Maks.             : 882 km/jam
  • Jarak Jangkau                    : 1.960 km
  • Ketinggian Terbang         : 13.045 m

Aero CS-102 UTI
Skadron Udara 11 kedatangan anggota baru sebanyak 20 pesawat latih jet CS-102 yang tiba di Kemayoran dari Cekoslovakia tanggal 14 Agustus 1958. Seperti halnya DH-115 Vampire, pesawat ini juga memperoleh registrasi dengan kombinasi huruf dan angka awal J-7 (J-751 hingga J-770). Pesawat latih dengan bentuk mungil buntet ini dibuat lisensi oleh pabrik pesawat Aero Vodochody berdasar MiG-15 UTI yang mulai diproduksi tahun 1954. Sebelum kedatangan jet latih ini kadet penerbang dikirim terlebih dahulu ke Ceko dalam tiga gelombang angkatan dengan sebutan Cakra I, II, dan III.

Pesawat yang mendapat julukan Midget oleh NATO ini dikembangkan tahun 1949 berdasar penempur MiG-15 Fagot yang terkenal memiliki manuver tempur yang hebat yang sempat berjaya dalam Perang Korea tahun 1950-1953. Pesawat Blok Timur ini sanggup mempecundangi pesawat-pesawat tempur jet buatan AS kala itu seperti F-80 Shooting Star, F-84 Thunderjet, dan F-86 Sabre. Versi MiG-15 UTI menjadi andalan negara-negara Blok Timur untuk mencetak pilot tempurnya. Selain Ceko, jet latih ini diproduksi oleh pabrik Shenyang dari China dengan kode JJ-2. Lisensi produksi juga didapatkan oleh Polandia dengan nama SB Lim-1.

Bagi Indonesia, pembelian jet latih CS-102 jadi pilihan tepat karena digunakan untuk mencetak pilot yang akan menerbangkan keluarga penempur MiG-17, MiG-19, dan MiG-21. Dengan ini konversi kadet penempur lebih cepat karena semua pesawat dikembangkan oleh satu biro desain. Pasca-pemberontakan G30S pasokan suku cadang pesawat terhenti akibat dari putusnya hubungan diplomatik dengan negara-negara Blok Timur. MiG-15 UTI versi Ceko ini akhirnya dilikuidasi awal tahun 70-an bersamaan dengan adiknya MiG-17 dan MiG-21. Sementara seluruh MiG-19 dijual ke Pakistan.

Angkasa.

