Anak Keluarga Dokter
Abdulrachman Saleh
dilahirkan dari keluarga dokter yang mempunyai disiplin dan pendidikan
yang sangat kuat. Tepatnya Abdulrachman Saleh dilahirkan pada tanggal 1
Juli 1909, di kampung Ketapang (Kwitang Barat) Jakarta. Dan sebagai
penghormatan terhadap jasa-jasa beliau, pemerintah kemudian menetapkan
nama jalan tersebut menjadi jalan dr. Abdulrachman Saleh. Ayah beliau,
dr. Mohammad Saleh berasal dari Salatiga dan beristrikan seorang gadis
Jakarta yang bernama Ismudiati. Nama Mohammad Saleh cukup dikenal
sebagai seorang dokter yang sosiawan di kalangan masyarakat, khususnya
masyarakat kota Probolinggo. Beliau lulus menjadi dokter seangkatan
dengan dr. Sutomo tokoh nasional pendiri Budi Utomo.
Sejak kecil Abdulrachmaman Saleh dan
saudara-saudaranya selalu dalam asuhan ayah bunda dengan penuh kasih
sayang, tetapi mereka juga dibiasakan hidup tertib dan serba mandiri.
Keluarga Mohammad Saleh merupakan keluarga besar, sebelas orang
putranya, dua meninggal dunia waktu masih anak-anak dan sekarang hanya
tinggal sembilan orang. Putra dan putri keluarga Saleh mendapat didikan
disiplin yang kuat, sampai-sampai pada makananpun sangat menjadi
perhatian bagi keluarganya untuk pertumbuhan badan putra putrinya.
Pengetahuan merupakan prinsip utama bagi hari depan mereka. Tidak
kekecewaan yang beliau peroleh sebagai hasil jerih payah mendidik dan
memberi disiplin kepada putra-putranya. Memang hasil dari pendidikan
dan pengajaran yang ditanamkan di hati setiap putra-putranya membuktikan
kenyataan bahwa ketujuh putra-putrinya kesemuanya menjadi orang yang b
erguna bagi masyarakat.
Maman, demikian panggilan Abdulrachman
dari waktu kewaktu setiap hari hampir tiada waktu yang terbuang tidak
berarti, setiap waktu yang ada selalu dimanfaatkan untuk mengetahui
sesuatu. Putra ini mewarisi sifat ayahnya yang memiliki sifat periang
dan baik hati. Sejak kecil Maman dijiwai hidup dan sifat serba ingin
tahu terhadap sesuatu yang sangat menonjol. Setiap mainan pemberian
orang tuanya selalu ingin dibongkarnya, dan senantiasa bagian-bagian
mainan yang telah berserakan tak menentu, dapat dipasangnya kembali.
Hal ini sering menimbulkan kesal pada orang tuanya karena mainan yang
baru tidak pernah dibiarkan utuh dalam keadaan semula. Pembawaan sifat
serba ingin tahu yang dimiliki sejak kecil, kelak menjadi dasar bagi
sukses dalam hidupnya, sehingga menjadi tokoh yang all round.
Keluarga besar Marsekal Muda TNI Anumerta Abdulrachman Saleh
|
Ketika belum sekolah Maman kecil tempat
tinggalnya berpindah-pindah, karena keluarga Saleh mendarma baktikan
ilmunya kepada masyarakat dari kota yang satu pindah ke kota yang
lain. Tenaga dokter waktu itu sangat dibutuhkan dan jumlahnya sangat
sedikit sekali bila dibangdingkan masyarakat yang membutuhkan, karena
tidak adanya keseimbangan antara penderita dan dokter-dokter pribumi
maka keluarga saleh selalu berpindah-pindah. Semula dari Jakarta
dipindahkan ke Boyolali, Jawa Tengah, tak lama menempati kota ini
keluarga Saleh menuju Kolonedale, Sulawesi Tengah disusul lagi
kepindahannya ke Bondowoso, Pasuruan, Probolinggo.
Betruntunglah Maman yang dilahirkan dan
dibesarkan oleh keluarga yang berpandangan luas dan jauh kedepan, oleh
karena itu masalah pendidikan menjadi hal yang utama dalam keluarga
tersebut. Pendidikannya dimulai dengan Holland Indische School (HIS), Meer Urgebreid Lagere Onderwijs (MULO). Setelah lulus MULO maksudnya hendak melanjutkan studinya ke School Tot Opleding van Indische Artsen (STOVIA) di Jakarta, untuk mengikuti jejak ayahnya. Akan tetapi baru beberapa bulan ia masuk STOVIA, sekolah itu dibubarkan.
