Minggu, 03 November 2013

Misteri PETRUS (Penembak misterius) era 1980-an

MISTERI PETRUS / (mysterious assassins) - Indonesia

Pada tahun 1980 an, suasana kota Yogyakarta tiba-tiba berubah jadi mencekam. Para preman yang selama itu dikenal sebagai gabungan anak liar (gali) dan menguasai beberapa wilayah, tiba-tiba diburu oleh tim Operasi Pemberantasan Kejahatan (OPK), yang kemudian dikenal sebagai Petrus (Penembak misterius). Ketika melakukan aksinya, tak jarang suara letusan senjata para penembak terdengat oleh masyarakat sehingga suasana jadi makin mencekam. Mayat-mayat para korban penembakan atau pembunuhan misterius itu pada umumnya mengalami luka tembak di bagian kepala, dan leher, lalu kemudian dibuang di lokasi yang mudah ditemukan oleh penduduk sekitar. Ketika ditemukan, mayat biasanya langsung dikerumuni warga dan menjadi tontonan masyarakat, esok harinya, lalu menjadi headline di media massa yang terbit di Yogyakarta.
Aksi OPK melalui modus Petrus tersebut dengan cepat menimbulkan ketegangan dan teror bagi para pelaku kejahatan, karena korban-korban OPK di kota-kota lainnya pun mulai berjatuhan. Operasi OPK yang berlangsung secara rahasia tersebut justru mampu menekan dan meminimalisir angka kriminalitas yang terjadi di berbagai wilayah dan kota.
Pada tahun 1982, Presiden Soeharto memberikan penghargaan kepada Kapolda Metro Jaya saat itu, Mayjen Pol. Anton Soedjarwo, atas kesuksesannya membongkar aksi perampokan yang banyak meresahkan masyarakat. Selain mampu membongkar aksi perampokan, Anton juga dinilai sukses dalam melancarkan aksi OPK.
Pada bulan Maret di tahun yang sama, pada acara khusus yang membahas masalah pertahanan dan keamanan, Rapim ABRI, Presiden Soeharto bahkan meminta kepada Polri (yang saat ini masih menjadi bagian dari ABRI), untuk mengambil langkah pemberantasan yang efektif dalam upaya menekan angka kejahatan. Keseriusan Soeharto agar Polri/ABRI segera mengambil tindakan untuk menekan angka kejahatan, bahkan kembali dinyatakan Soeharto dalam pidato kenegaraan yang berlangsung pada 16 Agustus 1982. karena perintah Soeharto disampaikan pada acara kenegaraan yang istimewa, sambutan atau respon yang dilaksanakan oleh petinggi aparat keamanan pun sangat istimewa, dan ditanggapi secara serius.
Permintaan atau perintah Soeharto dengan cepat disambut oleh Pangkopkamtib Laksamana Soedomo melalui rapat kordinasi bersama Pangdam Jaya, Kapolri, Kapolda Metro Jaya, dan Wagub DKI Jakarta yang berlangsung di markas Kodam Metro Jaya 19 januari 1983. Dalam rapat tersebut, kemudian diputuskan untuk melaksanakan operasi untuk menumpas aksi-aksi kejahatan yang bersandi ‘Operasi Celurit’ di daerah jakarta, dan sekitarnya. Operasi celurit tersebut kemudian diikuti oleh Polri/ABRI di masing-masing kota serta dengan cepat merambat ke kota-kota lainnya. Korban-korban dari Operasi celurit pun berjatuhan.

OPERASI DI YOGYAKARTA
Selama sebulan OPK di Yogyakarta, paling tidak enam tokoh penjahat tewas terbunuh. Para korban tewas yang ditemukan rata-rata mengalami luka tembak parah di kepala dan lehernya. Dua diantara korban OPK yang berhasil diidentifikasi adalah mayat Budi alias Tentrem (29) dan Samudi Blekok alias Black Sam (28). Mayat Budi yang dulu ditakuti dan dikenal lewat geng mawar Ireng-nya, kini menjadi korban tak berdaya yang terkapar di parit di tepi jalan daerah Bantul, Selatan Yogyakarta, kejadian itu terjadi di awal tahun 1985. Sedangkan mayat Samudi alias Black Sam, ditemukan tergeletak di semak belukar di kawasan Kotagede yang tidak jauh dari pusat kota Yogyakarta.


Dari cara membuang mayatnya, jelas ada semacam pesan yang ingin disampaikan kepada para bromocorah di Yogyakarta, yaitu agar segera menyerahkan diri, atau menemui ajal seperti rekan-rekan mereka yang telah tewas. Selama OPK berlangsung, paling tidak ada 60 bromocorah Yogyakarta yang menjadi korban Petrus. Sebagian besar tewas ditembak dan beberapa yang lainnya tewas terbunuh akibat senjata tajam. Sejumlah korban bahkan diumumkan oleh aparat keamanan, bahwa penyebab tewasnya mereka adalah akibat pengeroyokan massa. Salah satu korban yang diklaim aparat keamanan sebagai korban yang tewas akibat pengeroyokan massa adalah bromocorah bernama Ismoyo.
Selama hidupnya, Ismoyo dikenal sebagai gali elite karena merupakan lulusan Fakultas Sosial Politik UGM dan berstatus PNS. Sebagai ketua kelompok preman yang sering memalak angkutan-angkutan kota di wilayahnya, gali elite tersebut kemudian diciduk oleh aparat keamanan untuk diinterogasi. Namun menurut versi aparat, Ismoyo mencoba melarikan diri dan kemudian tewas akibat dikeroyok massa. Modus menyuruh bromocorah lari kemudian sengaja diteriaki maling atau malah ditembak saat sedang lari, merupakan cara standar yang dilakukan tim OPK untuk membereskan buruannya. Cara lain untuk memberikan shock therapy kepada bromocorah adalah dengan menembak korbannya puluhan kali. Cara ini diterapkan OPK saat menghabisi pentolan gali di Yogyakarta, yaitu Slamet Gaplek. Berdasarkan info, Slamet konon kebal peluru. Slamet Gaplek sempat melarikan diri dengan cara mematahkan borgol, namun akhirnya tersungkur mengenaskan setelah dihujani tembakan, dan lebih dari 20 peluru bersarang di sekujur tubuhnya.
Korban yang tewas dengan cara yang sadis dan mengenaskan tersebut lalu dibuang ke tempat-tempat yang mudah ditemukan oleh warga sehingga esoknya langsung menjadi berita yang heboh. Surat-surat kabar tentang mayat-mayat yang berjatuhan pun menghiasi kolom-kolom depan koran dan dengan cepat jadi pembicaraan publik. Cara seperti itu memang sangat efektif sebagai efek shock theraphy yang sangat ampuh untuk membasmi pelaku-pelaku tindak kejahatan meminimalisir angka kejahatan di kota-kota besar.
Disadur dari; majalah Angkasa Edisi Koleksi – The World’s Most Shocking Covert Operations (Delapan operasi terselubung paling menggegerkan) / Koleksi No.75 / September / Tahun 2011

