Selasa, 15 Oktober 2013

Panser Anoa Pindad di Kancah Global

PT Pindad Kembangkan Panser Anoa berkemampuan Amphibi
PT Pindad Kembangkan Panser Anoa berkemampuan Amphibi
PT Pindad sedang mengembangkan Panser Anoa berkemampuan Amphibi yang bisa beroperasi di perairan, seperti: sungai, danau dan laut. Direktur Perencanaan dan Pengembangan PT Pindad, Wahyu Utomo mengatakan panser Anoa amphibi yang dikembangkan saat ini baru memiliki kemampuan berjalan di danau dan di sungai. Program pengembangan Anoa Amphibi yang bisa berjalan di danau dan sungai, akan dilakukan hingga 2014. Setelah hal itu tercapai, PT Pindad akan mengembangkan Panser Anoa yang bisa beroperasi di laut pada tahun 2015.
“Tahun 2015, panser anoa akan bisa beroperasi di laut dengan teknologi hydrojet,”ujar Wahyu Utomo. Untuk mendapatkan kemampuan itu, PT Pindad bekerjasama dengan Italia dan Korea Selatan.
Pada tahun 2014, Panser Anoa amphibi akan melakukan uji dinamis, untuk mengarungi danau dan sungai dan diharapkan bisa diserahkan kepada TNI pada tahun 2015. Di tahun yang sama, PT Pindad akan mendorong kemampuan Anoa amphibi agar bisa beroperasi di laut. “Ada senjatanya juga, ada recovery, ada logistik,” ujar Wahyu Utomo.
“Teknologi yang dikembangkan meliputi kemampuan Anoa untuk bermanuver tidak saja di darat, tapi juga bisa bergerak dinamis menghadapi gelombang laut,” tambah Marketing Manajer Pindad, Sena Maulana.
Perkembangan Panser 8×8
Ada sedikit anomali terkait dengan pengembangan APC Anoa 6×6 buatan PT Pindad ini. Ketika negara-negara lain mulai membangun APC/IFV 8×8, Indonesia justru terpaku dengan APC 6×6.
Jepang saja yang telah maju dalam industri pertahanan mulai memikirkan betapa pentingnya kendaraan tempur roda 8×8. Untuk itu mereka mulai membangun Panser MCV yang akan diproduksi massal pada tahun 2016. Panser berbobot 26 ton ini dinilai lebih lincah daripada kendaraan tempur Jepang yang menggunakan rantai (tracked). Berat Panser ini pun cocok dengan minimum payload dari pesawat taktikal transport baru Jepang Kawasaki C-2 yang sedang dikembangkan.
Prototype Panser Canon 105 mm Jepang yang juga mengusung double senjata mesin 7,62mm co-axial yang dikendalikan oleh komputer (photo: Kyodo/PA)
Prototype Panser Canon 105 mm Jepang yang juga mengusung double senjata mesin 7,62mm co-axial yang dikendalikan oleh komputer (photo: Kyodo/PA)
M1126 Stryker
Amerika Serikat pun belum terlalu lama mengembangkan Infantry Carrier Vehicle (ICV) M1126 Stryker 8×8 yang dimulai pada tahun 2002. AS memilih menggunakan M1126 Stryker agar militer mereka memiliki kemampuan mengirim pasukan sebanyak 1 brigade ke berbagai tempat di dunia dalam waktu 96 jam, atau mengirim 1 divisi dalam waktu 120 jam.
M1126 Stryker dianggap cocok sebagai kendaraan tempur yang memiliki mobilitas tinggi didukung oleh persenjataan canggih. Infantry Carrier Vehicle Stryker M1126 mampu mengangkut 9 tentara ditambah 2 kru ICV Stryker.
M1126 Stryker Amerika Serikat mulai diproduksi tahun 2002
M1126 Stryker Amerika Serikat mulai diproduksi tahun 2002
Dari M1126-ICV Stryker ini, AS mengembangkannya ke dalam berbagai varian:
M1134-ATGM: Kendaraan tempur Anti-Tank Guided Missile dipersenjatai rudal TOW untuk memperkuat brigade infanteri dan pengintaian, serta menyediakan tembakan anti-tank jarak jauh, di luar jangkauan efektif pesenjataan lapis baja lawan.
M1127-RV: Kendaraan pengintai digunakan oleh batalyon RSTA (Reconnaissance, Surveillance, and Target Acquisition), untuk bergerak di sepanjang medan perang demi mengumpulkan dan mengirim data intelijen yang real-time untuk awareness pasukan.
Varian lainnya dari Stryker adalah: M1128-MGS Mobile Gun System mengusung Canon 105 mm M68A1; M1129-MC Mortar Carrier yang mengusung Soltam 120 mm (HE, illumination, IR illumination, smoke, precision guided, dan DPICM cluster bombs); M1130-CV Command Vehicle; M1131-FSV Fire Support Vehicle; serta beberapa varian lainnya.
Kendaraan Tempur Roda  8x8 M1126 Stryker, AS
Kendaraan Tempur Roda 8×8 M1126 Stryker, AS
Patria AMV
Kendaraan tempur 8×8 lainnya yang sedang naik daun adalah Patria AMV buatan Finlandia yang mulai diproduksi tahun 2006 oleh Finish Defense Force. APC ini telah diekspor ke berbagai negara antara lain: Kroasia, Polandia dan Slovenia.
Patria AMV banya disebut pengamat militer sebagai salah satu APC terbaik karena memiliki perlindungan yang maksimal yang tahan terhadap tembakan senjata 30-mm serta memiliki proteksi ranjau yang top-class, yakni mampu menahan ledakan sebesar kekuatan 10 kg TNT. Dua unit Patria AMV milik Angkatan Darat Polandia sempat tertembak oleh roket RPG-7, namun tembakan itu tidak menembus badan Patria AMV dan APC/IFV itu dapat kembali ke pangkalan.
Patria AMV Finlandia (photo: vecernji.hr)
Patria AMV Finlandia (photo: vecernji.hr)
Patria AMV dilengkapi senjata mesin otomatis 12,7 mm serta peluncur granat otomatis 40-mm. Didorong oleh mesin 490 atau 540 tenaga kuda, APC/IFV ini sangat bertenaga dan berkemampuan penuh amphibi (sungai, danau dan laut).
Patria AMV dengan twin-barreled AMOS 120mm mortar turret
Patria AMV dengan twin-barreled AMOS 120mm mortar turret
Sama dengan M1126-ICV Stryker, APC/IFV Patria AMV juga memiiki berbagai varian yang bisa difungsikan sebagai: Tank Killer, IFV, Ambulans perang, Kendaraan pengintai, pusat komunikasi, platform untuk berbagai senjata berat dan sebagainya. Tak heran dengan kemampuan dan ketangguhannya itu, lapis baja Finlandia ini banyak diminati, termasuk oleh Afrika Selatan, Uni Emirat Arab dan Swedia. Bahkan Marinir AS dikabarkan tertarik dengan Patria AMV.
Patria AMV Mengusung RCWS-30
Patria AMV Mengusung RCWS-30
The Piranha V
Lapis baja 8×8 lainnya adalah IFV Piranha V buatan Swiss tahun 2010. Dengan hull yang dicor dan diintegrasikan dengan add-on composite modular armor, IFV/APC ini mempu menahan tembakan kaliber 25mm. Double floor dari Piranha V mampu menahan ranjau berdaya ledak 10 Kg TNT. Persenjataanya dilengkapi senjata mesin 12,7 mm serta granat launcher 40-mm dan digerakkan oleh mesin bertenaga 580 hp.
Piranha V Swiss tahun 2010
Piranha V Swiss tahun 2010
Boxer, BTR-82, Pandur II
Negara lain yang mengembangkan lapis baja 8×8 di tahun 2000-an adalah Jerman dengan Boxer yang masuk produksi massal pada tahun 2004, BTR-4 Ukraina tahun 2009, BTR-82 Rusia yang masuk servis tahun 2011, Pandur II buatan Austria mulai beroperasi tahun 2007, ataupun KTO Rosomak Polandia yang dibuat tahun 2003 berdasarkan disain Patria AMV Finlandia.
Boxer 8x8 Jerman
Boxer 8×8 Jerman
Kanada adalah negara yang termasuk generasi awal dalam pengembangan lapis baja roda 8×8 modern dengan mengusung LAV III Kodiak pada tahun 1999. Disain LAV III Kanada ini lah yang digunakan AS untuk membangun M1126-ICV Stryker pada tahun 2002.
BTR 82 Rusia
BTR 82 Rusia
Pandur II tahun 2007
Pandur II tahun 2007
Lapis baja 8×8 Jiran
Tetangga kita Singapura juga telah mengembangkan IFV 8×8 yang diberinama Terrex dan mulai digunakan Angkatan Darat Singapura tahun 2006. Terrex mampu menahan serangan senjata kaliber 14,5 mm, memiliki double V-shaped hull, serta mampu menahan ledakan ranjau berkekuatan 12 kg TNT, agar Terrex tetap bisa berjalan.Terrex mengusung remotely-controlled 40-mm automatic grenade launcherserta senjata mesin 7.62-mm coaxial atau 12.7-mm. Lapis baja beroda ini didorong mesin 400 hp independent suspension system dan memiliki kemampuan amphibi.
Terrex Singapura
Terrex Singapura
Malaysia pada tahun 2013 mulai menggunakan lapis baja beroda 8×8 AV8 yang dikembangkan oleh FNSS Turki, sesuai kebutuhan Angkatan Darat Malaysia. AV8 bermesin 523 hp ini merupakan evolusi dari PARS Turki. Bagian depan AV8 mampu menahan tembakan senjata mesin 14,5 mm. Sementara secara keseluruhan AV8 mampu menahan tembakan 7,62-mm. Dengan Hull yang V-shaped hull, AV8 mampu menahan ranjau berkekuatan 8kg TNT di bagian bawah roda serta 6kg TNT di bawah hull. Versi terbaru AV8 dilengkapi canon 30-mm serta senjata mesin 7,62-mm coaxial serta memiliki anti-tank guided missile launchers.
AV-8 Malaysia
AV-8 Malaysia
Bagaimana dengan Indonesia. PT Pindad sebenarnya sempat mengeluarkan disain Panser 8×8 namun kabar kelanjutannya tidak lagi terdengar.
Disain Anoa 8x8
Disain Anoa 8×8
Kendaraan tempur roda 8×8 dinilai tepat untuk militer modern. Dengan bobot yang relatif ringan sekitar 20-ton, lapis baja ini mampu bergerak lincah, cepat, mengangkut banyak pasukan dan mudah diangkut lewat darat, laut dan udara. Tambahan lagi dengan platform roda 8×8 kendaraan tempur ini dianggap stabil untuk mengusung berbagai jenis persenjataan militer modern termasuk canon 120mm ataupun rudal anti udara jarak menengah/jauh.
JKGR. 

