Senin, 11 Agustus 2014

Panglima TNI: Malaysia Tak Bongkar Suarnya, TNI yang Bongkar

 
Saya sudah melintas dari udara, Sambas sangat strategis, dan TNI akan membangun bandara liku seluas 750 meter menjadi 2.500 meter.

Panglima TNI Jenderal Moeldoko menegaskan, institusinya berkomitmen akan membangun daerah perbatasan di Temajuk, Kecamatan Paloh, Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat.
“Kita telah bahas rencana  pembangunan pangkalan militer. Baik itu laut, darat, dan udara yang proporsional bersama Gubernur Kalimantan Barat dan Bupati Sambas di Jakarta,” kata Moeldoko seperti tertulis dalam keterangan yang diterima Liputan6.com, Sabtu (9/8/2014).
Moeldoko berada di Temajuk Jumat 8 Agustus 2014. Dia menegaskan, kedatangannya untuk dua alasan. Pertama, TNI ingin menguatkan apa yang akan dibangun di Kabupaten Sambas. Kedua, TNI ingin membangun kemajuan ekonomi masyarakat.
“Kehadiran TNI dapat membantu kesejahteraan masyarakat, baik membuat sekolah, tempat ibadah, maupun infrastruktur melalui program sosial,” ungkapnya.
Sambas, kata Moeldoko, merupakan daerah yang strategis. Karena itu, TNI akan membangun pangkalan militer. “Saya sudah melintas dari udara, Sambas sangat strategis, dan TNI akan membangun bandara liku seluas 750 meter menjadi 2.500 meter, sehingga masyarakat kabupaten Sambas tidak lagi jauh untuk lintas udara,” ujar Panglima TNI yang disambut tepuk tangan masyarakat.
Moeldoko menambahkan, “untuk pangkalan militer angkatan darat dan laut, karena pangkalan angkatan laut telah kita usulkan di Temajuk, tentunya nanti nelayan tidak perlu khawatir lagi melaut.”
Terkait pancang suar yang dibangun Malaysia di perairan Indonesia, hingga saat ini sudah dua kali ada pertemuan antara Indonesia dan Malaysia. “Saya tegaskan, jika Malaysia tidak mau bongkar, maka kami TNI yang akan membongkarnya,” tegas Moeldoko.
Untuk pembangunan pendidikan, “kita akan liat sekolah apa yang akan dibangun. Anggarannya dari Kementrian Pendidikan. TNI akan membantu kemajuan pendidikan sehingga daerah tersebut berkembang,” ujar Moeldoko.
“Berdasarkan hasil rapat bersama Menteri Pendidikan, pada kurikulum baru TNI khususnya akan memberikan pendidikan untuk disesuaikan, makanya pada kunjungan ini kami mengikutsertakan Dirjen Pendidikan,” jelasnya.
Pimpinan TNI akan menempatkan personelnya yang telah menyelesaikan pendidikan di perbatasan. Tujuannya agar mereka bisa lebih baik.
“Jika ada anak-anak kita yang ingin menjadi TNI, silahkan menghubungi Babinsa atau Kapolsek, ajarkan bagaimana cara untuk masuk TNI, begitu juga ingin masuk Polri, karena tujuan kita ingin mencari anak Indonesia yang lebih baik, dan kita akan memprioritaskan masyarakat setempat,” ujar dia.
Peningkatan pengawasan daerah perbatasan menjadi penting bukan hanya untuk mencegah terjadinya konflik dengan negara tetangga, tapi juga terkait kondisi di kawasan Laut China Selatan yang situasinya terus tegang setelah ada saling klaim sebagai pemilik laut strategis di dunia itu. (news.liputan6.com)