Pemerintah Belanda beranggapan bahwa
dasar sekolah ini kurang memenuhi syarat-syarat, karena untuk menjadi
dokter dibutuhkan dasar yang kuat dari Algemene Middelbare School
(AMS). Sekolahnya terpaksa dilanjutkan ke AMS Malang. Kecerdasan
dan kekuatan menghadapi sesuatu, merupakan modal bagi kelancaran
pelajarannya, sehingga Maman terkenal anak yang pandai di kelasnya.
Mengikuti Jejak Orang Tua.
Sebagai seorang dokter, bapak Mohammad
Saleh tentu menginginkan putra beliau melanjutkan cita-cita dan jejak
beliau. Ditambah pula lingkungan dan nilai-nilai sekolah lebih
mendorong pemuda Abdulrachman untuk terjun dalam bidang kedokteran.
Kegagalannya di STOVIA tidak menghambat cita-citanya. Setelah
menamatkan AMS dengan nilai-nilai yang gemilang, ia memasuki Geneeskundige Hooge School (GHS) di Batavia.
Masa-masa kemahasiswaannya, tidak
disia-siakan begitu saja. Beliau aktif di bidang kemahasiswaan, begitu
pula kegiatan-kegiatannya di luar fakultas. Ia bukan seorang
mahasiswa yang berjiwa text-book thinker. Jiwanya yang serba
ingin tahu mendorongnya untuk menyeburkan diri dalam
organisasi-organisasi atau perkumpulan-perkumpulan yang sangat sesuai
bagi dirinya. Bakatnya di bidang olahraga sangat besar. Waktu luang
diisinya dengan kegiatan-kegiatan dalam organisasi keolahragaan, dimana
ia dapat memupuk bakatnya.
Maman pernah menjadi anggota Indonesia
Muda. Dalam perkumpulan ini ia terjun dalam bidang olahraga atletik,
berlayar, anggar. Di samping perkumpulan olahraga, perkumpulan yang
bersifat sosial juga tidak luput dari perhatiannya. Sebelum masuk
dalam Kepanduan iapun menggabungkan diri dalam persatuan pemuda Jong Java yang bersifat kedaerahan dan ikut aktif pula di dalamnya.
Ketika Indonesische Padvinderij Organisatie
(INPO) berdiri, ia menyebutkan diri dalam perkumpulan itu. Pada tahun
1952 INPO diganti nama menjadi KBI (KepanduanBangsa Indonesia).
Peleburan ini dilakukan untuk mengganti nama Belanda dengan nama
Indonesia. Organisasi Kepanduan ini pun menuntut segenap
perhatiannya. Di kalangan KBI ia disayangi karena keramahannya dan
keuletannya, dan juga disegani oleh anggota-anggota lainnya karena
sifatnya yang berdisiplin. Akhirnya ia menjadi seorang pemimpin yang
berwibawa dalam Kepanduan. Bakat-bakat kepemimpinanannya kelihatan
makin nayata. Dengan sifat yang tegas dan progresif sebagai pemimpin,
Maman juga sanggup memberantas segala sesuatu yang kurang baik dalam
organisasi Kepanduan. Hal-hal yang tidak pada tempatnya selalu
diusahakan untuk menjadi lebih teratur. Ia juga tidak segan-segan
mengoreksi sesama kawan yang menyeleweng atau kurang disiplin. Untuk
ini teman-teman sekepanduan lebih menyukai menyebut pemuda Abdulrachman
dengan Karbol. Karbol asalnya dari Krullebol yang waktu perpeloncoan
disebut Karbol.
Sebelum Perang Dunia II, terdapatlah
suatu Aeroclub di Jakarta bertempat di Kemayoran yang merupakan
perkumpulan olah raga terbang. Anggotanya sebagian besar hanya terdiri
dari bangsa Belanda. Biaya untuk masukpun dalam perkumpulan tersebut
sangat tinggi, sehingga pemuda-pemuda Indonesia banyak yang tidak mampu
menjadi anggota.
