Kamis, 30 April 2015

HUT Kopassus dan Panglima TNI

 
2(1)
Bangsa Indonesia adalah bangsa yang cinta damai, namun lebih mencintai kemerdekaan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, baik dalam konteks nasional, regional dan internasional. Upaya bangsa Indonesia dalam membangun kekuatan TNI secara signifikan adalah konsep negara, sebagai suatu keniscayaan, seiring dengan kecintaan bangsa Indonesia terhadap kemerdekaan dan perdamaian, dan TNI senantiasa memposisikan dirinya secara profesional sebagai garda terdepan dalam penjagaan kedaulatan negara dan perdamaian. Demikian dikatakan Panglima TNI Jenderal TNI Dr. Moeldoko pada sambutannya saat menghadiri Hari Ulang Tahun (HUT) ke-63 Kopassus, di Makopassus Cijantung Jakarta Timur, Rabu, (29/4/2015).
Lebih lanjut Panglima TNI mengatakan bahwa, dalam konteks kehidupan pada komunitas internasional atau regional, pembangunan kemampuan dan kekuatan TNI merupakan bentuk apresiasi terhadap negara lain, yang selama ini telah dengan penuh kepercayaan membangun kebersamaan dengan Indonesia. Alutsista TNI harus terus ditingkatkan dan para prajurit TNI dibangun jiwa dan raganya, untuk menjadi prajurit yang bermoral dan profesional, tetapi juga prajurit yang sejahtera hidupnya.
1(1)
3(1)
4(1)
Prajurit-prajurit TNI dilatih untuk menjadi prajurit pejuang bagi rakyatnya, menjadi prajurit rakyat dalam menjaga integritas negaranya, serta menjadi prajurit profesional dalam setiap pelaksanaan tugasnya. “Kesemua itu dilakukan agar setiap prajurit TNI senantiasa siap melaksanakaan tugas politik negara, dengan segenap jiwa militansi dan pengorbanan jiwa raga, dalam rangka mempertahankan kedaulatan, serta melindungi segenap tanah tumpah darah, namun juga tetap humanis dalam membangun kebersamaan untuk menciptakan perdamaian”, tegas Panglima TNI.
Jenderal TNI Moeldoko juga mengutarakan bahwa, Kopassus sebagai Komando Utama Operasional TNI, agar terus meningkatkan kapasitas dan kapabilitas yang menjadi kekhususannya, serta memelihara sikap humanisme yang menjadi karakternya, dihadapkan kepada pergeseran dan perubahan paradigma perang serta paradigma operasi militer di era globalisasi, yang secara tradisional tidak hanya menempatkan negara sebagai ancaman kedaulatan dan perdamaian. Bentuk ancaman perdamaian bukan lagi peperangan militer, perkembangan ideologi ISIS dan terorisme adalah salah satu aktor baru yang mengancam kedaulatan dan keamanan negara, serta perdamaian.
5(1)
6(1)
“Gerombolan ISIS dan teroris pun menjadi entitas baru yang mampu memberikan teror-terornya bukan hanya melalui tindakan langsung namun juga melalui berbagai media. “Guna pengembangan kemampuan dan optimalisasi operasionalisasi Kopassus dan pasukan khusus TNI lainnya, TNI akan membentuk Komando Operasi Pasukan Khusus TNI, sebagai bagian dari optimalisasi Interoperability TNI, sekaligus sebagai kekuatan stand by force TNI dalam penanggulangan terorisme”, jelas Jenderal TNI Moeldoko.
7(1)
8(1)
Selain itu, keberadaan Komando Operasi Pasukan Khusus TNI tidak mereduksi atau bahkan melikuidasi keberadaan Kopassus secara struktural, sebagai bagian dari pembinaan Angkatan Darat. Keberadaan Kopassus pada Komando Operasi Pasukan Khusus TNI, direpresentasikan oleh Satuan Delapan Satu, untuk menjadi kekuatan Trimatra terpadu, bersama Detasemen Jalamangkara TNI AL dan Detasemen Bravo TNI AU, yang diformat dalam satuan tugas atau task force, dengan paket rotasi periodisasi penugasan. Adapun Staf struktural permanen hanya pada tingkat Komando Operasi yang berkedudukan di bawah Markas Besar TNI.
Panglima TNI juga berharap Kopassus dan segenap prajurit Kopassus, untuk terus mengembangkan kepemimpinan lapangan, serta senantiasa menjaga soliditas, disiplin dan loyalitas yang tinggi, karena soliditas, disiplin dan loyalitas yang tinggi adalah karakter prajurit Komando Pasukan Khusus TNI. Kembangkan kreativitas dalam peningkatan kapabilitas dan keterampilan keprajuritan, dengan jiwa dan semangat juang kebangsaan, karena kita tidak ingin memiliki prajurit TNI seperti boneka dalam etalase, yang baik di raga tetapi kosong di jiwanya. (Puspen TNI)

