Senin, 05 Oktober 2015

Aksi Prajurit TNI di Cilegon

  1

4

5

10

14

15

18

19

20


22

29

Panglima TNI Jenderal TNI Gatot Nurmantyo didampingi Kepala Staf Angkatan Darat (Kasad) Jenderal TNI Mulyono, Kepala Staf Angkatan Laut (Kasal) Laksamana TNI Ade Supandi dan Kepala Staf Angkatan Udara (Kasau) Marsekal TNI Agus Supriatna, meninjau Gladi Bersih Upacara Parade dan Defile Peringatan ke-70 Hari TNI Tahun 2015 di Dermaga Indah Kiat Cilegon, Provinsi Banten, Sabtu (3/10/2015).

Tema Peringatan ke-70 Hari TNI Tahun 2015 adalah “Bersama Rakyat TNI Kuat, Hebat, Profesional, Siap Mewujudkan Indonesia Yang Berdaulat, Mandiri Dan Berkepribadian” diharapkan dapat menjadi momentum dalam meningkatkan profesionalisme dan disiplin serta semangat juang Prajurit TNI dalam mengamankan dan mempertahankan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tema ini merefleksikan niat, tekad dan semangat patriotik dan profesionalisme prajurit TNI untuk berbuat dan berkarya yang lebih baik, lebih berkualitas dan lebih berkapasitas dalam bingkai NKRI. Bagi TNI sikap patriot sejati dan peningkatan profesionalisme serta keberadaannya dicintai rakyat adalah kunci kekuatan TNI dalam menyelesaikan setiap tugas yang diberikan negara. Dengan kebersamaan dan kemanunggalan TNI dan rakyat, dapat diyakini akan menjadi daya tangkal yang maha dahsyat guna menegakkan kedaulatan dan mempertahankan keutuhan wilayah NKRI. Bertindak selaku Komandan upacara adalah Letjen TNI Edy Rahmayadi yang sehari-harinya menjabat sebagai Pangkostrad.

Sementara itu, pasukan yang terlibat Parade dan Defile adalah : Batalyon Gabungan Pamen TNI jumlah 269 personel. Brigade Upacara I Gabungan TNI jumlah 809 personel, terdiri dari Pom TNI, Wan TNI dan Akademi TNI. Brigade Upacara II TNI AD jumlah 809 personel, terdiri dari Kopassus, Dua Batalyon Kostrad. Brigade Upacara III TNI AD Jumlah 809 personel, terdiri dari 300/R, Batalyon 312/KH dan Batalyon 201/JY. Brigade Upacara IV TNI AL jumlah 809 personel, terdiri dari Batalyon Bintara, Batalyon Tamtama Pelaut dan Marinir. Brigade Upacara V TNI AU jumlah 809 personel, terdiri dari Air Cru, Bintara/Tamtama AU, Paskhas. Batalyon Upacara Gabungan PNS 269 personel terdiri dari TNI AD, TNI AL dan TNI AU. Batalyon Upacara Balacad Kodam III/Slw jumlah 300 personel, Drum Band Gabungan Taruna/Taruni Akademi TNI jumlah 333 personel, Korsik Gabungan TNI jumlah 284 personel, dan Panji-Panji Gabungan TNI jumlah 40 personel.

Sedangkan Alutsista TNI yang dikerahkan dari ketiga angkatan sebagai Back ground antara lain: TNI AD mengerahkan 6 Tank Scorpion, 4 Tank Marder, 4 Panser Tarantula dan 1 Radar Giraffe. TNI AL mengerahkan 4 Tank BMP 3 F, 3 Tank LVT 7, 3 Roket RM 70 Grad dan 2 Howitzer LG 1 MK 2. TNI AU mengerahkan 2 Ransus Smart Hunter, 2 Truk Mercy Target, Drone dan Rudal QW3.