Nasib Teropong Bidik Senapan Malam buatan dalam Negeri

 
Kesiapan tempur satuan dijajaran TNI AD khususnya batalyon Infanteri dipengaruhi oleh kesiapan alut sista dan fasilitas pendukung yang dibekalkan serta profesionalisme prajurit yang dimilikinya, oleh sebab itu kemampuan alut sista dan fasilitas pendukung yang digunakan harus benar-benar diyakini kemampuannya, kehandalan dan kemudahan operasional oleh prajurit yang menggunakannya.
Rencana kebutuhan Teropong Bidik Senapan Malam (TBSM) Satuan TNI AD yang dituangkan dalam program Minimum Essential Force (MEF)  tahun 2010 s/d 2029 sebanyak 15.773 unit, untuk mengisi satuan pembangunan baru dan validasi Batalyon infanteri menjadi Batalyon mekanis. Jajaran satuan TNI AD sebagai pengguna teropong Bidik senapan malam  terdiri dari: 13 Yon Raider, 19 Yon diperkuat, 9 Yon Linud Kostrad, 9 Yon Kostrad, 1 Yon Mekanis, 1 Yon Roi 2000 dan 45 Yon Roi 2009. Untuk dapat memenuhi teropong bidik senapan malam sesuai MEF tersebut  tentu membutuhkan anggaran yang besar, oleh karena harga yang sangat mahal dan selama ini pengadaannya berasal dari produk luar negeri yang harganya minimal 8 – 9 kali  harga senapan SS2-V1.
Sementara Teropong Bidik Senapan Malam (TBSM) yang saat ini berada dijajaran satuan TNI AD baru berjumlah  973  unit (Tahun 2012),  sehingga masih kurang 14800 unit. Namun Teropng Bidik Senapan Malam (TBSM) yang ada saat ini  dijajaran satuan TNI AD belum 100%,   baru berjumlah 973 unit atau 6.2%, inipun kondisinya masih belum standar masih sangat variatif baik jenis, teknologi, maupun spesifikasinya, serta masih tidak bersifat interchangeability antara senjata satu dengan senjata lainnya. Dengan demikian,untuk memenuhi  tuntutan pengguna dilapangan, tentunyaTeropong Bidik Senapan Malam (TBSM) harus dapat memenuhi kriteria spesifikasi teknis yang diinginkan oleh pengguna, yang disesuaikan juga dengan jenis senjata yang dimiliki oleh satuan TNI AD (Produk PT.Pindad).
Namun teropong bidik senapan malam yang ada saat ini belum memenuhi kebutuhan  ditinjau dari aspek taktis dan teknis sesuai tuntutan dan kebutuhan prajurit dilapangan. Tuntutan dan kebutuhan tentunya harus disesuaikan dengan senapan serbu standar yang dimiliki TNI AD.
TBSM 2
Instrumentasi optik dalam hal ini TBSM (night vision riflescope) merupakan instrumen yang memungkinkan pemakainya melihat dalam keadaan gelap di malam hari, di dalam hutan, dengan hanya diterangi temaramnya cahaya bintang di langit. Instrumen semacam ini akan sangat diperlukan pada keadaan dimana daya lampu dan cahaya tidak dimungkinkan, atau tidak diizinkan. Misalnya untuk keperluan militer, dalam melaksanakan operasi malam hari, adanya cahaya harus dihilangkan sedapat mungkin, untuk tidak membahayakan keselamatan sendiri. Secercah cahaya yang sesuram apapun, harus dimanfaatkan untuk mengendarai kendaraan-kendaraan militer, untuk membidik dan menembak atau bahkan untuk melihat keadaan di tempat yang jauh.
Tidaklah mengherankan bahwa instrumen yang sangat penting ini bagi keperluan militer, mendapatkan perhatian khusus di negara-negara maju, misalnya angkatan bersenjata Amerika Serikat telah menggunakan biaya yang sangat besar untuk memenuhi alat-alat night vision ini. Jenis-jenis instrument ini sampai sekarang masih merupakan produk-produk teknologi tinggi dalam peralatan-peralatan militer.