Authentikasi :
Kadispenum Puspen TNI, Kolonel Czi Berlin G. S.Sos., M.M. HP.

DHC-5 Buffalo: Pesawat Angkut Multipurpose Yang “Kontroversial”

dhc5carriboudu4
Dengan wilayah operasi yang luas, adalah wajar bila ketiga matra TNI membutuhkan pesawat angkut taktis untuk beragam keperluan (multipurpose). Untuk itu pun, TNI terbilang kaya ragam, khususnya di segmen pesawat angkut sedang taktis (medium airlifter). Dan salah satu yang cukup berkesan namun jarang terdengar adalah varian DHC-5 Buffalo buatan pabrik de Havilland Canada.
Merujuk ke ‘sejarahnya’ di Indonesia, DHC-5 Buffalo hadir untuk melengkapi armada Puspenerbad TNI AD dan Puspenerbal TNI AL. Berbeda dengan alutsista lain yang di datangkan atas kebutuhan TNI, maka untuk Buffalo lain ceritanya. Berawal ketika Uni Emirat Arab membeli tujuh pesawat CN-235 dari IPTN (sekarang PT Dirgantara Indonesia) pada tahun 1990-an. Sebagai negara kaya, Uni Emirat Arab akan membayar tunai ketujuh pesawat tersebut, namun sebagai syaratnya Indonesia harus membeli pesawat bekas paka AU Emirat Arab, yakni lima unit DHC-5D Buffalo dan pesawat angkut ringan NC-212-200 buatan CASA Spanyol. Akhirnya, BJ Habibie selaku Dirut PT IPTN saat itu memutuskan membeli lima Buffalo dan empat NC-212 dengan harga murah, untuk kemudian dilakukan re-build.
DHC-5 Buffalo milik TNI AL.
DHC-5 Buffalo milik TNI AL.
DHC-5 Buffalo milik TNI AD.
DHC-5 Buffalo milik TNI AD.
Nah, kelima Buffalo yang dibeli PT IPTN, cerita selanjutnya disalurkan kepada pihak TNI, dalam hal ini TNI AD dan TNI AL. Pesawat-pesawat itu diterima oleh Puspenerbad dan Puspenerbal pada saat yang sama, yakni Jumat, 4 Juli 1997. Jatahnya, Puspnerbad menerima tiga pesawat, sementara Puspenerbal menerima dua pesawat.
Di Puspenerbal TNI AL, Buffalo dimasukkan ke dalam Skadron Udara 600 yang merupakan skadron angkut, yang juga menjadi induk skadron untuk pesawat angkut ringan NC-212 Aviocar produksi IPTN, lisensi dari CASA. Di Skadron 600, Buffalo mendapat peran sebagai pesawat angkut taktis. Sementara di lingkungan Puspenerbad TNI AD, Buffalo dioperasikan oleh Skadron 2/Bantuan Umum yang berpangkalan di Lanud Pondok Cabe, Jawa Barat. Skadron ini adalah skadron campuran yang mengoperasikan jenis pesawat transpor dan helikopter.
unnamed-(4)
unnamed-(8)
Buffalo A-9122 yang diterima Puspenerbad digunakan sebagai transpor VIP yang berkapasitas 20 orang. Jenis Buffalo angkut VIP ini adalah tipe DHC-5D Super Buffalo Sementara dua Buffalo lainnya adalah versi angkut personel yang dapat membawa 40 pasukan bersenjata lengkap. Dua Buffalo tersebut diberi registrasi A-9120 dan A-9121.
Ditilik dari kemampuan, Buffalo bukan pesawat angkut sembarangan, pesawat ini aslinya memang dilahirkan untuk kebutuhan misi militer. Sebagai bukti, US Army (AD AS) langsung mendaulat Buffalo sebagai pesawat angkut sedang guna pada tahun 1962. Di AS, Buffalo diberi label CV-7A yang prototipe-nya dipamerkan pada Paris Air Show 1965. Saat itu, AD AS membutuhkan pesawat angkut yang punya kapasitas angkut sepadan CH-47A Chinook, namun sebagai syarat utama, pesawat harus mampu melakukan STOL (short take off and landing). Buffalo pun cukup aktif berlaga dalam Perang Vietnam.
Konfigurasi bangku untuk pasukan.
Konfigurasi bangku untuk pasukan.
Ramp door.
Ramp door.

