Organisasi Papua Merdeka. (http://cakrawalakuansing.blogspot.com)
Kelompok separatis Organisasi
Papua Merdeka (OPM) kembali menunjukkan eksistensinya. Meskipun berbagai
kebijakan telah ditempuh pemerintah pusat, antara lain pemberian
otonomi khusus, tetap saja keinginan untuk memisahkan diri dari
Indonesia tidak pernah padam.
Bahkan baru-baru ini, pimpinan OPM
yang bermarkas di Lany Jaya, Papua, Puron Wenda dan Enden Wanimbo,
melontarkan pernyataan serius. Mereka menantang Indonesia berperang
secara terbuka.
"Mulai sekarang kami nyatakan perang revolusi
total dari Sorong hingga Merauke, yakni perang secara terbuka terhadap
semua orang Indonesia yang ada di tanah Papua," kata Enden Wanimbo,
Jumat, 22 Mei 2015.
Tantangan perang terbuka itu untuk menegaskan
bahwa perjuangan Papua Merdeka tetap menjadi harga mati. Mereka menolak
segala bentuk dialog serta membantah klaim dari Presiden Joko Widodo,
bahwa Papua sudah aman.
"Itu tidak benar," tegas Enden.
Untuk
mendukung perang terbuka, organisasi yang berdiri sejak 1965 itu sudah
mengumpulkan logistik seperti senjata dan amunisi. Mereka siap berperang
demi meraih tujuan.
Kolega Enden, Puron Wenda mengungkapkan
alasan mengapa kelompoknya itu memilih perang terbuka. Menurut dia,
Indonesia dianggap tidak bisa dipercaya.
"Komando OPM siap perang. Kami tak mau dialog yang diatur-atur Indonesia, yang suka tipu-tipu," ujarnya.
Puron
juga mengatakan, kelompoknya sedang menyiapkan persenjataan. Meski tak
menyebutkan secara detil waktu perang terbuka itu, namun dia mengatakan,
"Sekarang tinggal tunggu komando maka perang dimulai."
Puron meminta pemerintah Indonesia keluar dari seluruh tanah Papua. Karena, mereka akan terus berperang untuk Papua Merdeka.
Dalam
perang terbuka atau yang dinamai revolusi total dari Sorong sampai
Merauke itu, kelompok OPM Puron Wenda dan Enden Wanimbo berupaya
mengusir Indonesia dari Papua. Mereka tak hanya mengincar TNI-Polri,
tapi juga seluruh masyarakat sipil non Papua.
"Pengusaha, buruh bangunan, pegawai negeri orang Indonesia akan diusir, bukan hanya tentara atau polisi," kata Puron Wenda.
Puron
menegaskan semua gerakan mereka adalah gerakan politik untuk
kemerdekaan Papua. Dia menolak tegas disebut sebagai kelompok kriminal,
kelompok pengacau, kelompok kecil, atau istilah lain yang serupa.
"Kami pejuang kemerdekaan Papua," katanya.
Sedangkan,
Enden mengajak wartawan asing untuk masuk ke Papua guna menyaksikan
secara langsung aksi yang akan mereka lancarkan. Wartawan internasional
dan nasional akan diberi kebebasan untuk melakukan peliputan di Papua.
Reaksi Polri
Kepolisian
Daerah Papua langsung bereaksi begitu muncul tantangan perang terbuka
dari OPM tersebut. Juru bicara Polda Papua, Komisaris Besar Polisi
Patrige Renwarin, memerintahkan seluruh Kepolisian Resor di wilayahnya,
terutama yang selama ini dianggap rawan, untuk siaga dan waspada.
Bagaimanapun,
mereka harus tetap memastikan keamanan dan ketertiban masyarakat,
terutama dari ancaman kelompok-kelompok yang selama ini kerap mengacau.
Patrige mengakui ancaman serupa memang sudah sering terjadi. Namun
kali ini dia meminta seluruh jajaran untuk meningkatkan kewaspadaan.