Instrumen-instrumen ini tentu saja sangat mahal, tapi walau bagaimanapun, alat instrument ini merupakan suatu peralatan yang tak boleh ketinggalan, dilain pihak kemampuan dan ketersediaan di dalam negeri memungkinkan perancangan dan pembuatan instrument-instrumen seperti ini. Dari permasalahan di atas maka sejak 2012 Balitbang Kemhan melaksanakan rancang bangun teropong bidik senapan malam agar dapat diproduksi di dalam negeri. Untuk itu diperlukan sinergitas stake holder termauk KKIP dalam mendukung dan mengawasi kemandirian alutsista dalam negeri sehingga tidak mendatangkan dari luar negeri.
TBSM
Pada tahun 2011 melalui program PKPP Kemenristek dilakukan rancang bangun TBSM oleh Balitbang Kemhan dan dibantu tenaga ahli dari PT. Pindad dan salah satu Intitut di Bandung. Dilakukanlah beberapa studi agar bisa menguasai teknologi seperti Manufaktur, Lensa, Image Intenfier, dan Elektronik). Setelah melakukan studi dan penelitian, hingga kini sudah tidak ada kabar lagi terkait pengembangan tersebut. Semoga dana penelitian tersebut tidak dijadikan ajang memperkaya kantong pribadi. 
Berbeda dengan Balitbang Kemhan, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) sudah sejak 2010 membuat TBSM yang dibuat oleh para ahlinya di Pusat Penelitian Kalibrasi, Instrumentasi, dan Metrologi (Puslit KIM) LIPI. Menurut Ahmad Harimawan, Peneliti Instrumentasi di Puslit KIM LIPI, TBSM ini dirancang khusus untuk membidik/menembak tepat dan pengamatan pada malam hari. TBSM ini terdiri dari rumah utama (housing) yang didalamnya terpasang unit lensa objektif, Image Intensifier generasi 2 yang digabungkan dengan sumber tegangan, dan unit Ocular. Alat ini memiliki kemampuan untuk melihat obyek yang berada pada sumber cahaya yang sangat minim sekalipun, pemakai dapat melihat dan mengamati sasaran tanpa menggunakan bantuan cahaya buatan sehingga tidak mudah terdeteksi oleh musuh.
TBSM ini terutama dirancang untuk digunakan pada senapan infantri TNI seperti type SS1 yang sudah diproduksi 120 unit untuk digunakan di Papua pada thn 2004 dengan senapan mesin dan adaptor yang sesuai. Kalau untuk kalangan Sipil digunakan untuk survey dan penelitian pada waktu malam hari. TBSM sudah teruji kehebatannya. Kemampuan jarak pandang tergantung cuaca alam sekitar. Mis. Kalau ada binatang, bisa dideteksi hingga 300 meter.
LIPI juga sudah membuat Teropong Bidik Siang, dan saat ini sedang mengembangkan teropong bidik generasi keempat yang sudah dibuat para ahli di Puslit KIM LIPI. Generasi pertama dari Teropong Bidik Malam ini, sudah terbukti ketangguhannya ketika TNI berperang melawan Fretlin di Timor-Timur. Yang membanggakan, lensa optik yang digunakan pada TBSM ini benar-benar dibuat sendiri oleh para ahli LIPI.
“Kualitasnya pun sudah sejajar dengan alat yang diimpor dari luar negeri, diantaranya: -Tahan udara lembab dan kedap air (standard spesifikasi militer), -Tahan terhadap getaran tembakan 500 butir peluru (perubahan kedudukan fisir/titik bidik maksimum 1 klik). TBMS juga dapat digunakan dengan dipegang langsung atau dengan tripod. Dan yang terpenting lagi, dari aspek kemampuan SDM, kita kuat”, tegas Harimawan.
Namun menurut Harimawan, TBSM masih mempunyai kelemahan, yaitu tidak mampu menembus kabut Hal ini akan terus dicari solusinya oleh para ahli LIPI. Kendala lain yang ditemui para ahli kita di LIPI selama mengembangkan TBSM ini, diantaranya kenadala teknis dan juga sosialisasi dari pengembangan industri TBSM. Untuk produksinya masih mengalami hambatan kekurangan dana, dan untuk sosialisasinya harus mengikuti prosedur/ birokrasi.