Sejak digunakan AS, popularitas Buffalo terus meroket, ada puluhan negara yang mengoperasikan Buffalo baik untuk kepentingan sipil dan militer. DHC-5 Buffalo terbang perdana pada 9 April 1964. Dan diproduksi secara komersial pada tahunn 1965. Produksinya berjalan di rentang periode 1965 – 1972 dan 1974. Dalam berbagai varian, total DHC-5 Buffalo yang diproduksi mencapai 122 unit.
Di Indonesia, spesifikasi Buffalo bisa disejajarkan dengan C-295 dan CN-235. Ketiganya sama-sama pesawat angkut sedang yang dibekali fasilitas ramp door di bagian belakang. Sementara dari sisi desain, Buffalo mirip dengan Fokker F-27 Troopship TNI AU, pasalnya posisi area rumah mesin jadi ‘tumpuan’ bagi roda pendarat. Posisi serupa juga dianut pesawat anti COIN OV-10F Bronco TNI AU.
Prototipe CV-7A, Buffalo varian AD AS, ditampilkan saat Paris Air Show 1965.
Prototipe CV-7A, Buffalo varian AD AS, ditampilkan saat Paris Air Show 1965.
unnamed-(14)
Sayangnya, karir Buffalo di Indonesia tidak moncer, meski diakui aslinya pesawat bagus, tetapi mengandung kontoversi, karena jalur produksinya sudah ditutup oleh pabriknya de Havilland Canada, maka saat digunakan timbul ke khawatiran akan pasokan suku cadang. Ada keluhan lain, ketika berada di Uni Emirat Arab, pesawat-pesawat Buffalo terlalu lama dijemur di lapangan terbuka. Akibatnya ketika pesawat diterbangkan ke Indonesia, mulai ditemui persoalan, antara lain kebocoran pada seals saluran bahan bakar. Selama digunakan oleh TNI, untuk jaminan perbaikan dan perawatan dilakukan oleh teknisi dari PT IPTN.
Dari catatan, selama digunakan di Indonesia, tidak ada insiden kecelakaan yang terkait Buffalo. Namun, karena usia yang sudah tua plus suku cadang yang langka. DHC-5 Buffalo, bersama F-27 Troopship dan OV-10F Bronco telah resmi di grounded pada tahun 2009. Besar harapan, sekiranya pihak TNI AU dapat memasukkan Sang Buffalo sebagai etalase di museum Dirgantara Mandala, Yogyakarta atau boleh juga dijadikan monumen seperti halnya Ilyushin Il-14 Avia di Lanud Abdul Rachman Saleh, Malang, Jawa Timur. (Gilang Perdana)

Spesifikasi DHC-5 Buffalo
– Crew: Three (pilot, co-pilot and crew chief)
– Capacity: 41 troops or 24 stretchers
– Payload: 8.164 kg
– Length: 24,08 meter
– Wingspan: 29,26 meter
– Height: 8,73 meter
– Empty weight: 11.412 kg
– Max. takeoff weight: 22.316 kg
– Powerplant: 2 × General Electric CT64-820-4 turboprop, 3,133 hp (2,336 kW) each
– Maximum speed: 467 km/h
– Stall speed: 124 km/h
– Range: 1.112 km at 3,050 meter (max payload)
– Service ceiling: 9.450 meter
– Rate of climb: 11,8 meter/second