Senin, 14 Oktober 2013

TNI Serius Sempurnakan Strategi Militer Nasional

Alutsista teranyar milik TNI

Jakarta - Panglima TNI Jenderal (TNI) Moeldoko, menegaskan, anggota TNI tidak boleh main-main pada wilayah inkonsistensi dalam menyempurnakan Strategi Militer Nasional dan membangun interoperabilitas Trimatra terpadu. Menurutnya, interoperabilitas merupakan salah satu faktor penentu dalam membangun postur TNI yang profesional, militan dan solid.
"Untuk itu, fungsi dan tugas perencanaan menempati peran yang sangat penting dalam proses pembangunan, pengembangan dan gelar kekuatan TNI dalam lima hingga sepuluh tahun ke depan," kata Panglima dalam amanatnya saat memimpin serah terima jabatan (sertijab) tiga pejabat di lingkungan Mabes TNI, Senin (30/9).
Dijelaskan, TNI kini dihadapkan pada rencana kompartementasi wilayah pertahanan NKRI, yang dibagi dalam tiga komando wilayah gabungan yang operasionalisasinya menggunakan dua pendekatan sekaligus.
Pendekatan pertama, menurut Panglima adalah yang bersifat unilateral. Yakni yang mengedepankan konsep Trimatra terpadu dengan penguatan interoperability base capacity pada setiap matra darat, laut dan udara.
Pendekatan tersebut akan dikembangkan pada konsep kerjasama sipil dan militer joint civil-military operation, bagi kepentingan tugas OMSP menjaga kepentingan nasional, termasuk dalam menghadapi ancaman bencana alam.
Pendekatan kedua yakni pendekatan multilateral, dengan menempatkan kawasan sebagai bagian dari strategi militer nasional dalam rangka menjaga dan mencapai kepentingan Indonesia, serta bagi kepentingan negara-negara di kawasan. Perencanaan tersebut juga menyangkut pentingnya interoperabilitas komunikasi elektronik, yang menjadi fungsi dan tugas Satkomlek.
"Interoperabilitas Komlek TNI memiliki dua peran sekaligus, baik pada tataran strategis maupun operasional dan taktis, yang merupakan salah satu faktor penentu suksesnya setiap pelaksanaan tugas TNI," jelas Panglima.
Di sisi lain, pengembangan dan penyempurnaan pembinaan kapasitas SDM, sinkronisasi doktrin, strategi, taktik dan prosedur, harus terus dikaji secara cermat oleh Pusjianstra TNI. Sehingga, akan tercipta konsep interoperabilitas Trimatra terpadu sebagai sebuah kekuatan yang utuh.
Pada kesempatan tersebut, Panglima TNI Jenderal (TNI) Moeldoko juga memimpin langsung upacara serah terima jabatan (sertijab) tiga pejabat lingkungan Mabes TNI, di Mabes TNI Cilangkap Jakarta Timur. Masing-masing Asisten Perencanaan Umum (Asrenum) Panglima TNI, Komandan Satuan Komunikasi dan Elektronika (Dansatkomlek) TNI dan Kepala Pusat Pengkajian Strategis (Kapusjianstra) TNI.
Ketiga jabatan tersebut adalah Asrenum Panglima TNI diserah terimakan dari Laksda (TNI) Among Margono, kepada Mayjen (TNI) Muktiyanto, Dansatkomlek TNI dari Brigjen (TNI) Rusmanto kepada Kolonel Chb Mulyanto dan Kapusjianstra TNI dari Brigjen (TNI) Asep Subarkah Yusuf kepada Kolonel Inf Haryoko Sukarto.
Turut hadir dalam acara tersebut, Kasal, Kasau, Kasum TNI, Irjen TNI, Wakasad, Dansesko TNI, para pejabat Mabes TNI dan Angkatan.

