Rabu, 16 Maret 2016

Heckler & Koch Kirim 490 Pistol dan Senapan Otomatis ke Indonesia


Pemerintah Jerman telah menyetujui beberapa kesepakatan ekspor senjata dengan negara-negara di Timur Tengah, termasuk pengiriman 23 helikopter Airbus ke Arab Saudi, ujar surat Kementerian Ekonomi, Senin, 14/3/2016.
Menteri Ekonomi Sigmar Gabriel telah bersumpah untuk menjadi lebih berhati-hati dalam lisensi ekspor senjata, yang menakutkan bagi industri pertahanan Jerman yang cukup besar akibat sinyal perubahan kebijakan dari pemerintah koalisi sebelumnya di mana menyebabkan penjualan meningkat.
Namun, dalam sebuah surat kepada anggota parlemen di majelis rendah komite ekonomi, Bundestag, Gabriel mengatakan pemerintah Dewan Keamanan federal juga telah menyetujui kesepakatan dengan Heckler & Koch untuk memberikan 660 senapan mesin, 660 barel gun tambahan dan 550 sub-senapan mesin ke Oman.
Hal ini juga memberi lampu hijau untuk pengiriman Heckler & Koch dari 130 pistol mesin dan senapan otomatis ke Uni Emirat Arab dan diperbolehkannya Rheinmetall untuk mengekspor 65.000 kartrid mortir ke negara itu, sambil menunjukkan dokumennya.
automatic rifles by Heckler & Koch
Pemerintah juga menyetujui pengiriman lima helikopter militer Airbus ke Thailand dan ekspor hampir 490 machine pistols dan senapan otomatis Heckler & Koch ke Indonesia.
Pada bulan Januari, Gabriel mengatakan Jerman mungkin terlihat sulit untuk mengekspor senjata ke Arab Saudi setelah kerajaan Teluk melaksanakan eksekusi terbesar massa selama beberapa dekade.
Selain itu, Menteri Luar Negeri Frank-Walter Steinmeier telah berulang kali mengatakan bahwa Berlin ingin menurunkan ketegangan di Timur Tengah.

Reuters

Kamis, 25 Februari 2016

Kavaleri Udara : “Kuda” Perang Tangguh Pemukul Musuh dan Benteng Serangan Terorisme

468519-we-were-soldiers

Anda pernah menonton film We Were Soldiers yang dibintangi Mel Gibson dan di sutradarai Randall Wallace tahun 2002? Jika belum, bagi Anda penikmat dunia militer dan juga film ada baiknya menonton film ini. Mengapa? Karena film ini diadaptasi dari kisah nyata yang juga dibukukan We Were Soldiers Once…And Young karya Letnan Jenderal (Ret.) Hal Moore dan Joseph L. Galloway. Kisah dalam film dan buku tersebut menggambarkan salah satu peristiwa pertempuran terhebat dalam Perang Indochina antara Divisi Kavaleri Udara ke-1 Amerika Serikat berkekuatan +/- 400 prajurit dengan tentara Viet Minh Vietnam Utara yang berkuatan +/- 4000 personil di bukit La Drang.

Divisi Kavaleri Udara Angkatan Darat Amerika Serikat pertama kali digunakan sejak pecah perang Indochina. Unit tersebut pada awalnya dibekali sejumlah “kuda” perang yang terdiri dari helikopter UH-1 troop carrier, UH-1-C gunship dan CH-47 Chinook sebagai pengangkut perbekalan dan CH-54 sky crane. Kavaleri ini menjadi tulang punggung pasukan pemukul Angkatan Darat Amerika Serikat mengingat kondisi geografis Vietnam yang masih banyak tertutup hutan lebat dan daerah pegunungan sehingga gerak maju kendaraan lapis baja di darat menjadi sangat terbatas mobilitasnya.