Rabu, 29 April 2015

CIWS Baru KRI Sultan Thaha Syaifuddin

 
image
Asisten Logistik Panglima Komando Armada RI Kawasan Barat (Aslog Pangarmabar) Kolonel Laut (T) Puguh Santoso mengunjungi Kapal Perang Republik Indonesia (KRI) Sultan Thaha Syaifuddin-376 di PT. PAL, Ujung Surabaya, baru-baru ini.
Menurut Aslog Pangarmabar Kolonel Laut (T) Puguh Santoso, salah satu KRI Koarmabar yang tergabung dalam jajaran Satuan Kapal Eskorta Komando Armada RI Kawasan Barat (Satkor Koarmabar) itu merupakan KRI pertama sebagai project percontohan bekerjasama dengan perusahaan Tiongkok memasang meriam berkaliber 30 mm dengan 7 laras buatan Tiongkok yang mampu melontarkan peluru hingga 4000 butir per menit. Senjata ini dipasang untuk menggantikan meriam 30 mm lama AK 230 buatan Rusia.
Pada kesempatan itu, Kolonel Laut (T) Puguh Santoso mengatakan, selama pemasangan senjata ini pihak kapal melakukan pengawasan penuh agar mendapatkan hasil yang maksimal serta tetap melaksanakan pemeliharaan kapal sesuai dengan Sistem Pemeliharaan Terencana (SPT).
CIWS tipe 730 Tiongkok (foto: Ario Sasongko)
CIWS tipe 730 Tiongkok (foto: Ario Sasongko)

Pada kunjungan itu, Aslog Pangarmabar disambut Komandan KRI Sultan Thaha Syaifuddin-376 Letkol Laut (P) Ario Sasongko, S.E., M.P.M., M.M. (GSC) didampingi Kadepsin Mayor Laut (T) M. Irwan Ridwan, S.E., Kadepekaban Lettu Laut (E) Andri Irawan, dan Perwirastaf KRI yang lain. Aslog Pangarmabar melanjutkan peninjauan di antaranya ruangan di mana peralatan pendukung meriam 30 mm 7 Barrel tersebut dipasang,.
Kunjungan diakhiri dengan foto bersama seluruh Perwira KRI Sultan Thaha Syaifuddin-376 beserta tim teknis dari Tiongkok dan PT. PAL Indonesia.
(Dispenarmabar)

Desain Sementara Tank Medium Pindad-FNSS

 
MEDTANK 1 copy
(All photos: ARC.web.id)
Sebuah mock up tampak bertengger gagah di stand PT.Pindad dalam ajang seminar Armour Vehicle Asia, di Hotel Crown Plaza, Selasa 28/04/2015. Tak salah lagi. Inilah model pertama dari medium tank yang nantinya akan dikerjakan PT. Pindad dan FNSS Turki. Keberadaan model medium tank ini paling tidak membangkitkan semangat, bahwa proyek prestisius ini masih terus berjalan.
Namun demikian, desain ini belumlah sempurna 100%. Menurut perwakilan Pindad, masih banyak diperlukan penyempurnaan. Apalagi, insinyur dari Pindad dan FNSS belum secara resmi bekerja bareng menyempurnakan desain yang telah ada. Namun satu hal yang pasti, Medium Tank nantinya akan menggunakan kubah meriam 105mm CV-CT besutan CMI. Hal ini diamini oleh perwakilan CMI yang berada di pameran, saat berbincang dengan ARCinc.
MEDTANK 2 copy
(All photos: ARC.web.id)
MEDTANK 3 copy
MEDTANK 4 copy
Sementara perwakilan dari FNSS menyebutkan memang belum ada desain yang 100% sempurna. Tim dari kedua negara masih terus bekerja menyesuaikan requirement dari masing-masing negara. Namun, bisa dipastikan desain medium tank benar-benar baru dan tidak mengacu pada ranpur ACV-300 produk FNSS. Selain itu bobot medium tank dipastikan tidak akan melebihi 40 ton, meski untuk hal ini bergantung pada konfigurasi yang nantinya ditetapkan.
Dalam waktu dekat, Pindad dan FNSS akan melakukan penandatanganan dimulainya secara resmi pengerjaan Medium Tank. Semoga semuanya berjalan lancar. (ARC.web.id).