Ali Moertopo ~Sang Arsitek~

Hidup itu hanya sekali dan sifatnya hanya mampir minum.” Kata-kata itu diucapkan oleh Letnan Jenderal (pur.) Ali Moertopo dalam suatu wawancara khusus TEMPO, “Masa hidup itu harus digunakan sebaik-baiknya, kita harus bekerja semaksimal mungkin, untuk bangsa dan negara.” Ali Moertopo, tokoh yang tersohor itu, meninggal di ruang kerjanya, di Gedung Dewan Pers, Jl. Kebon Sirih, Jakarta Pusat, Selasa Pahing, 15 Mei 1984.
Sebagai think thank di balik pemerintahan Orde Baru, Ali Moertopo adalah pemikir, tokoh intelijen, dan politikus yang memiliki peranan penting pada masa-masa awal Orde Baru di Indonesia. Ia pernah menjabat Menteri Penerangan Indonesia (1978-1983), Deputi Kepala (1969-1974), dan Wakil Kepala (1974-1978) Badan Koordinasi Intelijen Negara. Ali Moertopo berperan besar dalam melakukan modernisasi intelijen Indonesia. Ia terlibat dalam operasi-operasi intelijen dengan nama Operasi Khusus (Opsus) yang terutama ditujukan untuk memberangus lawan-lawan politik pemerintahan Soeharto. Pada 1968, Ali menggagas peleburan partai-partai politik menjadi beberapa partai saja agar lebih mudah dikendalikan. Hal itu kemudian terwujud pada 1973 ketika semua partai melebur menjadi tiga partai, Golkar, PPP (penggabungan partai-partai berbasis Islam), dan PDI (penggabungan partai-partai berbasis nasionalis). Pada 1971, bersama Soedjono Hoemardhani, ia merintis pendirian Centre for Strategic and International Studies (CSIS) yang merupakan lembaga penelitian kebijakan pemerintahan. Pada tahun 1972, ia menerbitkan hasil tulisannya yang berjudul “Dasar-dasar Pemikiran tentang Akselerasi Modernisasi Pembangunan 25 Tahun” yang selanjutnya dijadikan MPR sebagai strategi Pembangunan Jangka Panjang (PJP).
Anak Pekalongan yang lahir di Blora, Jawa Tengah, 23 September 1924, itu tak terdengar mempunyai hobi olah raga. Ia tak suka golf. Tokoh yang dikenal sebagai aktivis dan politikus ulung itu mempunyai kegemaran berceramah dan pidato. Ia orator yang pandai memukau publik, sekalipun tak sekaliber Bung Karno. Merupakan tokoh yang kontroversial, Ali Moertopo – seperti ditulis dalam Apa Siapa Sejumlah Orang Indonesia, 1983-1984, yang diterbitkan majalah TEMPO – dijuluki sementara pengamat sebagai man of opinion. Itu memang dibuktikannya selama ini: Ia selalu berorientasi pada pencapaian tujuan, bisa cepat menjabarkan setiap tujuan yang dlanutnya ke dalam serangkaian tindakan.
“Dulu, saya tak berangan-angan jadi tentara. Malah sewaktu masih di SMP, bila teman orangtua atau paman saya yang menjadi tentara datang, saya tidak begitu senang. Pada zaman pendudukan Jepang, bila teman-teman lama yang masuk Peta datang ke rumah, rasanya kok menakutkan. Saya juga ndak pernah ikut latihan militer, seperti Seinendan dan Keibodan. Waktu semua orang belajar bahasa Jepang, saya juga tidak ikut. Sampai sekarang, saya hanya tahu satu kata Jepang saja: sayonara”.
“Baru pada awal proklamasi, saya tergerak untuk ikut perjuangan. Dimulai dengan masuk Hisbullah, mengikuti teman-teman sekampung. Kemudian saya memasuki AMRI (Angkatan Muda Republik Indonesia). Ketika masih bergerilya dengan pangkat prajurit, saya hanya menginginkan menjadi sersan mayor. Entah kenapa, tapi rasanya menjadi sersan mayor kok gagah. Setelah saya menjadi bintara, saya memimpikan menjadi kapten. “Tuhan, mbok saya diberi kesempatan menjadi kapten,” doa saya setiap habis menunaikan salat. Setelah menjadi kapten, saya tidak pernah punya ambisi lagi. Waktu masih perwira, saya tidak senang kalau ada orang bicara politik. Kalau teman-teman saya bicara politik, pistol yang saya cabut. Tapi kalau orang bicara teknik dan strategi kemiliteran, atau semangat korps, saya mau meladeninya. Sejak masih prajurit, saya lebih senang berkecimpung di medan pertempuran. Sehingga, atasan saya Pak Yoga Soegomo pernah berkata, “Selama di Indonesia ini masih ada kekacauan, pasti kamu naik pangkat. Tapi kalau Indonesia sudah tenang, jangan harap kamu naik pangkat.” Tapi promosi saya ternyata tidak berhenti. Sudah mau aman, ada PRRI, Trikora, dan Dwikora. Kemudian, saya pikir sudah akan selesai. Ternyata, masih ada Orde Baru. Selama meniti karier di luar militer, saya merasa beruntung. Dari militer kok bisa menjadi menteri, lalu menjadi pejabat lagi di DPA. Waduh, senangnya tak terkirakan. Ini merupakan pengalaman yang tidak mudah tercapai teman-teman lain. Jadi, kalau saya main-main, tidak bersungguh-sungguh mengabdi pada bangsa dan negara, berarti saya telah berkhianat”.
Pada tahun 1961, dialah yang memimpin Komando Operasi Khusus (Opsus) Irian Barat. Pada awal Orde Baru (1966), Kolonel Ali Moertopo aktif berperan dalam upaya menyelesaikan konfrontasi dengan Malaysia, antara lain bersama Kepala Staf Kostrad Brigadir Jenderal Kemal Idris, dan Asisten I Kopur Kostrad Mayor L.B. Moerdani sebagai perwira penghubung. Semuanya di bawah Pangkostrad Mayor Jenderal Soeharto.
Nama Opsus kemudian melembaga dan seakan menjadi cap dari segala kegiatan operasi inteligen, tak hanya di bidang militer, tapi juga di bidang politik dalam dan luar negeri. Nama Itu begitu disegani tapi juga dibenci, tak disenangi karena dianggap sebagai “suatu kekuatan yang ingin memaksakan kehendaknya”. Itu sebabnya, sementara pihak berpendapat, keberhasilan Ali Moertopo terutama disebabkan faktor kekuasaan yang dipegangnya, dan kedudukannya sebagai pembantu utama Presiden di bidang politik, di samping sebagai perwira tinggi inteligen yang amat berpengaruh.
Mungkin lantaran sudah percaya, sekali waktu sebagai Kepala Opsus itulah Ali Moertopo rupanya diserahi lagi tugas oleh Pak Harto, namun kali ini tugasnya ialah rekayasa politik yang dikenal pula dengan sebutan penggalangan (conditioning), rekayasa dari atas (engineering from above).
Rekayasa politik pada waktu itu memang mutlak kita butuhkan karena Angkatan Darat menghadapi bahaya selain PKI, kekuasaan Bung Karno, dan juga masyarakat Nasakom. Kita ini saat itu boleh dikata berjuang sendirian, tak ada teman, sementara kekuatan-kekuatan yang anti-PKI –yakni PSI dan Masjumi—jauh sebelumnya sudah dibubarkan oleh Bung Karno.
Sementara dalam rangka memenangkan pemilihan umum 1971, Kino-Kino sendiri, khususnya yang tergabung dalam Trikarya, tidak tampak memainkan partisipasi aktif dalam proses kampanye. Sekber Golkar lebih banyak dikelola oleh kelompok Ali Moertopo, Hankam, dan Menteri Dalam Negeri; khususnya dua yang pertama.
Operasi-operasi Opsus bermanfaat dalam memperkuat Sekber Golkar. Pelaksanaan operasi biasanya dengan jalan interensi ke dalam rapat-rapat atau musyawarah partai, untuk kemudian “memanipulasi” konvensi-konvensi partai yang telah ada untuk menciptakan krisis kepemimpinan, sehingga pada gilirannya pemerintah berkesempatan mendorong kepemimpinan yang dianggap dapat bekerja sama dengan pemerintah. Operasi penggalangan oleh Opsus juga guna menjamin bahwa kelompok-kelompok yang mungkin dapat mengobarkan permusuhan, tidak memegang kendali organisasi yang masih dapat menghimpun dukungan besar.
Target pertama adalah partai nasionalis terbesar, PNI. Operasi yang dilakukan Opsus menghasilkan terpilihnya Hadisubeno, menyingkirkan Hardi yang dikenal sebagai pengecam peranan Dwifungsi ABRI. Lalu diikuti dengan rekayasa terhadap partai kecil IPKI dari kelompok nasionalis lainnya, sehingga kongres tahunan pada bulan Mei 1970 menghasilkan pimpinan yang pro pemerintah. Tindakan yang sama juga menimpa PWI (Persatuan Wartawan Indonesia). Kongres 22 Oktober 1970 berakhir dengan kekisruhan besar karena munculnya dua badan eksekutif sekaligus, yang salah satunya memperoleh dukungan dari Opsus. Operasi-operasi serupa dalam waktu hampir bersamaan ditujukan kepada IDI (Ikatan Dokter Indonesia) dan Persahi (Persatuan Sarjana Hukum Indonesia).
Rekayasa terhadap kalangan Islam juga cukup terkemuka, yakni bagaimana Opsus melakukan rekayasa terhadap Parmusi (Partai Muslimin Indonesia), wadah aspirasi politik golongan Islam modernis dengan basis masa dari bekas-bekas partai Masjumi. Sementara terhadap Islam tradisional dilakukan penggalangan melalui organisasi massa GUPPI (Gabungan Usaha Pembaharuan Pendidikan Islam) yang mana selanjutnya secara efektif menggarap massa Islam tradisional untuk ditarik masuk Golkar.