2717016_1648350axwygv_128943460

Sepanjang kiprahnya di Perang Indochina, Kavaleri Udara sering dilibatkan dalam pertempuran berskala besar untuk menghadang gerak maju tentara Vietnam Utara. Perang itu antara lain Operasi Tet tanggal 31 Januari 1968, Operasi Pegasus pada Maret 1968 dan Operasi Delaware pada April 1968.

aircav

Bagaimana dengan Indonesia ?
Sebagai negara tropis yang memiliki kondisi geografis mirip seperti Vietnam, ide dan gagasan pembentukan divisi Kavaleri Udara di lingkungan TNI sangat penting untuk dikembangkan. Hingga saat ini, unit Kavaleri Udara TNI berada di bawah koordinasi Puspenerbad. Selama beberapa dekade, unit-unit kavaleri udara banyak mengandalkan helikopter Bell 205 A-1 dan N-Bell 412 serta NBO-105. Perlahan, peran ketiga alutsista tersebut mulai mendapat penyegaran dengan masuknya varian helicopter Mil Mi-17-v-5 buatan Rusia yang memiliki daya angkut besar dan kelincahan serta bullet proof.

aa9198c32db68d943e8e2baa4ee3bb96

Penyegaran berikutnya adalah akan keberadaan NBO-105 yang akan segera digantikan oleh AS 550 Fennec sebanyak 12 unit pada tahun 2016. Salah satu keberadaan alutsista yang membuat konsep kavaleri udara TNI mengalami perubahan yang cukup drastis adalah kehadiran Mi-35P Hind buatan Rusia. Dengan kehadiran helikopter ini, alutsista terbang Penerbad tidak hanya menyasar sasaran personil musuh yang ada di darat namun juga menyasar kendaraan lapis baja. Konsep pertahanan dan serbuan militer Penerbad juga akan mengalami perubahan yang cukup signifikan lagi menjelang kedatangan AH-64 Guardian buatan Boeing-Amerika Serikat.

Personel Kopassus saat melakukan demo fast rope di HUT ABRI ke-50 tahun 1995
Personel Kopassus saat melakukan demo fast rope di HUT ABRI ke-50 tahun 1995

Jika Mi-35P Hind Penerbad masih dapat difungsikan untuk mengangkut personil/IFV (Infantry Fighting Vehicle), maka AH-64 Guardian akan benar-benar difungsikan sebagai heli serang murni dengan target utama sasaran kendaraan lapis baja, angkut personil, instalasi musuh dan personil musuh dari jarak 12 km atau lebih.

Menurut hemat penulis, seiring dengan modernisasi alutsista untuk memenuhi Minimum Essential Force/MEF yang berpengaruh terhadap perubahan strategi dan metoda pertahanan, ada baiknya konsep pertahanan awal terbentuknya kavaleri udara tetap dipertahankan. Konsep tersebut adalah mengandalkan mobilitas pasukan dalam jumlah besar dengan helikopter untuk menangkal gerakan-gerakan sipil bersenjata yang banyak bersembunyi di lebatnya pegunungan sejumlah daerah di Tanah Air.

Sebut saja kelompok Santoso yang masih bersembunyi di Gunung Biru-Sulawesi, juga kelompok sipil bersenjata di pedalaman Aceh serta pegunungan Papua adalah “surga” persembunyian bagi kelompok-kelompok tersebut. Sangat tidak efektif jika aparat keamanan yang biasa beroperasi di kota dengan menggunakan kendaraan darat berusaha menghancurkan sarang-sarang teroris yang mengandalkan taktik perang gerilya di hutan dan pedalaman. Menurut hemat penulis, ada baiknya jika Densus 88 Polri dibekali dengan kemampuan kavaleri udara untuk melakukan penyergapan, penangkapan dan memantau pergerakan kelompok sipil bersenjata yang terus menebar teror pada masyarakat di pedalaman. (oleh: Muhamad Sadan – Pemerhati Militer dan Dirgantara)
 

Rajawali 350: Rahasia Dibalik Kecanggihan Drone Helikopter Bakamla RI

r-350_over_the_deck

Berita tentang rencana pembelian drone helikopter oleh Bakamla (Badan Keamanan Laut) RI telah terendus sejak awal tahun lalu, dan di ajang Singapore Air Show 2016, angin segar tentang datangnya drone helikopter tersebut kian berembus kencang, pasalnya Bakamla dikabarkan bakal membeli tiga unit drone Rajawali 350 besutan PT Bhineka Dwi Persada (BDP), perusahaan swasta nasional yang juga memasok drone Rajawali 330 untuk TNI AD.

Drone helikopter pesanan Bakamla ini jelas beda dengan drone heli yang kerap ditampilkan dalam wujud quad copter. Rajawali 350 bentuknya lumayan besar untuk ukuran drone dan desainnya mengusung rancangan helikopter konvensional, ini wajar mengingat Rajawali 350 nantinya akan dioperasikan di wilayah lautan yang harus menghadapi terpaan angin kencang.