Bidang penerbangan ini mulai menarik
baginya. Berkat kemauannya yang keras, dan semangat pantang mundur
dalam bersaing dengan pemuda-pemuda Belanda, akhirnya brevet terbang
dapat diperolehnya.
Selama masa kemahasiswaan yang
dilaluinya dari tahun ketahun, di samping belajar untuk menjadi dokter,
ia juga mengembangkan keterampilannya dalam bidang-bidang lain sehingga
ia sungguh-sungguh menjadi orang yang all-round.
Sudah menjadi tradisi bagi keluarga dr.
Saleh yang menurun dari ayah kepada putra-putranya, bahwa sebelum
mengakhiri masa belajarnya, mereka telah melangsungkan perkawinan
terlebih dahulu. Dalam tahun 1933 Maman memasuki kehidupan berumah
tangga dengan gadis pilihannya bernama Ismudiati, seorang pendidik yang
berasal dari Purworejo. Perkenalannya dimulai di rumah Dr. Mardjono
di Probolinggo, dari perkawinan ini lahirlah dua orang putra yang
bermana Pandji Saleh dan Triawan Saleh.
Setelah memperoleh gelar dokter, ia memperdalam pengetahuannya di
bidang ilmu faal. Dokter muda ini termasuk mahasiswa yang pandai,
sehingga terpilih menjadi asisten dalam ilmu faal, mula-mula dosen pada
NIAS, Surabaya, dan akhirnya iapun menjadi dosen pada Perguruan Tinggi
Kedokteran di Jakarta, dan kemudian menjadi guru besar di Klaten sampai
wafatnya.
Pendiri Radio Republik Indonesia (RRI)
Dalam tahun 1934 berdirilah perkumpulan yang menamakan dirinya Vereniging voor Oosterse Radio-Omroep (VORO)
di mana salah satu pelopor dari perkumpulan tersebut adalah dr.
Abdulrachman Saleh. Tujuan perkumpulan ini menyiarkan
kesenian-kesenian ketimuran. VORO mempunyai pemancar sendiri
berkekuatan 40 watt dengan gelombang 88 meter.
Pada tahun 1936 pemimpin VORO berpindah
dari tangan Gunari ketangan dr. Abdulrachman Saleh. Sejak waktu-waktu
itu VORO mengalami kemacetan dalam bidang keuangan, karena itu studio
berpindah tempat mencari sewa yang semurah-murahnya. Mula-mula studio
bertempat di Kramat 81 kemudian pindah ke jalan Menteng 20. Sejak
tahun 1937-1942, kemajuan VORO bertambah besar, ini berkat kegiatan dr.
Abdulrachman Saleh yang besar bantuannya dalam bidang tehnik dan
keuangan.
Setelah Pearl Harbor di bom pada tanggal
7 Desember 1941, seluruh daerah Asia Tenggara secara berangsur-angsur
berpindah kekuasaannya ke tangan “Dai Nippon”. Indonesiapun sebagai
daerah yang strategis letaknya, lagi pula kaya akan bahan-bahan mentah
tak luput menjadi calon batu loncatan bagi Jepang untuk menyerbu
Australia. Pemerintah Belanda di Indonesia dioper oleh Balatentara
Jepang. Pada masa Jepang dr. Karbol bekerja sebagai pengajar pada
Perguruan Tinggi Jakarta. Keaktifannya di luar perguruan tinggi pada
masa Jepang, ikut dengan mahasiswa-mahasiswa dalam latihan militer pada
PETA Jakarta.
Tanggal 14 Agustus 1945 adalah saat
kekalahan Jepang setelah mengalami pemboman atom di Hirosima.
Kekalahan Jepang berarti berakhirnya penjajahan dan penindasan bangsa
lain terhadap bangsa Indonesia. Pemuda bersama seluruh rakyat bangkit
melucuti sisa-sisa tentara asing yang masih tinggal. Tidak ketinggalan
pemuda-pemuda pegawai Kantor Radio Jepang juga merasa wajib untuk ikut
berjuang dan membentuk suatu gerakan rahasia untuk menguasai kantor itu
karena radio merupakan mass media yang utama. Gerkan ini diketahui
oleh Kempetai (dinas rahasia Jepang), sehingga proklamasi kemerdekaan
yang diucapkan atas nama Sukarno-Hatta pada tanggal 17 Agustus 1945 pada
pukul 10 pagi, tidak dapat langsung disiarkan. Penyiaran proklamasi
terpaksa tertunda untuk beberapa jam lamanya.
