Langit
Natuna, Kepulauan Riau, seperti robek oleh suara keras. Enam “elang
besi” Hawk 100/200 menderu, meliuk-liuk sambil menjatuhkan bom berbobot
ratusan kilogram. Sasarannya satu objek di sebuah pulau kecil.
Dari arah lain melintas tiga pesawat F-16. Empat bom meluncur ke sasaran.
Tak lama, muncul pula tiga pesawat Sukhoi SU-27/30. Di tiap tubuh
pesawat garang itu, tersemat 6 bom yang lalu dilepas menumbuk sasaran.
Bak kelincahan seekor alap-alap, Sukhoi terakhir melontarkan puluhan
roket. Sasaran pun hancur lebur.
Asap membubung tinggi. Tapi serangan belum berakhir. Sebagai penutup,
tiga pesawat EMB-314 Super Tucano melintas. Bom kembali berjatuhan.
Di atas sasaran yang remuk redam itu, melintas tujuh pesawat C-130
Hercules. Ia terbang tenang dikawal dua Sukhoi 27/30 bersenjata rudal.
Dari lambung pesawat, ratusan personel Pasukan Khas Angkatan Udara
melompat terjun. Di darat kelak, mereka bertugas menyapu sisa-sisa musuh
yang menguasai objek vital di Natuna, wilayah Indonesia yang berbatasan
dengan Laut China Selatan yang sedang disengketakan lima negara itu.
Inilah aksi penutup Latihan Operasi Udara dengan sandi “Angkasa Yudha
2013” yang digelar di Pulau Natuna, pada Kamis 31 Oktober 2013 lalu.
Kepala Staf Angkatan Udara Marsekal TNI Ida Bagus Putu Dunia mengatakan,
latihan ini untuk membina kemampuan dan kekuatan TNI AU, agar lebih
siap siaga menghadapi kontijensi.
Yang jadi “bintang” saat itu boleh dibilang enam Sukhoi yang terbang
dari Lapangan Udara Hasanuddin di Makassar. Total ada 16 Sukhoi
bermarkas di Makassar, membentuk Skuadron Udara Tempur 11.
Ini semacam kebangkitan skuadron tempur wilayah Timur Indonesia setelah
lama kekuatannya bolong. Pesawat tempur bercat dasar abu-abu terang
bercampur loreng abu-abu tua ini terdiri atas dua macam, yakni SU 27 SKM
dan SU30MK2. Pembeda utamanya adalah SU 27 hanya punya satu kursi
pilot, sementara saudaranya punya dua kursi pilot.
Saat VIVAnews mendatangi Markas Skuadron, Kamis 31 Oktober pagi, tampak
hanya 10 Sukhoi terparkir. Enam lainnya sedang beroperasi di Natuna. Di
kantor dan gedung teknisi yang berada di samping pesawat tempur
diparkir, tampak sebuah spanduk besar terpampang bertuliskan, “Siapkan
pesawat sebaik-baiknya seolah-olah hari ini ada perang”.
Perang itu memang masih jauh. Tapi, personel di Skuadron 11 berlatih
keras setiap hari, minimal 8 jam. Pesawat diistirahatkan meski tetap
siaga antara Jumat sampai Minggu saja. Pagi, sebelum memulai latihan
(training air), para petugas dan pilot terlebih dahulu apel siaga.
Teknisi sudah terbagi-bagi ke dalam beberapa bidang, selalu memastikan
pesawat dalam keadaan siaga penuh.
Persenjataan terbaru yang terpasang di pesawat adalah kombinasi jenis
Air to Air to Ground. Sukhoi bisa menyergap di udara dengan daya jelajah
jauh. Ia juga mampu serang target di darat dengan peluru kendali atau
bom pintar. Dia bisa membawa rudal udara ke udara RVV-AE active radar
homing, rudal udara ke permukaan KH- 29T(TE), KH-29L, KH-31P, KH-31A dan
bom pintar jenis KAB 500Kr dan KAB-1500Kr.
Yang lebih asyik, Sukhoi SU 27SKM dan SU30 MK2 ini telah dilengkapi
instrumen isi ulang bahan bakar di udara. Jadi, kemampuan jelajah
tempurnya kian jauh.
Jelas, kecanggihannya tak kalah dengan F15 SG milik Singapura atau Super
Hornet milik Australia. Di udara, bisa ofensif, namun juga bisa
menghancurkan sasaran di laut dan darat. Sempurna untuk patroli udara
untuk menjaga kedaulatan wilayah dan menghancurkan sasaran strategis
musuh.