Rajawali-350-2

Rajawali-350-1

Dirunut dari silsilahnya, Rajawali 350 dibangun dari platform drone R-350 buatan UMS Skeldar, manufaktur drone asal Swiss yang sahamnya mayoritas dikuasai Saab, Swedia. Ditangan PT BDP, drone ini ‘dijahit dan dikemas’ sesuai kustomisasi dari pemesan. Dalam penjelasannya ke Indomiliter.com di Singapore Air Show 2016, (17/2/2016), Christeven Bong, Executine Engineer PT BDP menyebutkan, “Rajawali 350 sangat pas untuk mendukung tugas intai maritim dan dapat mendukung peran SAR.” Bicara tentang SAR, Rajawali bisa dilengkapi air droppable SAR pods.

Rajawali-350-3

Sementara untuk misi yang terkait intai mengintai, drone helikopter dengan bobot 150 kg ini bisa dipasangi radar GMTI (ground moving target indicator), teknologi yang juga dipasang pada radar intai Saab terbaru GlobalEye. Dengan GMTI, Rajawali 350 sanggup men-track pergerakan kapal-kapal kecil yang bermanuver tinggi di permukaan.

Dengan kapasitas payload 25 – 30 kg, pilihan perangkat canggih yang bisa dipasang ada Lidar (Light Detection and Ranging), multi/hyper spectral camera, dan SIGINT/ELENT system dan communication relay system. Sementara bermacam sensor gimbal yang bisa dicangkok termasuk EO (electro optic)/IR (infra red) sensor dan mapping camera.

Karena bakalan di setting untuk lepas landas dan mendarat dari deck kapal Bakamla, urusan dapur pacu menjadi perhatian serius, yang jelas tenaganya harus mumpuni untuk ‘melawan’ kencangnya angin laut. Rajawali 350 mengadopsi mesin turbin 25 Kw. Radius operasinya mencapai 120 Km dengan ketinggian terbang maksimum 4.500 meter. Soal kecepeatan, Rajawali laut ini mampu ngebut hingga 145 Km per jam dengan durasi (endurance) di udara selama 4 jam.

Drone yang sudah menyandang standar militer ini dapat mendarat secara otomatis, bahkan dalam kondisi darurat, Rajawali 350 dapat landing dengan bantuan parasut. Terkait operasional di lautan, mungkin yang harus diwaspadai adalah suhu (temperature) yang kadang bila terlalu panas dapat mengganggu sistem elektronik. Dalam spesifikanya, Rajawali 350 sanggup terbang aman di suhu -30 sampai 40 derajat celcius.

Sebelum tampil di Singapore Air Show 2016, Rajawali 350 sudah pernah ditampilkan secara statis di pameran Indo Defence 2014 lalu. (Haryo Adjie – Singapura)

Spesifikasi Rajawali 350
– Rotor diameter: 3,5 meter
– Airframe lenght: 3,10 meter
– Height: 1,3 meter
– Width: 1,1 meter
– Empty weight: 75kg
– MTOW: 150 kg / Expandable to 175 kg
– Rotary system: 3 blades
– Endurance: 4+ hours
– Payload capacity: 25-30 kg
– Mission radius: 120 km
– Service ceiling: 4.500 meter
– Cruise speed: 70 km/h
– Max airspeed: 145 km/h
– Fuel: F34, F44, F54, Jet A1, JP6, Jp8
– Turbine: 25 kW
– Temperature Range: -30° C- +40° C
 

Perkuat Surveillance di Perbatasan, Menhan Pesan Drone Rajawali 330

P_20160216_143512

Koleksi drone alias UAV (Unmanned Aerial Vehicle) pesanan untuk TNI dari Kementerian Pertahanan bakal tambah beragam lagi, setelah ada Wulung dan Aerostar, Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu mengungkapkan bahwa pihaknya akan menambah empat unit drone Rajawali 330 produksi PT Bhinneka Dwi Persada (BDP). Sama halnya dengan Wulung dan Aerostar, Rajawali juga mengusung mesin tunggal propeller dengan dimensi yang lebih kecil.