Ketika Pasukan Gerilya Pak Dirman Disergap P-51 Mustang


Pada bulan Desember 1948 militer Belanda yang masih bercokol  di Indonesia khususnya di Pulau Jawa melancarkan agresi militer kedua bersandi Operation Kraai. Serbuan militer yang dirancang oleh Kepala Staf Angkatan Darat Belanda yang berkuasa di Indonesia, Jenderal Simon Spoor, itu langsung menggegerkan rakyat Indonesia yang baru tiga tahun memproklamirkan kemerdekaan.
Agresi militer Belanda kedua  yang disebut sebagai Aksi Polisional (Politionele Acties)  yang dilancarkan pada 19 Desember 1948 itu diklaim militer Belanda sebagai upaya melumpuhkan aksi kekerasan yang terus berlangsung sejak Perjanjian Linggarjati di Istana Merdeka, Jakarta  pada 15 Desember  1946 disusul kesepakatan damai melalui  Perjanjian Renville. Salah satu poin Perjanjian Linggarjati adalah Belanda mengakui secara de facto wilayah Republik Indonesia  yang meliputi Pulau Jawa, Sumatra, dan Madura.
Karena pada prinsipnya semangat Pemerintah Kerajaan Belanda adalah menguasai kembali seluruh wilayah Indonesia yang pernah dijajahnya, Operation  Kraai pun memiliki semangat serupa. Operation Kraai  yang dilaksanakan di Jawa dan Sumatra  itu bertujuan melumpuhkan kekuatan militer Indonesia dan sekaligus menawan para pemimpin RI, Presiden Sukarno, Wapres Mohammad Hatta, dan Perdana Menteri Sutan Syahrir. Ketiga petinggi itu berkantor di Yogyakarta yang telah dijadikan ibukota RI sejak 4 Januari 1946.
Sebagai ibukota negara dan markas Tentara Kemanan Rakyat (TKR) yang dipimpin oleh Panglima Besar Jenderal Sudirman, Yogyakarta menjadi sasaran utama Operation Kraai. Agresi militer Belanda II di Yogyakarta  berdasar pada operasi intelijen yang cermat sehingga dalam operasi yang bersifat dadakan (blitzkrieg) itu sasaran musuh akan bisa dikuasai dalam tempo kilat dengan korban di pihak penyerang seminimal mungkin. Pasukan Belanda yang bertugas menyerbu Yogyakarta dipusatkan di Pangkalan Udara Andir, Bandung dan dipimpin oleh Jenderal Meyer. Kekuatan pasukan terdiri dari 800-900 pasukan Para Komando dan didukung oleh 23 pesawat transpor Douglas DC, sejumlah pesawat pembom B-25 Mitchell, pesawat tempur P-51 Mustang, dan P-40 Kittyhawk.
Serbuan udara terhadap Kota Yogyakarta dimulai pada waktu pagi hari tepat pukul 05.45 terhadap Lapangan Udara Maguwo yang minim pertahanan. Saat itu Badan Keamanan Rakyat (BKR) Udara baru terbentuk pada 5 Oktober 1945 dan dipimpin Komodor Udara Suryadarma. Kondisi BKR Udara saat itu masih minim  sumber daya manusia serta peralatan terbang. Namun demikian di Lanud Maguwo telah berdiri Sekolah Penerbang yang berdiri sejak 1 Desember 1945 menggunakan pesawat-pesawat bekas Jepang yang sudah dimodifikasi. 
Ketika berlangsung serbuan udara yang dilancarkan oleh pesawat-pesawat tempur  Militaire Luchtvaart (ML)-KNIL, di pangkalan terdapat  tiga pesawat Zero bekas Jepang dan sekitar 37 kadet (siswa penerbang) serta sekitar 150 pasukan pertahanan pangkalan yang dalam kondisi tidak siap tempur. Hanya ada beberapa senapan dan satu senapan antiserangan udara kaliber 12.7 mm.
Semua pesawat MI-KNIL  terbang dari Lanud Andir. Dan agar penerbangan puluhan pesawat itu berlangsung rahasia, semua pesawat terbang di atas Lautan Samudra Hindia dan begitu berada di atas Pantai Selatan, Yogyakarta mereka langsung melesat ke utara  menuju Maguwo. Dalam hitungan detik pesawat-pesawat Mustang dan Kitty Hawk  langsung menghujani pangkalan udara dengan bom serta tembakan senapan mesin. Serangan udara militer Belanda itu sengaja menghindari kerusakan pada landasan agar bisa digunakan mendaratkan pesawa-pesawat  transpor.
Sejumlah “pasukan Para” berupa boneka tiruan juga diterjunkan untuk mendeteksi asal tembakan yang dilepaskan pasukan BKR Udara di darat sehingga pesawat-pesawat tempur bisa menyapunya menggunakan senapan mesin. Serbuan udara yang berlangsung sekitar 25 menit segera melumpuhkan pertahanan yang berada di Lanud Maguwo. Pada pukul 06: 45 pasukan Para Komando mulai diterjunkan dalam dua gelombang dan untuk selanjutnya mengoperasikan Lanud Maguwo sebagai pusat pangkalan aju untuk menguasai Yogyakarta dan sekitarnya. Setidaknya 128 pasukan RI gugur dalam opersai serbuan kilat itu sedangkan dari pihak Belanda belum ada satu personel pasukan pun yang gugur.
Perang gerilya