Terhadap Islam, pemerintah Orde Baru dan Angkatan Darat khususnya sejak awal menyadari mengenai kemungkinan naiknya pamor politik kekuatan Islam. Jatuhnya kekuatan ekstrim kiri PKI –yang kemudian secara formal diperkuat dengan keputusan pembubaran PKI—secara politis mengakibatkan naiknya pamor politik Islam sehingga terjadilah ketidakseimbangan (imbalance). Sayap Islam yang sedang mendapat angin kemudian cenderung hendak memperkuat posisinya. Padahal disadari oleh Angtakan Darat ketika itu bahwa di dalam sayap Islam masih terdapat bibit-bibit ekstrimisme yang amat potensial.
Sehingga policy umum militer ketika itu sebenarnya adalah menghancurkan kekuatan ekstrim kiri PKI, dan menekan (bukan menghancurkan) sayap Soekarno pada umumnya, sambil secara amat berhati-hati mencegah naiknya sayap Islam.
Tugas Opsus adalah menyelesaikan segala sesuatu dengan cara mendobrak dan merekayasa sifatnya dalam waktu yang pendek lagi cepat. Misalnya tentang PWI. Kalau PWI waktu itu orientasinya masih ke Bung Karno, maka kita ubah pimpinannya. Seperti itu urusan Ali Moertopo.
Semua partai direkayasa dengan tujuan untuk membangun poros Pancasila, sehingga yang Nasakom dikeluarkan dari semua organisasi yang ada. Pada kondisi saat itu, rekayasa semacam ini tak bisa disalahkan, bahkan walaupun saya tidak terlibat, secara obyektif saya menilai Ali Moertopo sangat besar jasanya, bahwa rekayasa-rekayasa yang dilakukan oleh Ali Moertopo memang amat diperlukan.
Operasi semacam itu dimaksudkan untuk menata kehidupan politik, khususnya menyangkut pembenahan infrstruktur politik (untuk mendobrak infrastruktur politik yang berorientasi pada ideologi dan golongan yang dianggap tidak sesuai lagi dengan pola yang diperlukan bagi pembangunan), termasuk organisasi-organisasi kemasyarakatan dan fungsional. Lha, bagaimana Pak Harto sebagai pemegang SP-11 mampu melaksanakan tugasnyakalau MPR/DPR-nya masih dominan Nasakom? Tentu tidak mungkin. Seperti PNI, walaupun partai tersebut anti-PKI tetapi PNI ada masalah dengan Bung Karno karena memiliki hubungan dekat dengan Bung Karno. Waktu itu PKI juga meniupkan isu bahwa Angkatan Darat mau mengadakan kup terhadap Bung Karno. Akibatnya PNI bukan main curiganya terhadap Angkatan Darat, termasuk kecurigaan yang datang dari angkatan-angkatan lain yaitu Angkatan Laut, Angkatan Udara, maupun Polri.
Tidak dapat disangsikan lagi, Ali Moertopo adalah tokoh yang berperanan amat penting dalam sukses Golkar pada pemilihan umum 1971, sekaligus membuat pamornya naik di mata Pak Harto. Ia adalah tokoh yang mendapat tugas langsung dari Pak Harto untuk suatu tugas conditioning, dalam konteks pengamanan Pancasila dari bahaya kekuatan ekstrim mana pun. Sejarah kemudian mencatat Opsus-nya Ali memainkan peranan yang menonjol dan disegani sekaligus ditakuti dan dibenci lantaran dianggap sebagai sesuatu kekuatan yang ingin memaksakan kehendak.
Bidang garapan Opsus sangat luas meliputi aspek ekonomi, intelijen, sampai melaksanakan penyelundupan bear-besaran. Tahun 1970-an organisasi ini pernah melakukan penyelundupan besar-besaran agar barang di dalam negeri menjadi murah. Waktu itu menjelang lebaran, beberapa kapal masuk dari Singapura menyelundupkan tekstil dan baju jadi.
Di Opsus, Ali Moertopo memiliki sejumlah orang kepercayaan. Tangan kanan Ali di bidang keuangan adalah Kolonel Ngaeran dan Kolonel Giyanto bagian “grasak-grusuk” cari uang. Saudara Giyanto dikatakan yang tahu di mana disimpannya uang-uang Opsus di luar negeri. Bidang operasi Kolonel Sumardan, sementara Kol. Pitut Soeharto bidang penggalangan politik Islam seperti menggarap PPP, NU, dan bekas DI. Di bagian pembinaan umat Islam ini, Pitut membina umat yang belum tergabung dalam suatu organisasi atau mereka yang masih liar. Bekas-bekas Darul Islam, umpamanya, itu urusan Pitut.
Sebagai gambaran mengenai sepak-terjang unsur-unsur Opsus, seorang bekas sejawat Pitut belakangan mengatakan, “Saya tidak senang dengan cara main Pitut, sebab bisa hancur sendiri. Ia terlalu banyak manuver, membohongi orang di sana-sini, tak malu walau ketahuan, air mukanya tetap biasa saja. Saya tidak mau begitu, nanti tidak punya sahabat. Buktinya sekarang, saat sudah bukan apa-apa lagi maka orang enggan menemuinya, sekadar menengok sekalipun.”
Mengikuti pola di dalam pengorganisasian intelijen, keanggotaan Opsus terbagi dua, di samping ada anggota organik (member of the organization) juga terdapat anggota jaring (member of the net). Anggota jaring kurang terikat, bila suatu proyek selesai maka bubar pula mereka, karena yang ada di sini biasanya dengan motivasi mencari uang atau sekedar advonturisme.
Yang termasuk anggota organik Opsus antara lain Pitut Soeharto, Letkol Utomo, Utoro SH. Sedangkan yang tergolong anggota jaring ialah Bambang Trisulo, Leo Tomasoa, Lim Bian Koen, Liem Bian Kie, Monang Pasaribu, Daoed Joesoef, dr. Suryanto, dan banyak yang lainnya lagi. Abdul Gafur disebut-sebut sebagai salah seorang bekas anggota jaring Opsus dan sempat dekat dengan lembaga studi tertentu, namun belakangan renggang.
Dana untuk Opsus besar sekali dan nyaris tak terbatas, entah dari mana dapatnya, di samping dari “usaha” sendiri yang dilakukan oleh para anggota organisasi, Soedjono Hoemardani juga biasa “mengusahakan” pendanaan bagi Opsus. Jadi kalau sepintas terlihat bahwa Opsus begitu kuat, antara lain berkat kuatnya dukungan pembiayan. Berapa persisnya anggaran Opsus, kita tidak pernah tahu, tapi yang jelas di bawah Ali Moertopo organisasi tersebut kelihatan kaya-raya dan dana mereka jauh lebih banyak dari yang dipunyai oleh intel Kopkamtib misalnya.
Berani dan suka nekad, serta lebih banyak menuruti kemauan sendiri: itulah Ali! Sehingga banyak sekali kegiatan Ali Moertopo atau bawahannya yang tidak sinkron dengan kegiatan anggota-anggota Bakin lainnya. Langkah-langkah Ali Moertopo menjadi selalu kurang pas dengan apa yang digariskan Jenderal Sutopo Juwono sebagai Ka Bakin. Seperti masalah penggalangan bekas-bekas DI Jawa Barat. Lantaran Bakin melarang, maka yang membina kemudian adalah Opsus. Oleh Jenderal Topo itu dinilai sudah melanggar, karena Ali Moertopo sebagai deputi Bakin tidak lagi mendengarkan kata-kata atasannya.
Para bekas DI semula dibina oleh Kodam Siliwangi supaya mereka jangan melakukan gerakan-gerakan lagi. Tapi sekonyong-konyong ditarik oleh Ali Moertopo ke Jakarta, namun dalam hal ini Kodam Siliwangi tidak bisa beruat apa-apa. Sedari itu hubungan Siliwangi dengan Ali Moertopo menjadi kurang baik.
Komando Jihad adalah hasil penggalangan Ali Moertopo melalui jaringan Hispran di Jatim. Tapi begitu keluar, langsung ditumpas oleh tentara, sehingga menjelang akhir 1970-an ditangkaplah sejumlah mantan DI/TII binaan Ali Moertopo seperti Hispran, Adah Djaelani Tirtapradja, Danu Mohammad Hasan, serta dua putra Kartosoewiryo Dodo Muhammad Darda dan Tahmid Rahmat Basuki. Kelak ketika pengadilan para mantan tokoh DI/TII itu digelar pada tahun 1980, terungkap beberapa keanehan. Pengadilan itu sendiri dicurigai sebagai upaya untuk memojokkan umat Islam. Dalam kasus persidangan Danu Mohammad Hassan umpamanya, dalam persidangan ia mengaku sebagai orang Bakin. “Saya bukan pedagang atau petani, saya pembantu Bakin.” Belakangan Danu mati secara misterius, tak lebih dari 24 jam setelah ia keluar penjara, dan konon ia mati diracun.
Pemanfaatan kelompok bekas-bekas DI/TII agaknya memang dianggap menguntungkan. Melalui pola “Pancing dan Jaring” para bekas DI itu dikumpulkan lantas dikorbankan (dikirim ke bui) melalui sebuah peristiwa yang semakin mengesankan bahwa Islam senantiasa berkelahi dengan ABRI, senantiasa memberontak, supaya timbul rasa alergi terhadap Islam.
Kelak semua rekayasa dan kerusuhan politik akan terjadi dengan memanfaatkan para bekas DI/TII yang telah digalang itu (“dipancing dan dijaring”): Peristiwa 15 Januari dengan mengorbankan kelompok Ramadi (Ramadi sendiri santer diberitakan mati secara misterius di RSPAD Gatot Subroto), Peristiwa Komando Jihad yang antara lain membawa kematian pada diri Danu Mohammad Hassan, Peristiwa Lapangan Banteng, Peristiwa Woyla. Alhasil, semua kerusuhan itu pada dasarnya adalah produk rekayasa intelijen.
Rakyat ibarat singa sirkus, jika perut mereka kenyang mereka akan mau diperintah apa saja, tetapi jika perut mereka lapar, mereka tidak segan-segan memangsa pawangnya sendiri” (Letnan Jenderal Ali Moertopo)
Ali Moertopo, tokoh yang dipuja tapi juga dibenci oleh lawan politiknya, betapapun, merupakan suatu bab penting dalam riwayat Orde Baru.
Sejarah. 