Alutsista Demo terdiri dari : TNI AD : 1 Pesawat Fennec, 4 Pesawat Hely MI 35 P, 1 Pesawat Hely MI 17 VS, 12 Pesawat Hely Bell 412, 3 Pesawat Hely Bell, 2 Pesawat Hely BO 105 dan 1 Pesawat EC 120. TNI AL : Fly Pass 1 Pesawat Dolphin HR 3601, 3 CN 235, 6 Cassa NC 212, 2 Cassa Patmar, 6 Bonansa, 4 Bell 412 dan 4 BO 105. 43 Kapal Tempur terdiri dari 2 Klas Sigma, 2 Klas MARF, 4 Klas Amy, 11 Klas Parchim, 4 Klas SHS, 2 Klas Hiu, 10 Klas 60 dan 40, 3 Klas PC 43 M, 3 Klas BHO dan BCM, 1 Klas Tunda dan 1 Kapal Selam. TNI AU terdiri dari : 8 Pesawat Hely EC 120, 5 Hely Nas 332/SA 330, 3 Pesawat angkut CN 235, 6 Pesawat CN 295, 2 Pesawat Cessna 172, 10 C-130 Hercules, 4 Pesawat Boing-737 200/400 dan 4 Pesawat EMB 314. Pesawat Tempur terdiri dari : 12 T-50i, 10 Hawk 100/200, 12 Pesawat F-16, 9 Pesawat Sukhoi SU-27/30, 6 Pesawat KT 1B Wong Bee, 16 Pesawat Latih Grob G 120 TP, 2 Pesawat UAV, 2 Pesawat Trike, dan 10 Paramotor.

Usai pelaksanaan upacara dilaksanakan demonstrasi prajurit dan Alutsista TNI, seperti: TNI AD menampilkan Demo Yongmoodo berkekuatan 3.233 prajurit TNI AD. Demo ini bertujuan untuk meningkatkan keterampilan prajurit dalam teknik beladiri Militer dengan baik, sedangkan gerakan yang ditampilkan adalah Yonghobob, Gibon, Sasu, Teknik jatuh, perkelahian tanpa alat dan perkelahian dengan alat. TNI AL mendemontrasikan Operasi Laut Gabungan, Operasi Amphibi, Operasi Laut Gabungan dalam rangka merebut keunggulan Laut dan Operasi Amphibi untuk mengembalikan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Puspen TNI

Sabtu, 03 Oktober 2015

Operasi Rahasia Penyeamatan Bung Karno Oleh Korps Intai Para Amfibi

“Harto, jane aku iki arep kok apa’ke? Aku iki presidenmu” Ungkap Soekarno pada Soeharto di suatu waktu dalam bahasa Jawa. Kurang lebih artinya, ‘Harto, sebenarnya aku ini akan kamu apakan? Aku ini presidenmu’.

Sedikitnya itu pengungkapan Soekarno pada Soeharto yang termaktub di autobiografi Soeharto, pasca-penjelasannya soal peristiwa G30S (Gerakan 30 September) 1965 di mana sejumlah perwira tinggi TNI AD gugur ditolak parlemen, sekaligus pasca-keluarnya Surat Perintah 11 Maret (Supersemar) 1966.

Masa-masa akhir Soekarno setelah dua peristiwa itu begitu miris. Sang proklamator, sang penyambung lidah rakyat, Putra Sang Fajar yang mulai meredup, di mana Soekarno sejak Mei 1967 tak lagi diizinkan memakai gelar Kepala Negara atau status Presiden.

Di kala itu, Soekarno juga tengah intensif jadi obyek interogasi petugas Teperpu dan sudah “terasing” di Wisma Yaso (kini Museum Satria Mandala, Jakarta). Mendengar Bung Karno bertanya dengan miris seperti itu, segera Soeharto menurunkan perintah untuk tak lagi menginterogasi Soekarno.

Di masa pengasingannya itu pun, Soekarno tak diperbolehkan dijenguk siapapun. Hanya ada salah satu putrinya, Rahmawati dan dokter Kepresidenan Prof. Dr. Mahar Mardjono di Wisma Yaso yang juga mulai suram, mulai berantakan halamannya lantaran tukang kebun pun dilarang lagi untuk datang.

Operasi Rahasia Penyelamatan Bung Karno

Ketika itu, Soekarno bisa dikatakan berstatus tahanan rumah yang ditempatkan di Wisma Yaso (kini Museum Satria Mandala, Jakarta, bangunan ini ada di dalam area museum ini). Semua orang tahu, Soekarno ditahan, tetapi tidak banyak yang tahu nyawa proklamator tersebut diujung tanduk.

[​IMG]
Logo Taifib ( Intai Amfibi)​

Siapa lagi loyalis militer Bung karno kalau bukan KKO ALRI yang hendak menculik & menyelamatkan proklamator tersebut dari rumah tahanan Wisma Yaso.

Dikisahkan suatu malam, satu tim Korps Intai Para Amfibi (Kipam) ALRI berhasil menyusup ke dalam Wisma Yaso. Batalyon Intai Amfibiatau disingkat YonTaifib adalah satuan elit dalam Korps Marinir seperti halnya Kopassus dalam jajaran TNI Angkatan Darat.