Penampilan Prajurit Indonesia di Timtim

Gaya Prajurit Indonesia di Timor Timur

Operasi Seroja yang dimulai di akhir tahun 1975 kemudian berlanjut sampai operasi pemulihan keamanan hingga tahun 1999, ternyata membawa hal menarik untuk dicermati. Cerita-cerita seru dan unik seputar pertempuran, kisah kemenangan gemilang, maupun kisah gugurnya prajurit terbaik sudah sering menjadi bahan perbincangan. Namun di samping cerita-cerita tersebut, ada satu hal yang menarik untuk disimak, gaya penampilan para prajurit.
Saat itu seringkali dijumpai para prajurit Indonesia di lapangan dengan kombinasi penampilan unik dan tak lazim. Gaya berpakaian dengan berbagai model potongan rambut pun bervariasi. Lain dengan saat ini, dimana potongan rambut seorang tentara harus cepak, rapi, dan berseragam. Jika diumpamakan, potongan rambut mereka lebih mirip artis-artis Indonesia yang saat itu tengah naik daun.
Tampaknya tak terlalu berlebihan jika model potongan rambut mereka meniru para artis tahun 80an. Namun, tentara-tentara yang bertugas di Bumi Loro Sae itu tentu memiliki alasan tersendiri tentang gaya rambut dan penampilan berpakaian mereka. Penempatan di pos-pos yang jauh di pedalaman, membuat prajurit Indonesia melahirkan gaya tersendiri yang tak seperti biasanya. Bagaimana tidak? Posisi mereka yang amat jauh tentu sangat menyulitkan untuk dropping logistik, sehingga tidak memungkinkan bagi mereka untuk menjaga penampilan mereka, seperti merapikan rambut seperti penampilan tentara pada umumnya. Sehingga dapat dikatakan gaya tersebut muncul dikarenakan keadaan. Namun lain ceritanya jika digunakan sebagai penyamaran.
Ketika operasi Seroja belum resmi diumumkan, berpakaian seadanya dengan rambut gondrong merupakan sebuah kewajiban dalam hal penyamaran. Hal tersebut dimaksudkan agar tidak nampak sebagai Pasukan Resmi Tentara Nasional Indonesia. Jadi lebih terlihat sebagai para milisi atau penduduk setempat, yang kebanyakan berpenampilan gondrong seperti itu.
JENIS PENAMPILAN PRAJURIT TNI
Jika dikelompokkan, ada 3 tampilan khas pasukan Indonesia saat bertugas di Timtim. Ketiga mode itu antara lain:
Pertama : rapi dengan seragam lengkap.
Kedua : rambut gondrong dan berseragam lengkap.
Ketiga : rambut gondrong dengan pakaian kombinasi.
Pertama, rapi dengan berseragam lengkap. Biasanya, mereka adalah pasukan yang baru datang, atau kalau tidak, mereka akan kembali pulang ke markas. Prajurit yang baru saja diterjunkan, biasanya masih membawa perlengkapan yang lengkap serta berpotongan rapi. Demikian juga ketika mereka akan ditarik dari medan pertempuran. Mereka akan berusaha serapi mungkin, dengan potongan rapi, dan penampilan yang bersih.
Penampilan prajurit Indonesia yang bertugas di Timtim tahun 1975. Perhatikan gaya rambut gondrong prajurit di sisi paling kanan foto
Kedua, rambut gondrong dan berseragam lengkap. Setelah beberapa bulan penugasan di medan, rambut seorang prajurit akan tumbuh lebat, apalagi jika mereka berada di dalam hutan berbulan-bulan, dapat dipastikan rambut tumbuh dengan lebatnya, demikian juga kumis, jenggong, serta jambang mereka.
Ketiga, rambut gondrong dengan pakaian kombinasi. Jika tidak sempat bercukur atau memotong kumis, maka para prajurit benar-benar berpenampilan tidak rapi. Ditambah pakaian seragam yang tidak layak pakai, karena belum mendapat jatah seragam baru dari basis. Akibatnya, banyak dari mereka yang mengenakan baju seragam dengan bawahan celana sipil, ataupun sebaliknya. Jika benar-benar kehabisan seragam, mereka hanya mengenakan seragam sipil biasa. Kadang pula ditemui prajurit dengan pakaian olahraga atau dengan kaos dengan mengenakan celana loreng. Namun ada juga beberapa prajurit yang masih memiliki seragam bagus. Mereka sengaja menyimpan, atau memakai seragam loreng hanya dalam kesempatan tertentu. Misalnya ketika ada kunjungan dari petinggi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI).
GONDRONG VS GONDRONG
 Para anggota milisi bersenjata Fretilin yang mengenakan seragam loreng TNI dengan
 bersenjata lengkap
Penampilan anggota TNI yang bervariasi, dengan rambut gondrong dan pakaian seadanya, terkadang membuat orang awam susah membedakannya dengan anggota Fretilin. Hal sebaliknya juga terjadi pada pihak Fretilin. Kisah tersebut seperti diungkapkan oleh Sersan Mayor Mursihadi, seorang pensiunan TNI dari Detasemen Kesehatan Wilayah (Denkesyah) Korem 074 Warasratama, Surakarta.
Seperti kebanyakan anggota TNI lainnya, Mursihadi juga berambut gondrong. Suatu hari dirinya mendapat tugas untuk mencari tambahan makanan. Ia kemudian masuk hutan sekadar mencari dedaunan atau berburu binatang, yang dapat diambil dagingnya. Saat asik mencari dan berburu, tiba-tiba muncul seseorang berpenampilan serupa, gondrong dan menenteng senjata.
Begitu lama Mursihadi mengamati orang tersebut. Setelah sekian lama ia amati, dirinya baru tersadar, bahwa ternyata orang tersebut bukanlah rekannya. Seseorang dengan tampilan sama persis tersebut merupakan anggota Fretilin, yang diduga sedang mencari bahan makanan juga. Dengan sigap, tak ingin ditembak duluan, Mursihadi kemudian berhasil menembak mati Si Fretilin gondrong dalam kontak tembak yang berlangsung singkat. 
 Tentara Pembebasan Timtim- Fretilin
Lain halnya jika anggota Fretilin yang berpenampilan gondrong yang menyamar sebagai prajurit TNI. Hal tersebut dapat berakibat fatal. Seperti kasus penghadangan truk yang berisi polisi yang mengamankan Pemilihan Umum 1997 di daerah Sektor Timur. Truk yang sedang melintasi perbukitan di Kecamatan Quelicai, tiba-tiba dihentikan seseorang yang berpakaian loreng TNI. Sopir yang terkejut langsung menginjak rem.
Mendadak orang yang disangka teman tersebut melemparkan granat, tepat di bagian bak truk yang berisi pasukan serta persediaan bensin. Akibatnya truk meledak hebat, kobaran api segera melahap truk seisinya. Selain truk terbakar dan hancur sangat parah, seluruh penumpangnya juga tewas terpanggang. Oleh karena itu dikemudian hari muncul anjuran, agar tiap anggota TNI harus selalu merapikan penampilan. Karena perbedaan yang terlalu tipis antara anggota Fretilin dan anggota TNI dapat berakibat fatal.
Sumber: Buku INFANTERI The Backbone of the Army. Priyono. MataPadi PressIndo – Cetakan Pertama Januari 2012

