Tak bisa dibayangkan bagaimana sebuah negara di dunia ini mampu
bertahan tanpa kekuatan militer permanen. Kekuatan militer permanen yang
dimaksud adalah kekuatan militer yang melindungi kedaulatan daratan,
laut dan ruang udaranya. Meski sebagian besar zona-zona di dunia
mayoritas berada pada keadaan damai, namun kemungkinan terjadinya invasi
dan agresi menjadi probabilitas yang patut diperhitungkan.
Meski sadar ancaman dan bahaya tersebut, negara-negara di bawah ini
tidak bergeming dan tetap mempertahankan negaranya hidup tanpa kekuatan
militer permanen, bahkan diantaranya menjadi salah satu negara paling
bahagia di dunia.
Bhutan
Sebagian besar wiayahnya berada di atas ketinggian 1500 mdpl (meter
diatas permukaan laut) dengan beberapa wilayah di utara yang berada
bahkan di atas ketinggian 6000 mdpl. Beberapa puncak di wilayah utara
Bhutan bahkan diselimuti salju sepanjang tahun.Negara kecil di wilayah
Asia Selatan yang terhimpit antara India dan Cina tersebut terpilih
sebagai salah satu negara dengan penduduk paling bahagia di dunia
menurut Eric Weiner dari BBC Travel.
Hingga saat ini, militer Bhutan hanya terdiri dari Angkatan Darat dan
Polisi Kerajaan Bhutan. Negara kecil tersebut masih mempertahankan
pengaruh kerajaan ke pemerintahannya, karenanya militer di negara ini
memiliki Pasukan Pengawal Kerajaan. Bhutan tidak memiliki angkatan laut
dan angkatan udara karena wilayahnya yang berada di dataran tinggi dan
terhimpit dua “raksasa” asia, India dan Cina. Meski begitu, pada tahun
1958, Perdana Menteri India Jawaharlal Nehru mendukung kemerdekaan
Bhutan dan “melindungi” Bhutan secara militer dan menganggap agresi yang
ditujukan terhadap Bhutan sebagai agresi terhadap kedaulatan India.
Dengan perjanjian ini, India mendapatkan banyak keuntungan dalam
hubungannya dengan Bhutan antara lain ekspor peralatan militer buatan
India serta hak intervensi urusan luar negeri negara Bhutan.
Andorra
Jika berbicara negara yang menganut dua sistem layanan publik yang
berasal dari dua negara berbeda, Andorra mungkin jawaban tepat mengenai
hal tersebut. Sejak tahun 1200-an hingga saat ini wilayah cantik yang
hanya memiliki anggota parlemen 28 orang ini diperintah oleh “pangeran
Andorra” yang terdiri dari Presiden Perancis dan Uskup dari Urgel,
Spanyol.
Karena pengaruh dari Perancis dan Spanyol begitu kuat maka tidak
jarang kita menemukan dua sistem layanan publik seperti pos dan juga
penggunaan mata uang (Franc Perancis dan Peseta Spanyol), namun saat ini
sudah menggunakan mata uang Euro.Untuk urusan pertahanan militer,
negara yang luasnya tidak sebesar Jakarta ini bergantung pada
perlindungan Spanyol dan Perancis dan juga negara-negara NATO.Untuk
mengatur ketertiban pemerintahannya, Departemen Polisi dibentuk sejak
1931 dengan kekuatan tidak lebih dari 500 personel. Karena begitu
minimnya personel Polisi, maka setiap laki-laki yang memiliki senjata
api wajib bergabung sebagai personil kepolisian
Kepulauan Solomon
Sejak menjadi protektorat Inggris tahun 1890-an dan sempat menjadi ajang
pertempuran Perang Pasifik yang sengit, Kepulauan Solomon praktis
menyerahkan stabilisasi keamanan dengan sesame negara Persemakmuran
Inggris lainnya, yakni Australia dan Selandia Baru. Meski tidak memiliki
kekuatan militer, luas kedaulatan negara kepulauan ini sungguh tidak
kecil. Dengan 990 pulau dan luas 28.400 kilometer persegi, negara
tersebut hanya diperkuat oleh kepolisian lokal yang beranggotakan tidak
lebih dari 1000 personil. Kepolisian Solomon tidak murni menangani kasus
kriminal dan stabilisasi dalam negeri tapi juga menangani pemadam
kebakaran, penanggulangan bencana alam dan patrol maritim. Begitu
minimnya kekuatan militer yang tidak sebanding dengan luas wilayah, maka
untuk menangani kerusuhan politik tahun 2006, Australia dan Selandia
Baru memobilisasi kendaraan tempur dan personil militernya untuk
memulihkan stabilisasi keamanan dalam negeri.