Untuk dapat menyiarkan proklamasi
kemerdekaan terpaksa pegawai-pegawai radio bagian tehnik termasuk Pak
Karbol menyalurkan siarannya melalui pemancar yang bergelombang 16
meter, yang berada di Bandung. Pemancar ini sudah agak lama tidak
dipakai, dahulu pemancar tersebut dipergunakan oleh Markas Balatentara
Jepang untuk memberi instruksi-instruksi kepada tentaranya yang tersebar
luas di seluruh pelosok Indonesia. Penggunaan siaran gelap ini
diketahui oleh Pemimpin Kantor Radio bangsa Jepang. Dua orang
Indonesia diminta pertanggungan jawabnya, yaitu Bachtiar Lubis dan
Jusuf Ronodipuro.
Ketika bertemu dengan pemuda Jusuf
Ronodipuro pada tanggal 18 Agustus 1945 menceritakan bahwa Hosokkyiku
(pusat siaran radio pendudukan Jepang di Jl Merdeka Barat) ditutup,
beliau bertekat membuat radio siran nasional. Pemancar berkekuatan 100
Watt segera dibuat dari ruang Laboratoriun Ilmu Faal, sejak tanggal 22
Agustus 1945 berkumandanglah “The Voice of Free Indonesia” atau “Radio
Suara Indonesia Merdeka”. Siaran ini dalam bahasa Indonesia dan
bahasa Inggris. Siaran Suara Indonesia Merdeka inilah yang menyiarkan
pidato Bung Karno sebagai Presiden Republik Indonesia untuk pertama
kalinya pada tanggal 25 Agustus 1945 dan Wakil Presiden Republik
Indonesia Bung Hatta pada tanggal 29 Asgustus 1945.
Kemudian penyiaran keluar negeri melalui
pemancar di Bandung untuk kedua kalinya dihentikan atas perintah Markas
Besar Tentara Sekutu di Timur Jauh. Kebutuhan untuk mengadakan
penyiaran keluar negeri dirasakan sangat besar manfaatnya, karena
adanya berbagai kendala yang berupa larangan penyiaran terpaksa
siaran-siaran dilakukan di luar studio. Dipelopori oleh dr.
Abdulrachman Saleh disiapkanlah pemancar-pemancar secara ilegal.
Berkat keahliannya dalam bidang tehnik, tak lama kemudian siaran radio
kita dapat mengudara dengan nama Radio Indonesia Merdeka dengan
gelombang 85 meter, tempatnya di sebuah Gedung di Jl Mentang Raja
Jakarta. Kemudian dengan berstudio di Perguruan Tinggi Kedokteran di
Salemba 6 (kini Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia), mulai
memancarlah siarannya di angkasa : Siaran Radio Indonesia Merdeka
keluar negeri dengan call : This is the Voice of Free Indonesia.
Waktu itu Balatentara Jepang dengan perasaan geram mencari-cari sumber
siaran kita diluar studio, namun usaha mereka tidak pernah berhasil.
Semua ini dapat berhasil dengan baik
berkat jerih payah dan daya upaya Pak Abdulrachman Saleh, yang
sebenarnya bukan seorang pemimpin dari Djawatan Siaran Radio. Tetapi
karena wataknya yang ringan tangan dan demi untuk kemerdekaan negara ia
mencurahkan tenaga dan pikirannya kepada perjuangan di bidang radio.
Dan berkat bimbingan Pak Karbol dengan dibantu oleh para aktivis radio,
dapatlah disusun dasar-dasar dari Radio Republik Indonesia pada tanggal
11 September 1945. Terkenal sebagai Triprasetya RRI yang merupakan testament Prof. Dr. Abdulrachman Saleh. Dan terkenallah semboyan RRI menantang segenap musuh revolusi : Sekali di udara tetap di udara.