Pertempuran Eks Batalyon 426 melawan Pasukan TNI (1951-1952)

Infanteri Kontra Infanteri:
Pertempuran Eks Batalyon 426 melawan Pasukan TNI di Klaten, 1951-1952.
Sebuah kejadian menggemparkan terjadi pada akhir tahun 1951. Saat itu beredar informasi yang menyebutkan keterlibatan pasukan TNI (Tentara Nasional Indonesia) / (Indonesian Army), dalam organisasi Darul Islam / Tentara Islam Indonesia (DI/TII). Setelah dilakukan investigasi pihak internal, diketahui bahwa yang terlibat ialah Pasukan dari Batalyon 423 dan 426. keduanya merupakan Batalyon di lingkungan Tentara Teritorium (TT) IV Diponegoro.
Dari keterlibatan kedua Batalyon tersebut, pihak TT IV Diponegoro kemudian menangkap 3 oknum perwira dari Batalyon 423 yang sebelumnya telah dicurigai. Pemeriksaan pun berlanjut, berikutnya adalah Batalyon 426. Dalam investigasi, ditemukan orang-orang yang jelas-jelas ikut dalam gerakan DI/TII. Mereka terlibat baik secara sembunyi maupun secara terang-terangan.
GENDERANG PERANG TELAH DITABUH
Sebenarnya, Teritorial IV Diponegoro telah mengambil langkah-langkah yang diperlukan guna menyelesaikan permasalahan inh, yakni dengan menangkap sejumlah orang yang terlibat. Langkah ini dilakukan sebagai upaya mencegah terjadinya bentrokan di dalam kubu TNI itu sendiri. Namun rupanya langkah yang ditempuh tersebut mengalami sejumlah hambatan, serta tidak ada perkembangan progresif yang memuaskan.
Mereka yang berhasil ditangkap merupakan oknum Tentara Batalyon 423. Permasalahan mereka sudah dituntaskan oleh pihak Teritorial. Namun, yang menjadi masalah berikutnya adalah Batalyon 426 karena belum ada satupun dari mereka yang berhasil dijinakkan.
Menyikapi kenyataan di lapangan, akhirnya Panglima Tentara Teritorial IV Diponegoro Kolonel Gatot Subroto, mengambil sebuah inisiatif. Guna memastikan “kesetiaan” terhadap kesatuannya, Kolonel Gatot memerintahkan 2 orang petinggi Batalyon 426 untuk menghadap pada dirinya. Kedua orang tersebut adalah Mayor Munawar dan Kapten Sofyan. Namun, dari dua orang yang dipanggil, hanya Mayor Munawar saja yang datang menghadap. Saat itu, ia merasa memiliki tanggung jawab moral sebagai seorang komandan, di mana sejumlah besar anak buahnya terlibat di dalam organisasi terlarang. Sedangkan Kapten Sofyan sendiri, lebih memilih untuk membangkang, dan melanjutkan perjuangannya dalam gerakan DI/TII.
Untuk mencegah agar situasi Jawa Tengah tidak semakin keruh, akhirnya Kol. Gatot segera memerintahkan semua Komandan Brigade untuk mempersiapkan rencana penindakan. Sebuah ultimatum diserukan kepada Batalyon 426 agar dengan segera menyerahkan oknum-oknum “yang membangkang”. Jika tidak mematuhi ultimatum tersebut, maka pihak Teritorial tidak segan-segan menggunakan cara kekerasan.
10 MENIT UNTUK BERPIKIR
Tepat tanggal 8 Desember 1951 pukul lima pagi, Komandan Batalyon 424 memberi ultimatum terhadap Kapten Sofyan untuk menyerahkan diri. Sebanyak tiga Batalyon, yaitu Batalyon 424, 421, dan 425, dikerahkan untuk mengepung markas Batalyon 426 di Kudus. Untuk menambah daya gempur kekuatan, gabungan ketiga Batalyon tersebut diperkuat lagi dengan satu setengah peleton dari unsur Kavaleri.
Di antara gelapnya pagi yang mencekam itu. Pasukan gabungan TNI mengepung markas Batalyon 426. Perintah untuk segera menyerah berkali-kali sudah diteriakkan dari luar markas. Meski sudah terdesak dan terkepung, ada-ada saja permintaan yang ingin disampaikan Kapten Sofyan. Ia meminta waktu berpikir 10 menit, guna mempertimbangkan permintaan pasukan pengepung. Akan tetapi belum genap 10 menit, rentetan tembakan pun pecah di antara pasukan Batalyon 426. Mereka bertekad ingin mempertahankan diri sampai ajal menjemput mereka, meskipun hal itu berarti mereka harus mati di tangan “saudara” mereka sendiri. Akhirnya aksi baku tembak sesama anggota TNI tak terhindarkan lagi.
Baku tembak berlangsung cukup sengit dan alot, dan nampaknya tidak ada tanda-tanda perkembangan yang signifikan dari pertempuran tersebut. Tak ada tanda bahwa pasukan gabungan sanggup menaklukkan tentara eks Batalyon 426. Bahkan bisa dibilang, Pasukan pimpinan kapt. Sofyan lebih unggul. Itu terjadi lantaran bangunan markas xang mereka gunakan juga berfungsi sebagai benteng pertahanan.
Menghadapi situasi yang kurang menguntungkan, memaksa pasukan Kavaleri TNI yang turut serta dalam pengepungan mengambil inisiatif. Mereka ingin membumi-hanguskan markas Batalyon 426. Namun, Komandan Batalyon 424 yang ditugasi sebagai Komandan pengepungan melarang hal tersebut. Alasannya, sang Komandan berharap, siapa tahu anggota eks Batalyon 426 kemudian akan sadar, lalu menyerahkan diri secara sukarela. Lagipula mereka juga sesama pejuang yang turut bahu-membahu melawan Belanda pada Masa Revolusi Indonesia, 1945-1950.
Sudah sehari penuh pengepungan dilancarkan, matahari pun telah bergeser dan senja pun menghampiri. Namun tak ada tanda-tandah bahwa Batalyon 426 akan menyerahkan diri. Tak disangka, ketika langit mulai beranjak gelap, hujan lalu turun dengan sangat deras. Rupanya cuaca yang tidak bersahabat ini dimanfaatkan Pasukan Batalyon 426 untuk meloloskan diri dari kepungan pasukan. Dan benar saja, mereka berhasil meninggalkan markas mereka tanpa diketahui oleh pasukan pengepung.
