Kelompok hacker bersumpah akan menyerang situs pemerintah Australia.
Sumpah
para peretas asal Indonesia untuk terus menggempur beberapa situs
pemerintahan Negeri Kanguru, bukan sekedar isapan jempol belaka. Salah
satu yang berhasil dibuat kolaps yakni situs Badan Layanan Intelijen
Rahasia Australia (ASIS) yang beralamat di asis.gov.au.
Harian Sydney Morning Herald (SMH), Senin 11 November 2013 melansir situs tersebut sudah tidak dapat diakses sejak beberapa hari lalu. Bahkan, ketika mereka mencoba mengaksesnya pada Senin sore kemarin, situs itu masih kolaps dan tidak menunjukkan tampilan apapun.
Peneliti dan Pendiri ICT Institut, Heru Sutadi, turut membenarkan adanya serangan itu.
Dihubungi VIVAnews melalui sambungan telepon, dia menyebut ada satu kelompok peretas yang menamakan diri Indonesian Security Down (ISD) Team diyakini sebagai otak di balik penyerangan situs milik intelijen Australia.
"Mereka mulai melakukan serangan tersebut pada hari Jumat malam pekan lalu. Serangan mulai dilakukan sekitar pukul 20.00 WIB dan berlangsung selama dua setengah jam. Saat itu juga situs ASIS kolaps dan down," ujar Heru.
Serangan yang digunakan ISD Team, lanjut Heru, yakni Denial of Service (DOS).
"Artinya, sekelompok peretas yang terdiri 500 hingga seribu hacker secara bersama-sama menyerang satu situs yang sama. Mereka menyerang dengan paket-paket data secara bersamaan sehingga server situs yang bersangkutan kewalahan lalu down," kata Heru menjelaskan.
Serangan DOS, ujar Heru, berbeda dengan hanya mengganti tampilan sebuah situs.
Tidak sampai di situ, target lain yang diserang para peretas Indonesia yakni situs Badan Layanan Intelijen Nasional Australia (ASIO), beralamat di asio.gov.au. Menurut Heru, serangan dilakukan pada hari Sabtu malam pekan lalu.
"Efek untuk situs ASIO sudah mulai terasa pada Selasa pagi ini," kata dia.
Target ketiga yang diserang yakni situs Direktorat Sinyal Australia (ASD). Badan intelijen ini diyakini berada di balik aksi spionase Australia dengan membangun pos penyadapan di dalam gedung Kedutaan.
Kemudian VIVAnews mencoba mengecek ketiga situs badan intelijen Australia itu. Hasilnya satu situs ASIS yang hingga kini belum dapat diakses. Sementara untuk situs ASIO dan ASD, sudah dapat diakses oleh publik.
Heru mengakui situs ASIO dan ASD memang lebih sulit untuk diretas ketimbang ASIS.
"Secara intelijen, kedua situs tadi memang lebih siap ketimbang ASIS," kata dia.
Penyerangan terhadap ketiga situs itu sesuai saran yang diberikan oleh kelompok Anonymous Australia. Dalam sebuah video di situs Cyber War News, Anonymous Australia meminta supaya para peretas asal Indonesia tak lagi menyasar situs non pemerintah seperti badan amal, pengusaha dan rumah sakit.
"Situs-situs bisnis yang tak terkait masalah ini, seharusnya tidak diserang. Kami meminta sebagai sesama saudara agar fokus kepada target utama Anda, Pemerintah dan Badan Intelijen. Jangan libatkan pihak lain masuk ke dalam masalah ini" tulis Anonymous Australia dalam video itu.
Mereka mengancam akan terjadi perang cyber, apabila imbauan itu tak juga dituruti. Mereka lantas menyarankan supaya para peretas Indonesia hanya menyasar situs-situs milik Pemerintah Australia saja.
"Karena adanya etika di antara sesama hacker dan juga menghormati kelompok Anonymous Australia, maka mereka mengikuti imbauan itu," kata Heru.
Namun Heru membantah adanya pemberitaan yang menyebut Anonymous Australia akan membantu aksi para peretas Indonesia. "Tidak ada bantuan apa pun. Hacker Indonesia melakukan aksi itu sendiri," Heru menegaskan.
Menurut dia, motif di balik aksi hacking ini murni karena geram terhadap sikap Pemerintah Australia yang mengganggu kedaulatan dengan menyadap komunikasi para pejabat Indonesia.
"Mereka juga kesal dengan sikap Pemerintahan kita yang cenderung lembek dalam menghadapi isu spionase ini. Oleh sebab itu mereka mengaku akan terus menyerang, kecuali ada permintaan maaf resmi dari Pemerintah Australia," ujar Heru.
Selain ISD Team, sumpah serupa juga diucap kelompok Indonesian Cyber Army dan Java Cyber Army.
Heru menyebut pertimbangan memilih ketiga situs Badan Intelijen itu, bukan tanpa pemikiran. Sebelum menyerang, kelompok hacker Indonesia sudah memikirkan konsekuensi jika situs Badan Intelijen Indonesia akan diserang balik oleh hacker dari Australia.
"Namun, hingga sejauh ini sih belum ada konfirmasi adanya serangan balik dari pihak hacker atau badan intelijen Australia," tuturnya.
Mengapa Heru bisa mengetahui adanya kronologi penyerangan para peretas tersebut? Dia mengaku hanya memantau komunikasi kelompok-kelompok tersebut melalui Twitter.