Peran sebagai insan radio ini membawa
Profesor, Dr Abdulrachman Saleh sebagai ketua organisasi Radio Republik
Indonesia. Ketika stasiun radio setasiun radio sudah pindah kembali ke
Jl. Merdeka Barat organisasinya sudah meliputi sepuluh stasiun yaitu:
- Stasiun Jakarta (Pusat)
- Stasiun Bandung
- Stasiun Jogyakarta
- Stasiun Semarang
- Stasiun Surakarta
- Stasiun Purwokerto
- Stasiun Surabaya
- Stasiun Madiun
- Stasiun Kediri
- Stasiun Magelang
Dalam pertemuan pada tanggal 10
September 1945 di kediaman pemuda Adang Kadarusman di Menteng, Jakarta,
dimana pertemuan dipimpin oleh Abdulrachman Saleh, telah diambil
beberapa keputusan yang mendasar antara lain, 11 September 1945
ditetapkan sebagai berdirinya Radio Republik Indonesia (RRI). Tri
Prasetya RRI, yaitu sumpah pegawai RRI kepada Republik Indonesia dan
menjaga RRI sebagai alat perjuangan bangsa. Kemudian organisasi semua
radio tunduk kepada pusat yang diketuai oleh Profesor, Dr Abdulrachman
Saleh.
Setelah siaran-siaran RRI lancar, Pak
Karbol merasa bahwa sudah tiba saatnya beliau mempelopori perjuangan di
bidang lain. Beliau lalu mengundurkan diri dari bidang radio dan masuk
kedalam Tentara Republik Indonesia untuk membentuk Angkatan Udara
Nasional bersama-sama dengan Adi Sutjipto, seorang bekas murid Pak
Karbol di Perguruan Tinggi Kedokteran Jakarta.
Mengabdi di AURI
Setelah Indonesia merdeka beliau
mengalihkan perhatiannya pada perjuangan di bidang kedirgantaraan,
dengan memilih berjuang ke AURI. Pada saat AURI masih dalam
pertumbuhan, beliau bersama perintis Angkatan Udara lainnya tidak
mengenal lelah dan gentar untuk mengembangkan kejayaan sayap tanah air.
Dalam tahun 1947 ketegangan antara Pemerintah Indonesia dan fihak
kolonialis Belanda makin lama makin memuncak. Untunglah bahwa
pemerintah Republik Indonesia pada tanggal 5 Oktober 1945 telah
membentuk Tentara Keamanan Rakyat (TKR) yang kemudian mempunyai Djawatan
Penerbangan. Nama TKRI itu kemudian diganti dengan nama Tentara
Republik Indonesia (TRI) dan Djawatan Penerbangan dengan Dekrit Presiden
pada tanggal 9 April 1946 menjadi TRI Angkatan Udara. Pucuk
pimpinannya dipegang oleh Komodor Udara (sekarang Laksamana) S.
Suryadarma dan Wakil I Komodor Sukarnen Martokoesoemo, Wakil II Komodor
Muda Udara Adisutjipto. Tugas yang dibebankan kepada anggota-anggota
TRI Angkatan Udara tidaklah ringan, terutama pada bidang pembangunan
dan pembentukan penerbangan militer. Juga usaha merintis jalan ke arah
penerbangan sipil dalam keadaan darurat tidak dapat dianggap enteng.
Kebutuhan akan tenaga ahli sangat
kurang, ditambah pula pesawat terbang yang tersedia merupakan
barang-barang rongsokan, bekas pesawat terbang Jepang. Demikian pula
keadaannya dengan penerbang-penerbang Indonesia, hanya ada beberapa
gelintir saja. Dari beberapa gelintir penerbang-penerbang Indonesia
ini, tenaganya diminta untuk ikut membentuk Angkatan Udara. Sebagai
mantan penerbang olahraga sebelum Perang Dunia ke II Pak Karbol tidak
ketinggalanmenyumbangkan darma baktinya bagi bangsa dan tanah airnya.
Di Yogyakarta Pak Karbol belajar
mengemudikan pesawat Cureng bersayap dua, dan Adisutjipto bertindak
sebagai instrukturnya. Dipelajarinya tipe-tipe pesawat lain
diantaranya Glider, Hajabusya, bomber. Pesawat-pesawat tersebut
semuanya merupakan warisan Jepang yang mesin-mesinnya diperbaiki sendiri
oleh beliau. Banyak pesawat-pesawat rongsokan Jepang yang telah rusak
diperbaikinya sehingga dapat dipergunakan lagi oleh AURI.