"Sudah
sering mereka mengancam tapi kami tidak meresponsnya dengan langkah
represif, hanya antisipatif dan preventif," kata Patrige di Markas Polda
Papua di Jayapura, Jumat, 22 Mei 2015.
Patrige melihat motif
ancaman kelompok bersenjata itu jelas ingin menciptakan keresahaan di
masyarakat sehingga perlu diwaspadai sedini mungkin.
"Kami menganalisis sejauh mana ancaman yang dilancarkan, yang jelas tujuannya membuat masyarakat resah," katanya.
Selain
meningkatkan kewaspadaan, polisi juga akan menggalang dukungan kelompok
masyarakat untuk bersama menciptakan rasa aman. Caranya ialah dengan
memberikan pemahaman kepada kelompok bersenjata itu bahwa ancaman hanya
akan meresahkan dan merugikan masyarakat Papua.
"Kekerasan hanya akan melahirkan kekerasan lagi," ujarnya.
Mengenai kemungkinan penambahan pasukan di daerah yang dianggap rawan, Patrige menyatakan sejauh ini belum perlu.
"Yang
penting antisipasi, waspada. Tapi kalau memang ada polres atau polsek
yang perlu penambahan personel, tentu akan kami kirim," katanya.
TNI Kuat
Markas
Besar Tentara Nasional Indonesia juga turut merespon ancaman aksi
separatis tersebut. Mereka sama sekali tidak takut dalam menjalankan
tugas pertahanan.
"Tentara kita kuat. Tidak ada yang perlu
dikhawatirkan (dari ancaman itu)," kata Kepala Pusat Penerangan TNI,
Mayor Jenderal TNI M. Fuad Basya, saat dihubungi VIVA.co.id.
Fuad
justru meragukan ancaman yang dilontarkan oleh Puron Wenda dan Enden
Wanimbo. Menurutnya, tidak ada yang istimewa dari teror tersebut.
"Sangat
biasa, tidak ada ancaman. Mereka berapa? Itu kelompok-kelompok kecil
bersenjata yang masyarakat tidak suka sama mereka," ujarnya.
Fuad bahkan tidak yakin mereka mampu merealisasikannya.
"Emang
mereka berani melakukan? Ancaman itu sekadar ngomong saja. Kalau perang
terbuka, mereka melakukan di mana, dengan kekuatan berapa, siapa yang
mereka serang," imbuh dia.
Fuad mengungkapkan kondisi di Papua
saat ini sudah aman dan tenang. TNI konsisten membantu pemerintah daerah
dalam membangun dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Oleh
karena itu, jika ada kelompok-kelompok yang membuat kerusuhan atau
suasana tidak kondusif, justru merusak ketenangan masyarakat.
"Kalau
ada yang berniat seperti itu, berarti mereka tidak suka masyarakat
hidup makmur. Mereka akan diserang oleh masyarakat, malah jadi bumerang
buat mereka," imbuhnya.
Meskipun demikian, Fuad tetap mengimbau
kepolisian dan juga masyarakat untuk waspada. Sementara, dia memastikan
TNI juga siap menghadapi segala kemungkinan yang ada.
Untuk para
anggota OPM itu, Fuad menilai seharusnya mereka berterima kasih. Sebab,
Presiden Jokowi sejauh ini sudah mengambil langkah-langkah yang baik
seperti memberikan grasi bagi tahanan politik.
Langkah Jokowi
Menghadapi
situasi di Papua, Presiden Jokowi menempuh sejumlah langkah. Demi
menciptakan situasi kondusif di Papua, dia tercatat memberikan grasi
kepada lima narapidana politik Papua pada Sabtu 9 Mei 2015.
Lima
narapidana itu dipenjara karena telah mencuri senjata di gudang senjata
Kodim Wamena pada 3 April 2003. Mereka yang diberi grasi oleh Jokowi
adalah Numbungga Telenggen (seumur hidup), Linus Hiluka (20 tahun),
Apotnaholik Lokobal (20 tahun), Kimanus Wenda (20 tahun), dan Japrai
Murib (20 tahun).