Minggu, 13 Oktober 2013

Menwa VS Garda Nasional Amerika Serikat (Sejarah dan Fungsi)

Sejarah Resimen Mahasiswa Indonesia

Masa Perjuangan Pergerakan Nasional
Sejarah perjuangan pergerakan nasional dimulai sebagai babakan baru dengan lahirnya gerakan “BOEDI OETOMO” pada tanggal 20 Mei 1908 oleh para mahasiswa STOVIA Jakarta. BOEDI OETOMO merupakan wadah pergerakan kebangsaan yang kemudian menentukan perjuangan nasional selanjutnya. Dengan lahirnya gerakan ini, maka terdapat cara dan kesadaran baru dalam kerangka perjuangan bangsa menghadapi kolonial Belanda dengan membentuk organisasi berwawasan nasional. Organisasi ini merupakan salah satu upaya nyata untuk mewujudkan persatuan dan kesatuan dan selanjutnya terbentuklah berbagai organisasi perjuangan yang lain, seperti Syarikat Dagang Islam, Indische Partij dan lain sebagainya.
Mahasiswa Indonesia di negeri Belanda pada tahun 1908 mendirikan Indische Verenigde (VI) yang berubah menjadi Perkoempoelan Indonesia (PI), kemudian pada tahun 1922 berubah lagi menjadi Perhimpoenan Indonesia (PI). Sejak itu hingga tahun 1924 PI tegas menuntut kemerdekaan Indonesia, hingga pada dekade ini, para pemuda mahasiswa Indonesia yang belajar di luar negeri telah membuka lembaran baru bangsa Indonesia untuk memperoleh kemerdekaan Indonesia melalui forum luar negeri. Perhimpoenan Indonesia (PI-1922), Perhimpoenan Peladjar-Peladjar Indonesia (PPPI-1926) dan Pemoeda Indonesia (1927) merupakan organisasi pemuda dan mahasiswa yang memiliki andil besar dalam merintis dan menyelenggarakan Kongres Pemoeda Indonesia tahun 1928, kemudian tercetuslah “Soempah Pemoeda”. Dengan demikian, semangat persatuan dan kesatuan semakin kuat menjadi tekad bagi setiap pemuda Indonesia dalam mencapai cita-cita Indonesia merdeka.
Masa Pendudukan Jepang
Tekanan pemerintah Jepang mengakibatkan aktifitas pemuda dan mahasiswa menjadi terbatas, bahkan menjadikan mereka berjuang di bawah tanah. Sekalipun demikian para pemuda mahasiswa mampu mengorganisir dirinya dengan mengadakan sidang pertemuan pada tanggal 3 Juni 1945 di Jl. Menteng 31 Jakarta, dengan menghasilkan keputusan bahwa pemuda mahasiswa bertekad dan berkeinginan kuat untuk merdeka dengan kesanggupan dan kekuatan sendiri. Keputusan tersebut kemudian dikenal dengan Ikrar Pemoeda 3 Joeni 1945.
Menjelang Jepang terpuruk kalah tanpa syarat dalam Perang Dunia II, untuk memperkuat posisinya di Indonesia, Jepang melatih rakyat dengan latihan kemiliteran. Tidak ketinggalan pemuda, pelajar dan mahasiswa. Pasukan pelajar dan mahasiswa yang dibentuk oleh Jepang disebut dengan “GAKUKOTAI”.
Masa Kemerdekaan.
Meskipun kemerdekaan Indonesia telah diproklamirkan, keikutsertaan pemuda dan mahasiswa terus berlanjut dengan perjalanan sejarah TNI. Tanggal 23 Agustus 1945, PPKI membentuk BKR. Di lingkungan pemuda dan mahasiswa dibentuk BKR Pelajar. Setelah mengikuti kebijakan Pemerintah tanggal 5 Oktober 1945, maka diubah menjadi TKR, sedangkan di lingkungan pelajar dan mahasiswa diubah menjadi TKR Pelajar. Pada tanggal 24 Januari 1946 TKR diubah lagi menjadi TRI. Untuk mengikuti kebijakan Pemerintah ini, pada kesekian kalinya, laskar dan barisan pemuda pelajar dan mahasiswa mengubah namanya. Nama-nama tersebut menjadi bermacam-macam antara lain: TRIP, TP, TGP, MOBPEL dan CM.
Pada tanggal 3 Juni 1946, Presiden RI telah mengambil keputusan baru untuk mengubah TRI menjadi TNI. Keputusan ini dimaksudkan agar dalam satu wilayah negara kesatuan, yaitu tentara nasional hanya mengenal satu komandan. Dengan demikian maka laskar dan barisan pejuang melebur menjadi satu dalam TNI. Sementara itu laskar pelajar dan mahasiswa disatukan dalam wadah yang kemudian dikenal sebagai “Brigade 17/TNI-Tentara Pelajar”. Peleburan badan-badan perjuangan di kalangan pemuda pelajar dan mahasiswa ini merupakan manifestasi dari semangat nilai-nilai persatuan dan kesatuan, kemerdekaan serta cinta tanah air, dalam kadarnya yang lebih tinggi. Semangat berjuang, berkorban dan militansi untuk mencapai cita-cita luhur dan tinggi, merupakan motivasi pemuda pelajar dan mahasiswa yang tidak pernah padam hingga sekarang, yaitu dengan mengisi kemerdekaan melalui pembangunan nasional. Masa Penegakan Kedaulatan Republik Indonesia. Dengan diakuinya kedaulatan Negara Kesatuan RI sebagai hasil keputusan Konferensi Meja Bundar 27 Desember 1949 di Den Haag, maka perang kemerdekaan yang telah mengorbankan jiwa raga dan penderitaan rakyat berakhir sudah. Karenanya Pemerintah memandang perlu agar para pemuda pelajar dan mahasiswa yang telah ikut berjuang dalam perang kemerdekaan, dapat menentukan masa depannya, yaitu perlu diberi kesempatan untuk melanjutkan tugas pokoknya, “BELAJAR”. Sehingga pada tanggal 31 Januari 1952 Pemerintah melikuidasi dan melakukan demobilisasi Brigade 17/TNI-Tentara Pelajar. Para anggotanya diberi dua pilihan, terus mengabdi sebagai prajurit TNI atau melanjutkan studi.
Kondisi sosial ekonomi dan politik di dalam negeri sebagai akibat dari pengerahan tenaga rakyat dalam perang kemerdekaan, dianggap perlu diatur dan ditetapkan dengan Undang-Undang. Maka dikeluarkanlah UU Nomor 29 Tahun 1954 tentang Pertahanan Negara. Pada dekade 1950-an, ternyata perjalanan bangsa dan negara ini mengalami banyak ancaman, tantangan, hambatan dan gangguan. Pemberontakan demi pemberontakan terjadi di tengah-tengah perjuangan untuk membangun dirinya. Pemberontakan itu antara lain DI/TII, pemberontakan Kartosuwiryo dan sebagainya. Pemberontakan meminta banyak korban dan penderitaan rakyat banyak. Rakyat tidak bisa hidup dengan tenang, karena situasi tidak aman dan penuh kecemasan. Memperhatikan kondisi semacam itu, satu tradisi lahir kembali. Para mahasiswa terjun dalam perjuangan bersenjata untuk ikut serta mempertahankan membela NKRI bersama-sama ABRI. Sebagai realisasi pelaksanaan UU Nomor 29 Tahun 1954, diselenggarkan Wajib Latih di kalangan mahasiswa dengan pilot proyek di Bandung pada tanggal 13 Juni 1959, yang kemudian dikenal dengan WALA 59 (Wajib Latih tahun 1959). WALA 59 merupakan batalyon inti mahasiswa yang merupakan cikal bakal Resimen Mahasiswa sekarang ini. Kemudian disusul Batalyon 17 Mei di Kalimantan Selatan. Bermula dari itulah, pada masa demokrasi terpimpin dengan politik konfrontasi dalam hubungan luar negeri, telah menggugah semangat patriotisme dan kebangsaan mahasiswa untuk mengabdi kepada nusa dan bangsa sebagai sukarelawan. Penyelenggaraan pendidikan dan latihan kemiliteran selanjutnya dilaksanakan untuk mempersiapkan mahasiswa sebagai potensi pertahanan dan keamanan negara melalui RINWA (Resimen Induk Mahasiswa), yang selanjutnya namanya berubah menjadi MENWA (Resimen Mahasiswa).