Dahulunya satuan ini dikenal dengan nama KIPAM (Komando Intai Para Amfibi). Untuk menjadi anggota YonTaifib, calon diseleksi dari prajurit marinir yang memenuhi persyaratan mental, fisik, kesehatan, dan telah berdinas aktif minimal dua tahun.

Salah satu program latihan bagi siswa pendidikan intai amfibi, adalah berenang dalam kondisi tangan dan kaki terikat, sejauh 3 km.

Dari satuan ini kemudian direkrut lagi prajurit terbaik untuk masuk kedalam Detasemen Jala Mengkara, pasukan elitnya TNI Angkatan Laut. Pada masa kini, Kipam sekarang dikenal dengan nama Taifib ( Intai Amfibi).

[​IMG]

Kala itu, Kipam ALRI bisa melewati penjagaan ketat oleh Kostrad dan RPKAD, hingga masuk ke ruang di mana Soekarno terbaring tidak berdaya.

Seorang perwira pertama Kipam membangunkan sang Proklamator, kemudian mengajak bercakap sejenak sambil mengutarakan rencana mereka untuk membawa Soekarno keluar dari Wisma Yaso.

Tetapi rencana tidak berjalan mulus, Soekarno menolak untuk diselamatkan. Soekarno malah memerintahkan si perwira pertama untuk membawa timnya keluar dari Wisma Yaso. Tidak banyak kata yang terucap, Soekarno tidak mau lagi diajak berbicara. Alhasil, Kipam pulang dengan tangan hampa.

Operasi penyelamatan secara rahasia terhadap sang proklamator tersebut pun tidak banyak diketahui orang, kecuali hanya pada kalangan tertentu di ALRI dan KKO.

Padahal, jika saja mau, ALRI bisa jadi yang paling terdepan bersama Soekarno. Belum lagi ditambahkan dengan elemen-elemen nasional lainnya yang masih loyal dengan Bung Karno.

[​IMG]
Soeharto dan Soekarno.​
 

Sebelum Sukarno Terbaring di Wisma Yaso

Sebelum di Wisma Yaso, Soekarno sudah mulai terasing di Istana Bogor sejak menandatangani Supersemar 1966. Dalam kenangan salah satu wartawan istana dari Harian Pelopor Baru, Toeti Kakialatu dalam buku ’34 Wartawan Istana Bicara Tentang Pak Harto’, dijelaskan saat itu wartawan sudah tak boleh lagi bertemu Soekarno.

“Pintu Istana Merdeka dan Istana Bogor tertutup bagi semua wartawan. Sementara itu demonstrasi gencar terjadi menuntut Tritura (Tiga Tuntutan Rakyat: Bubarkan PKI, Bubarkan Kabinet Dwikora dan Turunkan harga-harga makanan),” tulis Toeti.

“Beliau juga tak diperbolehkan berdiam di Istana Bogor, melainkan di kediaman pribadi di Jalan Batu Tulis, Bogor yang diberi nama ‘Hing Puri Bima Sakti’. Beliau nampak kesepian. Hanya beberapa petugas Teperpu yang selalu ingin mengorek keterlibatan Bung Karno atas peristiwa kudeta 1965,” tambahnya.

Lantaran terus-menerus diinterogasi dan tanpa teman berarti di sisinya, kesehatan Bung Karno pun menurun. Rahmawati kemudian menulis surat untuk Soeharto agar Bung Karno dipindah lagi ke Jakarta. Itulah akhirnya Bung Karno mendiami Wisma Yaso hingga akhir hayatnya.

[​IMG]
Nasoetion, Soekarno dan Soeharto.​

Sebelum munculnya Supersemar

Padahal sebelum munculnya Supersemar yang mengharuskan Soekarno menyerahkan mandat pada Soeharto, setidaknya Soekarno masih bisa menikmati hari-hari luang. Pasca-Soeharto jadi Pejabat Presiden, Toeti mengaku bersama beberapa rekan wartawan lainnya masih sempat ‘ngemong’ Bung Karno.

“Kami keliling kota dengan bus mini ke beberapa toko anti, ke Stadion Senayan, melihat dari jauh pembagunan Gedung MPR/DPR. Saat itu juga Bung Karno sangat ingin makan sate di Priok. Tapi tak diizinkan bagian keamanan,” imbuh Toeti.

“Acara lain adalah nonton film di studio kecil yang waktu itu letaknya di bagian belakang Istana Negara. Biasanya kami nonton film Jepang. Bung Karno senang sekali nonton ‘Zato Ichi’, cerita tentang samurai pemberani bermata satu,” lanjutnya mengenang Bung Karno.