Republik Nauru
Anda pernah ke Bukittinggi ?Jika Anda berfikir betapa kecilnya wilayah
Bukittinggi, Anda jangan mengeluh terlebih dahulu, sebab ada sebuah
negara republik yang luasnya tidak lebih luas dari Bukittinggi.Meski
begitu, negara yang hanya memiliki luas sebesar 21 kilometer persegi ini
memiliki bandara sendiri yang terletak tepat di salah satu ujung pulau
tersebut yang langsung berbatasan dengan Samudera Pasifik.Negara kecil
tersebut tidak memiliki kekuatan militer sendiri namun mendapatkan
jaminan keamanan militer dari Australia jika mendapat invasi/serangan
dari luar.Salah satu kompensasi dari bantuan militer Australia tersebut
adalah kesediaan Republik Nauru mengizinkan Australia membangun Kamp
Tahanan Pengungsi Pencari Suaka Imigran yang hendak ke Australia.
Samoa
Memiliki dua pulau besar dan tujuh pulau kecil, negara ini memisahkan
diri sebagai negara merdeka dari Selandia Baru pada tahun 1962.Memiliki
institusi kepolisian, Samoa banyak mengandalkan kepolisian nasional
untuk mengatasi berbagai kebutuhan dan mengatur ketertiban warganya,
termasuk menjaga dua penjara yang berdiri di negara itu. Kepolisian
nasional memiliki kapal patrol maritim untuk menjaga teritori
wilayahnya. Kepolisian nasional juga sering bekerjasama dengan
Australian Federal Police (AFP) dalam program Pacific Police Development
Program.
Pada tahun 2000 Kepolisian Samoa dilibatkan dalam patroli maritim di
perairan Timor Leste (dulu Timor Timur) sebagai bagian dari pengerahan
kekuatan UNTEA yang dipimpin Australia.
Palau
Jika negara kepulauan di pasifik mayoritas berada di bawah perlindungan
militer Australia dan Selandia Baru, maka Palau memiliki sedikit
perbedaan. Negara “muda” yang baru mendapat kemerdekaannya dari Amerika
Serikat ini secara geografis sangat dekat dengan teritori NKRI, dimana
sebelah utara, timur berbatasan dengan Papua Barat, Maluku Utara dan
Sulawesi Utara. Amerika Serikat menjadikan negara ini sebagai negara
kepulauan untuk menjaga keamanan wilayahnya di area timur jauh, sehingga
Palau terikat perjanjian Compact Of Free Association dimana Amerika
Serikat akan memberi perlindungan militer jika terjadi agresi terhadap
wilayah ini.
Sebagai negara yang pernah “diduduki” Amerika Serikat, maka sistem
pemerintahan dan kepolisiannya memiliki kemiripan dengan sistem
kepolisian Amerika Serikat dalam skala kecil. Hal tersebut terlihat dari
pemisahan pemerintahannya ke dalam 16 negara bagian yang juga diikuti
pemisahan kepolisian menjadi 16 kepolisian negara bagian yang dilengkapi
dengan kapal patrol maritime untuk mengontrol wilayahnya dari
penangkapan ikan dan penyusup.
Leichtenstein
Kecil kecil cabe rawit.Ungkapan itu nampak cocok untuk menggambarkan
negara kecil yang terletak antara Swiss dan Austria. Negara “mungil” ini
hanya menempati 160 kilometer persegi dan hanya memiliki kepolisian
nasional yang terdiri dari 91 personil polisi aktif dan 34 staf sipil.