P_20160216_143054

“Kami akan menambah jumlah armada drone untuk memantau wilayah perbatasan, salah satunya dengan tipe ini. Adanya drone jelas akan mempermudah operasi surveillance bagi prajurit di lapangan,” ujar Ryamizard kepada  di ajang Singapore Air Show 2016 (16/2/2016). Lebih lanjut Menteri Ryamizard menyebut yang dibeli ada tiga unit Rajawali 330, dan satu unit sisanya merupakan bonus. “Maunya saya beli dua dapat bonus dua drone,” kata Ryamizard berkelakar.

Rajawali 330 nantinya bakal digunakan untuk kebutuhan intai TNI AD. Basis yang dipakai dalam produksinya mengacu pada platform UMS Skeldar dari Saab. Peran PT BDP kemudian ‘menjahit’ beberapa komponen dan fitur agar punya kemampuan serta spesifikasi yang dibutuhkan militer Indonesia.

P_20160216_153250P_20160216_153239

Lebih dalam tentang Rajawali 330, drone fixed wing ini mampu membawa payload seberat 10 kg. Untuk pesanan TNI AD, payload nantinya akan dipasang pilihan perangkat electro optical/infra red camera, FLIR (forward looking infra red), hyperspectral camera, atau mapping camera dengan Light Detection and Ranging (LIDAR). Selain mengandalkan conventional take off and landing, drone ini punya kemampuan semi prepared strip, pneumatic catapult, car top launcher, dan parachute recovery system. Untuk mendarat secara konvensional, Rajawali 330 hanya membutuhkan jalur 60 meter.

Sistem kendali dan navigasi Rajawali 330 tak beda dengan drone lainnya, dapat dikendalikan lewat remote dan dapat beroperasi otonom (autonomous) setelah mendapat setting waypoint GPS (Global Positioning System).

Meski sebagian komponen penting Rajawali 330 masih diinpor, beberapa material pendukung telah dibuat di dalam negeri. Terkait dengan pembelian ini, pihak PT BDP akan memberikan ToT (Transfer of Technology) pada user. Menurut rencana, pesanan pertama Rajawali 330 akan dikirim pada bulan Maret 2016, dan seterusnya hingga akhir tahun. (Haryo Adjie – Singapura)

Spesifikasi Rajawali 330
– Length: 2,27 meter
– Wingspan: 3,3 meter
– Height: 0,9 meter
– Payload: 10 kg
– MTOW: 21,5 kg
– Endurance: lebih dari 8 jam
– Cruise speed: 22 meter per detik
– Max speed: 36 meter per detik
– Take off run: 30 meter
 

TNI AU Lakukan Upgrade Radar Warning Receiver Untuk Armada Hawk 109/209

HawkTNI06

Self protection menjadi hal krusial pada pesawat tempur, salah satu teknologi yang kerap jadi acuan untuk urusan itu adalah RWR (radar warning receiver). Dan kabar terbaru, jet tempur taktis TNI AU jenis BAE Hawk 109 dan Hawk 209 bakal mendapat upgrade sistem RWR terbaru Selex ES SEER Self Protection RWR dari Finmeccanica, perusahaan elektronik pertahanan yang berbasis di Inggris.

Tidak dijelaskan berapa unit Hawk 109/Hawk 209 TNI AU yang akan di-upgrade RWR-nya. Pengumuman program upgrade RWR untuk Hawk TNI AU baru saja dirilis pada ajang Singapore Air Show 2016 (16/2/2016). Sebagai kontraktor pelaksana program upgrade adalah perusahaan Singapura yang merupakan rekanan Finmeccanica, Aptronics PTE Ltd. Sebagai tahap awal, Aptronics akan memasang batch pertama dari sistem upgrade tersebut. Nantinya, SEER Self Protection RWR akan menggantikan RWR lama yang terpasang saat ini dari jenis Sky Guardian 200 yang sudah usang.

img8932copy

SEER RWR dikembangkan oleh Finmeccanica Airborne and Space Systems Division, rancangannya mengambil platform SG200-D RWR yang digunakan pada helikopter angkut berat Chinook HC4/5/6 dan helikopter angkut sedang Puma H2C milik AU Inggris.