"Ini upaya pemerintah dalam menghapus stigma
konflik yang ada di Papua. Kita ingin ciptakan Papua sebagai tanah yang
damai, sebab itulah saya memberikan grasi sore ini," kata Jokowi usai
memberikan grasi kepada lima narapidana politik Papua, di Lapas Abepura.
Selain
lima narapidana politik ini, Jokowi juga berjanji akan memberikan grasi
pula kepada sembilan narapidana Papua lainnya. Namun, ada satu
narapidana yang tidak diberi grasi oleh Jokowi.
Dia adalah Filep Karma, karena meminta amnesti. Jokowi menyatakan,
dia tak bisa serta merta dapat memberikan amnesti. Sebab, pemberian
amnesti harus melalui persetujuan DPR.
"Saya ingin berikan grasi,
tapi dia minta amnesti. Sedangkan amnesty harus persetujuan Dewan, kita
tunggu apakah Dewan setuju," ujar Jokowi.
Menurut Jokowi,
pemberian grasi kepada lima tahanan itu melalui proses yang panjang.
Bukan serta merta hanya dipilih oleh Jokowi.
"Bukan dipilih tapi melalui komunikasi dan proses," ungkap Jokowi.
Dengan
membebaskan semua tahanan politik dan narapidana politik ini, Jokowi
berharap mereka akan bersama-sama membangun Papua menuju wilayah yang
lebih sejahtera.
"Mari semua bergandeng tangan membangun Papua, meski dengan cara yang berbeda-beda," kata Jokowi.
Ia juga meminta melupakan masa lalu dan mengajak untuk menata masa depan.
"Mari lupakan yang lalu, jangan lagi saling menyalahkan, tapi mari tatap masa depan yang lebih baik," ujar Jokowi.
Salah satu napol yang mendapat grasi yakni Japrai Murib menyatakan rasa syukurnya atas grasi yang diberikan Presiden Jokowi.
"Saya
bersyukur dengan grasi ini, ini jawaban yang saya tunggu-tunggu selama
12 tahun 8 bulan saya di penjara, era SBY grasi saya ditolak," katanya.
Sementara itu, Kimanus Wenda menyatakan, grasi yang diberikan Presiden adalah pemindahan dari penjara kecil ke penjara besar.
"Dengan
di luar kami bekerja luas dengan masyarakat, sebab kami adalah alat
masyarakat," ujar Wenda yang menjalani tahanan selama 12 tahun 8 bulan.
Selain tahanan politik, Jokowi juga mengajak semua anggota dan pimpinan OPM Goliat Tabuni untuk bersatu membangun Papua.
"Ke
depan kita akan ajak sama-sama membangun Papua dengan pendekatan
kesejahteraan dan meningkatkan pembangunan," kata mantan Gubernur DKI
Jakarta itu.
Untuk itu, Jokowi meminta semua pihak jangan lagi ada yang memanas-manasi situasi Papua.
"Kita akan bangun Papua, jadi jangan lagi ada yang panas-panasi," tutur Jokowi.
Jokowi mengaku belum menerima surat dari Goliat Tabuni yang berisi pernyataannya untuk terus berjuang demi kemerdekaan Papua.
"Saya belum terima suratnya," ujar dia.
Goliat mengklaim bahwa dia telah mengirim surat ke Jokowi melalui kapolres Puncak Jaya, kapolda, dan gubernur Papua.
Hanya Gertakan
Sementara
itu, Koordinator Jaringan Damai Papua (JDP), Pater DR Neles Tebay,
mengungkapkan pendapatnya. Dia mencatat, ancaman yang dilontarkan OPM
kali ini tidak biasa.
Sebab, dalam beraksi OPM biasanya mereka
tidak pernah mengumumkan terlebih dahulu. Apalagi memberitahukan akan
melakukan perang.