Operasi serbuan udara dilanjutkan serbuan darat oleh pasukan Belanda itu segera diketahui oleh Panglima Besar Sudirman (Pak Dirman) yang sedang berada di markasnya, Jalan Bintaran, Yogyakarta, sebelah selatan Keraton Yogyakarta. Pada saat itu Pak Dirman sedang dalam kondisi sakit setelah menjalani operasi paru-parunya akibat terserang penyakit TBC. Tindakan operasi itu memutuskan untuk tidak mengaktifkan salah satu paru-paru sehingga Sudirman hanya bisa menggunakan salah satu paru-parunya dan masih dalam kondisi sangat lemah.
Menanggapi serangan Belanda itu, Pak Dirman kemudian mengeluarkan Perintah Siasat agar semua pasukan BKR tetap melakukan perlawanan melalui perang gerilya. Sudirman juga sempat menghubungi presiden, wapres, dan para stafnya untuk segera meninggalkan Yogyakarta, tapi himbauan Pak Dirman itu ternyata ditolak. Presiden Sukarno dan para staf seperti sejumlah menteri memilih bertahan di kota dan akhirnya ditawan oleh militer Belanda untuk selanjutnya diasingkan di Sumatra serta Bangka.
Salah seorang anggota staf penting di lingkungan Sekretariat Markas Panglima Besar yang juga pengawal pribadi Pak Dirman, Kapten  Tjokropranolo yang lebih akrab dipanggil Pak Nolly, segera mengontak Penasehat Politik Panglima Besar, Harsono Tjokroaminoto, yang juga mantan Menteri Muda Pertahanan semasa Kabinet Sjahrir III (1946-1947) untuk segera menghadap. Kebetulan Harsono waktu itu juga sedang terserang penyakit desentri dan selama seminggu hanya bisa terkapar di tempat tidur. Isteri Harsono yang menerima telepon dari Nolly kemudian menjawab bahwa suaminya belum bisa bangkit.
Tapi karena kondisi sedang genting Nolly tetap mengharuskan Harsono hadir di markas dan akan dijemput oleh sopir menggunakan mobil Panglima Besar. Harsono tak bisa menolak ketika mobil yang menjemputnya tiba. Dengan susah payah ia pun berangkat. Rute perjalanan yang ditempuh mulai dari Jalan Taman Yuwono - Jalan Malioboro - Istana Presiden – lalu belok kiri melintasi Kantor Pos-Pakualaman - dan Jalan Bintaran. Selama perjalanan menuju Bintaran bom-bom yang dijatuhkan dari pesawat tempur Belanda terutama di sisi timur kota di seputar kawasan Maguwo ledakannya terasa makin mendekat.
Tujuan bombardemen Belanda itu selain mencari sasaran yang bernilai militer juga bertujuan meruntuhkan moril tempur pasukan Indonesia agar tidak bisa memberikan perlawanan. Tapi karena Bintaran lokasinya masih dekat keraton dan militer Kerajaan Belanda masih sangit menghormati Keraton Yogyakarta sebagai wilayah netral, tak ada stu bom pun yang jatuh di seputar kawasan keraton. Ketika tiba di kediaman Pak Dirman, Harsono langsung menuju kamar tidur Pak Dirman yang waktu itu ditunggui oleh Nolly.
Dalam kondisi fisik yang lemah  Pak Dirman menceritakan semua peristiwa yang baru saja terjadi di Yogya dan sebagai panglima besar yang juga menjadi incaran militer Belanda, ia memutuskan meninggalkan Kota Yogyakarta. Tujuan utama perjalanan Pak Dirman dan rombongannya adalah daerah Gunung Kidul, kawasan berbukit-bukit yang sangat efektif untuk bersembunyi sekaligus melancarkan perang gerilya. Namun untuk meninggalkan Yogyakarta yang mulai dikepung pasukan Belanda dan bombardemen yang terus berlanjut tidak mudah. Sebagai penasehat, Harsono lalu menyarankan agar rombongan Pak Dirman mencari tempat persinggahan di luar benteng Keraton Yogyakarta yang dikenal sebagai Mangkubumen.
Berdasarkan kesepakatan, rombongan Pak Dirman yang terdiri dari dokter pribadinya, Dr Suwondo, Tjokropranolo, ajudan Supardjo Rustam, dan Harsono lalu berangkat ke Mangkubumen yang saat itu ditinggali ibu-ibu dari Keraton. Sebagai bangunan milik Sultan Yogyakarta, Mangkubumen masih merupakan properti yang tidak diganggu oleh militer Belanda sehingga persinggahan rombongan Pak Dirman dijamin aman. 
Untuk menghindari patroli militer Belanda  yang saat itu sudah berada di daerah Kauman dan hanya berjarak beberapa ratus meter dari Mangkubumen, rombongan Pak Dirman yang menggunakan sejumlah jip sengaja berangkat sore hari. Mobil jeep Pak Dirman yang dikemudikan sopir pribadinya, Ateng, ditumpangi  Supardjo Rustam yang duduk di sebelah kanan pengemudi. Sedangkan Pak Dirman duduk di tengah diapit Dr Suwondo di sebelah kanan dan Harsono di sebelah kiri. Sedangkan Tjokropranolo yang bertugas sebagai penunjuk jalan duduk di atas spakbor.
Bagi Tjokropranolo kawasan selatan Yogya bukan merupakan daerah asing karena sewaktu masih bersekolah di Yogya, ia sering bermain di Bantul apalagi pamannya pernah menjabat sebagai Bupati Bantul. Semula Tjkropranolo berniat membawa Pak Dirman ke Pantai Parangtritis (Bantul) dan bersembunnyi di goa, tapi karena Pak Dirman sedang sakit rencana itu dibatalkan dan kemudian diputuskan untuk bersembunyi di kawasan Gunung Kidul. 