Minimum Essential Force
Dua di antara 16 Sukhoi di Makassar ini tiba dari Rusia pada Rabu malam,
4 September 2013, genap jadi lima unit Su-27 SKM dan sebelas unit Su-30
MK. Pesawat-pesawat tempur ini diterima dari Pemerintah Rusia/JSC
Rosoboronexport oleh Menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro. Ini kiriman
ketiga tahun ini.
Sukhoi menjadi andalan, karena di saat alutsista Indonesia mulai menua
di akhir 1990-an, Amerika Serikat yang menjadi pemasok utama
meng-embargo Indonesia akibat pelanggaran hak asasi manusia di zaman
orde baru berkuasa.
Itu sebabnya, saat menjadi Presiden pada 2001, Megawati Soekarnoputri
melirik Rusia. Negeri beruang salju itu dipilih sebagai alternatif
mengganti armada yang menua. Pada 2004, sejumlah Sukhoi pun mendarat di
Lanud Iswahyudi, Madiun. Megawati pun seperti mengulang sejarah ketika
ayahnya, Soekarno, membangun armada udara Indonesia dengan mengandalkan
pesawat-pesawat tempur buatan Uni Soviet.
Saat perayaan Ulang Tahun TNI ke-68 di Lapangan Udara Halim
Perdanakusumah, 5 Oktober 2013, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
menyatakan kekuatan alat utama sistem pertahanan (alutsista) akan
meningkat signifikan hingga akhir tahun 2014. Untuk memodernisasi
alutsista sekaligus meningkatkan kualitas sistem pertahanan RI,
pemerintah telah menjalin kerjasama dengan industri pertahanan di dalam
dan luar negeri, kata Presiden.
Sejumlah negara pada akhir Oktober lalu membeberkan kerjasama
pertahanannya dengan Indonesia. Indonesia bekerjasama dengan
negara-negara di kawasan Asia, Amerika sampai benua Eropa.
Wakil Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin menyatakan, pengalaman
embargo militer AS atas Indonesia pasca-1998 menjadi pelajaran untuk
tidak menggantungkan persenjataan pada satu negara saja. Kekuatan
pertahanan nasional akan dibangun dengan mengambil teknologi dari
berbagai negara. Tak lupa, industri strategis dalam negeri diperkuat,
seperti PT Dirgantara dan PT Pindad.
Kepala Dinas Penerangan TNI Angkatan Udara, Marsekal Madya Hadi
Tjahjanto, menyatakan, pembelian pesawat ini dipatok sampai 2024. Total,
ada 102 pesawat yang akan didatangkan, antara lain 16 unit Sukhoi, 24
unit F16 dari Amerika Serikat, skuadron T50 buatan Korea Selatan untuk
menggantikan Hawk buatan AS, 8 unit pesawat latih G120PP buatan Jerman,
16 unit pesawat Embraer Supertucano buatan Brasil, 9 unit CN295 dari
Spanyol, 4 unit Hercules hibah dari Australia dan sejumlah helikopter
Fennec dari Prancis. “Semua Pesawat ini akan didatangkan secara
bertahap,” kata Hadi.
Dari Rusia, selain membeli Sukhoi, Indonesia juga mendatangkan kendaraan
tempur laut dan amfibi, helikopter serang MI-35, helikopter serbu MI-17
dan tak lupa, peluru kendali.
Sjafrie menyatakan, alutsista Rusia jadi ‘idola’ karena menjawab
kebutuhan minimum essential force (MEF). ”Yang kedua, harganya
kompatibel. Ketiga adalah dia tak punya prasyarat politik,” kata mantan
Kepala Pusat Penerangan TNI itu.
Anggaran modernisasi dan perawatan alutsista TNI sampai akhir tahun 2014
ini tercatat Rp 99 triliun, dan Kementerian Pertahanan masih
membutuhkan tambahan anggaran Rp 57 triliun. “Kami prioritaskan mencari
alutsista bergerak seperti pesawat temput dan tank. Sementara alutsista
yang tak bergerak seperti radar,” kata Menteri Pertahanan Purnomo
Yusgiantoro.
Dengan anggaran sebegitu besar, Sjafrie Sjamsoeddin menyatakan, kekuatan
armada udara ini baru akan mendekati minimum essential force yang
dipatok sampai 2019. “Bagaimana kita bisa memiliki kemampuan minimal
agar kita bisa memiliki suatu daya pukul yang dahsyat dan juga mobilitas
yang tinggi,” kata Sjafrie.