Sementara itu di Magelang, dua kompi eks Batalyon 426 yang dipimpin oleh Kapten Alief diperintahkan untuk tidak meninggalkan markas kompi. Mereka diawasi dengan ketat oleh pihak Teritorial IV. Namun rupanya kabar pertempuran dan pengepungan terhadap markas induk di Kudus sampai juga ke telinga mereka. Tidak ingin kejadian di Kudus terulang, gerombolan pasukan eks Batalyon 426 pun melarikan diri. Batalyon 408 yang ditugasi menggempur dua kompi di Magelang selanjutnya melakukan penindakan yang lebih tegas.
Pada tanggal 9 Desember 1951, Kapt. Alief sebagai pimpinan pasukan “pemberontak”, di depan Komandan Batalyon 408, berjanji tidak akan mengikuti aksi pasukan seperti yang terjadi di Kudus dan tetap tunduk di bawah perintah Batalyon 408. Namun, rupanya hal tersebut sebagai taktik agar dua kompi pasukannya dapat berangsur meloloskan diri untuk kemudian bergabung dengan induk pasukan yang dipimpin oleh Kapt. Sofyan. Akhirnya, sehari kemudian, 10 Desember 1951, pukul 01:00 dini hari, dua kompi eks Batalyon 426 di Magelang, resmi melakukan pemberontakan.
BANJIR DARAH DI KLATEN
Dua kompi B-426 di Magelang akhirnya mengikuti jejak kawan-kawan mereka di Kudus. Para pemberontak tersebut melarikan diri. Guna memecah konsentrasi pasukan pengejar, mereka menyamar sebagai masyarakat biasa. Mereka mengganti pakaian militer mereka dengan pakaian sipil untuk mengecoh pasukan pengejar. Selain itu mereka juga berbaur dengan masyarakat setempat sembari bergerak melakukan konsolidasi.
Satu kompi eks Batalyon 426, dipimpin Mohjidin, bergerak ke selatan menuju Muntilan. Di Muntilan, gerombolan ini menyerang pos polisi dan menyerbu rumah tahanan serta membebaskannya. Selanjutnya mereka bergerak ke daerah Salaman, dan terlibat baku tembak. Dalam pertempuran di Salaman, mereka kehilangan satu peleton pasukan. Setelah itu sisanya berhasil kabur ke daerah Surakarta. Sedangkan satu Kompi lainnya bergerak ke utara menuju Grabag dan terus dikejar oleh Kompi 1 Batalyon 408.
Ketika sampai di daerah Simo, Boyolali, gerombolan pemberontak berhasil menculik Komandan Mobile Brigade (Mobrig), lalu merampas senjatanya. Selanjutnya mereka dicegat oleh pasukan Mobile Brigade di Simo dan Mojongsongo, Boyolali, mereka pun melakukan perlawanan. Baku tembak berlangsung cukup sengit dan berhasil menewaskan seorang penembak bren dari Mobrig. Setelah berhasil menaklukkan Boyolali, pasukan ini melakukan penyerangan di Delanggu, Klaten. Pada penyerbuan yang berlangsung pada malam hari itu, seorang polisi tewas tertembak oleh aksi mereka.
Petualangan mereka berlanjut ke daerah Cokrotulung. Di daerah tersebut, pasukan eks B-426 memperoleh tambahan senjata segar ketika berhasil melucuti 11 anggota Mobrig. Kedua kompi tersebut akhirnya melakukan regrouping di daerah Ngupit, Klaten, pada tanggal 11 Desember 1951.
Melihat perkembangan bahwa Klaten telah dijadikan daerah pengunduran beberapa kompi eks. B-426, maka kewaspadaan di daerah Surakarta dan sekitarnya mulai ditingkatkan. Seperti yang dilakukan di Solo, di wilayah ini, diadakan pembersihan terhadap sel-sel pendukung eks. B-426.
Sementara di Klaten juga dilancarkan sweeping senjata api. Namun rupa-rupanya aksi sweeping senjata api yang dilakukan pasukan TNI dari pihak Teritorial IV sudah terendus dan sudah diperkirakan sebelumnya oleh mereka.
Karena dirasa kekuatan pasukan pemberontak semakin kuat saja, pihak Tentara Teritorial IV Diponegoro memutuskan untuk melancarkan Operasi Merdeka Timur yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Moch Bachrun. Operasi ini diperkuat 13 Batalyon Infanteri dan didukung 5 peleton Kavaleri, 3 baterai Artileri medan, dan satuan bantuan tempur lainnya.
Pada tanggal 11 Desember 1951, salah satu Batalyon yang ikut dalam Operasi Merdeka Timur- Batalyon 419, bergerak dari Klaten untuk melakukan penghancuran terhadap pasukan eks B-426 di daerah Ngupit, Jatinom. Sekitar pukul 10:30, Komandan B-419 Mayor Koesmanto melalui radio perhubungan menerima permintaan bantuan tembakan mortir dari Kompi 2 B-419. Saat anggotanya bersiap melakukan pengecekan titik koordinat, tak ada komunikasi balasan dari pihak pasukan di Kompi 2. Untuk menghindari salah sasaran, maka tembakan mortir pun diurungkan.
Sebagai Komandan, Mayor Kusmanto segera mencari tahu posisi Kompi 2. Sebuah kejadian cukup mengagetkan dialami Kusmanto dan Letnan Satu Kandiawan, ajudannya. Ketika dalam perjalanan pukul 12:00 siang, mereka berpapasan dengan pasukan pemberontak yang tengah berusaha mengundurkan diri ke desa Kragilan karena terdesak gempuran pasukan TNI.
Mayor Koesmanto dan Lettu Kandiawan pun berhenti, dan melakukan penyelidikan terhadap posisi pelarian musuh. Tahu bahwa keberadaan mereka terendus, para pemberontak akhirnya melepaskan tembakan ke arah dua perwira TNI tersebut. Naas bagi Koesmanto, ia terkena tembakan. Parahnya, peluru menembus tulang rusuk kiri dan paru-paru kiri.