Pada masa lalu, Leichtenstein tidak memiliki perjanjian militer yang
memungkinkan perlindungan jika diinvasi negara lain. Namun sejak
merebaknya kasus penembakan yang terjadi tahun 2004, Leichtenstein
melakukan perjanjian dengan Swiss sehingga negara tersebut bersedia
memberikan perlindungan militer serta menempatkan 300 personilnya yang
mendampingi Kepolisian Leichtenstein melindungi objek vital, bahkan
beberapa kasus tentara Swiss menjaga perbatasan Leichtenstein dan negara
tetangga.
Dilihat dari hal itu, kita bisa menyimpulkan bahwa secara umum
negara-negara tanpa kekuatan militer permanen sangat bergantung pada
kekuatan militer yang ada di sekitarnya atau yang memiliki perjanjian
(treaty) tertentu. Khusus di kawasan Pasifik,negara tanpa kekuatan
militer permanen bergantung pada perlindungan tiga negara sekutu,
Australia, Selandia Baru dan Amerika Serikat.
Apa artinya hal tersebut bagi Indonesia? Indonesia terkepung.
Secara umum, negara-negara tetangga Indonesia yang ada di kawasan
Selat Malaka seperti Malaysia,Thailand dan Singapura memiliki
keterikatan dengan Filipina, Australia dan Selandia Baru sebagai mantan
anggota SEATO dimana mereka bahu-membahu membendung pengaruh komunisme
di Asia Tenggara. Meski isu itu sudah tidak relevan serta diikuti
pembubaran SEATO tahun 1977, namun “pertemanan” diantara negara itu
khususnya negara-negara commonwealth tetap terpelihara.
Sejak penyerahan kedaulatan dari Kerajaan Belanda ke Republik
Indonesia tahun 1948, pelan namun pasti, TNI menyadari hal itu dan mulai
membangun kekuatan militernya secara aktif. Aksi “unjuk gigi” pertama
adalah menjelang Operasi Mandala. Dengan kekuatan lebih dari 10.000
personil tentara, pesawat bomber B-25 Mitcell, P-51 Mustang Tank Buster,
bomber strategis Tupolev Tu-16 KS yang dapat menembakkan bom berhulu
ledak nuklir,transporter Antonov An-12B, Mig-15 Fagot, Mig-17 Fresco dan
fighter intercept Mig-21 Fishbed, kapal penjelajah Sverdov Class RI
Irian, kapal selam Whiskey Class dan alat tempur lainnya telah membuat
Belanda terkepung dan “terputus” dari dunia luar dan jalur logistik
dalam waktu singkat.
Pengerahan kekuatan ini telah membuat TNI tidak lagi di pandang
sebelah mata dan sejak itu, CIA aktif menerbangkan pesawat mata-mata U-2
dragonfly untuk mengawasi Indonesia. Hal yang sama juga terjadi ketika
Indonesia berada dalam masa konfrontasi dengan Malaysia. Bomber
strategis TNI AU Tupolev Tu-16 KS mampu terbang non-stop dan keluar dari
sergapan radar dan fighter Barat hingga mencapai Darwin-Australia yang
membuat negara itu “keringat dingin” dan tidak berbuat macam-macam dalam
penyelesaian konfrontasi Malaysia dan Indonesia.
Menurut hemat penulis, meski sekutu Barat telah lama mempertahankan
negara kepulauan di Pasifik sebagai ujung terluar pertahanan mereka dan
membuat Indonesia “seolah-olah” terkepung oleh benteng maya (the vanish
defence tactic) mereka, tidak membuat petinggi negara dan TNI terkucil
dan rendah hati. Salah satu metode untuk keluar dari “kepungan “ mereka
adalah membuat efek deterrent (penggentar) yang membuat mereka harus
memandang kedaulatan NKRI.
Salah satu cara
dererrent adalah pengerahan kekuatan militer
secara aktif baik secara real ataupun manipulatif. Meski cara tersebut
bukan cara satu-satunya, namun memiliki efek yang paling besar
dibandingkan metode diplomasi politik. Toh dengan salah satu metode
tersebut, Barat tidak jadi mengklaim Pulau Miangas yang berbatasan
dengan Filipina, dan dengan cara itu pula lebih dari 30 tahun NKRI tidak
pernah kehilangan kedaulatannya dan tetap bersahabat baik dengan
penduduk negara-negara kepulauan yang terbentang di Samudera Pasifik.
(oleh Muhammad Sadan – Pemerhati Militer dan Dirgantara)