[​IMG]
Soekarno sungkem kepada ibunya.​

Dalam kenangannya, Soekarno memang dikenal sosok yang teguh memegang prinsip yang dipercayainya, kendati rakyat sudah tak lagi menghendaki. Seperti konsep Nasakom(Nasionalisme, Agama dan Komunisme) contohnya.

Peristiwa G30S tak ayal membuahkan gejolak besar dalam politik Indonesia. Soeharto sedianya sudah lebih dari 10 kali membujuk Soekarno untuk memenuhi Tritura yang di antaraya, membubarkan PKI. Tapi itu artinya menghapus pula konsep Nasakom yang dipegangnya selama rezim demokrasi terpimpin.

“Dudu sanak, dudu kadang. Nek mati melu kelangan,” begitu jawab Soekarno yang menyiratkan keengganan membubarkan PKI, di mana kira-kira artinya, bukan saudara bukan kawan, tapi kalau mati turut kehilangan.

Sayang, pilihannya yang tak menghendaki pemenuhan Tritura membuatnya harus jatuh dari segala tongkat komando yang pernah dikuasainya. Soekarno seolah harus menghadapi masa senjanya dengan kesendirian dan kondisi yang suram di Wisma Yaso.

Kondisi kesehatannya yang kian memburuk mengharuskan Soekarno dirawat di Rumah Sakit Gatot Subroto. Dunia internasional tak alpa pula mengikuti kondisi sosok yang pernah sangat diperhitungkan blok barat dan timur itu.

[​IMG]
Soekarno letika terbaring sakit.​

“Berita tentang parahnya penyakit Bung Karno menjadi gosip santer. Juga beredarlah foto dari ‘Associated Press’ di media-media barat, Bung Karno tengah berbaring tak berdaya dengan wajah sembab, sedang dijaga putrinya, Rahmawati,” sambung Toeti lagi.

Tapi tak lama kemudian di Paviliun Darmawan RS Gatot Subroto, Soekarno yang lahir di Surabaya pada 6 Juni 1910 dan sejak kecil selalu ingin jadi penakluk, akhirnya ditaklukkan takdir. Maut menjemputnya pada 21 Juli 1970.

Sempat beredar soal isu keinginan Bung Karno sendiri yang ingin dimakamkan di Batu Tulis, Bogor.

Tapi dikatakan pihak keluarga juga saling berbeda pendapat soal di mana Soekarno akan dikebumikan. Namun Soeharto turut memutuskan bahwa Soekarno hendaknya dimakamkan dekat makam ibunya, Ida Ayu Nyoman Rai di Blitar, Jawa Timur.

Sekalipun demikian, situasinya saat itu mungkin sulit dipahami, Soekarno lebih memilih bangsanya aman dan tenang. Mungkin bisa dikutip dari nasehat Soekarno kepada anaknya:

“Jadikan deritaku ini sebagai kesaksian, bahwa kekuasaan seorang presiden sekali pun, ada batasnya. Karena kekuasaan yang langgeng, hanyalah kekuasaan rakyat dan di atas segalanya adalah kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa.”

Para pemimpin di masa sekarang hendaknya mau bercermin dan mengambil keteladanan seorang Soekarno, sang proklamator. Sikap seperti Soekarno bisa jadi cermin dari sikap para orangtua di masa lalu, mengingat pada masa itu, walau seorang menteri pun, tak ada yang hidupnya kaya atau pun hidup bermewah-mewah.

Banyak diantaranya tak mau fasilitas rumah dari negara dan malah memilih untuk hidup di rumah kontrakan, makan seadanya, ada yang bermasalah dengan WC rumahnya yang mampet, bahkan ada yang tak mampu membeli kain kafan untuk anaknya yang meninggal. Padahal mereka adalah seorang Menteri Negara yang mengurusi seganap rakyatnya, rakyat Indonesia, dari Sabang hingga Merauke.
 

Di Mana Soeharto Saat Para Jenderal Dibunuh 30 September 1965?



Presiden RI kedua HM Soeharto

Peristiwa pembunuhan jenderal TNI AD 30 September 1965 masih menjadi misteri. Sejarah yang disusun pemerintahan Orde Baru, menyebutkan Gerakan 30 September (G30S) digerakkan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI).

Namun, pascareformasi, informasi seputar peristiwa pembunuhan jenderal di Lubang Buaya itu mulai bermunculan. Banyak versi sejarah tentang pembunuhan Letnan Jenderal Akhmad Yani; Mayor Jenderal Suprapto; Mayor Jenderal M.T. Haryono; Mayor Jenderal S. Parman; Brigadir Jenderal Panjaitan; Brigadir Jenderal Sutoyo Siswomihardjo dan Kapten Pierre Tendean itu.