Hujan tembakan terus ditembakkan membabi-buta ke arah Mayor Koesmanto, Lettu Kandiawan beserta anak buah mereka yang saat itu sedang mengemudikan jeep. Kandiawan dan prajurit pengemudi berupaya melakukan pertolongan terhadap Mayor Koesmanto yang dalam keadaan terluka parah. Mereka pun mencoba menaikkan Koesmanto ke bagian belakang jeep, Prajurit pengemudi berhasil memutar posisi kendaraan.
Meski berhasil memutar, namun rupanya tembakan pasukan pemberontak berhasil mengenai radiator jeep. Pengemudi pun panik, akibatnya, jeep yang tengah ia kemudikan masuk ke parit dan menerobos ladang penduduk setempat. Mereka tidak dapat bergerak lagi sehingga upaya proses evakuasi terhadap Mayor Koesmanto gagal. Koesmanto dan Kandiawan yang dalam keadaan terluka masih tertinggal di jalan.
Tanpa ampun, para pemberontak semakin gencar menembaki keduanya yang sudah semakin tersudut. Melihat keduanya terdesak, pasukan pemberontak pun semakin mendekat. Mereka mengepung dari berbagai arah. Ketika merangsek maju, Lettu Kandiawan berhasil membubarkan mereka dengan tembakan senapan Owen. Musuh pun kocar-kacir dan lebih memilih mundur. Untuk sementara keadaan mereda. Keduanya segera menghampiri pengemudi jeep yang masih bersembunyi terpisah.
Tiba-tiba berondongan tembakan mengarah ke arah tiga orang tersebut. Musuh datang kembali. Namun tembakan kali ini lebih gencar daripada sebelumnya. Mayor Koesmanto pun memerintahkan Kandiawan untuk menemui Kompi 1 guna meminta bantuan pasukan tambahan. Prajurit pengemudi diperintahkan untuk menyembunyikan Mayor Koesmanto. Sementara Lettu Kandiawan segera bergerak ke arah Kompi 1.
Rupanya Mayor Koesmanto sudah tidak mampu lagi menahan luka-lukanya yang makin parah akibat tembakan. Guna mengamankan dirinya dari tembakan para pemberontak, sang pengemudi pun menyembunyikannya. Akan tetapi di tengah jalan mereka ditembaki lagi oleh eks B-426.
Akhirnya Lettu Kandiawan berhasil menemukan posisi pasukan Kompi 1 Batalyon 419. Komandan Kompi 1, Kapt. Kamto, dengan segera mengirimkan satu peleton untuk mengevakuasi Mayor Koesmanto. Mereka pun berhasil mengevakuasi Koesmanto yang dalam keadaan terluka parah. Setelah beberapa hari di rawat, kabar duka pun menghampiri. Tepat pada hari Rabu, 12 Desember 1951 pukul 15:20, Mayor Koesmanto akhirnya meninggal dunia karena luka-luka parah yang dideritanya.
Guna mematikan perlawanan pasukan pemberontak, diterjunkanlah bantuan pasukan dari Brigade Mangkubumi sebanyak dua kompi (Batalyon 413), 1 Kompi dari B-412, serta 1 peleton Eskadron Lapis Baja.
Tidak tahan menghadapi gempuran pasukan TNI, pasukan eks B-426 memilih mundur dan melarikan diri ke arah Dawar, Boyolali. Akan tetapi pergerakan mereka dihadang oleh satu kompi B-416 dan satu peleton Mobrig. Dari tempat ini mereka mundur lagi ke arah Tulung, Malangan dan Ngunut. Akhirnya, mereka pun berhasil lolos dari sergapan.
Pasukan eks B-426 kemudian melakukan konsolidasi, setelah mereka mendapat suntikan kekuatan yang berhasil melakukan perembesan dari arah Kedung Jati di Simo, Boyolali. Mereka berusaha menghindari kontak senjata dan berupaya menuju Klaten. Pasukan ini sudah bergerak menuju Selatan setelah melewati Purwodadi.
Pada 22 Desember 1951, pasukan pemberontak masuk dari arah Walikukun, Ngawi. Dalam usaha pelarian mereka, sempat dihadang oleh Batalyon 508 Divisi Brawijaya dan Batalyon 428, namun lagi-lagi mereka berhasil lolos dari hadangan hingga tiba di daerah Karanganyar. Pada 29 Desember mereka bertahan di Duwet, Karanganyar. Di daerah ini mereka berhasil menerobos pertahanan dua Kompi B-421. Dalam pertempuran Duwet, pasukan pemberontak dihujani tembakan Artileri sambil menerobos pertahanan dan berhasil menguasai posisi dataran yang lebih tinggi dari pasukan TNI. Akibatnya, pemberontak berhasil memporak-porandakan dua kompi dari B-421.
Melihat keadaan yang begitu genting, Komandan B-417, Mayor Soenaryo, memerintahkan perlawanan. Pasukan B-417 merangsek maju. Pertempuran jarak dekat pun tak terhindarkan lagi. Namun malang bagi Mayor Soenaryo, dalam pertempuran dirinya gugur akibat tertembak oleh pasukan pemberontak dalam baku tembak dekat yang berjarak lima meter. Sedangkan di pihak musuh, Kapt. Sofyan terkena tembakan dan mengalami luka-luka.
Sementara itu 8 kendaraan milik B-417 yang berada di jalan dibakar pasukan pemberontak. Selang beberapa lama, bantuan dari Kavaleri pun datang dan langsung menggempur posisi pasukan eks B-426 yang masih bertahan di perkampungan penduduk. Akhirnya, pasukan eks B-426 mengundurkan diri, termasuk Kapt. Sofyan yang terluka. Akhirnya Kapt. Sofyan pun tewas dan jenazahnya berhasil di evakuasi di daerah Wonogiri.
Petualangan Batalyon 426 pun berakhir setelah mengalami operasi pengejaran yang tanpa henti oleh pasukan TNI. Sisa-sisa pasukan tersebut akhirnya dengan susah payah berhasil memasuki wilayah Gerakan Benteng Nasional (GBN), dan bergabung dengan gerakan DI/TII di wilayah perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Barat.
Sumber: Buku INFANTERI The Backbone of the Army. Priyono. MataPadi PressIndo – Cetakan Pertama Januari 2012
Military.