Dari mana duit itu berasal? Angka lebih dari Rp 150 triliun itu salah
satunya didapatkan dengan pinjaman luar negeri US$ 6,5 miliar dolar.
”Jadi yang kita pergunakan kurang lebih 4 miliar dolar, artinya kurang
lebih 41 triliun. Sisanya kita mesti jadikan semacam cadangan untuk
dipergunakan pada prioritas kedua. Sekarang prioritas pertama dulu,”
kata Sjafrie.
Lima tahun ke depan, setelah armada udara tempur nyaris lengkap,
prioritas berikutnya penambahan Radar. Soal alat ini, Indonesia memang
gawat. Ada radar yang tidak berfungsi 24 jam. Tapi sekarang, ”radar
untuk kawasan barat sudah ter-cover, secara kuantitas. Kemudian kawasan
timur yang kemudian akan kita isi segera,” kata Sjafrie.
Kadispen TNI AU menambahkan, rencananya radar ini akan ditempatkan di
Singkawang, Kalimatan Barat; dan Tambolaka, Nusa Tenggara Timur. “Dengan
radar ini pesawat asing bisa dideteksi,” kata Hadi.
Perlu transparansi
Dengan lengkapnya satu skuadron Sukhoi di pangkalan Makassar, Indonesia
boleh sedikit sumringah. Tapi Direktur Program di Research Institute for
Democracy and Peace (Ridep), Anton Aliabbas, menyatakan pengadaan
Sukhoi perlu dicermati karena belum teruji.
Kata Anton, Sukhoi memang hebat secara teknis namun dikenal boros bahan
bakar. Lalu persenjataan dan amunisi juga belum jelas. Sehingga,
”kualitas kita belum tahu,” kata jebolan Defence Studies Crankfield
University, Inggris, itu.
Anton setuju, hingga 2024, Indonesia fokus pada penyediaan alutsista
dulu. Baru setelah itu membangun industrinya sendiri. Dia melihat ada
kebutuhan memperkuat sistem pertahanan udara segera. Di Jakarta saja,
misalnya, Anton melihat penurunan sistem pertahanan udara.
“Dulu di zaman (Presiden) Soekarno, kita punya berbagai terminal rudal
di Jakarta. Dulu ada di Priok dan Tebet. Namun sekarang tidak ada bekas
(terminal rudal). Sekarang malah jadi perkampungan penduduk,” kata
Anton.
Tapi di balik kegagahan meliuk di langit nusantara, pengadaan jet tempur
yang masuk dari bagian paket proyek alutsista berongkos total hingga Rp
150 triliun itu perlu transparansi. Apalagi, kata dia, untuk jangka
menengah, lebih dari Rp 400 triliun disiapkan negara guna mempercanggih
senjata.
Anton menilai upaya pemerintah melengkapi alutsista TNI itu adalah
langkah bagus. Apalagi pasokannya melibatkan berbagai negara. Persaingan
Rusia, Amerika Serikat, Korea Selatan, dan China harus dimanfaatkan
untuk pembangunan alutsista.
Tapi, agar jet tempur itu tak jadi persoalan di dalam negeri,
pengadaannya mestilah transparan, dan menghindari tangan broker.
“Dokumen transaksinya lebih baik terbuka, kalau perlu melibatkan Komisi
Pemberantasan Korupsi,” ujar Anton.(np)
Dari Rusia ke Langit Indonesia
Cocok dengan Indonesia. Tinggal soal alih teknologi.
Jakarta merapat ke Moskow. Jet tempur Sukhoi seri terbaru bakal meraung
di langit Indonesia. Bukan hanya di awang tapi juga di tanah. Kendaraan
tempur dan rudal juga bakal dibeli dari sana. Indonesia dan Negeri
Beruang Merah itu juga bakal bekerjasama. Dalam banyak soal.
Negeri kita memang pasar yang subur. Dan itulah sebabnya, dalam dekade
terakhir, Rusia rajin menyambangi pameran pertahanan Indonesia. Mereka
juga rajin hadir pada pameran dirgantara.
Meski sudah masuk dalam kelompok elit G20, Indonesia dipandang belum
memiliki alutsista yang memadai. Dalam pameran Indo Defence, Indo
Aerospace and Indo Marine Expo & Forum, yang rutin berlangsung di
Kemayoran, Jakarta, delegasi Rusia selalu menjadi penghuni anjungan yang
luas.