Akan ada banyak teknologi yang akan dikembangkan dalam pembuatan TBSM ini nantinya. Tentu saja, para ahli di LIPI menginginkan perkembangan ini akan menambah daya guna bagi TBSM. Akhirnya, Harimawan, mewakili para ahli di LIPI mengharapkan support dari pemerintah. Diharapkan pemerintah membentuk industri teknis untuk mensupport hasil/produk peneliti, khususnya produk Hankam. Misalnya dengan membuat Industri Strategis. Diharapkan juga Kementerian Ristek dapat mendiseminasikan iptek kepada instansi terkait untuk dapat dikembangkan lebih lanjut, supaya tidak sia-sia. Setelah bertahun-tahun, gimana dengan perkembangannya sekarang??
(Ristek.go.id dan berbagai sumber)

TNI AD Terima Peluncur Roket Baru dari Brasil

 

Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat menerima alat utama sistem persenjataan baru berupa multiple launcher rocket system atau senjata peluncur roket bernama Astros II. Senjata baru untuk Divisi Artileri Medan tersebut didatangkan dari pabrik Avibras Indústria Aeroespacial, Brasil.
“MLRS Astros II telah tiba di Pelabuhan Tanjung Priok kemarin (6 Agustus 2014), sekitar pukul 10.00 WIB,” kata Kepala Dinas Penerangan TNI AD Brigjen TNI Andika Perkasa lewat pesan pendek kepada Tempo, Kamis, 7 Agustus 2014.
Menurut Andika, Astros II yang tiba kemarin terdiri atas tiga paket, yakni satu baterai peluncur roket, amunisi roket, dan simulator peluncur roket. Ketiga paket tersebut akan segera didistribusikan ke beberapa markas TNI Angkatan Darat sesuai dengan kebutuhan.
Satu baterai peluncur roket, kata dia, akan digunakan untuk Batalyon Artileri Medan 1/Malang, amunisi roket bagi Batalyon Artileri Medan 10/Bogor, dan simulator dikirim ke Pusat Pendidikan Artileri Medan.
Andika mengatakan Astros II tiba di Indonesia lebih cepat daripada rencana semula.TNI AD, kata dia, senang karena Astros bisa dipamerkan dalam perayaan Hari Ulang Tahun ke-69 TNI yang rencananya akan digelar di Markas Komando Armada Laut Timur, Surabaya, Jawa Timur, 5 Oktober mendatang.

Astros II, Andika melanjutkan, merupakan alat utama sistem persenjataan berupa peluncur roket yang memilki mobilitas dan fleksibilitas tinggi. Musababnya, Astros II berbentuk kendaraan tempur sebesar truk yang pada bagian belakangnya menggendong peluncur roket. Rudal Astros bisa ditembakkan dari mana saja.
Kerja sama pembelian Astros II antara pemerintah Indonesia dan Brasil sudah terjalin sejak 2012. Dalam kerja sama tersebut, Kementerian Pertahanan sebagai perwakilan pemerintah meminta perjanjian alih teknologi. Perjanjian tersebut, menurut Andika, meliputi pengadaan simulator Astros II MKS, Ammunition Mobile Acclimated Depot (AV-DMMC), revalidasi roket, dan dukungan teknis pembangunan fasilitas perawatan MLRS Astros.
Sebelumnya, pada April lalu, TNI Angkatan Darat menerima senjata baru berupa 18 pucuk meriam Hyundai howitzer tarik 155 milimeter/L52 Kh-179 dari Korea Selatan. Kaliber 155 mm pada meriam ini adalah kaliber terbesar yang dimiliki TNI AD untuk meriam jenis tarik. Daya tembak meriam ini mampu mencapai jarak 30 kilometer.
Kepala Staf TNI Angkatan Darat saat itu, Jenderal Budiman, mengatakan pembelian satu unit meriam ini menghabiskan dana sekitar US$ 980 ribu pada saat kurs rupiah 9.000 per dolar Amerika Serikat.
 

Kerjasama PT Pindad dan Rheinmetall

 
image

Produsen senjata PT Pindad (Persero) terus memperluas ekspansi penjualan produknya ke pasar amunisi internasional. Perseroan ini meneken kerja sama dengan produsen senjata asal Jerman yang berkedudukan di Afrika Selatan, Rheinmetall Denel Munition (RDM). “Pada tahap awal, kami akan fokus ke amunisi kaliber 30-105 milimeter,” kata Direktur Utama PT Pindad Sudirman Said di Hotel Shangri-La, Kamis, 7 Juli 2014.
Kerja sama dengan RDM ini akan membantu PT Pindad menggarap pangsa internasional, karena RDM selama ini menjadi pemasok amunisi ke 84 negara. “Sebagai langkah awal membuka pasar internasional, Pindad akan memasok amunisi di Asia Tenggara”, ujar Sudirman Said.
PT Pindad juga sudah menyiapkan fasilias produksi demi tercapai tujuannya itu. “Kami akan membuat fasilitas besar di Malang, Jawa Timur,” kata Sudirman. Hingga kini fasilitas yang dibangun dengan investasi Rp 15-20 miliar tersebut belum siap produksi. “Kami rencanakan setahun dari sekarang seluruh fasilitas itu lengkap.”
Chief Executive Officer RDM Nobert Schulze optimistis PT Pindad bisa meraih targetnya di pasar internasional. “Posisi Indonesia strategis,” ujarnya. Indonesia bisa menjangkau pasar Asia Tenggara dan Asia. (Tempo.co).