Lepas dari berbagai versi sejarah tersebut, peristiwa G30S itu menjadi tonggak sejarah baru terbentuknya pemerintahan orde baru di bawah pimpinan Mayjen Soeharto.

Tahun 1965, merupakan awal Soeharto menapaki puncak kekuasaan. Ketika itu dia masih menjabat sebagai Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Pangkostrad). Soeharto berperan besar mengatasi kekacauan tahun 1965.

Soeharto baru bergerak menumpas PKI pada tanggal 1 Oktober 1965. Lantas di mana Soeharto saat malam 30 September 1965 itu?

"Tanggal 30 September 1965. Kira-kira pukul 21.00 WIB saya bersama istri saya (Siti Hartinah) berada di Rumah Sakit Gatot Soebroto," kata Soeharto seperti dikutip dalam buku otobiografi Soeharto; Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya.

Soeharto bersama istri sedang menengok putranya, Hutomo Mandala Putra (Tomy Soeharto) yang ketika itu berumur empat tahun. "Tomy dirawat di sana karena tersiram air sup yang panas. Agak lama juga kami berada di sana. Maklumlah, menjaga anak yang menjadi kesayangan semua," tutur Soeharto.

Barulah, pada pukul 00.15 WIB malam, Soeharto disuruh ibu Tien pulang ke rumahnya di Jalan Agus Salim. "karena ingat kepada Mamik, anak perempuan kami yang bungsu yang baru setahun umurnya. Saya pun meninggalkan Tomy, dan ibunya tetap menunggunya di Rumah Sakit," kata dia.

Presiden RI kedua itu, mengaku langsung berbaring dan tidur di rumahnya dan belum mengetahui peristiwa penculikan dan pembunuhan para jenderal tersebut. "Saya bisa cepat tidur. Tapi, kira-kira pukul 04.30 WIB tanggal 1 Oktober, saya kedatangan cameraman TVRI, Hamid. Ia baru selesai shooting film. Ia memberi tahu, bahwa ia mendengar tembakan di beberapa tempat," katanya.

Mendengar kabar itu, Soeharto berpikir panjang. Tepat pukul 05.00 WIB datang anak buahnya, Broto Kusmardjo menyampaikan kabar mengenai penculikan perwira tinggi angkatan darat.

Pukul 06.00 WIB, Soeharto bergegas merapikan pakaian, loreng lengkap, tapi belum mengenakan pistol, pet, dan sepatu. "Saya ingat apa yang harus saya perbuat dalam keadaan seperti ini. Pertama-tama saya harus tenang. Saya ingat dengan seketika, refleks dan ingat pepatah jawa, aja kagetan, aja gumunan, aja dumeh, saya langsung kumpulkan semua informasi," ujar dia.
 
 

Kenapa pembunuhan massal usai G30S paling banyak terjadi di Bali?

Kenapa pembunuhan massal usai G30S paling banyak terjadi di Bali?
RPKAD. ©buku sejarah tni

Peristiwa Gerakan 30 September, atau dikenal G30S telah menyebabkan krisis politik di seluruh Indonesia. Kejadian ini menyebabkan aksi pembantaian besar-besaran, bahkan korbannya tak hanya kader Partai Komunis Indonesia (PKI) saja, tapi mereka yang dianggap berseberangan atau membahayakan kelompok-kelompok tertentu.

Dari seluruh daerah di Indonesia, Bali merupakan lokasi yang paling parah dan paling banyak memakan korban saat operasi penumpasan G30S diluncurkan. Tidak kurang dari 100 ribu orang tewas dibunuh.

"Jumlah yang dibunuh di Bali itu sangat besar, mencapai 5 persen dari populasi. Lebih dari 100 ribu orang tewas dibantai," ujar penulis buku 'Nasib Para Soekarnois' Aju kepada merdeka.com, beberapa waktu lalu.

Tragedi berdarah ini berlangsung selama setahun, yakni tahun 1965 sampai 1966. Konflik bermula dari kisruh internal Partai Nasional Indonesia (PNI), antara Anak Agung Bagus Sutedja dengan I Nyoman Mantik.

Kebencian Mantik yang tumbuh kepada Sutedja bukan tanpa alasan. Sikap bermusuhan dimulai Mantik karena Presiden Soekarno lebih memilih Anak Agung Bagus Sutedja untuk menjadi Gubernur Bali yang pertama, sejak Bali resmi menjadi provinsi mandiri. Sebelumnya, Bali merupakan bagian dari Provinsi Sunda Kecil ketika pengakuan kedaulatan diberikan Belanda.

Alasan Soekarno memilih Sutedja karena dianggap cerdas dan memiliki kesamaan visi dengan pemerintah pusat, apalagi Sutedja merupakan pendukung pemikiran-pemikiran Bung Karno. Padahal, Mantik mendapatkan suara terbanyak dan seharusnya bisa menduduki jabatan tertinggi di Pulau Dewata.

Selain kisruh internal parpol, potensi pembantaian besar-besaran juga dipicu oleh persaingan antar bangsawan di Bali. Mereka ingin merebut kekuasaan atau menjabat posisi lebih tinggi. Alhasil, hanya dengan melaporkan sosok tersebut terafiliasi PKI, aparat langsung menculik dan mengeksekusinya.

Ulah kader dan simpatisan PKI juga menjadi salah satu penyebabnya. Mereka kerap merendahkan atau menyepelekan umat Hindu di Bali. Alhasil, ketika G30S pecah, mereka menjadi orang yang paling diburu umat Hindu.

Memasuki awal 1 Desember 1965, pemerintah pusat memanggil Gubernur Sutedja ke Jakarta. Di saat bersamaan, sekelompok massa PNI dari berbagai lokasi di bawah kendali Mantik menyerbu Puri Agung Negara Djembrana. Rumah-rumah yang sudah ditandai sebagai kader atau simpatisan PKI diserbu, satu per satu penghuninya diseret keluar, kemudian dipukuli beramai-ramai dan dibunuh.

Massa juga menjarah berbagai benda berharga dan peninggalan yang disimpan di dalam puri. Hanya sebagian saja yang berhasil diambil kembali pada 1975. Sebanyak 16 pengurus dinyatakan tewas dibunuh.

Penculikan yang terjadi pada Gubernur Sutedja membuat suasana di Bali semakin mencekam. Aksi pembunuhan tak lagi menyasar kepada kader maupun relawan PKI, tapi mereka yang dianggap musuh oleh orang-orang sekitarnya. Bahkan, agar pembantaian tampak religius, dilaksanakan ritual Nyupat.

Merasa di atas angin, Mantik semakin menjadi dalam membuat berbagai teror di Bali. Ditambah lagi kedatangan RPKAD, sehingga pembantaian terjadi hampir di seluruh tanah Pulau Dewata. Bahkan, dibentuk pula kelompok yang disebut Tameng, para anggotanya dikenal sadis dan tak kenal ampun. Jika ingin lolos, maka keluarga yang sudah dijadikan target harus merelakan putrinya disetubuhi. Mereka yang punya dendam, bisa melaporkan dan mencap lawannya sebagai PKI.

Saat ini, masih ada beberapa anggota Tameng yang masih hidup. Namun, kehidupan mereka sangat menderita dibandingkan saat berlangsungnya pembantaian besar-besaran itu. "Mungkin itu karma yang mereka dapat," tulis Aju dalam bukunya 'Nasib Para Soekarnois: Kisah Penculikan Gubernur Bali, Sutedja, 1966, terbitan Yayasan Penghayat Keadilan.

Mengintip Persiapan HUT ke-70 TNI di Cilegon

KOMPAS.com/FABIAN Gladi bersih HUT ke-70 TNI di Dermaga Indah Kiat, Cilegon, Banten, Sabtu (3/10/2015)

"Yang perlu kau tahu, yang perlu kau tahu...rasa cintaku, cintaku padamu...rasa sayangku, sayangku padamu, hanyalah di dalam mimpi..." demikian lirik yel yang dinyanyikan 230 personel TNI Angkatan Darat dari Yonif 312 Kala Hitam, Subang, Jawa Barat, Sabtu (3/10/2015).

Mirip seperti tarian tradisional Ja'i dari Nusa Tenggara Timur (NTT), mereka membentuk lingkaran dan berputar mengelilingi sang komandan yang juga ikut bernyanyi. Kemeriahan tersebut hanya satu dari banyak kemeriahan yang ada di Dermaga Indah Kiat, Cilegon, Banten, pusat peringatan Hari Ulang Tahun ke-70 Tentara Nasional Indonesia (TNI).

Sabtu ini adalah gladi bersih acara peringatan yang rencananya dilaksanakan, Senin 5 Oktober 2015 mendatang. Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo bersama sejumlah kepala staf TNI hadir meninjau gladi bersih tersebut. Tema peringatan HUT ke-70 TNI tahun 2015 ini adalah  "Bersama Rakyat TNI Kuat, Hebat, Profesional, Siap Mewujudkan Indonesia yang Berdaulat, Mandiiri dan Berkepribadian."

Dermaga yang biasa digunakan untuk bongkar muat barang komersial tersebut disulap menjadi arena upacara raksasa. Panggung sepanjang sekitar 100x50 meter bernuansa merah putih dibangun menghadap laut. Sejumlah mobil pelontar rudal dan tank diparkir berderet di anjungan dermaga yang berada persis menghadap panggung.

Pemandangan itu menjadi background ribuan prajurit TNI yang tengah berbaris di lapangan upacara.

Berdasarkan siaran pers Pusat Penerangan TNI, pasukan yang terlibat dalam parade upacara tersebut terdiri gabungan dari tiga matra, yakni darat, udara dan laut dengan jumlah 6.349 personel.

Adapun, masing-masing matra mengeluarkan alat utama sistem persenjataan masing-masing. Misalnya, TNI AD dengan 6 unit Tank Scorpion, 4 Panser Tarantula dan 1 unit Radar Giraffe ; TNI AL dengan 3 Roket RM 70 Grad dan 3 unit Tank LVT 7 ; TNI AU dengan 2 unit Smart Hunter, Drone dan Rudal QW3.

Gladi bersih itu digelar tepat pukul 09.00 WIB. Hingga pukul 09.45 WIB, acara gladi bersih itu masih berlangsung. Saat ini, seribuan personel TNI sudah menyelesaikan latihan upacara dan tengah bersiap menunjukan kemampuan bela diri.

Selain wartawan, acara tersebut menjadi tontonan masyarakat setempat dan wisatawan yang kebetulan sedang mengunjungi kawasan tersebut. 
 
 

HUT TNI dan "Bonus" bagi Wisatawan...

KOMPAS.com/FABIAN Gladi bersih HUT ke-70 TNI di Dermaga Indah Kiat, Cilegon, Banten, Sabtu (3/10/2015)

Masyarakat umum turut menonton gladi bersih HUT ke-70 TNI di Dermaga Indah Kiat, Cilegon, Banten, Sabtu (3/10/2015). Mereka terhibur dengan sajian atraksi-atraksi personel TNI.

Lia Rahmawati (28) misalnya. Warga Depok, Jawa Barat itu awalnya hanya ingin berwisata di pantai kawasan Cilegon bersama keluarga. Namun, dia penasaran dengan apa yang terjadi di dermaga tersebut. "Dari jalan kan kelihatan banyak tank sama mobil tempur, anak saya penasaran, ada acara apaan, makanya lihat-lihat dulu," ujar Lia saat berbincang dengan Kompas.com, Sabtu siang.

Sang putra, Aldo Ramadhan (7), mengaku sangat tertarik melihat kendaraan tempur yang terparkir berderet di pelataran dermaga. Ia meminta untuk dinaikan di kap mobil itu untuk diabadikan momennya.

Rifai (46) juga demikian. Dia, istri dan dua anaknya tak mengetahui bahwa Cilegon akan dijadikan pusat peringatan HUT TNI. Awalnya, mereka yang merupakan warga Jakarta Timur hanya ingin berwisata di pantai setempat sekaligus mengunjungi sanak famili di Cilegon.

"Untung juga ada atraksi begini. Kalau cuma lihat pantai saja kan jadi biasa saja. Ya dapat bonuslah," ujar dia.

Dari sejumlah atraksi yang ditampilkan para personel TNI, Rifai mengaku paling senang melihat atraksi bela diri. Dia kagum melihat para personel TNI tersebut beradu otot dan menghancurkan bata, besi dan material lain hanya menggunakan tangan kosong. "Kali-kali saja anak saya terinspirasi mau jadi tentara juga," ujar dia.

Irna Watik (58), berbeda dengan Lia dan Rifai. Dia adalah warga Cilegon asli. Rumahnya hanya berjarak satu kilometer dari area gladi bersih HUT TNI. Dia mengaku sudah jauh-jauh hari mengetahui bahwa dermaga itu akan dijadikan pusat peringatan HUT TNI.

Watik mengaku senang kampung halamannya dijadikan pusat acara TNI. Dia pun mengajak cucunya untuk melihat atraksi TNI. "Dari kemarin cucu sudah minta beliin baju loreng. Kata dia buat ikutan acara tentara, gitu," ujar Watik.

Gladi bersih HUT TNI dimulai sejak pukul 09.00 WIB. Tema peringatan HUT ke-70 TNI tahun 2015 ini adalah "Bersama Rakyat TNI Kuat, Hebat, Profesional, Siap Mewujudkan Indonesia yang Berdaulat, Mandiiri dan Berkepribadian."