Eurofighter Typhoon klarifikasi soal kandungan domestik

Eurofighter Typhoon klarifikasi soal kandungan domestik
Dokumentasi kepala pilot uji Eurofighter Typhoon, Paul Smith, memberi penjelasan teknis dan doktrin operasi dasar pesawat tempur Eurofighter Typhoon, di hanggar PT DIrgantara Indonesia, Bandung, Rabu (15/4). Pesawat tempur ini ditawarkan konsorsium Eurofighter sebagai calon pengganti F-5E/F Tiger II dari Skuadron Udara 14 TNI AU. (www.antaranews/Ade P Marboen)
 
Sejalan wacana penggantian pesawat tempur F-5E/F Tiger II di Skuadron Udara 14 TNI AU, sejumlah pabrikan pesawat tempur dunia berniat turut dalam proyek pengadaan itu. 
Disebut-sebut mereka adalah JAS39 Gripen (SAAB/Swedia), Eurofighter Typhoon (konsorsium Eurofighter/Inggris, Jerman, Spanyol, dan Italia), Sukhoi Su-35 Berkut (KNAAPO/Rusia), Dassault Rafale (Dassault Aviation/Prancis), dan F-16 Fighting Falcon Block 60 (Lockheed-Martin/Amerika Serikat). 

Salah satu syarat pokok pengadaan, sejalan UU Nomor 16/2012 Tentang Industri Pertahanan, adalah kandungan komponen dan teknologi dalam negeri yang dibungkus dalam transfer teknologi. 

Terkait itu, dalam keterangan pers konsorsium Eurofighter, diterima di Jakarta, Rabu, menyatakan, sampai saat ini konsorsium Eurofighter itu belum dan tidak dapat memberikan konfirmasi mengenai produksi lokal bagian-bagian lain pesawat tempur itu, sebagaimana dispekulasikan di sejumlah media.

Konsorsium Eurofighter, kata pernyataan itu, telah memberikan tanggapan terhadap permintaan atas informasi (request for information) yang diajukan pemerintah Indonesia. 

Ini adalah tahap paling awal dari proses pengadaan alias pembelian arsenal pertahanan suatu negara, yang diakhiri dengan kontrak pasti pembelian dan hal-hal lain terkait.

Pula, konsorsium produser pesawat tempur itu telah  berdiskusi dengan PT Dirgantara Indonesia, di Bandung, dan pihak-pihak terkait lain mengenai kemungkinan perwujudan fasilitas perakitan akhir pesawat Eurofighter Typhoon di Indonesia.

Eurofighter telah memaparkan, keuntungan yang akan diperoleh dari produksi dalam negeri itu dapat mencakup pula kemungkinan memproduksi tangki bahan bakar tambahan (conformal-fuel tank), yang dapat meningkatkan daya jelajah pesawat tempur secara domestik.

Beberapa pekan lalu, model skala penuh (mock up) Eurofighter Typhoon didatangkan ke hanggar produksi PT Dirgantara Indonesia, di Bandung, untuk diperkenalkan kepada media massa nasional dan pemangku kepentingan yang turut berperan dalam menentukan pengadaan persenjataan nasional. 

Di media sosial, sejak cukup lama telah berkembang diskursus sangat dinamis di kalangan sipil soal calon pengganti F-5E/F Tiger II yang paling pas bagi Indonesia, dengan berbagai tinjauan dan argumennya.

Tokoh masyarakat daerah konflik hadiri silaturahmi Kopassus TNI AD

Tokoh masyarakat daerah konflik hadiri silaturahmi Kopassus TNI AD
Panglima TNI Jenderal TNI Moeldoko (tengah) didampingi Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal TNI Gatot Nurmantyo (kiri) dan Komandan Jenderal (Danjen) Kopassus Mayjen TNI Doni Monardo (kanan) menari bersama tarian adat suku Kamoro Papua saat acara syukuran HUT ke-63 Kopassus di Cijantung, Jakarta, Rabu (29/4). (ANTARA FOTO/M Agung Rajasa)
... sudah tidak mengangkat senjata dan bersama masyarakat lain kembali ke kampung setelah melihat pemerintah bersungguh-sungguh membangun...
Jika puluhan atau belasan tahun lalu mereka berkonfrontasi fisik dan angkat senjata, maka jaman berubah dan kini puluhan tokoh masyarakat yang daerah sempat berkonflik, di antaranya Aceh, Papua, dan Maluku, Rabu ini, menghadiri silaturahmi Kopassus TNI AD.

Satu hal yang berbeda pada peringatan hari jadi ke-63 Korps Baret Merah TNI AD itu adalah silaturahmi dengan anak-anak bangsa yang sempat berbeda pendapat dengan negara dan pemerintah itu. 