IAe: Durian Runtuh di Musim Luruh

 
CN235 TUDM
CN235 TUDM

Matahari siang seperti belum puas melihat rerumputan yang meradang kepanasan. Bunga-bunga penghias jalanan lunglai terkulai tak berdaya, sementara sungai dan waduk-waduk sudah lama kering kerontang. Di beberapa tempat di sekitar Kuala Lumpur dan Selangor, secara bergantian mengalami giliran jatah aliran air bersih di rumah-rumah penduduk. Kondisi kering telah lama menghantui masyarakat ibukota Malaysia, Kuala Lumpur. Ironis, berita-berita di layar kaca justru lebih sering memperlihatkan bencana banjir yang kerap terjadi di Jakarta. Sehingga pertanyaan menggelitik seringkali terdengar di kalangan masyarakat etnis China yang pemukimannya mengalami pemutusan aliran air bersih, apakah hujan ini sudah dibeli semua oleh orang seberang? Hehehe..! Maklum, dalam tahun ini, Malaysia mengalami penurunan curah hujan yang drastis. Sering dilakukan usaha merekayasa hujan, tapi dari sepuluh kali hasil uji coba, hasilnya hanya dikisaran 10-20% saja. Apa yang salah dengan iklim di Malaysia?
Inilah sesungguhnya awal diskusi yang melibatkan para pakar teknologi di Kementerian Teknologi Hijau Malaysia. Harus diakui, meskipun kementerian ini memiliki anggaran yang relatif besar, namun fasilitas yang dimilikinya, ternyata jauh lebih buruk jika dibandingkan dengan fasilitas milik LIPI. Dari sini pula, diskusi merambat kepada sektor kepemilikan dan penguasaan teknologi. Tidak diketahui jelas apa alasan yang mendasarinya, tiba-tiba Indonesia dijadikan sebagai objek pembanding. Padahal, biasanya Malaysia lebih memilih Thailand sebagai pembandingnya, mengingat kedua negara ini memiliki kesamaan letak geografis, yakni merupakan bagian dari mainland of Asia. Dari mulai sejarah kepemilikan satelit, penguasaan teknologi aeroangkasa hingga kepemilikan radar dan penguasaan teknologi yang menyertainya. Hingga pada akhirnya diskusi ini menyeret pada satu keyakinan bersama bahwa Indonesia telah menguasai sebuah teknologi yang tidak mereka kuasai. Sayang, saya bukan orang yang ahli dalam bidang aeroangkasa dan meteorologi, sehingga kurang bisa merangkai sebab akibat dari mengapa akhirnya mereka bisa sampai pada kesimpulan bahwa Malaysia harus segera mengakuisi CN235MPA versi terbaru produksi IAe(sebutan PTDI dalam bahasa Inggris). Selain itu mereka juga berminat dengan produk N295, dengan syarat semua spect N295 yang mereka pesan nanti harus sama persis dengan produk sejenis yang telah dimiliki Indonesia. Padahal sehari sebelumnya, Sultan Brunei belum berani memesan pesawat N295 ini, selama produk tersebut belum dibangun seluruhnya di Indonesia. Ada apakah gerangan, kira-kira seperti itulah pertanyaan kecil yang sering hinggap di pikiran.
Tadi siang, tiba-tiba handphone saya bergetar. Sebuah email dari seorang sahabat, dengan lantang mengucapkan selamat atas keberhasilan PTDI dalam merebut minat dari para petinggi di lingkungan TUDM. Dia juga tidak lupa meminta maaf karena selama kepergiaannya selama ini tidak pernah berkirim kabar. Rupanya dia telah diutus oleh atasannya untuk keliling ke berbagai negara, semata-mata untuk memantau tingkat kepuasan pelanggan terhadap produk pesawat jenis CN235 atau C235 dalam berbagai versi. Hasilnya ternyata telah menuntun pada hasil sidang antar menteri terkait hari ini, dalam menentukan pilihan bagi armada angkutan ringan, sedang, dan marine patrol. Komisi ini telah merekomendasikan pesawat CN235 dan N295 IAe, sebagai armada baru yang mereka perlukan.
Tentu saja kebanggaan besar tiba-tiba menyeruak dalam hati saya ketika dia menambahkan bahwa ternyata US sendiri lebih mengandalkan pesawat ini untuk mengontrol perairannya. Bahkan lebih handal dari produk sejenis yang dikeluarkan oleh Italia dan Swedia, atau bahkan dengan produk USnya sendiri..! Hahaha..! Nah lho? Masih belum yakin juga dengan kemampuan insinyur PTDI ?.
CN 235 TUDM, Malaysia Made in IAe
CN 235 TUDM, Malaysia Made in IAe