Masa Orde Lama
Persiapan perebutan Irian Barat ditandai dengan upaya-upaya memperkuat kekuatan nasional. Di lingkungan mahasiswa dikeluarkan Keputusan Menteri Keamanan Nasional Nomor: MI/B/00307/61 tentang Latihan Kemiliteran di perguruan tinggi sebagai “Pendahuluan Wajib Latih Mahasiswa”. Dengan dicanangkannya operasi pembebasan Irian Barat pada tanggal 19 Desember 1962, dikenal dengan TRIKORA, maka untuk menindaklanjutinya, Menteri PTIP mengeluarkan Instruksi Nomor 1 Tahun 1962 tentang Pembentukan Korps Sukarelawan di lingkungan Perguruan Tinggi. Berikutnya, kedua keputusan di atas disusul dengan Keputusan Bersama Wampa Hankam dan Menteri PTIP Nomor: M/A/20/1963 tanggal 24 Januari 1963 tentang Pelaksanaan Wajib Latih dan Pembentukan Resimen Mahasiswa di lingkungan Perguruan Tinggi. Pengembangannya dilakukan dalam satuan-satuan Resimen Induk Mahasiswa (RINWA), yang diatur dalam Keputusan Bersama Wampa Hankam dan Menteri PTIP Nomor: 14A/19-20-21/1963 tentang Resimen Induk Mahasiswa. Tahun 1964 melalui Instruksi Menko Hankam/Kasab Nomor: AB/34046/1964 tanggal 21 April 1964 dilakukan pembentukan Menwa di tiap-tiap Kodam. Hal ini dipertegas dengan Keputusan Bersama Menko Hankam/Kasab dan Menteri PTIP Nomor: M/A/165/1965 dan Nomor: 2/PTIP/65 tentang Organisasi dan Prosedur Resimen Mahasiswa, Menwa ikut serta mendukung operasi Dwikora (Dwi Komando Rakyat) tanggal 14 Mei 1964. Sebagai bukti keikutsertaan ini dapat diketahui bahwa hingga tanggal 20 Mei 1971, sebanyak 802 (delapan ratus dua) orang anggota Menwa memperoleh anugerah “Satya Lencana Penegak” dan beberapa memperoleh anugerah “Satya Lencana Dwikora”. Dalam perkembangan sejarah selanjutnya, di mana Menwa memiliki andil yang besar dalam membantu menegakkan NKRI, maka PKI (Partai Komunis Indonesia) merasakan ancaman, sehingga pada tanggal 28 September 1965, Ketua PKI D.N. Aidit menuntut kepada Presiden Soekarno supaya Resimen Mahasiswa yang telah dibentuk di seluruh Indonesia dibubarkan. Tetapi hal itu tidak berhasil.

 Inspeksi Menko Hankam/KASAB di Resimen Mahawarman, Jawa Barat
yang telah terbentuk pada tanggal 13 Juni 1959

Masa Orde Baru
Peran Resimen Mahasiswa terus berlanjut dalam bidang Pertahanan Keamanan Negara, sekalipun tantangan juga semakin besar. Pada masa awal Orde Baru, keterlibatan Menwa cukup besar dalam penumpasan sisa-sisa G 30 S/PKI, dilanjutkan dengan menjadi bagian dari Pasukan Kontingen Garuda ke Timur Tengah, operasi teritorial di Timor Timur dan sebagainya. Penyelenggaraan pendidikan dan latihan dasar kemiliteran untuk menciptakan kader dan generasi baru bagi Menwa juga terus dilaksanakan. Di lain pihak, di lingkungan Perguruan Tinggi pada tahun 1968 dikeluarkan keputusan untuk wajib latih bagi mahasiswa (WALAWA) dan wajib militer bagi mahasiswa (WAMIL) berdasarkan Keputusan Menhankam Nomor: Kep/B/32/1968 tanggal 14 Februari 1968 tentang Pengesahan Naskah Rencana Realisasi Program Sistem Wajib Latih dan Wajib Militer bagi Mahasiswa. Dilanjutkan operasionalisasinya dengan Keputusan Bersama Dirjen Dikti dan Kas Kodik Walawa Nomor 2 Tahun 1968 dan Nomor: Kep/002/SKW-PW/68. Program ini kemudian diganti dengan Pendidikan Kewiraan dan Pendidikan Perwira Cadangan (PACAD) pada tahun 1973 (Keputusan Bersama Menhankam/Pangab dan Menteri P & K Nomor: Kep/B/21/1973 dan Nomor: 0228/U/1973 tanggal 3 Desember 1973 tentang Penyelenggaraan Pendidikan Kewiraan dan Pendidikan Perwira Cadangan di Perguruan Tinggi/Universitas/Akademi). Program WALAWA ini diikuti oleh seluruh mahasiswa dan berbeda dengan Menwa keberadaannya.
Pada tahun 1974 Program WALAWA dibubarkan, dan pada tahun 1975 sejalan dengan perkembangan dan kemajuan penyempurnaan organisasi Menwa terus diupayakan. Setelah dikeluarkan Keputusan Bersama Menhankam/Pangab, Mendikbud dan Mendagri Nomor: Kep/39/XI/1975, Nomor: 0246 a/U/1975 dan Nomor: 247 Tahun 1975 tanggal 11 November 1975 tentang Pembinaan Organisasi Resimen Mahasiswa Dalam Rangka Mengikutsertakan Rakyat Dalam Pembelaan Negara, disebutkan bahwa Resimen Mahasiswa dibentuk menurut pembagian wilayah Propinsi Daerah Tingkat I sehingga berjumlah 27 Resimen Mahasiswa di Indonesia. Sedangkan keanggotaan Menwa adalah mahasiswa yang telah lulus pendidikan Menwa (latihan dasar kemiliteran) dan Alumni Walawa. Sebagai pelaksanaan ketentuan tersebut di atas, dikeluarkan Keputusan Bersama Menhankam/Pangab, Mendikbud dan Mendagri Nomor: Kep/02/I/1978, Nomor: 05/a/U/1978 dan Nomor: 17A Tahun 1978 tanggal 19 Januari 1978 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pembinaan Organisasi Resimen Mahasiswa, hingga kemudian dalam perkembangannya dilakukan lagi penyempurnaan peraturan pada tahun 1994. Pada tanggal 28 Desember 1994 Organisasi Menwa mengalami penyempurnaan melalui Keputusan Bersama Menhankam, Mendikbud dan Mendagri Nomor: Kep/11/XII/1994, Nomor: 0342/U/1994 dan Nomor: 149 Tahun 1994 tanggal 28 Desember 1994 tentang Pembinaan dan Penggunaan Resimen Mahasiswa Dalam Bela Negara. Sebagai pelaksanaan ketentuan tersebut dikeluarkan serangkaian keputusan pada Direktur Jenderal terkait dari ketiga Departemen Pembina, yang terdiri atas Keputusan Dirjen Persmanvet Dephankam RI Nomor: Kep/03/III/1996 tanggal 14 Maret 1996 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pendidikan dan Latihan Resimen Mahasiswa, Nomor: Kep/04/III/1996 tanggal 14 Maret 1996 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pakaian Seragam, Tunggul dan Dhuaja Menwa dan Pemakaiannya dan Nomor: Kep/05/III/1996 tanggal 14 Maret 1996 tentang Peraturan Disiplin Resimen Mahasiswa. Serta Keputusan Dirjen Dikti Depdikbud RI Nomor: 522/Dikti/1996 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pembinaan Satuan Resimen Mahasiswa di Lingkungan Perguruan Tinggi.
Masa Reformasi
Pada masa reformasi yang salah satu agendanya adalah penghapusan Dwi Fungsi TNI, berimbas pada keberadaan Resimen Mahasiswa Indonesia, karena Menwa dianggap merupakan perpanjangan tangan TNI di lingkungan perguruan tinggi. Kemudian muncul tuntutan pembubaran Menwa di berbagai perguruan tinggi pada awal tahun 2000. Menyikapi tuntutan pembubaran Menwa tersebut, para Pimpinan Menwa di berbagai daerah baik Komandan Satuan maupun Kepala Staf Resimen Mahasiswa mengadakan berbagai koordinasi tingkat regional dan nasional, antara lain dilaksanakan di Bandung, Yogyakarta, Bali dan Jakarta. Para Pembantu Rektor III Bidang Kemahasiswaan yang dikoordinasikan oleh Dirmawa Ditjen Dikti Depdiknas juga membentuk tim untuk membahas masalah Menwa dan mengadakan pertemuan di Yogyakarta, Jakarta dan terakhir di Makassar pada awal sampai pertengahan tahun 2000. Pada akhir September 2000 diadakan Rapat Koordinasi antara tim PR III Bidang Kemahasiswaan dengan seluruh Kepala Staf Resimen Mahasiswa se-Indonesia di Asrama Haji Pondok Gede, Jakarta Timur yang menghasilkan rancangan Keputusan Bersama 3 Menteri (Menhan, Mendiknas dan Mendagri) yang baru. Pada tanggal 11 Oktober 2000 diterbitkan Keputusan Bersama Menhan, Mendiknas dan Mendagri & OtdaNomor: KB/14/M/X/2000, Nomor: 6/U/KB/2000 dan Nomor: 39 A Tahun 2000 tanggal 11 Oktober 2000 tentang Pembinaan dan Pemberdayaan Resimen Mahasiswa. Sebagai penjabaran ketentuan dari KB 3 Menteri tersebut, dikeluarkan serangkaian surat dari Dirjen terkait dari 3 Departemen Pembina, yakni: Surat Mendagri & Otda RI Nomor: 188.42/2764/SJ tanggal 23 Nopember 2000 tentang Keputusan Bersama Menteri Pertahanan, Menteri Pendidikan Nasional, Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah, Surat Edaran Dirjen Dikti Depdiknas RI Nomor: 212/D/T/2001 tanggal 19 Januari 2001 tentang Tindakan Keputusan Bersama Tiga Menteri, Surat Telegram Dirjen Sundaman Dephan RI Nomor: ST/02/I/2001 tanggal 23 Januari 2001 tentang Kedudukan Resimen Mahasiswa, Surat Telegram Dirjen Sundaman Dephan RI Nomor: ST/03/2001 tanggal 9 Februari 2001, Surat Telegram Dirjen Pothan Dephan RI Nomor: ST/06/2001 tanggal 18 Juli 2001 dan Surat Dirjen Kesbangpol Depdagri RI Nomor: 340/294.D.III tanggal 28 Januari 2002.
Para Kepala Staf Resimen Mahasiswa se-Indonesia terus mengadakan berbagai pertemuan yang akhirnya bersepakat perlu adanya organisasi Menwa di tingkat Nasional sehingga terbentuk Badan Koordinasi Nasional Corps Resimen Mahasiswa Indonesia (BAKORNAS CRMI), yang disahkan keberadaannya pada Rapat Komando Nasional yang pada waktu itu karena ingin menyesuaikan dengan tuntutan reformasi maka diberi nama menjadi Kongres Resimen Mahasiswa Indonesia tahun 2002 di Medan. Walaupun arah pembinaan dan pemberdayaan Menwa menjadi kurang optimal dengan belum terbitnya Petunjuk Pelaksanaan (Juklak) dan Petunjuk Teknis (Juknis) dari KB 3 Menteri tersebut di atas, pengabdian Menwa terus berlanjut. Salah satunya adalah sebagai pelopor pembentukan posko relawan kemanusiaan yang dikoordinasikan oleh Dephan RI untuk bencana Tsunami Aceh pada akhir Desember 2004 sampai dengan pertengahan 2005. Demikian juga ketika terdapat bencana gempa bumi di Yogyakarta tahun 2006, Menwa dari berbagai daerah juga mengirimkan relawannya.
Dalam perkembangan terakhir, BAKORNAS CRMI dirasa kurang efektif karena berbagai kendala teknis. Dan dalam Rakomnas Rapat Komando Nasional Resimen Mahasiswa Indonesia di Jakarta pada tanggal 24-26 Juli 2006 yang dihadiri oleh pimpinan Komando Resimen Mahasiswa dari 21 propinsi dan perwakilan Komandan Satuan dari seluruh Indonesia, BAKORNAS CRMI di bubarkan dan dibentuk badan tingkat nasional baru yakni Komando Nasional Resimen Mahasiswa Indonesia atau disingkat KONAS MENWA INDONESIA, sebagai lembaga kepemimpinan struktural Menwa di tingkat nasional. Lembaga baru ini kian eksis hingga saat ini setelah mampu mendorong kembali pelaksanaan latsarmil, dan pendidikan lanjutan bagi anggota Menwa, serta menghidupkan kembali satuan-satuan Menwa yang vakum serta membangun Staf Komando Resimen (SKOMEN) Menwa di provinsi-provinsi baru. KONAS MENWA INDONESIA juga melakukan terobosan baru dengan menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan tingkat nasional serta memperkuat aspek legalitas MENWA Indonesia, antara lain dengan mengeluarkan berbagai Petunjuk Pelaksanaan (Juklak) untuk mengisi kekosongan Juklak sambil memproses revisi SKB 3 Menteri menjadi SKB 4 Menteri, termasuk melaksanakan berbagai kegiatan sebagai mana dituangkan dalam buku profil ini. Hingga saat ini KONAS MENWA INDONESIA merupakan struktur organisasi tertinggi dalam hal koordinasi serta komando organisasi Menwa di tingkat nasional.