Sebelum dipilih oleh Indonesia, SEER Self Protection RWR telah digunakan pada jet latih tempur L-159 Advanced Light Combat Aircraft (ALCA) milik AU Ceko. Menurut pihak Finmeccanica, uji coba pada L-159 berhasil mengintegrasikan pesawat dalam moda peringatan serta identifikasi ancaman dari darat, udara, dan laut. Selama tiga jam, sistem RWR ini dapat beroperasi dengan akurasi tinggi dengan keandalan 100% selama latihan.

Hawk 209 dan Hawk 109.
Hawk 209 dan Hawk 109.

145422_620

Prinsip kerja RWR berlawanan dengan radar, jika radar pesawat memancarkan gelombang radar ke arah depan, maka RWR berfungsi sebagai penangkap gelombang radar dari arah manapun yang mengarah ke pesawat. RWR dapat mendeteksi pancaran radar yang datang dari segala arah karena antenanya dipasang di 4 posisi, yaitu 2 di kiri-kanan moncong pesawat dan 2 di kiri-kanan bagian ekor.

RWR dikenal sebagai penangkal rudal yang handal, Ini tak lepas dari penggunaan radar pesawat, kapal atau baterai rudal, sebagai perangkat utama untuk memandu rudal udara. Kinerja sistem rudal udara yang meluncur ke sasaran udara – baik rudal permukaan ke udara (SAM) maupun udara ke udara (AAM) – pada dasarnya relatif sama, yaitu radar pesawat, kapal, atau baterai SAM akan mencari target (searching), mengambil data jarak, ketinggian dan posisi sudut dari target terpilih (acquire/track), mengunci (lock on) lalu rudal ditembakkan (launch).

F-5E-Tiger-595x279

RWR harus diisi data radar pesawat, kapal, baterai SAM atau rudal yang digunakan di seluruh dunia, agar saat menangkap pancaran radar, monitor langsung menampilkan nama sumber radar sesuai bank data. Library akan mengkomparasi jenis radar, sehingga penerbang dapat menyimpulkan “friend, enemy or unknown”. Bila RWR tidak memiliki data radar yang lengkap maka monitor hanya menampilkan target yang tidak diketahui (unknown target). Permasalahan paling serius bagi pemakai jasa RWR adalah mahalnya harga yang dipatok produsen RWR untuk mengisi dan meng-update bank data radar.

TNI AU menerima paket armada 32 unit Hawk 109/209 pada tahun 1996, hingga kini setengahnya dipercaya masih beroperasi penuh. Armada Hawk TNI AU dibagi kedalam Skadron Udara 1 dan Skadron Udara 12. (Haryo Adjie – Singapura)
 

GlobalEye: Sistem Radar AEW&C Multimode dengan Extended Range dari Saab

GlobalEye

Pasar pesawat intai maritim di Indonesia masih terbuka lebar, khususnya sebagai calon pengganti Boeing 737 Surveillance Patmar (Patroli Maritim) Skadron Udara 5 TNI AU yang kondang dengan radar SLAMMR (Side Looking Airborne Multi Mission Radar). Mengingat tiga unit Boeing 737 Patmar TNI AU sudah digunakan sejak tahun 1982, maka dirasa perlu untuk mengganti sistem radar airborne yang mumpuni berbekal teknologi AEW&C (Airborne Early Warning & Control) terbaru.

Salah satu pabrikan yang cukup menonjol dalam solusi sistem radar AEW&C adalah Saab dari Swedia. Setelah sukses meluncurkan radar airborne Erieye pada platform pesawat Saab 340, Saab 2000, dan Embraer E145, kini Erieye yang telah diadopsi oleh Thailand, Brazil, Yunani, Mexico, Pakistan, dan Uni Emirat Arab, dikembangkan lebih maju lagi dengan sistem terbaru yang diberi label GlobalEye. Dibawah sistem GlobalEye, Saab menawarkan konfigurasi platform pesawat jenis Global 6000 buatan Bombardier, Kanada, dengan keunggulan EW&C dari basis radar Erieye yang ditingkatkan kemampuan kapasitas dan kapabilitasnya.