"Jadi saya tidak terlibat dalam aksi hacking tersebut. Ketemu orang-orang di balik kelompok itu juga belum pernah," ujar Heru.
Juru Bicara Kepolisian Federal Australia yang dihubungi SMH, mengaku peristiwa peretasan situs ASIS sama sekali tidak terkait dengan mereka. Sementara Departemen Luar Negeri dan Perdagangan yang memiliki kewenangan untuk mengawasi ASIS menolak berkomentar. Reaksi serupa juga disampaikan oleh Perwakilan Australia di Indonesia.
"Mereka mulai melakukan serangan tersebut pada hari Jumat malam pekan lalu. Serangan mulai dilakukan sekitar pukul 20.00 WIB dan berlangsung selama dua setengah jam. Saat itu juga situs ASIS kolaps dan down," ujar Heru.
Serangan yang digunakan ISD Team, lanjut Heru, yakni Denial of Service (DOS).
"Artinya, sekelompok peretas yang terdiri 500 hingga seribu hacker secara bersama-sama menyerang satu situs yang sama. Mereka menyerang dengan paket-paket data secara bersamaan sehingga server situs yang bersangkutan kewalahan lalu down," kata Heru menjelaskan.
Serangan DOS, ujar Heru, berbeda dengan hanya mengganti tampilan sebuah situs.
Tidak sampai di situ, target lain yang diserang para peretas Indonesia yakni situs Badan Layanan Intelijen Nasional Australia (ASIO), beralamat di asio.gov.au. Menurut Heru, serangan dilakukan pada hari Sabtu malam pekan lalu.
"Efek untuk situs ASIO sudah mulai terasa pada Selasa pagi ini," kata dia.
Target ketiga yang diserang yakni situs Direktorat Sinyal Australia (ASD). Badan intelijen ini diyakini berada di balik aksi spionase Australia dengan membangun pos penyadapan di dalam gedung Kedutaan.
Kemudian VIVAnews mencoba mengecek ketiga situs badan intelijen Australia itu. Hasilnya satu situs ASIS yang hingga kini belum dapat diakses. Sementara untuk situs ASIO dan ASD, sudah dapat diakses oleh publik.
Heru mengakui situs ASIO dan ASD memang lebih sulit untuk diretas ketimbang ASIS.
"Secara intelijen, kedua situs tadi memang lebih siap ketimbang ASIS," kata dia.
Penyerangan terhadap ketiga situs itu sesuai saran yang diberikan oleh kelompok Anonymous Australia. Dalam sebuah video di situs Cyber War News, Anonymous Australia meminta supaya para peretas asal Indonesia tak lagi menyasar situs non pemerintah seperti badan amal, pengusaha dan rumah sakit.
"Situs-situs bisnis yang tak terkait masalah ini, seharusnya tidak diserang. Kami meminta sebagai sesama saudara agar fokus kepada target utama Anda, Pemerintah dan Badan Intelijen. Jangan libatkan pihak lain masuk ke dalam masalah ini" tulis Anonymous Australia dalam video itu.
Mereka mengancam akan terjadi perang cyber, apabila imbauan itu tak juga dituruti. Mereka lantas menyarankan supaya para peretas Indonesia hanya menyasar situs-situs milik Pemerintah Australia saja.
"Karena adanya etika di antara sesama hacker dan juga menghormati kelompok Anonymous Australia, maka mereka mengikuti imbauan itu," kata Heru.
Namun Heru membantah adanya pemberitaan yang menyebut Anonymous Australia akan membantu aksi para peretas Indonesia. "Tidak ada bantuan apa pun. Hacker Indonesia melakukan aksi itu sendiri," Heru menegaskan.
Menurut dia, motif di balik aksi hacking ini murni karena geram terhadap sikap Pemerintah Australia yang mengganggu kedaulatan dengan menyadap komunikasi para pejabat Indonesia.
"Mereka juga kesal dengan sikap Pemerintahan kita yang cenderung lembek dalam menghadapi isu spionase ini. Oleh sebab itu mereka mengaku akan terus menyerang, kecuali ada permintaan maaf resmi dari Pemerintah Australia," ujar Heru.
Selain ISD Team, sumpah serupa juga diucap kelompok Indonesian Cyber Army dan Java Cyber Army.
Heru menyebut pertimbangan memilih ketiga situs Badan Intelijen itu, bukan tanpa pemikiran. Sebelum menyerang, kelompok hacker Indonesia sudah memikirkan konsekuensi jika situs Badan Intelijen Indonesia akan diserang balik oleh hacker dari Australia.
"Namun, hingga sejauh ini sih belum ada konfirmasi adanya serangan balik dari pihak hacker atau badan intelijen Australia," tuturnya.
Mengapa Heru bisa mengetahui adanya kronologi penyerangan para peretas tersebut? Dia mengaku hanya memantau komunikasi kelompok-kelompok tersebut melalui Twitter.
"Jadi saya tidak terlibat dalam aksi hacking tersebut. Ketemu orang-orang di balik kelompok itu juga belum pernah," ujar Heru.
Juru Bicara Kepolisian Federal Australia yang dihubungi SMH, mengaku peristiwa peretasan situs ASIS sama sekali tidak terkait dengan mereka. Sementara Departemen Luar Negeri dan Perdagangan yang memiliki kewenangan untuk mengawasi ASIS menolak berkomentar. Reaksi serupa juga disampaikan oleh Perwakilan Australia di Indonesia.