Australia Manfaatkan KTT Bali 2007 untuk Sadap Indonesia?

Australia dikabarkan sedang mengumpulkan kontak pejabat keamanan RI.

 Perdana Menteri Australia Tony Abbot
Perdana Menteri Australia Tony Abbot (VIVAnews/Anhar Rizki Affandi)
Aksi spionase badan intelijen Australia, Direktorat Sinyal Pertahanan/DSD, kembali terkuak. Kali ini, harian Inggris, The Guardian, menurunkan laporan bahwa aksi spionase DSD sudah dilakukan sejak penyelenggaraan KTT Perubahan Iklim tahun 2007 di Nusa Dua, Bali.

Menurut laporan laman Guardian itu, operasi penyadapan DSD itu dibantu mitra sekutu yakni Badan Keamanan Nasional Amerika Serikat (NSA). Target operasi penyadapan saat itu yakni mengumpulkan nomor kontak para pejabat tinggi bidang keamanan Indonesia. Namun, setelah menghabiskan begitu banyak upaya, waktu, dan biaya, misi itu dianggap gagal.

Padahal, DSD telah meminta bantuan seorang ahli Bahasa Indonesia untuk ikut di dalam tim memantau dan memindai komunikasi delegasi asal Indonesia. Informasi ini kembali terungkap berkat dokumen yang dimiliki oleh mantan kontraktor NSA, Edward J Snowden.

"Tujuan dari operasi itu yakni memperoleh pemahaman utuh soal struktur jaringan komunikasi Indonesia apabila dibutuhkan dalam keadaan darurat," tulis The Guardian edisi Sabtu 2 November 2013.

Namun hingga acara selesai, DSD hanya berhasil memperoleh kontak Kepala Polisi Provinsi Bali. Informasi ini juga tercatat dalam laporan mingguan yang ditujukan kepada markas NSA di Pine Gap, Australia. Markas di sana, merupakan salah satu markas terbesar di luar negeri yang dimiliki NSA.

Fakta ini dinilai akan membuat hubungan Indonesia dan Australia semakin tegang. Betapa tidak, saat konferensi itu dihelat, mantan Perdana Menteri Kevin Rudd baru terpilih selama 10 hari. Presiden SBY merupakan pemimpin dunia pertama yang mengucapkan selamat kepada Rudd melalui telepon. Kehadiran Rudd di Nusa Dua pun atas undangan Presiden SBY pribadi.

Dalam kesempatan itu, Rudd dianggap berhasil memenangkan hubungan diplomatik bagi pemerintahannya. Pasalnya pada waktu itu, Rudd menegaskan kepedulian Australia terhadap isu perubahan iklim dengan turut meratifikasi secara formal Protokol Kyoto.

Rudd bahkan secara pribadi menyerahkan dokumen yang telah ditandatanganinya itu kepada Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Ban Ki-moon. Melalui konferensi itu, Rudd juga memberikan sinyal adanya perubahan hubungan diplomatik terhadap kawasan Asia.

Alat sadap di kantor kedutaan
Sebelumnya, harian Fairfax mengungkap bahwa gedung Kedutaan Australia di beberapa negara Asia, termasuk Indonesia, digunakan sebagai pos penyadapan.

Pemberitaan ini mengundang keprihatinan Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa. Usai menghadiri sebuah konferensi di Perth, Australia, Marty menyatakan Pemerintah Australia telah bersikap tidak adil, jika berita itu benar.

"Apabila Australia sendiri dijadikan target dari aktivitas semacam itu, apakah Anda akan mengartikannya sebagai sikap yang bersahabat atau tidak? Kami sangat prihatin dan ini merupakan sesuatu yang tidak dapat kami terima," ujar Marty.

Duta Besar Australia untuk Indonesia Greg Moriarty kemudian dipanggil ke Gedung Kementerian Luar Negeri untuk bertemu dengan Sekretaris Jenderal Kemlu, Budi Bowoleksono.

Namun Moriarty enggan merinci isi pertemuannya dengan Budi. Sikap serupa juga diungkap oleh Perdana Menteri Tony Abbott.

Menurut Abbott apa yang dilakukan oleh Pejabat Australia sudah sesuai dengan koridor hukum yang berlaku. "Setiap badan Pemerintah Australia, baik pejabat di dalam atau luar negeri, beroperasi sesuai dengan hukum yang berlaku dan hal itu bisa saya jamin kepada masyarakat yang ada di dalam atau luar negeri," ujar Abbott.

Sementara terkait aksi organisasi intelijen, lanjut Abbott, sudah menjadi sikap Pemerintah mereka sejak lama untuk tak mengomentarinya di depan publik. 

Satelit Palapa Disadap Pemerintah Australia

http://tvkuindo.files.wordpress.com/2011/11/1-giove-a.jpg

Badan Keamanan Nasional Amerika Serikat (NSA) ternyata bekerja sama dengan Direktorat Sandi Australia dalam memantau dan menyadap komunikasi sejumlah negara di Asia Pasifik. Target utama kedua badan intelijen itu ialah Satelit Palapa milik Indonesia yang menyediakan layanan telepon seluler dan komunikasi radio di kawasan Asia Pasifik, termasuk Indonesia, Thailand, Filipina, Malaysia, Brunei, dan Papua Nugini.