Mereka memamerkan rupa-rupa model persenjataan. Dari prototipe pesawat
tempur, helikopter militer, radar, hingga senapan serbunya yang sudah
mendunia, Kalashnikov (AK).
Pada setiap pameran dua tahunan itu, terakhir pada awal November 2012,
anjungan Rusia selalu ramai dikunjungi. Dari warga biasa hingga para
petinggi militer. Pameran itu menghadirkan 500 peserta dari 40 negara.
Dikunjungi 20.000 orang.
Seperti di pameran-pameran sebelumnya, produk-produk senjata Rusia di
Indo Defence 2012 banyak disanjung. Saat mengunjungi pameran itu, Wakil
Kepala Staf TNI Angkatan Laut, Laksamana Marsetio, terkesan akan
ketangguhan mesin-mesin perang dari Negeri Beruang Merah.
Dia menegaskan bahwa tank amfibi buatan Rusia, PT-76, sampai kini masih
dipakai oleh TNI. Padahal usianya sudah 50 tahun. "PT-76 ini masih kami
pakai sejak 1962," kata Laksamana Marsetio, yang sejak Desember 2012
naik jabatan menjadi Kepala Staf TNI Angkatan Laut.
Pertama kali diproduksi pada awal dekade 1950an, PT-76 menjadi tank
ringan amfibi standar bagi militer Uni Soviet dan negara-negara anggota
Pakta Warsawa. Menurut laman Main Battle Tanks, PT-76 dipakai 25 negara.
TNI masih memakai tank ini, seperti diungkapkan Laksamana Marsetio. Di
jajaran TNI Angkatan Laut, PT-76 merupakan aset yang dipakai oleh Korps
Marinir, spesialis operasi militer dari laut ke darat.
Di dunia internasional, digunakan pada berbagai perang besar - seperti
Perang Vietnam dan Perang Arab-Israel. PT-76 diakui kalangan pengamat
sebagai tank amfibi yang populer karena memiliki desain yang sederhana.
Efektif. Mampu dipakai di medan-medan berat.
Itulah sebabnya PT-76 menjadi salah satu simbol sukses Soviet, dan kini
Rusia, dalam memproduksi tank maupun kendaraan lapis baja. Selain itu
masih ada tank-tank tempur legendaris lain era Soviet, seperti T-62 dan
T-72.
Ingin meneruskan kejayaan Soviet, Rusia pun gencar memproduksi
kendaraan-kendaraan lapis baja baru. Salah satu andalan mereka saat ini
adalah kendaraan tempur (ranpur) BMP3. Ini merupakan ranpur amfibi yang
bergerak lebih lincah dari tank-tank terdahulu dan mampu mengangkut
hingga tujuh personel serta bisa dikendalikan tiga orang.
Keunggulan itulah yang membuat Indonesia memperkuat militernya dengan
membeli kendaraan tempur BMP3 seri F. Dibuat oleh perusahaan
Kurganmashzavod, Indonesia telah memiliki 17 unit BMP3-F pada 2008 dan
berencana menambah 37 unit lagi untuk memperkuat Satuan Marinir TNI-AL
Seorang prajurit Marinir TNI-AL, Guntur Pasaribu, mengungkapkan
kelebihan BMP-3F. "Korps Marinir Indonesia sangat berpengalaman
mengendalikan tank-tank buatan Rusia, mulai dari PT-76 sampai BMP-3F.
Menurut pengalaman kami, tank-tank dari Rusia sangat memuaskan," kata
Pasaribu seperti dikutip media Rusia, RBTH.
Alternatif AS
Bukan cuma soal alat tempur, Indonesia dan Rusia juga bekerjasama dalam
latihan militer. Juga membangun proyek patungan alutsista. Dan
sesungguhnya, kerjasama kedua negara bukan hal baru.
Ketika masih berbentuk Uni Soviet (USSR), Rusia sudah menjual
persenjataan ke Indonesia, tidak lama setelah kedua negara membuka
hubungan diplomatik pada 1950. Pada masa-masa awal itu, banyak pula
personel angkatan laut dan udara dikirim ke Uni Soviet. Mereka sekolah
di sana.
Hubungan itu terganggu pertengahan dekade 1960an karena alasan politis.
Kedua negara kembali melanjutkan hubungan di awal dekade 1990an, meski
baru efektif beberapa tahun kemudian. Contohnya, pembicaraan soal
jual-beli jet tempur Rusia Sukhoi-30 ke Indonesia berlangsung sejak
1997. Namun jual-beli itu baru disepakati pada 2003.
Hubungan itu kembali terajut, setelah renggangnya Indonesia dengan
Amerika Serikat di akhir dekade 1990an. Kerenggangan itu muncul setelah
Washington menjatuhkan embargo penjualan senjata ke Jakarta karena
menilai Indonesia saat itu melanggar Hak Asasi Manusia di Timor Timur,
yang kini bernama Timor Leste sejak menjadi negara berdaulat pada 2002.
Embargo senjata AS ke RI itu, berikut suku cadang, berlangsung selama
1999-2005. AS mengakhiri embargo ketika Presidennya saat itu, George W
Bush, menganggap Indonesia termasuk mitra penting memerangi terorisme.
Setelah mencabut embargo, AS pun terlihat aktif menawarkan mesin-mesin
perangnya kepada Indonesia. Pada 2011, AS sepakat mengirim 24 unit jet
tempur bekas tipe F-16 seri C/D blok 25 kepada Indonesia secara
cuma-cuma, kecuali untuk biaya pemutakhiran (upgrade).
Pada akhir 2012, AS dan Indonesia berunding untuk jual-beli helikopter
serbaguna UH-60 Black Hawk dan helikopter tempur AH-60D buatan Boeing.
Namun, belajar dari embargo AS itu, Indonesia membuka pintu kerjasama
seluas-luasnya kepada negara lain, termasuk Rusia, agar tidak lagi
bergantung kepada satu pihak dalam pengadaan alutsista. Maka, sejak itu,
Indonesia tidak hanya kembali berbisnis senjata dengan AS, namun juga
mempererat kerjasama serupa dengan Rusia.
Maka, Indonesia dan Rusia bersepakat soal jual beli jet tempur dan
mesin-mesin perang lain. Sejak 2003, Rusia telah mengirim 12 unit jet
tempur Sukhoi ke Indonesia dan pengiriman empat unit lagi masih menunggu
persetujuan lebih lanjut.
Moskow pun telah menjual sejumlah helikopter militer Mi-35 dan Mi-17
kepada Jakarta. Alutsista lain yang dijual Rusia ke Indonesia adalah
kendaraan tempur lapis baja BMP-3F, kendaraan pengangkut personel
BTR-80A, serta senapan serbu AK-102.
Untuk membeli persenjataan itu, Moskow pada 2007 memberi fasilitas
kredit sebesar US$ 1 miliar kepada Jakarta. Kerjasama pertahanan di luar
jual-beli persenjataan juga telah berlangsung, seperti menggelar
latihan bersama memerangi perompak di laut antara pasukan Indonesia
dengan Rusia pada 2011.
Baru-baru ini pun Rusia menawarkan bantuan ke Indonesia membangun sistem
pertahanan udara. Saat ini, Indonesia hanya memiliki rudal-rudal
pertahanan SAM (surface-to-air missile) jarak dekat.
Viktor Komardin dari perusahaan ekspor senjata-senjata Rusia,
Rosoboronexport, mengungkapkan bahwa Moskow akan menjual perangkat
sistem SAM sekaligus membantu Indonesia bila tertarik mempersiapkan
jaringan pertahanan udara.
Malaysia, katanya, sudah membentuk suatu sistem pertahanan udara
terintegrasi. "Tapi Indonesia belum memilikinya. Padahal sistem
pertahanan ini penting dimiliki Indonesia," lanjut Komardin seperti
dikutip kantor berita Russian Beyond the Headlines.
Alih Teknologi
Namun kerjasama ini tidak berlangsung sangat mulus. Kepala Komunikasi
Publik Kementerian Pertahanan RI, Brigjen TNI Sisriadi, mengatakan
kerjasama pertahanan antara RI dengan Rusia masih terbentur pada adanya
alih teknologi yang harus menyertai setiap pembelian alutsista dari
sana. Keharusan itu termuat dalam UU No. 16 tahun 2012 tentang industri
pertahanan.
Dalam UU itu tertulis setiap pembelian sistem senjata dari luar negeri,
wajib ada konten lokal. Bentuknya, antara lain pelatihan, kerja sama
pembuatan, dan kerja sama operasi. Hal itu diungkap Sisriadi, ketika
dihubungi VIVAnews, Jumat 1 November 2013.
"Setelah adanya UU Industri Pertahanan No. 16 Tahun 2012 itu, maka kami
mengganti format pertemuan bilateral yang selalu dilakukan setiap tahun
dengan Rusia. Kami menyampaikan kepada mereka bahwa pembelian produk
alutsista dari negara mana pun harus disertai alih pengetahuan dan
teknologi," ungkap Sisriadi.