Bandingkan dengan Garda Nasionalnya Amerika..
Garda Nasional Amerika Serikat (atau National Guard of the United States) adalah kekuatan cadangan militer yang terdiri dari anggota milisi Garda Nasional atau unit cadangan 50 negara bagian beserta dengan wilayah Guam dan Kepulauan Virgin ditambah Commonwealth of Puerto Rico dan District of Columbia (54 organisasi) yang berada di bawah pemerintah federal dan diakui aktif atau tidak aktif layanan kekuatan bersenjata untuk Amerika Serikat.
Garda Nasional terutama dibagi menjadi dua kategori: Tentara Nasional Guard dan Air National Guard. Peran National Guard di Amerika Serikat ada dua, pertama, itu adalah kekuatan nasional yang melayani negara pada saat darurat atau perang, dan kedua, adalah kekuatan negara, di bawah kontrol gubernur, siap membantu warga pada saat krisis domestik atau bencana.
Hampir semua posisi dalam Garda Nasional merupakan bagian-waktu, sebagai anggota diharapkan untuk melayani hanya satu pekan bulan, dan terlatih untuk hanya dua minggu dalam setahun. Oleh karena itu, para anggota dapat menikmati kedua kehidupan; sebagai warga sipil purna waktu, sementara mendapatkan keuntungan dari karier militer, yang memiliki paket bantuan yang sangat baik, seperti pembebasan dari sekolah dan biaya kuliah, meningkatkan keterampilan karier, dan gaji yang biasa. Sebagai imbalannya, mereka harus siap untuk melayani negara ketika diperlukan. Anggota Garda Nasional melayani orang-orang terdekat mereka dan masyarakat secara keseluruhan.

Tugas utama dari Udara Garda Nasional serta Tentara Garda Nasional adalah untuk membantu melindungi orang-orang di masa krisis, dan melayani negara dalam keadaan darurat. Bencana alam seperti gempa bumi, badai atau banjir, dan gangguan seperti kerusuhan komunal, adalah beberapa keadaan darurat dimana Garda Nasional diharapkan datang untuk membantu rakyat.
Air National Guard bertanggung jawab untuk pertahanan udara dari seluruh bangsa. Hal ini juga berfungsi sebagai kekuatan cadangan untuk Amerika Serikat reguler Angkatan Udara. Seseorang yang ingin mendaftar untuk Air National Guard harus mematuhi beberapa kendala akademis maupun non-akademis seperti berada pada kelompok usia 17-34, memiliki ijazah sekolah tinggi atau GED, yang bebas dari pelanggaran hukum besar, yang bebas dari obat dll menggunakan ilegal, harus memenuhi syarat.
Selain itu, ia harus lulus tes fisik dan menghapus Angkatan Bersenjata Kejuruan Baterai Aptitude Test (ASVAB). Setelah ini dilakukan, merekrut dapat memilih bunga karier tertentu dan posisi cadangan sebelum memulai program pelatihan. Selain gaji dan keringanan biaya di beberapa sekolah di negara mereka, manfaat lainnya dinikmati oleh anggota asuransi jiwa pada tarif premi sangat rendah, dan keuntungan belanja di kantin pangkalan militer dan pertukaran, di mana mereka dapat membeli barang-barang elektronik dan komoditas lainnya di murah tukar.
 
Negara serta pemerintah federal dalam komando Garda Nasional Angkatan Darat. pilihan karier di Angkatan Darat Garda Nasional dapat terutama diklasifikasikan menjadi tiga bagian - tempur, dukungan tempur dan dukungan memerangi layanan. Combat lebih lanjut dapat diklasifikasikan ke dalam infanteri, kendaraan lapis baja, artileri, penerbangan dan pertahanan udara, sedangkan dukungan tempur dapat dibagi lagi menjadi engineering, kimia, militer kepolisian, sinyal, intelijen militer dan urusan sipil, dukungan tempur layanan dapat dikelompokkan ke dalam sub-keuangan, personil, urusan publik, penyediaan perawatan dan transportasi.
Mendaftar di National Guard tidak hanya patriotik, tetapi dapat terbukti sangat berguna bagi mereka yang mengejar pendidikan tinggi dan mencari cara untuk meningkatkan keterampilan karier mereka. Meskipun memberikan gaji berkala dan pendidikan gratis, itu juga membuka pintu untuk peluang pekerjaan lain yang membutuhkan pengalaman dan keahlian.

Akankah Indonesia juga mempunyai kekuatan cadangan militer setangguh dan berwibawa seperti punyanya Amerika....Just Hope....

