Pemerintah lewat Kementerian Pertahanan RI dan TNI AU telah memutuskan Sukhoi Su-35 Super Flanker sebagai pengganti jet tempur F-5 E/F Tiger II. Setelah pernyataan tersebut, lantas bagaimana dengan nasib dari Eurofighter Typhoon dan SAAB JAS Gripen NG yang terbilang gencar dipromosikan di Indonesia? Bahkan meski ada pengumuman atas ‘kemenangan’ Su-35, Lockheed Martin dengan F-16 Viper justru percaya diri menjajakan jet tempur generasi 4.5 tersebut ke Indonesia.
Yang unik, meski keputusan pengganti F-5 telah dimenangkan Su-35, namum sampai tulisan ini dibuat belum juga ada kontrak penandatanganan pembelian. Entah mungkin masih ada tarik ulur terkait detail pembelian, seperti nilai kontrak, jenis senjata, dukungan logistik sampai urusan ToT (transfer of technology), yang pastinya butuh waktu untuk mencari kata sepakat. Lain dari itu, para kompetitor Sukhoi masih melihat ada peluang untuk memasok jet tempur baru untuk Indonesia, toh sejatinya diluar pengganti F-5, TNI AU masih butuh beberapa skadron tempur.
Meski Sukhoi Su-35 terbilang superior dan punya banyak keunggulan komparatif, tapi ada satu yang terasa agak ketinggalan, yakni sistem radar yang menganut teknologi PESA (Passive Electronic Scanning Array), seperti yang digunakan pada Sukhoi Su-27. Padahal generasi Su-30MKI (hasil pengembangan Rusia dan India) telah dilengkapi radar Zhuk yang mengusung teknologi AESA (Active Electronically Scanned Array) yang lebih baru.
Radar CAPTOR-E
Radar Sukhoi Su-35
Nah, teknologi radar AESA ini sejatinya justru sudah hadir dalam paket sistem sensor Eurofighter Typhoon dan F-16 Viper. Typhoon versi awal dilengkapi mechanically scanned radar CAPTOR-M. Radar ini masih menganut sistem konvensional yaitu scanning dilakukan dengan mengarahkan fisik antena. Radar ini kemudian digantikan dengan Active Electronically Scanned Array (AESA) CAPTOR-E. Sementara F-16 Viper hadir dengan platform SABR (Scalable Agile Beam Radar) AESA yang mengusung antena radar APG-83 buatan Northrop Grumman.
Perbedaan mendasar dari kedua sistem radar terletak pada sumber tenaganya (Transmitter), dimana PESA masih menggunakan 1 sumber tenaga, seperti klystron atau Travelling Wave Tube yang dihubungkan ke antena melalui Kabel atau Waveguide (Pandu Gelombang) yang akan terhubung pada suatu “feed” (bisa Corporate Feed seperti pada N011M BARS atau Space Feed seperti pada N001 PERO) yang akan menyalurkan gelombang elektromagnetik dari Waveguide ke pemancar (Emitter). Sementara pada radar AESA, sumber tenaganya berasal dari banyak modul TR (Transmit-Receive)yang terdapat pada antena .
Radar AESA memiliki banyak keunggulan dibandingkan dengan sistem mekanik konvensional. Radar beam bisa diarahkan lebih cepat dan fleksibel (agile beam steering) secara elektronik. Hasilnya radar ini bisa mendeteksi dan tracking lebih banyak target. Selain itu radar AESA ini juga memiliki kemampuan LPI (Low Probability of Intercept). LPI berarti emisi radar lebih sulit dideteksi lawan. Typhoon bisa menggunakan radar aktif untuk mendeteksi lawan dengan kemungkinan kecil lawan bisa tahu bila sedang di deteksi.
Radar AESA biasanya dipasang mati ke rangka pesawat. Proses scanning bisa dilakukan dengan cepat secara elektronik. Akan tetapi cara seperti ini hanya bisa mengcover area 120 derajat di depan. Pada CAPTOR-E, array AESA dipasang dalam sebuah gimbal, sehingga bisa digerakkan untuk mengcover area 180 derajat di depan. Gimbal AESA ini adalah sebuah prestasi engineering tersendiri. Jika sistem mekanik konvensional hanya butuh kabel untuk satu antenna transmit/receive. AESA butuh jalur untuk puluhan bahkan ratusan modul transmit receive.
Pada simulasi radar APG-68 AESA di F-16 Viper yang punya kemampuan deteksi jarak jauh (160 nautical mile), pesawat dengan sudut hidung 60 derajat dapat men-track 20 target sekaligus, baik yang terbang rendah maupun terbang tinggi. Radar tentunya dapat di setting sesuai misi air to surface, air to air, dan air to sea. Selain telah digunakan AS, APG-68 AESA saat ini baru digunakan F-16 AU Korea Selatan.
Katakankan untuk dalam suatu kondisi penggunaan radar untuk penjejakan sudah tak maksimal, semisal dalam pertempuran jarak dekat (dog fight), maka yang akan mengambil peran adalah penjejak target berbasis elektro optik. Meski bukan istilah yang populer, penjejak canggih ini mudah dilihat, pasalnya punya bentuk desain bola kaca yang disematkan di sisi luar depan kokpit. Di Typhoon perangkat ini disebut PIRATE (Passive InfraRed Airborne Track Equipment) buatan Eurofirst yang merupakan konsorsium dari Sales EX, Thales Optronics, dan Tecnobit. Ketiganya adalah pemasok utama perangkat avionic Typhoon. Dari perannya, PIRATE di Typhoon sebagai pendukung sistem penjejak utama pada radar AESA. Dengan basis FLIR (Forward looking Infra Red), dalam suatu misi bisa saja pilot diharuskan harus melakukan radar silient, atau jaga-jaga bila radar mengalami error, maka PIRATE bakal menjadikan pilot percaya diri meladeni dog fight. Selain Typhoon, PIRATE juga digunakan pada JAS 39 Gripen.
Begitu pun di Sukhoi Su-27/Su-30 dan Su-35, hadir penjejak elektro optik model OEPS-27. Nah, disini minusnya F-16, jet tempur mesin tunggal ini tak dibekali penjejak elektro optik internal. (Gilang Perdana)