Untuk beberapa waktu lamanya beliau
tinggal di Yogyakarta menjadi instruktur penerbang pembantu
Adisutjipto. Tak lama kemudian pada tahun 1946 tugasnya dipindahkan
untuk menjabat sebagai Komandan Pangkalan Udara Maospati (Madiun) dan
bertempat tinggal di Malang.
Ketika tinggal di Madiun putra kedua
lahir. Pemberian nama bagi putra kedua berdasarkan atas kenang-kenangan
masuknya beliau ke TRI Angkatan Udara. Nama Tri dan Awan menjadi
Triawan. sifat “air minded” yang beliau miliki kelihatan nyata, sampai-sampai putranya diberi nama demikian.
Satu kelucuan lagi dalam sifat dr. Abdulrachman yaitu sewaktu
kepindahan beliau dari Madiun ke Malang diikuti oleh keluarga. Dengan
menaiki Cureng, putra Triawan yang masih bayi ditempatkan dikoper kecil,
untuk menghemat tempat dalam pesawat. Disini kelihatan sifat beliau
sejak kecil yang selalu sederhana dan praktis.
Abdulrachman Saleh dalam suatu kegiatan ketika menerangkan pesawat AURI yang sedang terbang
|
Di Malang Abdulracman mendirikan
Sekolah Tehnik Udara yang pertama, di Madiun juga membentuk Sekolah
Radio Udara. Tenaga beliau sangat dibutuhkan dimana-mana, selain
dibidang penerbangabn, juga dibidang kedokteran. Perguruan Tinggi
Kedokteran di Jakarta yang selama Clash I telah dipindahkan ke Klaten,
membutuhkan tenaga guru besar. Bagaimana mungkin beliau yang tinggal
di Malang harus mengajar setiah hari ke Klaten yang jaraknya cukup
jauh. Untuk melaksanakan tugas mengajar di Klaten beliau menggunakan
peaswat Hayabusha dengan diterbangkan sendiri melalui Pangkalan Udara
Maospati.
Disini kita jumpai lagi keparaktisannya
dalam kehidupannya setiap hari. Untuk memudahkan tugasnya apabila ada
persoalan penting yang harus beliau selesaikan di Madiun, dipasang suatu
tanda oleh ajudannya yang ada di Pangkalan Udara Maospati. Sebaliknya
apabila Pak Karbol hendak menugaskan sesuatu, beliau tinggal
melemparkan secarik kertas dengan pesan-pesan pada ajudannya. Bila tak
ditemuinya tanda-tanda, perjalanan dilanjutkan ke Pangkalan Udara
Panasan dan dari sini dengan mengendarai sepeda motor.
Ada suatu kejadian istimewa yang mungkin
hanya dapat terjadi pada diri beliau saja. Ketika beliau mendarat di
Maguwo, dengan kereta api menuju ke Klaten, tiba-tiba kereta api
berhenti di tengah jalan, loko nya mogok. Tak segan-segan beliau segera
turun tangan membetulkan mesinnya yang rusak sehingga kereta dapat
meneruskan perjalanan dengan selamat sampai di Klaten. Contoh ini
merupakan cermin bagi kita betpa dr. Abdulrachaman Saleh benar-benar
melaksanakan asas “ilmu untuk amal”. Dalam kehidupannya beliau sangat
sederhana dalam segala hal, tidak terdapat padanya sifat-sifat sombong.
Hidupnya secara intensif dan penuh inisiatif yang menjadikan dirinya
bermanfaat untuk keluarganya, masyarakat dan tanah air.
Gugur Bersama Pesawat Dakota VT-CLA
Menjelang bulan Juli 1947 dr.
Abdulrachman Saleh bersama-sama dengan Pak Adisutjipto mendapat tugas
dari pemerintah untuk pergi ke luar negeri yaitu ke India. Tugas ini
maksudnya untuk mencari bantuan luar negari berupa instruktur dan
obat-obatan. Seorang industrialis India bernama Pat Naik meminjamkan
pesawatnya jenis Dakota untuk tugas mengangkut obat-obatan bagi PMI.
Dalam tugas ini terjadi peristiwa yang sangat menyakitkan bangsa
Indonesia yang terjadi pada sore hari tanggal 29 Juli 1947. Pada hari
itu bertolak dari Singapura pesawat Dokota India VT-CLA ke Yogyakarta
dengan membawa obat-obatan sumbangan dari Palang Merah Malaya untuk
Palang Merah Indonesia. Pemberangkatan pesawat tersebut telah mendapat
persetujuan pemerintah Inggris dan pemerintah Belanda.