Kisah Wing Garuda dalam Operasi Trikora: Baku Tembak Hingga Pendaratan Darurat


Para pilot Wing Garuda yang terlibat dalam misi tempur untuk membebaskan Irian Barat dalam Operasi Trikora memiliki risiko sama seperti para pilot pesawat militer lainnya. Dalam kondisi genting mereka bahkan harus siap baku tembak saat berada di darat.

Ketika pemerintah RI mencanangkan Operasi Tri Komando Rakyat (Trikora)  untuk membebaskan Irian Barat dari kolonialisme Belanda (1962), para awak dari maskapai penerbangan Garuda juga dilibatkan. Komando Tertinggi (KOTI) Trikora membentuk Wing Garuda (WG) dan Wing Garuda 011 (WG 011) yang merupakan kekuatan bala cadangan udara untuk mendukung kekuatan AURI. Tugas utama yang dibebankan kepada WG dan WG 011 adalah melaksanakan penerbangan penyusupan, penerjunan sukarelawan dan pasukan tempur, angkutan logistik, komando Kendali udara, pelacak cuaca, angkut personel, serta SAR.

Untuk melaksanakan sejumlah misi yang cukup riskan itu, WG dan WG 011 menggunakan pesawat-pesawat transpor seperti DC-3 Dakota, C-47 Skytrain, dan ConvairB-36. Dalam setiap penerbangannya para pilot WG dan WG 011 akan menghadapi risiko dihadang oleh pesawat-pesawat tempur Belanda yang saai itu tergolong canggih, yakni MK-06 Hawker Hunter, AS-4 Firefly, P2V-7 Neptune, dan  B-26 Invader.  Selain sergapan pesawat tempur penerbangan rahasia WG dan WG 011 juga kerap menghadapi cuaca buruk serta radar musuh sehingga harus terbang pada ketinggian rendah (tree top) di atas kawasan hutan lebat atau perairan yang ganas siang maupun malam hari. Setelah Irian Barat diserahkan ke pangkuan RI melalui United Nations Temporary Executive Authority (UNTEA)  pada 1 Oktober 1962, tugas yang harus dilaksanakan WG dan WG 011 untuk membereskan Irian Barat tetap berlangsung.