20160216-en-1105251-486658

“Dengan GlobalEye, kami menawarkan kemampuan intai yang mencakup air surveillance, maritime surveillance, dan ground surveillance secara simultan, sehingga lewat satu platform pengguna dapat mengadopsi konsep AEW&C secara efektif,” ujar Micael Johansson, head of Saab’s business area Electronic Defence Systems dalam jumpa pers di Singapore Air Show 2016 (16/2/2016).

yourfile-(1)

Dalam kapabilitas kemampuan radar, GlobalEye bisa disebut sebagai Erieye ER (Extended Range) yang menawarkan keunggulan jangkauan deteksi lebih jauh dan waktu reaksi lebih cepat terhadap ancaman. GlobalEye punya low level coverage 10 kali lebih besar dari Erieye, dan early warning time yang meningkat hingga 20 menit. Dalam simulasi, GlobalEye dapat mengendus sasaran dalam jarak 200 – 400 km. Fitur baru yang ditawarkan di GlobalEye juga mencakup wide-area ground moving target indication (GMTI) radar modes. Dengan fitur GMTI, GlobalEye sanggup men-track laju kapal (boat) kecil yang melaju kencang, jetski, rudal jelajah, pesawat berkemampuan steatlh, dan periskop kapal selam yang muncul sedikit di permukaan saja dapat diketahui.

Menanggapi potensi electronic warfare berupa aksi saling jamming dan beragam kekacuan elektronik di udara, GlobalEye sudah dirancang untuk bisa mengatasi hal tersebut. Seperti halnya sistem Erieye, GlobalEye yang berbasis sistem radar canggih AESA (active electronically scanned array) juga dirancang untuk bisa diadaptasi untuk platform pesawat jenis lain. Hal ini tak menutup kemungkinan kerjasama dengan manufaktur pesawat lain, sepanjang telah lulus dalam pengujian untuk kelayakan.

Global 6000
GlobalEye dipasang pada platform jet Global 6000 yang punya kemampuan terbang jarak jauh. Dari spesifikasinya, Global 6000 sanggup terbang sejauh 6.000 nautical mile (setara 11.112 km) pada kecepatan jelajah Mach 0,85. Dalam implementasinya sebagai pesawat intai GlobalEye, pesawat ini sanggup mengudara selama lebih dari 11 jam non stop. Pesawat ini juga sanggup lepas landas dan mendarat di bandara kecil, hanya dibutuhkan landas pacu kurang dari 2 km.

globaleye-system-overview_2

Berbeda dengan Global 6000 versi sipil, ditangan Saab pesawat jet twin engine ini dilengkapi peralatan long distance EO (electronic optic)/IR (infra red) sensor, maritime surveillance radar pada bawah bodi, AIS transponder system, ESM (electronic support measures)/ELINT (electronic intelligent), self protection system, datalinks, IFF (identification friend or foe), voice communication, satcom, dan tentunya radar Erieye ER yang disematkan pada bagian atas pesawat.

GlobalEye diawaki oleh dua orang (pilot dan copilot), serta empat orang awak operator pemantau radar. GlobalEye juga telah mendukung command and control system generasi terbaru. Operator duduk menatap layar monitor secara berjejer (sideway seated). Mengingat operasi intai yang kadang membutuhkan waktu cukup lama, maka kursi awak dirancang ergonomis, plus tersedia 6 seat rest area untuk awak kabin. Berangkat dari platform pesawat yang dipakai sebagai jet pribadi, kabin sudah dilengkapi low noise level dan pressure altitude.

Kini GlobalEye sedang dalam status produksi, setelah pada bulan November 2015 lalu, Uni Emirat Arab telah menandatangani kontrak pembelian dua unit GlobalEye SRSR (Swing Role Surveillance System) dengan nilai total US$1,27 miliar. (Haryo Adjie – Singapura)
 

LH-10 Guardian Surveillance: Pesawat Intai Ringan dengan Bobot 300 Kg!

capture_decran_2015-06-18_a_22.25.25

Bagi negara dengan kocek serba ngepas yang mengidamkan pesawat intai berkemampuan multirole, termasuk bisa melakukan close air support, maka salah satu pilihannya adalah mengadopsi pesawat ringan yang irit biaya operasional dan mudah perawatan. Diantara yang menonjol dipasaran saat ini ada LH-10 Guardian Surveillance, pesawat ringan berdesain ‘mini’ yang sekilas mengingatkan pada BD-15, pesawat jet mikro James Bond di film “Octopussy.”