Tanggal 28 Juli 1947 pers dan radio
Malaya telah menyiarkan berita bahwa sebuah pesawat Dakota VT-CLA dengan
muatan obat-obatan akan tiba keesokan harinya (29 Juli 1947) di
Yogyakarta. Katanya sudah memperoleh persetujuan dari Pemerintah
Belanda. Namun kenyataannya ketika pada siang hari menjelang sore
pesawat udara yang mengangkut obat-obatan ini hendak mendarat di
Pangkalan Udara Maguwo dari arah Utara muncul dua buah pesawat Mustang
Belanda. Secara bertubi-tubi peluru dimuntahkan kearah peasawat Dakota
VT-CLA, pesawat ini kehilanggan ketinggian dan membuat pendaratan, ke
arah Selatan kota Yogyakarta. Pesawat membentur pohon, patah menjadi
dua dan terbakar, hanya sebagian ekornya saja yang masih utuh. Semua
awak pesawat dan penumpang meninggal dunia kecuali seorang penumpang
yang kebetulan duduk di bagian ekor pesawat yang masih hidup.
Penumpangnya, temasuk dr. Abdulrachman Saleh, Adisutjipto, Adisumarmo
Wiryokusumo, Zainal Arifin, pilotnya Alexander Noel Constantine (Wing
Comander Australia), Squadron Leader Inggris Roy Hazelhurst, juru tehnik
India Bidha Ram dan Ny. Constantine, sedangkan yang selamat yakni Gani
Handonotjokro.
Masyarakat Yogyakarta tidak menyangka
samasekali bahwa pesawat terbang tersebut berisi orang-orang penting
yang membawa obat-obatan, mereka hanya mengira bahwa serangan itu memang
sesuai dengan siasat musuh yang akan membom Yogyakarta. Dikalangan
AURI ada anggapan bahwa apabila pesawat tersebut dikemudikan oleh Pak
Adisutjipto dan pak Abdulrachman Saleh sendiri yang mengenali dari udara
kubu-kubu musuh dan daerah-daerah di sekitar Yogyakarta dengan baik,
mungkin tak sampai terjadi peristiwa yang menyedihkan itu.
Tetapi bagaimanapun juga kejadian ini
merupakan suatu musibah yang sangat menyedihkan seluruh seluruh rakyat
Indonesia, AURI khususnya. Betapa tidak, pahlawan-pahlawan pembina dan
tulang punggung penerbangan kita telah tiada. Ini semua adalah
pengchianatan dari Jenderal Spooe, yang secara biadab dan pengecut telah
memerintahkan untuk menyerang pesawat Dakota VT-CLA jenis angkut yang
tidak bersenjata, sehingga tidak berdaya untuk membela diri. Akhirnya
pesawat jatuh di desa Tamanan, kecamatan Banguntapan, dekat desa Ngoto,
Bantul, Yogyakarta.
Usaha ini memang sejak lama menjadi
rencana Belanda yakni untuk melumpuhkan tenaga-tenaga initi dari
penerbangan kita. Kota Yogyakarta berkabung dengan jatuhnya pesawat
Dakota VT-CLA, peti-peti jenazah ditempatkan berjejer di Hotel Tugu.
Pada hari pemakaman rakyat penuh sesak disepanjang jalan Malioboro untuk
memberi penghormatan yang terakhir kalinya pada pahlawan-pahlawan
penerbangan kita. Jenazah dr. Abdulrachman Saleh dimakamkan di
pemakaman Kuncen, Yogyakarta.
Penghargaan Kepada Marsda TNI Anumerta Prof. Dr. Abdulrachman Saleh
Sebagai rasa terima kasih AURI yang tak
terhingga atas jasa-jasa beliau dan Komodor Muda Udara Adisutjipto yang
ikut membina sayap tanah air, almarhum dianugerahi pangkat Laksamana
Muda Udara, dan ditempat jatuhnya pesawat didirikan tugu peringatan.
Tepat pada hari ulang tahun republik Indonesia, 17 Agustus 1952 AURI
telah menetapkan Pangkalan Udara Bugis, Malang menjadi Pangkalan Udara
Abdulrachman Saleh.