Hingga saat ini, lanjut Sisriadi, pihak Rusia masih belum dapat memenuhi
inisiatif tersebut. Kendati begitu, pihak Kemhan tidak lantas
menghentikan kerjasama pertahanan dengan Negeri Beruang Merah. "Kami
masih akan terus mendorong Rusia supaya alih teknologi itu dilakukan,”
katanya.
Proses negosiasi itu, lanjutnya, sangat alot, karena mereka ngotot tidak
dapat memenuhi inisiatif RI. Rusia sendiri, ujar Sisriadi, tidak
mengungkapkan secara gamblang alasan di balik penolakan mereka melakukan
alih teknologi.
"Kemhan juga tidak tahu alasannya. Karena mereka tidak mengemukakan
alasannya. Tiap kali kami tanyakan, mereka malah kembali membahas
pinjaman yang ditawarkan Rusia kepada Indonesia," katanya.
Pinjaman negara yang dimaksud Sisriadi adalah dana pinjaman yang
ditawarkan Pemerintah Rusia untuk membeli peralatan alutsista dari
mereka. Nominalnya mencapai US$ 1 miliar atau Rp 11 triliun. Namun, kata
Sisriadi, dalam ada ketentuan, disebutkan bahwa pinjaman hanya dapat
membeli produk alutsista tertentu. “Mereka juga menyertakan daftar
belanja alutsista apa saja yang dapat kami beli,” ujarnya.
Dana pinjaman itu merupakan bagian dari kesepakatan kerjasama pertahanan
yang diteken oleh kedua Pemerintah sejak delapan tahun silam. Kedua
pucuk pimpinan yakni Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Vladimir
Putin telah menyepakati adanya dana pinjaman tersebut.
Dari dana yang ditawarkan senilai US$ 1 miliar, Kemhan baru menggunakan
sebagian dari dana tersebut untuk membeli pesawat jet tempur Sukhoi,
helikopter MI-17 dan MI-31 serta tank BMP-3F. Totalnya mencapai US$ 308
juta atau Rp 3,4 triliun.
Pesawat Sukhoi yang dibeli menggunakan dana pinjaman ini, merupakan
pesawat yang dikirimkan pada gelombang awal ke Indnesia. "Jadi bukan
pesawat Sukhoi baru yang dikirim pada September lalu ya. Kami membeli
itu menggunakan dana pinjaman dari bank swasta," ujarnya.
Total ada lima pesawat Sukhoi SU-27 SKM yang baru dikirim pada September
lalu dibeli dengan harga US$ 470 juta atau Rp 5,2 triliun. Kontraknya
ditandatangani oleh Kepala Baranahan Kemhan dengan Rosoboronexport Rusia
pada tanggal 29 Desember 2011 silam.
Lima pesawat jet tempur ini akan melengkapi 11 pesawat tempur Sukhoi
SU-30 MK2 yang sudah terlebih dahulu tiba di Indonesia dan berjumlah 11
unit.
Maka total pesawat Sukhoi yang dimiliki telah mencapai 16 unit atau satu
skuadron. Sementara untuk harga helikopter MI-17 dan MI-31, Sisriadi,
tidak menyebutkan harganya.
Ditanya VIVAnews apakah ada alutsista lainnya yang masih berniat dibeli
dari Rusia, Sisriadi menyebut hingga kini Kemhan masih belum ingin
menggunakan sisa dana yang ada untuk membeli alutsista lainnya. Mereka
tidak ingin melanggar UU yang berlaku.
Soal keunggulan pesawat jet tempur Sukhoi dari Rusia, Sisriadi menyebut
burung besi itu memiliki sistem sensor yang baik. "Endurance atau
jangkauan operasional jauhnya pun juga hebat sehingga bisa dioperasikan
untuk jarak jauh dan bisa kembali lagi. Selain itu sistem avionik yang
dimiliki Sukhoi juga bagus. Pesawat ini lincah di kelasnya, " papar
Sisriadi.
Ke depan, lanjut Sisriadi, untuk alutsista pesawat Sukhoi dirasa sudah
cukup. Pesawat tempur itu akan dicampur dengan F-16 yang juga sudah ada.
Sisriadi mengatakan pelajaran lain dari peristiwa embargo yang dipetik
Kemhan yakni jangan bertumpu kepada satu negara saja dalam mengandalkan
pembelian alutsista. Jadi ketika diembargo, masih ada alutsista lain
yang dapat digunakan.