Dia menambahkan bahwa CN235 Malaysia yang telah diupgrade pada tahun 2009, konon kini telah menjadi tulang punggung bagi pengawasan wilayah udara dan laut Malaysia yang tidak kecil nilainya. Latma Ex Thypoon beberapa waktu lalu adalah medan pembuktian pesawat mungil ini. Dalam diam, Malaysia telah menyusupkan pesawat ini dalam latihan. Ada keunggulan yang diluar perkiraan dan sangat membanggakan, sehingga MinDef merekomendasikan IAe sebagai pemasok tunggal bagi pengadaan keperluan armada yang telah ditentukan.
Terima kasih Pak Syafrie Syamsudin dan Pak Budi Santoso, yang tidak pernah lelah memperkenalkan buah karya anak bangsa ini ke persada dunia. Semoga kelak bisa menjadi sebuah kebanggaan bersama. Amien..! Salam hangat bung..! (by: yayan@indocuisine, Kuala Lumpur, 08 August 2014).

Aksi Dakota dalam Kampanye PRRI


Dari kokpit C-47 Dakota, Letnan Udara Satu Sukardi melihat di kejauhan pemburu P-51 Mustang dan pembom B-25 Mitchell masih melepaskan tembakan ke bawah dengan manuver menakutkan. Sesaat lagi ke-24 Dakota akan menerjunkan ratusan pasukan payung APRI di Tabing, Padang.

            Dibanding merebut Pekanbaru dan Medan, Operasi 17 Agustus untuk menduduki Kota Padang pada 17 Maret 1958, relatif lebih mudah dari sisi penerbangan. Karena pada saat akan menyerang Padang, AURI sudah mempunyai modal tiga lapangan terbang di Pulau Bintan (Kijang), Pekanbaru (Simpang Tiga), dan Medan (Polonia).

Operasi perebutan Padang bisa disebut sebagai klimaks dari tiga operasi yang disiapkan oleh GKS (Gabungan Kepala Staf) dalam menyudahi petualangan PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia) di Sumatera.
Seperti ditulis dengan sangat baik oleh Marsekal (Pur) Sukardi di bukunya, “Saatnya Berbagi Pengalaman dan Rasa Sukardi Marsekal TNI (Purn)” dan dikutip di tulisan ini, untuk merebut kembali secara militer seluruh wilayah di Sumatera Utara dan Tengah, telah disiapkan tiga operasi. Yaitu Operasi Tegas untuk menguasai kembali wilayah Riau, dipimpin oleh Letkol Inf Kaharuddin Nasution. Operasi Saptamarga untuk merebut Sumatera Timur dan Tapanuli, dipercayakan kepada Brigjen TNI Djatikusumo. Serta merebut Sumatera Barat, disiapkan Operasi 17 Agustus dengan komandan Kolonel Inf Achmad Yani. Sikap mendua Kolonel Barlian di Sumatera Selatan pun tidak dibiarkan berkembang lebih jauh, sehingga GKS mengirim Letkol dr Ibnu Sutowo dan pasukannya lewat Operasi Sadar. Sikap simpati Barlian kepada PRRI pula yang menjadikan GKS membatalkan penggunaan lapangan terbang Palembang sebagai pangkalan aju.

Soal Kolonel Barlian, Sukardi tiba-tiba ingat kejadian beberapa tahun silam saat dia menjadi staf ahli Menkopolhukam Soesilo Soedarman. Ketika itu muncul aspirasi dari rakyat Palembang untuk mengubah nama bandara menjadi Bandara Barlian. Oleh menteri, hal ini didiskusikan dengan Sukardi, yang kemudian menjelaskan bahwa sikap simpati Barlian kepada PRRI meninggalkan catatan buruk dalam karier militernya. Sang menteri pun mengabaikan permintaan kelompok yang mengatasnamakan rakyat itu.