Sebagai penghargaan jasanya yang sangat
besar di bidang kedokteran umumnya dan bagi ilmu faal khususnya, maka
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, pada tanggal 5 Desember 1958
telah meresmikan dr. Abdulrachman Saleh sebagai Bapak Ilmu Faal
Indonesia. Pada tanggal 16 April 1959 Presiden Sukarno berkenan
memberikan Satyalencana Bintang Garuda kepada Ibu Abdulrachman Saleh,
sebagai tanda terima ksih rakyat epublik Indonesia atas jasanya.
Penghargaan dan penghormatan yang berikutnya juga telah diberikan pada
tanggal 15 Pebruari 1961 oleh Presiden kepada Ibu Abdulrachman Saleh
yakni Bintang Mahaputra.
Marsekal Muda Anumerta Prof. Dr.
Abdulrachman Saleh atau lebih dikenal dengan nama panggilan “Pak Karbol”
adalah salah satu diantara Pahlawan Pembina Angkatan Udara Republik
Indonesia yang serba bisa dan serba guna atau “all raound”.
Karena beliau adalah seorang penerbang dan teknik radio, seorang guru
besar dalam ilmu kesehatan/ilmu faal, seorang bintang lapangan dalam
olahraga, seorang pemimpin yang pandai, berwibawa dan jujur dan
mendahulukan kepentingan tugas negara di atas kepentingan pribadi.
Oleh karena itu Taruna Akademi Angkatan Udara sangat perlu mengambil
suri tauladan dari pahlawan tersebut dalam semangat, kepandaian dan
pengorbanan. Untuk penghargaan, penghormatan dan pengabdian nama
pahlwan udara tersebut, maka sesuai dengan Surat Keputusan Komandan
Akademi Angkatan Udara Nomor : 145/KPTS/AAU/1965 tertanggal 3 Agustus
1965 dianggap perlu nama “Pak Karbol” yang diberikan pada Taruna Akademi
nama panggilan “Kadet” diganti dengan nama panggilan “Karbol”. Dalam
perjalanan sejarah panggilan “Karbol” berubah menjadi “Taruna”, namun
sebutan “Karbol” dikukuhkan kembali sebagai panggilan Taruna Akademi
Angkatan Udara berdasarkan Surat Keputusan Kasau Nomor :
Skep/179/VII/2000 tanggal 18 Juli 2000.
Prof. Dr. Abdulrachman Saleh bukan hanya
milik TNI AU saja, tetapi beliau adalah milik bangsa Indonesia, maka
sudah selayaknya apa bila beliau dijadikan sebagai suri tauladan dalam
pengabdian kepada nusa, bangsa dan ditetapkan sebagai pahlawan nasional
berdasarkan Keputusan Presiden Nomor: 071/TK/1974 tanggal 9 November
1974 tentang Penetapan Pahlawan Nasional. Pada tangal 14 juli 2000 atas
prakarsa Kepala Staf TNI AU Hanafi Asnan kerangka jenasah Bapak
Abdulrachman Saleh dan Adi Sutjipto beserta istri dipindahkan ke lokasi
tempat jatuhnya pesawat VT-CLA. Lokasi tersebut dibangun menjadi
monumen yang sangat megah sekaligus sebagai makam kedua tokoh TNI AU
beserta istri drngan nama Monumen Perjuangan TNI AU sebagai penganti
nama Monumen Ngoto.
Pemindahan jenazah Abdulrachman Saleh
|
Jelaslah bagi kita mengapa tanggal 29
Juli merupakan Hari Berkabung bagi AURI. Sebab dengan gugurnya kedua
pelopor Penerbangan Nasional, bangsa Indonesia telah kehilangan tenaga
yang sangar besar artinya. Hari Berkabung itu kemudian dijadikan Hari
Bhakti AURI, karena pahlawan-pahlawan itu telah gugur dalam kebaktiannya
kepada tanah air.
Berkat hasil serta semangat perjuangan
beliau dimasa lampau, Prof. dr. Abdulrachman Saleh diakui sebagai
pelopor bangsa pada berbagai bidang, merintis Ilmu Faal di Indonesia,
ikut mencetuskan suara RRI ke udara dan yang ikut meletakkan dasar-dasar
bagi Angkatan Udara kita hingga dewasa ini semakin kuat, berkuasa di
udara.