Salah satu misi  yang berpotensi menimbulkan konflik bersenjata adalah ketika personel WG dan WG 001 ditugaskan Panglima Tertinggi (Presiden) untuk mengambil alih perusahaan penerbangan Belanda, De Kroonduif  NV yang berada di Irian Barat. Tim dari WG kemudian membentuk satu kontingen yang kurang lebih terdiri dari 40 orang yang memiliki kemampuan mengelola perusahaan penerbangan, penerbang, dan teknisi. Sebagai pimpinan kontingen ditunjuk pilot senior Captain M Syafei, yang diberi wewenang penuh untuk mengelola perusahaan penerbangan yang diambil alih beserta fasilitas pendukungnya seperti hanggar, gudang suku cadang, fasilitas pemeliharaan, hotel, dan lainnya. Captain Syafei  sendiri  saat ini masih hidup sehat dan berumur 83 tahun serta masih aktif mengikuti dunia penerbangan Tanah Air dan sebagai pengajar di Jurusan Teknik Penerbangan, Universitas Trisakti, Jakarta.  

Kontingen yang juga dibekali kemampuan bertempur itu dilantik oleh Presiden Sukarno pada 13 Desember 1962 melalui upacara sederhana dan singkat. Perasaan bahwa misi ke Irian Barat itu merupakan misi tempur sekali jalan (one way ticket) sangat terasa ketika Bung Karno memberi perintah yang intinya berbunyi, ‘’Kibarkanlah bendera-bendera ini (Merah Putih, bendera pasukan PBB, dan bendera Garuda) pada saat ayam berkokok tanggal 1 Januari 1963’’. Para pilot kontingen yang berjumlah 14 orang tidak hanya berdebar-berdebar karena adanya perintah bertempur itu, tapi juga was-was karena harus terbang di atas wilayah Irian Barat yang belum dikenal dan di bawahnya terhampar hutan belantara yang belum banyak disentuh manusia.

Untuk menghadapi kemungkinan terburuk setiap personel kontingen dibekali pistol. Agar tidak mencolok pistol ditaruh dalam koper dan ditempatkan secara tersembunyi. Untuk penggunaan persenjataan dan kemampuan tempur para personel Wing Garuda telah mendapat latihan militer dari TNI AU dan diselengarakan selama dua minggu di kawasan Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur.

Kontingen WG diberangkatkan ke Biak dari Lapangan Terbang Kemayoran, Jakarta pada 18 Desember 1962 pukul 03.00 dini hari menggunakan pesawat Lockheed L-188 Electra. Penerbangan berjalan lancar dan kontingen pun tiba di Lapangan Terbang Mokmer, Biak dengan selamat. Kontingen kemudian menuju ke gedung perkantoran De Kroonduif  NV dan di luar dugaan disambut hangat oleh staf pimpinan perusahaan, Albert Janssen. Sebagai pimpinan rombongan Captain Syafei sangat salut terhadap para staf dan pekerja Belanda yang sangat kooperatif dan mematuhi keputusan undang-undang (tentang penyerahan Irian Barat yang disahkan oleh PBB) yang sedang berlaku. ‘’Mereka sama sekali tidak menunjukkan permusuhan. Secara politik Indonesia-Belanda memang bermusuhan tapi dalam hal profesi mereka benar-benar bertanggung-jawab dan kooperatif,’’ papar Syafei.  

Tugas non penerbangan
Suasana di hari pertama yang menyejukkan itu tiba-tiba berubah drastis karena salah satu anggota kontingen, Gunadi, yang sedang mengendarai mobil secara tak sengaja telah menabark seorang penduduk Irian Barat sehingga mengalami luka cukup serius. Rupanya jalan di Irian Barat yang belum dikenal dan sikap penduduk Irian Barat yang masih sembrono menjadi penyebab kecelakaan fatal itu.

Insiden kecelakaan itu jelas menjadi potensi dari penduduk lokal untuk melancarkan aksi kekerasan. Tapi Janssen yang notabene berada di pihak ‘’musuh’’ ternyata bersikap kooperatif. Dengan pendekatan secara kekeluargaan insiden kecelakaan itu dapat diselesaikan tanpa menimbulkan konflik kekerasan. Pihak De Kroonduif rupanya sangat patuh hukum dan bersedia menyerahkan sejumlah pesawat dan fasiltasnya. Pesawat  dan fasilitas yang diserahkan ke kontingen antara lain dua Dakota, tiga Twin Pioneer, tiga Beaver berikut terminal laut yang berada di tepi pantai Mokmer, fasilitas pemeliharaan, gudang suku cadang, dan lainnya. Berdasar pengalaman kontingen, manajemen dan organisasi  segera disusun dengan nama perusahaan Garuda Irian Barat. Para personel Kontingen harus bekerja super cepat, hanya ada waktu satu minggu karena para personel Belanda dari Kroonduif akan segera pulang ke negaranya untuk merayakan Tahun Baru dan Natal.