GKS memang memprioritaskan untuk merebut wilayah Riau secepatnya karena alasan strategis. Di antaranya karena di wilayah tersebut terdapat kilang minyak Caltex yang banyak mempekerjakan warga asing terutama dari Amerika Serikat. Walau di sisi lain, anehnya, para petualang PRRI dan juga Permesta, mendapat dukungan secara diam-diam dari  AS lewat badan intelijen CIA.

Operasi Tegas adalah operasi gabungan laut dan udara. Pasukan KKO (Korps Komando) AL dan Batalion 528 Brawijaya didaratkan dari Sungai Siak Indragiri, sementara PGT (Pasukan Gerak Tjepat) dan RPKAD (Resimen Para Komando Angkatan Darat) diterjunkan dari udara. Namun karena ALRI butuh waktu untuk mencapai Pekanbaru karena harus menelusuri sungai, maka tak ada pilihan operasi udara harus dilaksanakan segera. Karena operasi gabungan, Letkol Kaharuddin dibantu oleh Letkol Udara Wiriadinata sebagai Wakil Komandan I dan Mayor KKO Indra Subagio sebagai Wakil Komandan II.

Diharapkan menjadi yang terdepan, tidak mudah bagi AURI untuk mewujudkannya. Pasalnya tak satupun lapangan terbang di Sumatera yang bisa dipergunakan karena sudah dikuasai oleh pihak PRRI. Hanya satu yang tersisa, yaitu lapangan terbang Kijang di Bintan yang biasa disebut Tanjung Pinang (sebenarnya ini nama kota di Pulau Bintan), sekitar 350 kilometer dari Pekanbaru. Sejatinya lapangan terbang ini memiliki sejumlah kelemahan seperti tidak tersedianya fasilitas pengisian bahan bakar. Panjang landasan hanya 1.000 meter dan terbuat dari campuran batu dan tanah yang dipadatkan. Taxiway juga tidak tersedia, tempat parkir pesawat sangat terbatas. Penerangan landasan hanya mengandalkan obor-obor minyak tanah yang diistilahkan gooseneck.

Hanya itulah pilihan yang tersedia, padahal Dakota yang akan membawa pasukan payung tidak mampu terbang nonstop dari Jakarta ke Pekanbaru dan kembali lagi ke Jakarta. Legenda Perang Dunia II ini butuh stop over untuk refueling. Alhasil ketika sekitar 50 pesawat AURI dari berbagai jenis yang dilibatkan dalam Operasi mendarat di Kijang, suasananya tak ubahnya terminal bus bayangan. Pesawat di parkir di kiri dan kanan landasan pacu, sangat berdesak-desakan, wing to wing, pun tidak aman.

Peralatan komunikasi dan navigasi pangkalan hanya mengandalkan radio VHF/UHF berkekuatan sedang. Itupun masih mengkhawatirkan karena pasokan listrik yang terbatas. Karena pancaran sinyal alat pemandu navigasi tidak terlalu besar, pesawat yang akan mendarat baru bisa menangkap sinyalnya sekitar 30 mil dari pangkalan.
Menurut catatan Sukardi, sistem pertahanan pangkalan juga setali tiga uang, sesuai kemampuan APRI kala itu. Begitu pula sistem radar, tidak ada sama sekali. Bagaimana mungkin sebuah pangkalan induk tidak dilindungi oleh radar atau sistem pertahanan udara.

Karena itu pertahanan pangkalan terhadap kemungkinan serangan udara lawan, jika ada, dilaksanakan oleh pesawat Mustang. Secara rutin pesawat pemburu ini melakukan patroli udara di sekitar lapangan terbang. “Kalaulah ada sabotase saat itu, habislah sudah AURI,” kenang Sukardi kepada Angkasa di kediamannya di kawasan Jakarta Selatan.

Persiapan matang
Setelah Pekanbaru berhasil direbut pasukan APRI pada 12 Maret 1958, keberhasilan juga diperoleh lebih mudah ketika menduduki Medan. Pasukan yang semula diterjunkan di Pekanbaru, setelah alih kodal dengan pasukan darat, kemudian diterjunkan kembali di Medan. Perebutan Medan dilakukan dalam sebuah airborne operation skala kecil di Belawan pada 17 Maret yang melibatkan PGT dan RPKAD. Penerjunan dibarengi dengan pendaratan amfibi oleh KKO di pelabuhan Belawan disusul pendaratan pasukan AD dari Batalion 322. Operasi ini dirancang secara mendadak setelah laporan intelijen menyampaikan bahwa Medan diduduki oleh pasukan yang loyal kepada Mayor Boyke Nainggolan. Karena operasi dadakan ini, rencana Operasi 17 Agustus di Padang mengalami penundaan sesaat. Selesai menerjunkan pasukan, Sukardi dan 11 pesawat Dakota lainnya bermalam di Medan, bersiap untuk menyerang Padang.
 

