Inilah catatan wartawan senior Julius Pour dalam bukunya Djakarta 1945, Awal Revolusi Kemerdekaan, mengenai drama di sekitar 17 Agustus 1945, sebagian sengaja ditulis dengan ejaan lama untuk menunjukkan keotentikannya.
Cukilan bukunya dibuat oleh Mayong Suryo Laksono, seperti yang pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Januari 2014 hasil cukilan dari.
--
Pada Rabu sore, 15 Agustus 1945, sekelompok pemuda
revolusioner mengadakan pertemuan di belakang Laboratorium
Bakteriologi di Jln. Pegangsaan Timoer No. 17. Mereka antara lain
Darwis, Soebadio, Soebianto, Margono, dll.
Mereka sepakat bahwa
kemerdekaan harus dinyatakan sendiri oleh bangsa Indonesia, tanpa
menunggu hadiah dari Jepang. Mereka membujuk Hatta dan mendatangi Soekarno. Tapi Bung Karno tetap tidak bersedia, bahkan dia mengkritik para pemuda itu tidak kompak karena masing-masing membawa kepentingan diri dan kelompoknya.
Para
pemuda berunding lagi, kemudian memutuskan untuk membawa pergi
Soekarno dan Hatta agar rapat PPKI gagal dan hanya Soekarno dan Hatta
yang dianggap layak menyatakan kemerdekaan.
Chaerul Saleh,
Moewardi, Soekarni, Joeseof Koento, dll. pada pukul 04.00 Kamis, 16
Agustus 1945, membawa Soekarno dan Hatta ke Rengasdengklok, Jawa Barat.
Para
pemuda yang ditulangpunggungi prajurit PETA bentukan Jepang itu lebih
suka menyebut operasi mereka operasi militer, bukan penculikan.
Soekarno ditemani Fatmawati dan Guntur yang pada waktu itu berusia
sembilan bulan.
Mereka ditempatkan di asrama PETA Rengasdenglok.
Di hadapan para prajurit muda yang garang itu Soekarno dan Hatta
bergeming pada pendiriannya, tidak mau memproklamasikan kemerdekaan.
Sementara
itu di Djakarta, para pemuda menggalang kekuatan bersenjata dan pasukan
cadangan untuk menyerbu pos-pos Jepang. Tapi rencana itu mendapat
tentangan juga dari sesama pemuda.
Moewardi misalnya, yakin
bahwa pasukan PETA tidak mungkin bisa mengalahkan pasukan Jepang di
Djakarta karena kalah dalam jumlah. Latief Hendraningrat membatalkan
niat menyerbu.
Demikian pula Kasman Singodimedjo. Chairul Saleh
marah-marah, tapi dia juga tidak bisa apa-apa. Kekuatan PETA makin
berkurang. Serangan pun batal.
Bung Karno langsung bereaksi.
“Sudah jelas revolusimu gagal. Lantas buat apa kalian menahan kami
semua di desa ini?!” ia membentak Soekarni.
Ahmad Soebardjo datang untuk menjemput Soekarno dan Hatta karena
yakin, walau rapat PPKI batal dilaksanakan pagi harinya, banyak hal bisa
dilakukan di sana daripada menanti tanpa kejelasan di Rengasdengklok.
Akhirnya Kamis sore, 16 Agustus 1945, mereka semua kembali ke Jakarta. Sampai di Jln. Pegangsaan Timoer sekitar pukul 20.00.
Pada
pukul 23.00 Soekarno, Hatta, dan Ahmad Soebardjo pergi ke rumah
Laksamana Tadhasi Maeda, Kepala Kantor AL Jepang di Djakarta merangkap
pimpinan dinas intelijen Kaigun Armada Selatan.
Mereka berharap,
perwira tinggi Jepang yang matang dalam penugasan di banyak negara, juga
menyetujui pilihan bangsa Indonesia untuk merdeka, itu akan memberi
jaminan keamanan.
Tapi
ternyata mereka harus menghadap Mayjen Otoshi Nishimura, Direktur
Departemen Umum Pemerintah Militer Jepang, yang bersikeras menganggap
tentara Jepang terikat pada syarat-syarat penyerahan. “Kami harus
menyerahkan negeri ini kepada Sekutu dalam kondisi status quo.”
Soekarno
membantah seraya mengingatkan pertemuannya dengan Marsekal Terauchi di
Dalat, empat hari sebelumnya, bahwa pemerintah Jepang sudah menyerahkan
kemerdekaan Indonesia kepada bangsa Indonesia sendiri.
Tapi
Jenderal Nishimura juga bersikeras, sejak siang hari tadi datang
peraturan baru dari Sekutu, pihak yang mengalahkan mereka, yang membuat
mereka harus membatalkan janji kemerdekaan kepada bangsa Indonesia.
Itu
yang membuat Hatta marah dan membentak, “Apakah itu janji dan
perbuatan seorang samurai?! Dapatkah seorang samurai menjilati sepatu
lawan yang telah memenangkan pertempuran?! Kami bangsa Indonesia akan
tetap berjuang, apa pun yang akan terjadi. Kami akan menunjukkan kepada
tuan-tuan bagaimana seharusnya sikap seorang samurai.”
Suasana
kalut. Rencana kemerdekaan yang sudah di depan mata terancam mentah
lagi. Para pemuda yang sudah tidak sabar ingin segera memberontak dengan
risiko berhadapan dengan pasukan Jenderal Nishimura.
Soekarno,
Hatta, dkk. ternyata tidak gentar. Mereka bahkan cukup cerdik berlindung
pada Laksamana Maeda dengan risiko membenturkan kedua pemangku
kebijakan Pemerintah Jepang di Djakarta itu.
Malam itu juga teks
proklamasi dirumuskan di rumah Maeda. Hatta mendiktekan, Soekarno yang
menulis. Soekarni mengusulkan perubahan tapi ditolak oleh beberapa
wakil golongan muda yang juga hadir.
Praktis forum itu menjadi
seperti Panitia Persiapan Kemerdekaan. Waktu menunjukkan pukul 03.00
dini hari, Jumat 17 Agustus 1945.
“Oleh karena keadaan mendesak memaksa kami harus mempercepat perumusan proklamasi kemerdekaan,” kata Soekarno.