Silaturahmi itu juga dihadiri Panglima TNI, Jenderal TNI Moeldoko, Kepala Staf TNI AD, Jenderal TNI Gatot Nurmantyo, dan sejumlah mantan pejabat di lingkungan Korps Baret Merah TNI AD, di antaranya Letnan Jenderal TNI (Purnawirawan) Prabowo Subianto.

Mantan Wakil Presiden yang juga mantan Panglima ABRI, Jenderal TNI (Purnawirawan) Tri Sutrino, juga hadir, bersama-sama dengan sejumlah pejabat dari negara tetangga, di antaranya dari negara Timor Timur, Malaysia, dan Kamboja. 

Konflik bersenjata dalam negeri pernah dialami Kopassus TNI AD bersama unsur lain TNI (ABRI saat itu), di antaranya Provinsi Aceh, Provinsi Papua, Provinsi Maluku, dan (saat itu) Provinsi Timor Timur. Kopassus TNI AD sempat berganti nama beberapa kali, di antaranya RPKAD, Kopassandha, dan kini Kopassus TNI AD.

Dengan negara tetangga, itu adalah di Malaysia, sedangkan dengan Kamboja, ada kerja sama militer Indonesia dengan militer Kamboja. Pasukan Pengamanan Presiden Markas Besar TNI melatih koleganya di Kamboja. 

Adapun tokoh-tokoh dari daerah konflik antara laun Wakil Gubernur Provinsi Aceh, Muzakir Manaf, yang juga mantan Panglima GAM, Panglima Perang Ambon, Muhammad Attamimi dan Abdul Wahab Polpoke, dari Papua hadir Nicolas Youwe, Nick Meset, Frans Yocku, Supir Murib.

Murib, salah satu anggota kelompok bersenjata yang sempat mengangkat senjata dan beroperasi disekitar Kabupaten Puncak Jaya, mengatakan, dia saat ini sudah tidak mengangkat senjata setelah melihat dan merasakan pembangunan dilaksanakan didaerahnya.

"Saya bersama beberapa kawan sudah tidak mengangkat senjata dan bersama masyarakat lain kembali ke kampung setelah melihat pemerintah bersungguh-sungguh membangun," kata Murib yang didampingi Maipur Murib.

Supir Murib dan Maipur Murib terlibat dalam beberapa kasus penembakan di Kabupaten Puncak Jaya yang menewaskan aparat keamanan.

Selain menghadirkan para tokoh daerah konflik di Indonesia, dalam silaturahmi HUT ke-63 Kopassus TNI AD, juga menghadirkan tarian dan kesenian dari daerah tersebut termasuk tarian dari Malino, Kalimantan Utara.