Pemantauan itu dilakukan melalui Kedutaan Besar AS dan Kedutaan Besar Australia di Jakarta. “Australia telah menggunakan sejumlah kedutaan asingnya untuk menguping. Kegiatan itu dilakoni (dalam) operasi bersandi Reprieve. Kami menggunakan kedutaan besar di kawasan kami untuk memantau komunikasi lokal, khususnya percakapan telepon bergelombang mikro,“ ungkap pakar intelijen Australia, Des Ball, kepada Australian Broadcasting Corporation.

Pria bertitel profesor yang meneliti di Pusat Kajian Pertahanan dan Strategis, Universitas Nasional Australia (ANU), itu menekankan pentingnya penyadapan Satelit Palapa. “Anda tidak bisa menembus sirkuit informasi dan melancarkan perang informasi dengan sukses jika Anda tidak memasuki komunikasi komando tertinggi sejumlah negara di kawasan,” kata Ball.

Adapun kerja sama antara Direktorat Sandi Australia dan NSA dapat dilakukan lantaran ‘Negeri Kanguru’ itu masuk lingkaran ‘FVEY’ (5-Eyes) atau lima negara yang memiliki peran penting dalam kerja sama intelijen dengan AS. Ball menjelaskan bahwa Australia dijadikan basis oleh AS untuk memantau lalu lintas data, informasi, dan telekomunikasi khusus di lingkar Asia Pasifik.

Untuk bisa menempuh aksi tersebut, terang Ball, ‘Negeri Kanguru’ mengandalkan empat fasilitas supercanggih yang menjadi bagian dari program X-Keyscore, sebuah sistem komputer milik NSA yang berfungsi mencari dan menganalisis hampir semua jenis kegiatan pengguna internet, termasuk surat elektronik, penjelajah dunia maya, dan media sosial.

Fasilitas-fasilitas supercanggih Australia meliputi Pine Gap di dekat Alice Springs, Shoal Bay di dekat Dar win, stasiun satelit di pinggiran Ge raldton di Australia Barat, dan sebuah pusat pemantauan baru di Canberra. Ball mengatakan keempat fasilitas spionase tersebut dapat memantau komunikasi sipil serta militer dari kawasan Pasifik tengah hingga wilayah Samudra Hindia.

Ketika dimintai komentar mengenai penuturan Ball, juru bicara media Kedutaan Besar Australia di Jakarta, Ray Marcello, menolak membahas operasi intelijen. “Kedutaan Australia tidak akan memberikan komentar dan tanggapan mengenai masalah penyadapan,” ungkapnya.

Ini 5 Rencana TNI bikin Jakarta aman dari serbuan asing


Kepala Staf TNI Angkatan Darat (KSAD) Jenderal TNI Budiman dan Wakil Menhan Sjafrie Sjamsoeddin beberapa waktu lalu bertemu dengan Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo. Mereka menyampaikan rencana TNI tentang strategi pertahanan yang tepat untuk Jakarta. 
Dalam pandangan TNI, sistem pertahanan nasional bukan hanya di daerah-daerah perbatasan dan daerah-daerah hutan tetapi daerah pada penduduk seperti DKI Jakarta juga harus dijaga ketat. Alasannya, Jakarta merupakan pusat pemerintahan dan pusat perekonomian nasional.
TNI AD telah melakukan kerja sama dengan Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo terkait tata ruang wilayah pertahanan di Jakarta. Selain itu, TNI AD juga akan menempatkan alat pertahanan di kota-kota besar sesuai dengan demografis wilayahnya. Berikut 5 rencana TNI untuk menjadikan Jakarta aman dari sisi pertahanan seperti dirangkum merdeka.com, Sabtu (2/11).

1. Penangkis serangan udara di gedung tinggi

TNI AD berencana memasang sejumlah alat utama sistem persenjataan (Alutsista) atau senjata penangkis serangan udara di atas gedung-gedung tinggi di Jakarta.

"Pada gedung tinggi bisa digunakan. Gedung yang ditentukan tempatnya bisa buat rata, sehingga bisa ditempatkan senjata penangkis udara," ujar KSAD Jenderal Budiman dalam acara operasi katarak dan bibir sumbing gratis memperingati hari Juang Kartika di Silang Monas, Jakarta Pusat, Jumat (01/11).


2. Gedung tinggi zona pendaratan helikopter

TNI berharap di gedung-gedung tertentu di Jakarta dapat juga digunakan sebagai zona pendaratan helikopter logistik yang membawa alat berat seperti radar dan sebagainya.

"Sehingga gedung tinggi ini harus dibuat kokoh, bisa dilandasi helikopter radar dan penembakan penangkis serangan udara," kata KSAD Jenderal Budiman.

Menurut dia, perang masa depan tidak seperti dulu, di hutan atau ditentukan di suatu daerah. Oleh sebab itu, Jakarta sebagai pusat pemerintahan perlu dijaga.

3. Pangkalan tank di bawah Monas

TNI berencana membangun pangkalan tank di bawah Monas. Diperkirakan luas pangkalan militer plus parkir bawah tanah dan pusat souvenir di bawah Monas sekitar 160 hektar. Namun detail bangunan seperti apa belum bisa disampaikan. 
"Pembangunan dimulai 2014 nanti. Di bawah monas nanti ada underpass strategi pertahanan saat kondisi darurat, yang saling berhubungan," ujar Jokowi.
Sebelumnya, Wakil Menteri Pertahanan (Kemhan) Sjafrie Sjamsoeddin menemui Jokowi. Keduanya membicarakan singkronisasi antara strategi penataan ibu kota dengan strategi pertahanan negara. 
Apalagi, September dan Oktober lalu, militer Indonesia bakal menerima ratusan tank berat. Tank itu bakal masuk Jakarta, lalu disebarkan di satuan operasional. Selain itu, militer juga bakal menerima roket jarak jauh untuk mengamankan ibu kota, serta sejumlah pesawat tempur dan puluhan tank amfibi.

4. Kemayoran untuk pendaratan pesawat tempur

Gubernur Jokowi akan menindaklanjuti koordinasi dengan Kementerian Pertahanan sehubungan penyediaan ruang bagi masuknya peralatan militer. Salah satu perubahan yang akan dilakukan adalah jalan di kawasan Kemayoran bisa dimanfaatkan untuk pendaratan pesawat tempur dengan sedikit mengubah tata ruangnya.
"Di Kemayoran bisa untuk pendaratan pesawat. Karena ada fly over nya itu nanti dipindah menjadi underpass sehingga nanti untuk pendaratan bisa dipakai darurat," kata Jokowi.