Meski tak langsung ada kaitannya dengan kebutuhan TNI, dalam beberapa pemberitaan disebut saat Pameran Alutsista di Rapim TNI 2016 di Cilangkap, bulan Desember 2015 lalu, LH-10 Guardian Surveillance Mission ikut ‘ditampilkan’ oleh pihak peserta PT Sentra Surya Ekajaya, perusahaan swasta nasional yang namanya tak asing dalam memproduksi beberapa rantis untuk TNI. Selain dimensinya yang imut, LH-10 buatan LH Aviation, Perancis, menawarkan teknologi plug and play untuk beragam fitur dan kelengkapan taktis, alhasil LH-10 pas untuk misi intai maritim, intai kondisi lingkungan, intai infrastruktur obyek vital, dan intai wilayah perbatasan.

LH-10

2-aviation332

Dengan mesin tunggal Rotax 912 ULS flat 4-cylinder piston, LH-10 dapat meronda di udara selama 6 jam tanpa dukungan bahan bakar tambahan. Konsumsi bahan bakarnya pun terbilang super irit, yakni 6 liter per 100 km. Kecepatan pesawat memang tidak terlalu jadi poin utama, namun LH-10 sanggup terbang hingga kecepatan 370 km per jam, sementara kecepatan jelajahnya 269 km per jam. Secara teori, LH-10 dapat terbang hingga radius 1.500 km, sangat ideal sebagai pesawat intai ringan. Dalam brosurnya, malah disebut dengan setting endurance 7,5 jam, konsumsi bahan bakarnya bisa kurang dari 9 liter per jam. Total kapasitas bahan bakar internal yang dibawa adalah 70 liter.

Tampilan kokpit LH-10, kemudi pesawat sudah menggunakan HOTAS ((Hands on Thorttle and Stick).
Tampilan kokpit LH-10, kemudi pesawat sudah menggunakan HOTAS ((Hands on Thorttle and Stick).

Konfigurasi plug and play pada LH-10.
Konfigurasi plug and play pada LH-10.

Konfigurasi senjata pada versi militer.
Konfigurasi senjata pada versi militer.

Dengan konfigurasi dua kursi, LH-10 juga dapat menjalankan peran sebagai pesawat latih (trainer). Lain dari itu, LH-10 juga dapat berubah jadi wahana maut dengan perannya sebagai CAS (close air support). Dengan payload 250 kg, LH-10 ELF dapat dikonfigurasi untuk membawa machine gun pod, guided missile laser, dan guided bomb laser. Untuk menjalankan perannya, LH-10 dapat ditambahkan perangkat day and night camera, serta laser designator.

Kabarnya material LH-10 100% terdiri dari bahan carbon composite, menjadikan gerak aerodinamis pesawat cukup tinggi, dan bobot kosong pesawat hanya 300 kg. Bicara tentang akses komunikasi, karena kecepatannya tak terlalu tinggi dan ketinggian terbang low level, LH-10 dapat mendukung koneksi jaringan seluler GSM (Global System for Mobile Communication) yang di enkripsi, selain tentu ada link satelit, dan koneksi frekuensi radio VHF/UHF/HF.

LH-10 dalam versi drone (LH-D).
LH-10 dalam versi drone (LH-D).

Selain menawarkan versi sipil (LH-10 Ellipse), versi intai (LH-10 Guardian), dan versi CAS (LH-10 ELF). Pihak LH Aviation juga tengah mengembangkan versi drone (LH-D). LH-10 pertama kali terbang pada tahun 2007. Negara pengguna utama saat ini adalah Benin dan Maroko. Nah, berapakah harga LH-10? Dikutip dari situs Wikipedia, per unitnya dibandrol US$1,3 juta, itu adalah harga LH-10 versi militer yang sudah dilengkapi perangkat optronics (optical electronics). (Gilang Perdana)

Spesifikasi LH-10
– Crew: 2
– Wingspan: 8 meter
– Height: 2,4 meter
– Wing area: 4,5 m2
– Empty weight: 300 kg
– Max takeoff weight: 540 kg
– Payload: 250 kg
– Fuel capacity: 70 liter
– Powerplant: 1 × Rotax 912 ULS flat 4-cylinder piston, air- and water-cooled, 73.5 kW (98.6 hp)
– Propellers: 4-bladed ground adjustable pusher
– Maximum speed: 370 km/h
– Cruising speed: 269 km/h
– Stall speed: 106 km/h
– Range: 1.500 km
– Endurance: 6 – 7,5 hr
– g limits: +4.4/-2.2