Minggu, 19 Agustus 2018

Yang Dilakukan Para Pemuda Terhadap Soekarno-Hatta adalah Operasi militer, Bukan Penculikan


Bung Karno Membaca teks proklamasi pada 17 Agustus 1945

Bung Karno Membaca teks proklamasi pada 17 Agustus 1945

Inilah catatan wartawan senior Julius Pour dalam bukunya Djakarta 1945, Awal Revolusi Kemerdekaan,  mengenai drama di sekitar 17 Agustus 1945, sebagian sengaja ditulis dengan ejaan lama untuk menunjukkan keotentikannya.
Cukilan bukunya dibuat oleh Mayong Suryo Laksono, seperti yang pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Januari 2014 hasil cukilan dari.
--
Pada Rabu sore, 15 Agustus 1945, sekelompok pemuda revo­lusioner mengadakan pertemuan di belakang Laboratorium Bakte­riologi di Jln. Pegangsaan Timoer No. 17. Mereka antara lain Darwis, Soebadio, Soebianto, Margono, dll.
Mereka sepakat bahwa kemerdekaan harus dinyatakan sendiri oleh bangsa Indonesia, tanpa menunggu hadiah dari Jepang. Mereka membujuk Hatta dan men­datangi Soekarno. Tapi Bung Karno tetap tidak bersedia, bahkan dia mengkritik para pemuda itu tidak kompak karena masing-masing membawa kepentingan diri dan kelompoknya.

Para pemuda berunding lagi, ke­mudian memutuskan untuk mem­bawa pergi Soekarno dan Hatta agar rapat PPKI gagal dan hanya Soekarno dan Hatta yang dianggap layak menyatakan kemerdekaan.
Chaerul Saleh, Moewardi, Soekarni, Joeseof Koento, dll. pada pukul 04.00 Kamis, 16 Agustus 1945, membawa Soekarno dan Hatta ke Rengasdengklok, Jawa Barat.
Para pemuda yang ditulangpunggungi prajurit PETA bentukan Jepang itu lebih suka menyebut operasi mereka operasi militer, bukan pen­culikan. Soekarno ditemani Fatma­wati dan Guntur yang pada waktu itu berusia sembilan bulan.
Mereka ditempatkan di asrama PETA Rengasdenglok. Di hadapan para prajurit muda yang garang itu Soekarno dan Hatta bergeming pada pendiriannya, tidak mau memproklamasikan kemerdekaan.

Sementara itu di Djakarta, para pemuda menggalang kekuatan bersenjata dan pasukan cadangan untuk menyerbu pos-pos Jepang. Tapi rencana itu mendapat ten­tangan juga dari sesama pemuda.
Moewardi misalnya, yakin bahwa pasukan PETA tidak mungkin bisa mengalahkan pasukan Jepang di Djakarta karena kalah dalam jumlah. Latief Hendraningrat membatalkan niat menyerbu.
De­mikian pula Kasman Singodimedjo. Chairul Saleh marah-marah, tapi dia juga tidak bisa apa-apa. Kekuatan PETA makin berkurang. Serangan pun batal.
Bung Karno langsung bereaksi. “Sudah jelas revolusimu gagal. Lan­tas buat apa kalian menahan kami semua di desa ini?!” ia membentak Soekarni.

Ahmad Soebardjo datang untuk menjemput Soekarno dan Hatta ka­rena yakin, walau rapat PPKI batal dilaksanakan pagi harinya, banyak hal bisa dilakukan di sana daripada menanti tanpa kejelasan di Rengasdengklok.
Akhirnya Kamis sore, 16 Agustus 1945, mereka semua kembali ke Jakarta. Sampai di Jln. Pegangsaan Timoer sekitar pukul 20.00.
Pada pukul 23.00 Soekarno, Hatta, dan Ahmad Soebardjo pergi ke rumah Laksamana Tadhasi Maeda, Kepala Kantor AL Jepang di Djakarta merangkap pimpinan dinas intelijen Kaigun Armada Selatan.
Mereka berharap, perwira tinggi Jepang yang matang dalam penugasan di banyak negara, juga menyetujui pilihan bangsa Indo­nesia untuk merdeka, itu akan memberi jaminan keamanan.

Tapi ternyata mereka harus menghadap Mayjen Otoshi Nishimura, Direktur Departemen Umum Pemerintah Militer Jepang, yang bersikeras menganggap tentara Jepang terikat pada syarat-syarat penyerahan. “Kami harus menyerahkan negeri ini kepada Sekutu dalam kondisi status quo.”
Soekarno membantah seraya mengingatkan pertemuannya dengan Marsekal Terauchi di Dalat, empat hari sebelumnya, bahwa pemerintah Jepang sudah menyerahkan kemerdekaan Indonesia kepada bangsa Indonesia sendiri.
Tapi Jenderal Nishimura juga ber­sikeras, sejak siang hari tadi datang peraturan baru dari Sekutu, pihak yang mengalahkan mereka, yang membuat mereka harus membatalkan janji kemerdekaan kepada bangsa Indonesia.
Itu yang mem­buat Hatta marah dan membentak, “Apakah itu janji dan perbuatan se­orang samurai?! Dapatkah seorang samurai menjilati sepatu lawan yang telah memenangkan pertempuran?! Kami bangsa Indonesia akan tetap berjuang, apa pun yang akan terjadi. Kami akan menunjuk­kan kepada tuan-tuan bagaimana seharusnya sikap seorang samurai.”

Suasana kalut. Rencana kemerdekaan yang sudah di depan mata terancam mentah lagi. Para pemuda yang sudah tidak sabar ingin segera memberontak dengan risiko ber­hadapan dengan pasukan Jenderal Nishimura.
Soekarno, Hatta, dkk. ternyata tidak gentar. Mereka bahkan cukup cerdik berlindung pada Laksamana Maeda dengan risiko membentur­kan kedua pemangku kebijakan Pemerintah Jepang di Djakarta itu.
Malam itu juga teks proklamasi dirumuskan di rumah Maeda. Hatta mendiktekan, Soekarno yang menulis. Soekarni mengusul­kan perubahan tapi ditolak oleh beberapa wakil golongan muda yang juga hadir.
Praktis forum itu menjadi seperti Panitia Persiapan Kemerdekaan. Waktu menunjuk­kan pukul 03.00 dini hari, Jumat 17 Agustus 1945.
“Oleh karena keadaan mendesak memaksa kami harus mempercepat perumusan proklamasi kemerdekaan,” kata Soekarno.


1 komentar: