Presiden Soekarno Berbincang dengan Jenderal Soeharto (photo: setneg)
Jakarta – Dalam peristiwa tahun 1965 di Indonesia, bukan hanya jejak
Amerika Serikat dan badan intelijennya, Central Intelligence Agency
(CIA) yang terlihat jelas. Sejumlah dokumen yang dibuka ke publik
menunjukkan bahwa ada jejak terang Inggris dalam peristiwa yang berujung
pada jatuhnya Seokarno dan dihancurkannya Partai Komunis Indonesia
(PKI) itu.
Indonesia dan sejumlah negara Asia Tenggara pada tahun 1960-an
dinilai penting secara ekonomi dan strategis secara politik, terutama
bagi Inggris yang pernah menjajah sejumlah negara di kawasan ini.
Menurut Mark Curtis dalam US and British complicity in the 1965
slaughters in Indonesia di Third World Resurgence, edisi 137, 2002, Asia
Tenggara penting karena “merupakan produsen utama beberapa komoditas
penting” dan “menempati posisi kunci dalam komunikasi dunia”, serta
menguasai rute penting laut dan udara.
Namun pendudukan Jepang yang relatif singkat selama Perang Dunia
Kedua merevitalisasi gerakan nasionalis dan semangat anti-Barat di
kawasan ini, termasuk di Indonesia. Bagi Inggris, juga Amerika,
kekhawatiran utamanya adalah pada politik ekonomi dan politik luar
negeri anti-kolonialisme Soekarno dan kebijakan di dalam negerinya yang
condong ke PKI –untuk menyeimbangkan kekuatannya dengan militer,
khususnya Angkatan Darat.
Paul Lashmar dan James Oliver, dalam buku Britain’s Secret Propaganda
War 1948-1977 menyatakan, indikasi awal Inggris ingin menyingkirkan
Soekarno terlihat sejak tahun 1962, setelah Soekarno menyatakan
penentangan secara terbuka terhadap pembentukan Federasi Malaysia yang
didukung London. Dalam dokumen badan intelijen AS, CIA dikatakan bahwa
Perdana Menteri Inggris Maurice Harold Macmillan (1957 -1963) dan
Presiden John F. Kennedy (1961-1963) setuju untuk “melikuidasi Presiden
Sukarno, tergantung pada situasi dan kesempatan yang ada”.
Soekarno memang komplain soal proyek Federasi Malaysia yang diumumkan
tahun 1961 itu sebagai “plot neo-kolonial” dan itu akan menjadi batu
loncatan bagi terus bercokolnya pengaruh Inggris di wilayah tersebut.
Dalam konsep federasi itu, Malaysia yang sudah merdeka akan digabungkan
dengan Borneo, Sarawak, dan Singapura. Pada tahun 1963 keberatan
Soekarno mengkristal melalui kebijakan Konfrontasi, yang diikuti dengan
pemutusan hubungan dengan Malaysia, intervensi militer tingkat rendah
dan pertempuran secara sporadis di perbatasan sepanjang 700 mil di
Kalimantan.
Menurut Michael O. Billington, dalam jurnal Executive Intelligence
Review edisi 8 Juni 2001, Inggris menyambut Konfrontasi sebagai peluang
untuk menghancurkan nasionalisme Indonesia. Tapi, kata Billington,
Inggris kehilangan kesabaran dengan sikap Kennedy yang menolak tuntutan
Inggris untuk memotong semua bantuan kepada Soekarno. Perubahan mulai
terjadi setelah Kennedy ditembak di Dallas pada 22 November 1963.
Saat menghadiri pemakaman Kennedy, Perdana Menteri Inggris Sir Alec
Douglas-Hume (1963 -1964) bertemu dengan Menteri Luar Negeri AS David
Dean Rusk (1961-1969), yang kemudian setuju untuk mengambil tindakan
terhadap Indonesia. Menteri Pertahanan AS Robert McNamara (1961-1969),
yang sibuk mempersiapkan perang di Vietnam, sangat senang Inggris
memimpin operasi rahasia melawan Soekarno.
Selama tahun 1963 dan 1964, Inggris mengaktifkan gerakan separatis
yang sebelumnya ia sponsori di tahun 1957-1958. Tapi, menjelang akhir
tahun 1964, dan terutama setelah pemerintah Perdana Menteri James Harold
Wilson (1964-1976) mulai berkuasa pada bulan Oktober, Inggris membuat
pergeseran taktik. Menurut Billington, dokumen kebijakan operasi Inggris
Januari 1965 mencatat bahwa “dalam jangka panjang, dukungan yang
efektif untuk gerakan pembangkang di Indonesia dapat bersifat
kontraproduktif, karena dapat merusak kapasitas Angkatan Darat untuk
melawan PKI.”
Mark Curtis menambahkan, saat Konfrontasi itu, Inggris mengerahkan
puluhan ribu tentara, terutama di Kalimantan, untuk membela Malaysia.
Pada saat yang sama, agen badan ingtelijen Inggris, M1,6 terus melakukan
kontak dengan unsur-unsur kunci dalam tentara Indonesia melalui
Kedutaan Besar Inggris. Salah satu kontaknya melalui perwira intelijen
Ali Murtopo, yang kemudian menjadi kepala intelijen di masa Jenderal
Soeharto. Kebijakan Inggris saat itu, kata Curtis, “tidak ingin
mengalihkan perhatian tentara Indonesia dengan mengajak mereka terlibat
dalam pertempuran di Kalimantan dan mencegah mereka dari upaya yang
sekarang, di mana mereka tampaknya akan berurusan dengan PKI”.
Dalam kasus Indonesia di tahun 1965, kata peneliti Baskara T.
Wardaya, kepentingan Amerika dan Inggris sebenarnya berbeda tapi serupa.
“Kalau Amerika Serikat ingin menggantikan pemerintahan yang
ke-kiri-kiri-an, dan itu juga keinginan Inggris. Tapi, Inggris juga
berkepentingan mewujudkan pembentukan Federasi Malaysia, yang itu
ditentang Soekarno,” kata penulis buku Membongkar Supersemar! Dari CIA
hingga Kudeta Merangkak Melawan Bung Karno (2007) itu kepada Tempo,
pertengahan September lalu.
Di tengah upaya diam-diam Inggris dan kolega Barat-nya untuk
menyingkirkan Soekarno itu, muncul surat yang diduga dibuat oleh
Gilchrist, yang kemudian dikenal sebagai Dokumen Gilchrist. Surat yang
dikabarkan palsu itu dikirimkan oleh orang tak dikenal ke rumah Menteri
Luar Negeri yang juga Kepala Intelijen, Subandrio, pada 15 Mei 1965.
Surat yang tak dicek keasliannya itu diberikannya ke Soekarno, 26 Mei
1965. Dokumen itu, yang antara lain memuat soal adanya “sebuah operasi”
dan kontak negara Barat dengan Angkatan Darat, seperti menguatkan dugaan
Soekarno bahwa Amerika dan Inggris diam-diam ingin menggulingkannya.
Keesokan harinya, Soekarno memanggil para jenderal Angkatan Darat.
Semuanya membantah isi dokumen itu.
Bantahan jenderal Angkatan Darat itu tak meyakinkan Soekarno.
Keesokan harinya ia menyebut lagi soal adanya Dewan Jenderal dalam
sebuah pertemuan dengan para kepala Kodam. Soekarno menyatakan bahwa
terdapat bukti kuat adanya rencana dari pihak imperialis untuk
membunuhnya sebelum Konferensi Asia Afrika, Juli, di Aljazair. Empat
bulan berselang, tepatnya 30 September 1965, sejumlah tentara di bawah
pimpinan Letkol Untung, dan didukung oleh ‘elemen’ PKI, melakukan
operasi untuk mengenyahkan petinggi militer yang dicurigasi sebagai
anggota Dewan Jenderal. Kudeta itu tak berumur panjang karena dengan
mudah ditekuk Pangkostrad Mayjend Soeharto.
Soal peran Inggris dalam kudeta berdarah itu, masih menjadi tanda
tanya. Peneliti dari Australian National University Adam Hughes Henry,
dalam wawancara kepada Tempo mengaku tidak tidak memiliki bukti terang
soal hubungan Inggris, dan juga AS, dalam Gerakan 30 September oleh
Letkol Untung itu. “Namun, dari apa yang saya baca dan diteliti,
peristiwa 1 Oktober cukup mengejutkan Australia, Inggris dan Amerika.
Mereka tampak pada waktu itu cukup bingung dengan Gerakan 30 September
dan tindakannya. Namun, mereka sangat cepat untuk mengenali ‘kesempatan’
untuk melakukan apa yang mereka harapkan untuk dilakukan, untuk
membantu, menyingkirkan Sukarno dan PKI,” kata Andam.
Roland Challis, koresponden BBC yang tahun-tahun itu bertugas di
Singapura mengatakan, “Siapa sebenarnya menghasut kudeta dan untuk
tujuan apa, tetap menjadi spekulasi.” Yang pasti, kata dia seperti
dilansir The Independent, “Kesempatan untuk mengisolasi Soekarno dan PKI
datang pada bulan Oktober 1965 ketika kudeta PKI menjadi dalih bagi
tentara untuk mengesampingkan Sukarno dan membasmi PKI.” Perburuan
terhadap kader dan simpatisan PKI dilakukan setelah kudeta yang gagal
itu, dan berujung pada pembunuhan massal.
Usai mematahkan kudeta, Soeharto dilantik sebagai Menteri Panglima
Angkatan Darat, 14 Oktober 1965, dan memiliki kekuasaan lebih besar
setelah menerima Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) dari Presiden
Soekarno pada 11 Maret 1966. MPR mengangkat Soeharto sebagai pejabat
presiden pada 12 Maret 1967 setelah laporan pertanggungjawaban Soekarno
ditolak, dan mengangkatnya sebagai presiden pada 27 Maret 1968 –sampai
ia mundur Mei 1998.
Huru-hara politik tahun itu tak hanya mengakhiri kekuasaan Soekarno,
tapi juga Konfrontasi dengan Malaysia. Babak baru perundingan damai
antara Indonesia dan Malaysia dimulai pada Mei 1966, dan perjanjian
perdamaian akhir ditandatangani pada 11 Agustus 1966 dengan Indonesia
secara resmi mengakui Malaysia.
Kedutaan Besar Inggris di Jakarta, saat dihubungi Tempo soal berita
ini, memilih tak banyak berkomentar. Soal peristiwa 1965, Kedutaan
Inggris menyitir Komnas HAM yang menyelidiki peristiwa 1965-1966 dan
rekomendasinya yang menyatakan bahwa hasilnya bisa diselesaikan melalui
mekanisme komisi kebenaran dan rekonsiliasi. “Inggris memiliki rekam
jejak kuat mendukung proses formal melalui kebenaran dan rekonsiliasi di
kawasan ini, termasuk di Timor-Leste dan Kamboja. Namun itu terserah
rakyat Indonesia untuk menentukan bentuk yang tepat dari mekanisme
pertanggungjawabannya,” tulis Kedutaan Besar Inggris di Jakarta.
ABDUL MANAN | MARIA HASUGIAN | PITO AGUSTIN RUDIANA |
TEMPO.co