Tugas yang paling membingungkan bagi Kontingen adalah ketika mengurus Hotel Rift karena sama sekali tidak memiliki pengalaman. Dengan prinsip pantang mundur Kontingen akhirnya bekerja dengan cara meniru pekerjaan rutin seperti yang dilakukan oleh karyawan Belanda sebelumnya. Pekerjaan yang sangat mendebarkan adalah ketika harus melakukan pengecatan pesawat Twin Pioneer sampai jauh malam menjelang akhir tahun. Untuk melaksanakan pengecatan pesawat yang dibutuhkan kemampuan khusus dilakukan Captain Syafei dibantu satu orang yang diutus oleh Departemen Perhubungan, Agil.

Cat warna Merah Putih Biru di lambung pesawat yang melambangkan bendera Belanda harus dihapus diganti warna Merah Putih dan regristasi PK. Menjelang malam Tahun Baru pun semua pekerjaan telah selesai. Untuk mengantisipasi segala kemungkinan pada acara pengibaran bendera  yang dialkukan keesokan harinya, semua personel Kontingen menyiagakan diri dengan senapan serbu dan pistolnya. Keadaan menjelang malam memang makin menegang karena di sejumlah kawasan di Kota Biak terjadi tembak-menembak. Tapi  aksi tembak-menembak sporadis itu ternyata tidak meluas ke Mokmer. 

Operasi Menumpas PRRI: Dihadang Mitraliur di Atas Gunung Padang


Kemerdekaan Indonesia yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945 pada tahun-tahun selanjutnya masih menemui banyak tantangan yang harus diselesaikan melalui pertikaian bersenjata. Korban jiwa dan materi yang tak bisa dicegah pun berjatuhan.

Setelah  lebih dari sepuluh tahun RI  merdeka, sejumlah daerah merasa tidak puas bahkan dengan terang-terangan berupaya memisahkan diri, sehingga pemerintah pusat di Jakarta terpaksa harus menyelesaikannya secara militer. Salah satu upaya pemisahan diri dengan cara membentuk negara baru dan menyatakan berpisah dari pangkuan RI adalah Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI)  pimpinan Mr Sjafrudin Prawiranegara yang dibentuk pada 15 Februari 1958 di Sumatera.

Upaya pemisahan diri dari PRRI itu jelas menjadi ancaman serius bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia dan harus segera diambil tindakan tegas. Tapi tindakan tegas yang harus diambil oleh pemerintah RI khususnya Angkatan Perang Republik Indonesia (APRI) harus benar-benar terencana secara matang.  Pasalnya  PRRI juga didukung oleh sejumlah  unsur militer di Sumatera yang semula anggota APRI,  sehingga memiliki kekuatan yang teraltih dan bersenjata lengkap. Satuan-satuan militer yang mendukung APRI antara lain Resimen IV/TT-1/ Bukit Barisan  di bawah komandan Letkol Achmad Husein,  Tentara Territorium I di bawah komandan Kolonel Mauluddin Simbolon,  Tentara Teritorium II di bawah pimpinan Letkol Barlian, dan lainnya. Pada 22 Desember 1956 Panglima TT-1, Kolonel Simbolon  di Medan bahkan telah terlebih dahulu memutuskan hubungan dengan pemerintahan pusat.  Dari sisi kemampuan tempurnya yang terlatih,  jumlah total pasukan PRRI sekitar 10.000 0rang. 