5. Marunda untuk jalur peralatan tempur TNI AL

Kawasan Marunda juga dibidik untuk membantu pertahanan melalui laut. Menurut Jokowi, ada lahan seluas 200 hektar di kawasan Marunda yang bisa digunakan untuk peluncuran amfibi. "Di Marunda itu luasnya lebih dari 200 hektar, sebagian wilayah pantainya itu juga nanti bisa digunakan untuk meluncurnya amfibi ke laut. Memang, hal-hal tersebut harusnya sudah kita rancang," kata Jokowi.

Pesan Untuk Musang Natuna

Deru dan gelegar 8 jet tempur canggih Sukhoi dan 6 jet tempur F16 di langit Batam tentu “terdengar nyaring” di jiran sebelah dan sebelahnya lagi.  Bahkan ribuan buruh yang lagi demo di Batam akhir Oktober lalu menghentikan teriakannya sejenak untuk mendongak keatas menyaksikan dan mengagumi. Selama 5 hari di penghujung Oktober dan awal Nopember 2013, Hang Nadim Batam menjadi home base latihan tempur khusus tentara langit Nusantara  bersama Tanjung Pinang, Pontianak dan Ranai Natuna.
Batam menjadi pangkalan aju Sukhoi, F16, Hawk skuadron Pekanbaru.  Pontianak menjadi pangkapan aju Super Tucano dan Hawk tuan rumah. Sementara 7 Hercules diterbangkan langsung dari Halim membawa ratusan tentara untuk diterjunkan ke Natuna.  Materi latihan tentu bermacam menu dan biarlah itu menjadi urusan rumah tangga AU mau mendapat ponten berapa. Tapi kita sebagai penonton secara visual bisa melihat betapa lumatnya sasaran yang dijadikan target penghancuran oleh jet-jet tempur tadi.
Jet tempur Sukhoi dan rudalnya di langit Natuna
Sudah tentu kurikulum latihan matra udara paling bergengsi itu diintip dan dipantau oleh jiran sebelah dan sebelahnya lagi. Singapura dan Cina sangat diyakini ikut memantau gerakan tentara dan jet-jet tempur RI itu dengan mata telinga elektronikanya.  Tak apa-apa, ini akan semakin memberikan kesan dan pesan pada “musang-musang” itu bahwa TNI mampu memperlihatkan dan menjalankan pertempuran modern dengan alutsista setara. 
Show of Force untuk tetangga sebelah Batam diperlukan karena ini menyangkut kewibawaan. Termasuk untuk warga Batam Riau bahwa payung dan persenjataan dirgantara di atas mereka siap melindungi ummatnya setiap saat. Penting juga untuk dipesankan bahwa mereka adalah merah putih. Soalnya warna keseharian warga perbatasan adalah lintas batas dalam interaksi eknonomi. Sekedar mengingatkan.
Pesan untuk musang Natuna jelas, jangan bermain api dengan teritori NKRI.  Musang yang dimaksud adalah singkatan dari musuh anggapan, sebuah nama sandi militer untuk sebuah negara yang menjadi musuh simulasi.  Beberapa waktu lalu musuh simulasi itu bernama Sonora tanpa ada kepanjangannya, sehingga dipersepsikan macam-macam. Musang yang ini pun bisa dimaknai dengan “musuh sang naga” atau “musuh sangar” atau tetangga yang berwatak musang.  Yang jelas untuk wilayah Natuna dan sekitarnya kita berhadapan dengan kekuatan multi kelas.  Ada kelas Naga, ada kelas Singa dan ada kelas Jaguh. Tidak usah dijelaskan lagi karena diskusi forum militer sudah memahami terutama pada kelas yang terakhir itu.
Hasilnya, melumat musang Natuna
Banyak hal yang bisa dicatat dalam latihan ini. Inilah untuk pertama kalinya diperlihatkan kepada khalayak bahwa persenjataan Sukhoi tidak lagi sekedar kanon dan bom P100. Tetapi juga sudah memiliki tentengan rudal-rudal mautnya.  Ada rudal R73, R77, Kh31A, Kh31P dan S8 yang made in Rusia itu, sehingga memberi kesan gentar dan getar.  Catatan lain adalah adanya sorti pertempuran udara yang tentu bernuansa mencekam karena kemampuan first look, first shot dan first kill menjadi kejaran prestasi untuk pilot kita bersama keunggulan teknologi radar dan rudalnya.  Pertempuran udara modern saat ini dan seterusnya sesungguhnya adalah uji keunggulan teknologi radar, jarak tembak dan kecepatan rudal serta militasi pilot jet tempur.
Sebagai evaluasi untuk kondisi kepemilikan dan jenis alutsista TNI AU saat ini dibandingkan dengan luas wilayah dan spektrum ancaman maka harus diakui kekuatan pukul alutsista udara kita masih belum memadai.  Satu skuadron Sukhoi yang dimiliki saat ini belum mencukupi nilai gizi kegaharan pengawal dirgantara.  Meski tahun depan akan ada penambahan 24 jet tempur F16 dan melengkapi kekuatan penuh satu skuadron Golden Eagle dan Super Tucano, tetap belum disebut gahar. Oleh sebab itu masih diperlukan minimal 1-2 skuadron Sukhoi Family lagi untuk memastikan kewibawaan itu.  Apalagi jika dikaitkan dengan kehadiran F35 yang mulai tahun depan di kawasan ini. Dan kita meyakini bahwa dalam program MEF tahap 2 nanti kekuatan pengawal dirgantara bersama dua matra angkatan lainnya akan semakin bagus dan berotot.
Intensitas latihan militer yang dilakukan Indonesia selama dua tahun terakhir ini adalah memastikan tingkat kesiapsiagaan yang tinggi untuk menjaga kepemilikan medan teritori.  Lebih dari itu adalah untuk mengingatkan negara manapun untuk tidak mengusik teritori Indonesia.  Kampanye militer dengan mengerahkan berbagai alutsista untuk diperdengarkan dan diperlihatkan bunyi musik amunisi dan dentumannya. Menenggelamkan kapal perang dengan rudal Yakhont dari jarak 200 km yang membuat para musang terperangah. Membumihanguskan dan mendemonstrasikan teknologi persenjataan yang dimiliki adalah pesan militer yang jelas dan tegas.  Pesan yang hendak disampaikan kepada para musang lewat dentuman, deru, gelegar dan manuver di wilayah perbatasan sesungguhnya adalah rangkaian kalimat yang kira-kira berbunyi seperti ini: anda sopan kami sapa, anda maju  kami sapu.