Sejumlah atraksi diperagakan pasukan, mulai dari baris berbaris, mobilisasi alat utama sistem persenjataan, atraksi terjun payung hingga bela diri. Hingga pukul 10.51 WIB, acara itu masih berlangsung. 
 

Bung Karno Ungkap Cara Membunuh Dia

Bung Karno Ungkap Cara Membunuh Dia
Bung Karno saat naik pesawat (VIVA.co.id / Dody Handoko)

Nama-nama besar seperti Gajah Mada, para Wali, Siliwangi, Pangeran Diponegoro, Pattimura, Bung Karno hingga Jenderal Sudirman  dianggap memiliki kesaktian.
Bukan hanya itu, hingga saat ini pun, di sejumlah daerah, masyarakat setempat memiliki legenda-legenda tentang sosok sakti di daerahnya.

Benarkah Bung Karno juga merupakan manusia “sakti?" Dengan sejarah sedikitnya tujuh kali luput, lolos, dan terhindar dari kematian akibat ancaman fisik secara langsung, menjadi hal yang jamak jika sebagian rakyat Indonesia menganggap Bung Karno adalah manusia dengan tingkat kesaktian tinggi.

Dalam buku Total Bung Karno karya Roso Daras diceritakan, sebuah perjalanan di Makassar, Bung Karno diserbu gerombolan separatis. Di perguruan Cikini, dia dilempar granat. Di Cisalak dia dicegat dan ditembaki. Di Istana, dia diserang menggunakan pesawat tempur  oleh simpatisan PRRI/Permesta.
Bahkan ketika dia tengah salat Idul Adha, seseorang yang ditengarai dari anasir DI/TII menumpahkan serentetan tembakan dari jarak enam saf (barisan salat) saja.

Bung Karno tetap selamat, tetap sehat, dan tidak gentar. Dia terus saja menjalankan tugas kepresidenan dengan segala konsekuensinya. Dalam salah satu pernyataannya di biografi Soekarno, Penyambung Lidah Rakyat Indonesia  yang ditulis Cindy Adams, berkomentar tentang usaha-usaha pembunuhan yang dilakukan terhadapnya, Bung Karno tidak mengaku memiliki kesaktian tertentu.

“Mati-hidup adalah kehendak Tuhan. Manusia mencoba membunuh, kalau Tuhan belum berkehendak saya mati, maka saya belum akan mati,” kata Bung Karno ketika itu.

Dengan kepemimpinannya yang tegas, berani “menentang” mengutuk politik Amerika Serikat, dengan keberaniannya keluar dari PBB dan membentuk Conefo, dengan penggalangan jaringan yang begitu kokoh dengan negara-negara besar di Asia maupun Afrika, Bung Karno tentu saja sangat ditakuti Amerika Serikat sebagai motor bangkitnya bangsa-bangsa di dunia untuk menumpas praktik-praktik imperialisme.

Untuk membunuh Soekarno dari luar terbukti telah gagal, maka gerakan intelijen menusuk dari dalam pun disusun, hingga lahirnya peristiwa Gestok yang benar-benar berujung pada jatuhnya Bung Karno sebagai kepala pemerintahan dan kepala negara Republik Indonesia.
Tidak berhenti sampai di sini, upaya membunuh secara fisik pun dilakukan dari dalam.

Bung Karno, dalam penuturan kepada Cindy Adams, pernah membuat pernyataan yang mencengangkan. “Untuk membunuh saya adalah mudah, jauhkan saja saya dari rakyat, saya akan mati perlahan-lahan,” kata dia waktu itu.

Orde Baru di bawah kepemimpinan Soeharto dan atas dukungan Amerika Serikat (dan kroninya), melakukan upaya mengisolasi terhadap Bung Karno dengan cara diasingkan di Istana dan wisma Yaso. Seperti yang telah disebutkan oleh Bung Karno sendiri.

Hingga Mei 1967, Bung Karno seperti tahanan rumah. Meski masih berstatus Presiden, tetapi ia terpenjara di Istana dan wisma Yaso. Tidak boleh keluar tanpa kawalan tentara di kubu Soeharto.

Usai ia dilengserkan oleh sidang istimewa MPRS, kemudian diasingkan di Bogor, kemudian disekap di Wisma Yaso, Jalan Gatot Subroto. Ia benar-benar menjadi pesakitan. Yang paling menyakitkan adalah karena dia benar-benar dijauhkan dari rakyat. Rakyat yang menjadi “nyawa”-nya selama ini sampai Bung Karno wafat.


Viva.