Selain memiliki pasukan yang terlatih pasukan PRRI juga memunyai senjata-senjata modern yang kemudian diketahui sebagai bantuan dari AS (CIA).  Persenjataan yang terdeteksi oleh intelijen APRI pada 28 Februari 1958 dan dikirim melalui penerbangan gelap ke Sumatera itu antara lain 15 senjata mesin ringan, 125 pucuk senapan laras panjang, dan dua senapan mesin berat lengkap dengan pelurunya.  Dengan memperhitungkan bahwa kekuatan militer yang dimiliki PRRI sebelumnya merupakan pasukan reguler dan memiliki persenjataan yang digelar dalam kawasan luas, APRI  di bawah komando KSAD  Kolonel  AH Nasution pun segera menggelar operasi gabungan. Sebagai komandan operasi  gabungan ditunjuk perwira TNI AD yang sudah cukup pengalaman, Kolonel Achmad Yani.  Sejumlah operasi yang digelar untuk membereskan PRRI antara lain Operasi Tegas, Operasi Saptamarga, Operasi Sadar, dan Operasi 17 Agustus.

Peran AURI
Sebagai operasi gabungan yang melibatkan seluruh kekuatan APRI, peran kekuatan AURI (TNI AU) sangat dominan karena bertugas menerjunkan pasukan, menerjunkan logistik, memberikan air cover, bantuan tembakan udara kepada pasukan darat, misi SAR, dan lainnya.  Kekuatan udara  AURI  yang dikerahkan antara lain 26 pesawat C-47 Dakota, enam pesawat pemburu P-51 Mustang, delapan pembom B-25 Mitchell, enam AT-16 Harvard yang dipersenjatai, dan Pasukan Gerak Tjepat (PGT) AURI. Sedangkan kekuatan ALRI yang dikerahkan terdiri dari enam kapal perang, 19 kapal transpor dan ribuan prajurit AL. Angkatan Darat RI juga mengerahkan ratusan prajurit  RPKAD  yang dalam misi tempurnya akan diterjunkan melalui udara dan didaratkan menggunakan kapal ALRI. Jumlah pasukan APRI yang dikerahkan untuk menumpas PRRI sekitar  50.000 orang.

Menurut Marsma (Purn) Augustinus Andoko (84)  saksi hidup Operasi Tegas yang turut menerbangkan Dakota,  untuk melancarkan operasi militer merebut Riau Daratan itu taktik tempurnya dititikberatkan pada unsur pendadakan. Target lain Operasi Tegas adalah membebaskan Pangkalan Udara Simpang Tiga, Pekanbaru  yang selanjutnya akan digunakan sebagai basis terdepan guna menghadapi PRRI. Sebanyak 26 Dakota dari Skadron Udara 2 yang telah disiapkan di pangkalan aju Tanjung Pinang, tidak semuanya diterbangkan oleh pilot-pilot AURI karena masih terbatasnya penerbang Dakota.

 “Pilot-pilot dari Garuda Indonesian Airways atau biasa disebut Wing Garuda juga ikut dilibatkan. Saya sendiri saat itu sebenarnya bukan pilot Dakota dari Skadron 2, tapi menjabat Chief Instructor di Sekolah Penerbang Bandung,’’ jelas Andoko yang saat itu berpangkat Kapten Pnb. ‘’Tapi karena memiliki kemampuan menerbangkan Dakota dan karena kurang tenaga pilot, semua yang bisa menerbangkan Dakota pun dilibatkan. Saat itu semua instruktur dilibatkan dalam operasi sehingga para siswa penerbang pekerjaannya hanya duduk-duduk saja karena tidak ada instrukturnya,’’ tambah Andoko yang juga dikenal sebagai salah satu sesepuh TNI AU dan salah satu pendiri Perhimpunan Purnawirawan Angkatan Udara (PPAU).

Andoko yang pada massa Perang Kemerdekaan RI  (1945-1947) tergabung dalam Tentara Pelajar Batalyon 300 itu mendapatkan kemampuan menerbangkan sejumlah pesawat, salah satunya Dakota, sewaktu mengikuti Pilot Course  di Trans Ocean Airlines Oakland Airport (TALOA), Bakersfield, California, AS (1950). Sebelum dikirim ke TALOA, Andoko yang lulus pendidikan SMTT (Sekolah Menengah Teknik Tinggi) Yogyakarta telah diterima sebagai kadet AURI (1949) dan sudah memiliki kemampuan terbang solo menggunakan pesawat L-4J.