Provokasi Malaysia di Nunukan

Malaysia tak pernah jera. Setelah kasus tiang pancang mercusuar Malaysia merambah batas wilayah Indonesia di Tanjung Datu mencuat, kini negeri jiran itu bikin ulah lagi. Menguji nyali Jokowi dari janjinya “kita akan bikin ramai”.
perbatasan_nunukan-malaysia
Kisruh pembangunan tiang pancang mercusuar Malaysia di Tanjung Datu, Sambas, Kalimantan Barat yang meledak pada medio 2014 itu memang telah dihentikan karena terbukti telah memasuki wilayah RI. Tapi pihak Malaysia kini mengulangnya lagi dalam membangun pos pengawasan laut di antara Pulau Tinabasan dan Sebatik.
Pembangunan pos itu diduga kuat melewati garis perbatasan Indonesia-Malaysia di Kalimantan Utara. Posisinya berada sekitar 2 mil laut sebelah utara Pelabuhan Lintas Batas Laut (PLBL) Liem Hie Jung Kab Nunukan pada titik koordinat 04° 09’ 288” LU – 117° 37’ 130” BT dimana tiang pancangnya di titik 0 (zero) batas negara.
Padahal persyaratan dari titik zero dengan radius 5 km tidak boleh ada bangunan apapun. Dengan demikian, dari 16 tiang pancang yang digunakan Malaysia untuk pembangunan pos tersebut, setidaknya ada empat tiang pancang yang dipasang di wilayah perairan Kalimantan.
Tak tanggung-tanggung, pos itu dibangun secara permanen. Pihak Malaysia juga membangunnya dalam posisi berhadapan dengan pos pengawasan laut Indonesia. Entah apa maksudnya kalau bukan provokasi.
Berdasarkan pantauan Indonesian Review, awal Desember 2014, pembangunannya sudah memasuki tahap pembuatan lantai dasar. Bandingkan dengan kondisi Pos Sei Pancang Sebatik Utara yang dioperasikan oleh TNI AL yang agak reyot.
Bila pembangunannya sudah menerabas batas teritori RI, tentu saja Malaysia telah melecehkan kedaulatan RI untuk kesekian kalinya. Segenap komponen bangsa, terutama TNI AL, tidak bisa menganggap persoalan tersebut sebagai kewajaran dalam konteks hak pembangunan Malaysia. Terlebih lagi dampak proses pembangunan tersebut telah menganggu jalur transportasi lintas laut dan sungai dari Kab. Nunukan menuju Kecamatan Sebuku dan Sebatik karena terkadang diberlakukan sistem buka-tutup.
Area yang digunakan nelayan daerah Sebatik dan Nunukan dalam mencari ikan juga praktis menyempit. Padahal potensi perikanan di kawasan tersebut terbilang besar. Saat masih dalam pangkuan Kalimantan Timur, Kab Nunukan dan Tarakan menyumbang 40 persen potensi perikanan dari 3000 ton lebih jumlah total produksi perikanan di Bumi Mulawarman itu per tahunnya. Terutama potensi tuna dan rumput laut yang menjadi andalan.
Nunukan memang berperan penting di bumi Etam. Sebelum masuk wilayah administratif provinsi Kalimantan Utara yang terbentuk pada 2012, geostrategis Nunukan menjadi faktor utama Kalimantan Timur dalam menyandang status kawasan zona ekonomi ekslusif karena letaknya di Laut Sulawesi sebelah timur laut Nunukan.
Potensi perikanan dan kelautan Nunukan makin terusik ketika pos pengawasan itu secara otomatis memperluas jangkauan patroli Malaysia, yang memang lebih sering bersinggungan dengan nelayan Indonesia. Apalagi sampai sekarang Police Marine Malaysia masih sering mengusir nelayan Indonesia, meskipun para nelayan masih berada di wilayah perairan Indonesia.
Dampak yang lebih serius adalah potensi kegiatan intelijen pihak Malaysia di wilayah tersebut. Maklum saja, hampir semua infrastruktur sebuah pos pengawasan biasanya dilengkapi dengan peralatan telekomunikasi, radar, dan peralatan militer lainnya.
Karena itulah peristiwa penangkapan Police Marine Malaysia terhadap 11 orang nelayan asal Kab Nunukan pada 15 Februari 2015 lalu patut diduga sebagai hasil intelijen Malaysia yang diolah secara provokatif.
Para Nelayan Nunukan itu ditangkap pada saat sedang memasang tali rumput laut di sekitar perairan perbatasan burs-point tanjung Nunukan. Police Marine negeri jiran itu mengklaim kegiatan tersebut sudah keluar dari zona batas laut. Sehingga para nelayan tersebut dituduh memasuki wilayah perairan Malaysia tanpa dokumen resmi.
Sampai dengan pekan ketiga Februari, para nelayan Nunukan itu masih ditahan pihak Malaysia. Konsulat RI di Tawau kalang-kabut dibuatnya. Satgas Konsulat sejauh ini masih berupaya membebaskan mereka tanpa melalui proses peradilan melalui permohonan kepada Jaksa Penuntut Umum Malaysia.