F-16 Blok 15 OCU, Block 25, dan Block 50/52


Om Agung, apa bedanya F-16 Blok 15 OCU, Block 25, dan Block 50/52?
(Septian Wircahyo – Jakarta)
--------------
Sebelumnya kita harus tahu bahwa pesawat F-16 yang keluar dari pabrik sekarang cukup berbeda dengan versi terdahulu. Beberapa hal bisa kita lihat, seperti sayap ekor yang lebih lebar, lubang udara lebih lebar, kanopi berwarna, aneka antena atau tambahan tangki konformal di punggung. Ada yang tidak tampak seperti struktur lebih kuat, mesin lebih baik, sistem elektronik digital, mission computer yang lebih cepat, dan perangkat lunak canggih yang mengakomodasi berbagai fungsi baru, sensor baru, dan senjata baru.

Awalnya F-16 dirancang sesuai konsep Kolonel John Boyd sebagai pesawat tempur ringan untuk misi udara ke udara. Tambahan kemampuan serang darat mengubah F-16 menjadi pesawat tempur multiperan (multirole) yang mampu membawa rudal jarak sedang, sensor infra merah, sistem penglihat malam, radar multimode, senjata presisi, dan berbagai kemampuan lain.

Perbedaan di antara F-16 ditentukan lewat kelompok produksi atau disebut Seri dan Block. Saat ada produksi jenis baru F-16 diproduksi akan diberi seri berbeda dan nomor yang lebih besar. Seri F-16A/B diberikan pada pesawat Block 1 hingga 20. Huruf A menunjukkan pesawat kursi tunggal dan hurup B versi kursi ganda atau tandem. Seri F-16C/D dimulai dengan Block 25 hingga 50/52. Pesawat Block 60 memulai versi baru yang dinamai F-16E/F.

Block 15 OCU. Pesawat F-16 A/B Block 15 diproduksi sebanyak 983. Jenis ini memiliki sayap ekor horizontal lebih besar sehingga lebih stabil, tambahan dua hardpoint dekat inlet, F-16A/B Block 15 OCU (Operational Capability Upgrade) memiliki head up display lebar, data transfer unit, radar altimeter, komputer penembakan, dan senjata serta radar AN/APG-66 yang lebih baik dan mampu menembakkan rudal AGM-119 Penguin antikapal, rudal AGM-65 Maverick, dan rudal AIM-120 AMRAAM (Advanced Medium Range Air-to-Air Missile). Pesawat dilengkapi mesin Pratt & Whitney F100-PW-220 yang dilengkapi DEEC (digital electronic engine control) sehingga mampu mempercepat daya dorong dari posisi idle ke afterburner dari semula 6-8 detik menjadi dua detik. Mesin menjadi  lebih awet, mudah dirawat serta lebih andal.

Block 25. Pesawat Block 25 merupakan evolusi dari versi F-16A/B ke versi F-16C/D. Mulai diterbangkan Juni 1984, tercatat 244 pesawat  F-16  Block 25 hanya dipergunakan oleh USAF. Senjata utama Block 25 adalah AMRAAM di samping memiliki kemampuan serangan darat secara presisi dan malam hari. Pesawat ini dilengkapi komputer penembakan, komputer manajemen senjata, layar multifungsi, data transfer unit, radar altimeter, sistem navigasi inersial dan radio UHF antijam.  Pesawat dilengkapi radar AN/APG-68 yang memiliki jangkauan lebih jauh, resolusi lebih baik, dan memiliki mode operasi lebih banyak dari APG-66. Dilengkapi head up display lebih lebar dengan tombol upfront serta dua layar head-down multifungsi. Seluruh Block 25 dilengkapi mesin Pratt & Whitney F100-PW-220E yang merupakan upgrading engine seri-200. (Kol. Pnb. Agung "Sharky Sasongkojati)