"Kalau mereka lihat musuh, hajar saja tanpa
pemberitahuan atau pengumuman. TNI, Polri, aparat keamanan, mereka
tembak saja. Kali ini ada pengumuman bahwa ada perang terbuka. Bagi
saya, itu sesuatu hal baru yang tidak pernah dibuat OPM-OPM," kata Neles
saat berbincang dengan VIVA.co.id.
Neles menilai, aksi
Puron Wenda dan Enden Wanimbo tersebut hanya untuk menggertak
pemerintah. Menurutnya, mereka hanya ingin menunjukkan eksistensi.
"Mereka
ingin mengatakan bahwa mereka ada. Itu saja. Tapi saya tidak terlalu
percaya mereka akan melakukan suatu perang terbuka, melawan semua orang,
tidak hanya TNI Polri tapi orang-orang Indonesia," ujarnya.
Meskipun
demikian, Neles meminta pemerintah tidak boleh memandang remeh ancaman
perang terbuka tersebut. Selain itu juga tidak perlu terpancing.
"Mereka juga punya potensi untuk menciptakan perdamaian, memicu aksi-aksi kekerasan,"
Untuk
menghadapi situasi itu, Neles menawarkan sebuah jalan keluar. Selain
tidak berlebihan dan memandang remeh, menurutnya, pemerintah perlu
memperlihatkan bahwa mereka serius menyelesaikan masalah Papua secara
menyeluruh.
"Apa masalah Papua? Sebaiknya, cari bentuk yang pas dilakukan dialog," usulnya.
Ketua
Sekolah Tinggi filsafat Teologi (STFT) Fajar Timur di Abepura, Papua,
itu menjelaskan bahwa masyarakat Papua dibagi menjadi tiga kelompok.
Pertama, mereka yang hidup di kota dan kampung. Kedua di hutan yaitu
para anggota OPM dan pasukan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat
(TPNPB). Lalu ketiga, di luar negeri seperti Belanda, Australia dan
negara-negara lain.
Untuk menyelesaikan persoalan Papua, dia
menyarankan pemerintah khususnya Presiden Jokowi agar tidak hanya
menemui mereka yang masuk kategori pertama. Tapi, kategori kedua dan
ketiga juga harus diprioritaskan.
"Ini bagaimana pemerintah membangun komunikasi politik dengan mereka terutama yang di hutan dan luar negeri," lanjutnya.
Neles
mempersoalkan, apabila Jokowi bisa mengunjungi orang Papua di kota dan
kampung tiga kali setahun, bagaimana dengan yang di luar negeri dan
hutan? Padahal mereka memperjuangkan aspirasi politik dengan kekerasa,
dan yang di luar negeri dengan lobi-lobi yang semakin hari semakin
gencar.
"Presiden jangan hanya mendekati yang ada di kampung atau
kota tapi dengan yang di hutan dan luar negeri. Pemerintah bisa dengar
sendiri dari mereka sehingga tahu apa yang mereka mau. Mungkin masalah
mereka sudah ditutaskan tapi belum tentu mereka tahu," tuturnya.
Saat
disinggung, apakah Jokowi perlu blusukan ke hutan-hutan Papua demi
menemui masyarakat Papua yang hidup di sana, Neles menyerahkannya pada
Jokowi untuk mengaturnya.
"Di mana terserah, itu bisa diatur.
Yang penting, kehendak politik pemerintah untuk membangun komunikasi
politik dengan masyarakat Papua di hutan dan luar negeri supaya dengar
sendiri apa yang jadi masalah".
Neles lalu memberikan saran pada TNI dan Polri. Menurutnya, institusi
pertahanan dan keamanan itu juga tidak perlu berlebihan dalam
menanggapi pernyataan tentang ancaman perang terbuka dari OPM misalnya
dengan menggelar operasi militer, atau memperbanyak pasukan di Papua.
"Tapi
jangan terlena, tetap bersiaga saja, wasapada. Tidak melakukan tindakan
secara berlebihan, kalau berlebihan bisa antipati, bukan hanya dari OPM
tapi masyarakat Papua," dia mengingatkan.