Militer Indonesia.

F-16 dan Helikopter Fennec Tiba 2014

3 F-16 Air National Guard: New Mexico, Colorado dan Montana, terbang di atas Kota Kunsan Korea Selatan, 9 September 2006 (U.S. Air Force photo by Tech. Sgt. Jeffrey Allen)


Panglima TNI Jenderal Moeldoko mengatakan pada tahun 2014, TNI akan mendatangkan 14 unit pesawat tempur jenis F-16 serta satu skuadron Fennec dari Perancis. “Tinggal realisasi datangnya peralatan tempur tersebut,” ungkap Moeldoko.
Selain peralatan tempur untuk angkatan udara, TNI juga terus menambah kekuatan tempur untuk sektor darat dengan menghadirkan Tank Leopard. “Penambahan kekuatan juga dilakukan pada sektor darat yakni dengan menghadirkan tank Leopard. Semuanya dibeli dan bukan dalam bentuk hibah,” ujar Panglima TNI.

Eurocopter AS 550 Fennec Multirole buatan Perancis (Jetphoto.net/Javier González)

Menurut Panglima TNI, tidak ada kebijakan baru terkait pengadaan alat utama sistem senjata (alutsista) pada 2014. ”Untuk pembelian pesawat, kami hanya melanjutkan program yang sudah ada sehingga tidak ada kebijakan baru terkait pengadaan alutsista pada 2014,” ungkap Morldoko di Sanggata, Kutai Timur, Kaltim, usai menghadiri upacara peringatan Hari Ulang Tahun Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur.
Kehadiran alutsista itu, kata Jenderal Meoldoko, akan dipamerkan pada puncak Hari Ulang Tahun TNI 2014 yang kemungkinan dilaksanakan di Kota Surabaya, Jawa Timur.
TNI akan terus melakukan modernisasi alustsista sesuai program “Minimum Essensial Force” (MEF). “Kami akan terus melakukan modernisasi alutsista hingga MEF yang akan berakhir pada 2019 kemudian dilanjutkan hingga 2024. Jadi, semua pembelian austista pada 2014 itu hanya melanjutkan MEF,” ungkap Moeldoko.

Perangkat elektronik canggih yang berada di bagian luar-depan Helikopter Apache AH-64E-Guardian, memungkinkan pilot untuk mendeteksi ancaman lebih awal (photo: US Army)

Alutsista Indonesia pada tahun 2014, akan terlihat lebih berotot dengan datangnya, antara lain: Pesawat tempur F-16, Helikopter Serang Fennec serta Apache AH-64E Guardian. Kehadiran 2 helikopter Apache pada tahun 2014, sebelumnya telah dikonfirmasi oleh KSAD Jenderal Budiman.
Adapun kelebihan dari F-16 Block 25 yang segera datang adalah mampu mengusung rudal Amraam yang memiliki jangkauan tembak lebih jauh. Sementara F-16 Block 15 OCU yang dimiliki Indonesia saat ini hanya bisa mengusung rudal sidewinder yang berjarak pendek.(Antara).

Satu Peluru Senjata TNI AD Ini Bisa Menghancurkan Senayan

Main Battle Tank (MBT) Leopard RI terparkir kokoh di halaman pameran. (Foto-Agung Pambudhy/detikcom) 

Jakarta - Kehadiran empat unit kendaraan tempur Main Battle Tank Leopard di lapangan Monumen Nasional pekan lalu paling memantik perhatian pengunjung. Pengunjung pameran alat utama sistem persenjataan Tentara Nasional Indonesia berebut untuk berpose di samping tank buatan Jerman tersebut.

MBT Leopard adalah salah satu alutsista yang didatangkan untuk melengkapi senjata tempur Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat. Nantinya sampai tahun 2015, total tank Leopard yang akan didatangkan adalah 169 unit.

Terdiri dari 119 tank canon untuk tempur dan 50 tank angkut yang membawa jembatan, tank perlengkapan, dan tank ambulan.

Tank Leopard senegaja didatangkan untuk memberikan efek deteren. “Ketika kita diskusi tentang pertempuran dan mengatakan MBT, orang sudah mikir. Dalam pertempuran darat, tank masih lawan tank,” kata Kepala Pusat Komunikasi Publik Kementerian Pertahanan, Brigadir Jenderal Sisriadi kepada detikcom, Selasa (8/10) lalu.  

Selain tank, senjata TNI AD lainnya adalah 38 unit roket multi laras buatan Brasil. Barang yang baru mulai datang tahun depan ini, menurut Sisriadi, adalah yang terbaik di kelasnya. Menurut Sisriadi di beberapa medan pertempuran di Timur Tengah, roket ini paling ditakuti. Termasuk oleh orang NATO.

“(Roket ini) daya hancurnya luar biasa. Satu peluru bisa menghancurkan Senayan dan menembus baja 90 sentimeter,” kata dia.

Alutsista untuk TNI AD lainnya adalah meriam kaliber 155, buatan Prancis. Alat ini menurut Sisriadi termasuk senjata canggih. Senjata ini sudah menggunakan digital dan sound ranging radar untuk mengukur dan melacak meriam musuh. Jarak tembaknya pun bisa mencapai 40-50 kilometer

“Begitu musuh menembak kami tahu langsung musuhnya di mana. Kami tembak dan langsung kena musuh, setelah itu kami bisa langsung geser. Kalau manual mungkin bongkar pasang dulu dan baru jalan lagi, itu butuh 3 menit kalau prajuritnya jago-jago, jika tidak butuh enam menit, peluru musuh udah nyampe duluan,” papar Sisriadi.

Ada juga satu skuadron (12 unit) helikopter serang dan helikopter serbu buatan Eurocopter dari Eropa. Kementerian Pertahanan juga menjajaki untuk membeli 6 atau 8 unit Helikopter Apache buatan Amerika.

Helikopter tersebut akan digunakan untuk misi-misi tembakan, misalnya saat ada pertempuran darat maka helikopter akan digunakan untuk menyerang dari udara. Sementara Helikopter Serbu yang akan didatangkan yakni 16 unit Bell 412.

Detik.

Disayangkan, Gaji Pilot Pesawat Tempur Beda Jauh dengan Pilot Komersial

Jakarta - Seiring dengan pembaruan alat utama sistem senjata (Alutsista) Tentara Nasional Indonesia, Dewan Perwakilan Rakyat menyoroti perlunya diperhatikan penyesuaian kesejahteraan prajurit TNI.

Komisi Pertahanan Dewan Perwakilan Rakyat memandang harus ada perhatian khusus terhadap prajurit TNI yang punya risiko besar dalam menjalankan tugas negara tapi gajinya belum sesuai.

Sebagai contoh, anggota Komisi I DPR, Mardani Ali Sera, membandingkan gaji pilot pesawat tempur Sukhoi dengan pilot komersial maskapai penerbangan berbeda jauh. Padahal, dari risiko, tanggung jawab, dan jenis spesifikasi pesawat jelas pilot Sukhoi lebih besar.

Mardani mengaku tidak tahu persis berapa besarnya selisih gaji pesawat komersial dengan pilot jet tempur. Namun ia menyebut selisihnya lumayan jauh. "Mungkin selisih bedanya antara satu banding empat," ungkap dia kepada detikcom.

“Ya, bagaimana karena kemampuan kita baru segini. Kalau kenaikan gaji itu kan harus satu paket. Tidak bisa satu-satu divisi,” kata politikus PKS ini melanjutkan. "Pilot pesawat tempur itu ibaratnya milik dan mengabdi kepada negara."

Anggota Komisi I lainnya, Susaningtyas Nefo Handayani Kertopati atau Nuning juga mendorong perlunya dinaikkan kesejahteraan prajurit TNI, termasuk pilot pesawat tempur.

Politikus Partai Hanura ini mengakui standar penggajian antara orang pemerintah dengan swasta memang berbeda sehingga tidak bisa untuk dibandingkan begitu saja. Karena itu, menurutnya, perlu adanya apresiasi-apresiasi selain materi.

"Antara lain dengan karir karena mereka orang-orang pilihan," kata Nuning kepada detikcom, kemarin. Namun sayangnya, lanjut Nuning, sistem karir di TNI khususnya AU tidak memberikan apresiasi kepada penerbang tempur.

Dia menyebutkan untuk tahun ini, militer mendapat porsi anggaran sebesar tujuh persen dari total belanja pemerintah Rp 1.154,4 triliun. Alokasi ini menempatkan bidang pertahanan berada di posisi empat setelah pelayanan umum, ekonomi, serta pendidikan.

Karena itu, Nuning menekankan, hal ini harus diimbangi dengan pembagian anggaran yang seimbang di tubuh TNI antara alutsista, pendidikan, dan kesejahteraan prajurit.