Pihak Malaysia nampaknya sukses memancing para nelayan itu memasuki perairannya dengan menetapkan target operasi terhadap kelompok nelayan Indonesia yang lemah. Bukan tak mungkin para nelayan itu terpancing. Mengapa?
Aktivitas pembangunan pos pengawasan perairan Malaysia itu bukan saja telah menjadi penglihatan sehari-hari. Para nelayan juga akan cenderung menganggap pekerjaan mereka yang telah melewati garis batas perairan itu lantaran sistem kehidupan sehari-hari masyarakat Kab Nunukan terutama di Pulau Sebatik dengan Malaysia begitu eratnya. Kehidupan sosial-kebudayaan keduanya sudah mendarah daging sejak lama. Keduanya satu darah, satu keturunan; menjadi sulit sekali dipisahkan oleh tapal batas teritori negara.
Ibarat kue, Sebatik adalah pulau yang dibelah dua dengan Malaysia. Posisi pulau yang terbagi menjadi lima kecamatan sejak 2011 ini berhadapan langsung dengan Kota Tawau dan Sabah, Malaysia. Jarak Sebatik ke Tawau lebih dekat dibanding ke Nunukan. Waktu yang ditempuh dari Sebatik ke Nunukan menelan sekitar 1,5 jam menggunakan berperahu. Kalau ke Tawau cuma membutuhkan 15 menit jalan kaki.
Dari aspek geografis itu saja pasti terbayang bagaimana kentalnya hubungan emosional social-kebudayaan, termasuk mata pencaharian Sebatik-Tawau ini. Saking kentalnya hubungan tersebut, bisa diibaratkan, kalau rumah-rumah penduduk yang berada di garis perbatasan itu dibelah dua, maka ruang tamunya masuk wilayah Indonesia, sedangkan ruang dapurnya masuk wilayah Malaysia.
Tak mengherankan kalau sejumlah penduduk Nunukan punya status kewarga-negaraan ganda. Hari ini warga Indonesia; besoknya jadi warga Malaysia. Perpindahan kewarga-negaraan ini mengingatkan kita pada peristiwa eksodus dan Identity Card sejumlah warga Kec. Lumbis Ogong, Nunukan menjadi warga Malaysia yang mencuat pada 2014.
Meski demikian, bagaimanapun kedekatan emosional tersebut tetap tidak bisa ditolelir jika persoalannya telah mengusik martabat bangsa. Potensi terganggunya aktivitas masyarakat, apalagi kalau sudah melewati garis batas kedaulatan negeri, menjadi suatu hal yang mesti dipisahkan dari ikatan emosional. Karena Indonesia berdiri dan berdaulat bukan cuma tersambung dengan Nunukan, tapi juga dengan 17 ribu pulau lainnya.
Maka, mengacu pada Perjanjian Landas Kontinen Indonesia-Malaysia tahun 1969 dan Konvensi Hukum Laut 1982, sudah seharusnya pemerintah Indonesia bersikap tegas atas permasalahan yang terjadi di Nunukan ini.
Terlebih lagi Indonesia-Malaysia sama-sama telah meratifikasi konvensi 1982 tersebut, yang dalam pasal 80 secara tegas disebutkan bahwa negara yang mempunyai hak berdaulat di landas kontinen mempunyai hak eksklusif untuk membangun dan memiliki kewenangan dan pengaturan atas instalasi yang dibangun di atasnya. Jadi, kalau Malaysia hendak mendirikan pos pengawasan laut yang memasuki wilayah Indonesia, seharusnya Malaysia meminta ijin.
Karena sudah berkali-kali Malaysia membandel, pemerintah RI melalui Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP), Kementerian Luar Negeri dan TNI, perlu melakukan berbagai langkah strategis dan antisipatif untuk menuntaskan persoalan garis batas tersebut secara kongkrit, sekaligus mengambil langkah tegas agar peristiwa tersebut tidak lagi terulang.
Yang dibutuhkan antara lain: pemerintah RI melayangkan nota diplomatik atas permasalahan yang sering ditimbulkan oleh Malaysia di sekitar perbatasan sebagai bentuk ketegasan RI. Hal yang sama juga ditempuh pihak TNI sebagai penjaga kedaulatan bangsa atas “invasi kedaulatan” yang sering direcoki oleh pihak Malaysia.
Sikap tegas Panglima TNI Jenderal Moeldoko dalam kasus Tanjung Datu perlu diulang. Kala itu ia memerintah prajurit TNI untuk membongkar secara paksa apabila pihak Malaysia tidak menghentikan pembangunan mercusuar itu yang telah memasuki teritori RI. Nyatanya: pembangunan tersebut akhirnya berhenti.
Dalam kasus pembangunan pos pengawasan Malaysia ini, jika negeri jiran itu masih saja melanjutkan pembangunannya yang telah memasuki batas teritori RI, tentu kita janji Presiden Jokowi harus kita tagih. Dalam kampanye Pilpres 2014 di bidang pertahanan, secara meyakinkan dia menyatakan, “kita akan bikin ramai”!. (IndonesianReview.com).

Editor:
Alfi Rahmadi
Sumber Foto:
Warga Indonesia melintasi perbatasan Indonesia-Malaysia di Kecamatan Krayan Selatan, Kabupaten Nunukan (sumber: metrotvnews.com)