Sebelum Sukarno Terbaring di Wisma Yaso
Sebelum di Wisma Yaso, Soekarno sudah mulai terasing di Istana Bogor sejak menandatangani Supersemar 1966. Dalam kenangan salah satu wartawan istana dari Harian Pelopor Baru, Toeti Kakialatu dalam buku ’34 Wartawan Istana Bicara Tentang Pak Harto’, dijelaskan saat itu wartawan sudah tak boleh lagi bertemu Soekarno.
“Pintu Istana Merdeka dan Istana Bogor tertutup bagi semua wartawan. Sementara itu demonstrasi gencar terjadi menuntut Tritura (Tiga Tuntutan Rakyat: Bubarkan PKI, Bubarkan Kabinet Dwikora dan Turunkan harga-harga makanan),” tulis Toeti.
“Beliau juga tak diperbolehkan berdiam di Istana Bogor, melainkan di kediaman pribadi di Jalan Batu Tulis, Bogor yang diberi nama ‘Hing Puri Bima Sakti’. Beliau nampak kesepian. Hanya beberapa petugas Teperpu yang selalu ingin mengorek keterlibatan Bung Karno atas peristiwa kudeta 1965,” tambahnya.
Lantaran terus-menerus diinterogasi dan tanpa teman berarti di sisinya, kesehatan Bung Karno pun menurun. Rahmawati kemudian menulis surat untuk Soeharto agar Bung Karno dipindah lagi ke Jakarta. Itulah akhirnya Bung Karno mendiami Wisma Yaso hingga akhir hayatnya.
Sebelum di Wisma Yaso, Soekarno sudah mulai terasing di Istana Bogor sejak menandatangani Supersemar 1966. Dalam kenangan salah satu wartawan istana dari Harian Pelopor Baru, Toeti Kakialatu dalam buku ’34 Wartawan Istana Bicara Tentang Pak Harto’, dijelaskan saat itu wartawan sudah tak boleh lagi bertemu Soekarno.
“Pintu Istana Merdeka dan Istana Bogor tertutup bagi semua wartawan. Sementara itu demonstrasi gencar terjadi menuntut Tritura (Tiga Tuntutan Rakyat: Bubarkan PKI, Bubarkan Kabinet Dwikora dan Turunkan harga-harga makanan),” tulis Toeti.
“Beliau juga tak diperbolehkan berdiam di Istana Bogor, melainkan di kediaman pribadi di Jalan Batu Tulis, Bogor yang diberi nama ‘Hing Puri Bima Sakti’. Beliau nampak kesepian. Hanya beberapa petugas Teperpu yang selalu ingin mengorek keterlibatan Bung Karno atas peristiwa kudeta 1965,” tambahnya.
Lantaran terus-menerus diinterogasi dan tanpa teman berarti di sisinya, kesehatan Bung Karno pun menurun. Rahmawati kemudian menulis surat untuk Soeharto agar Bung Karno dipindah lagi ke Jakarta. Itulah akhirnya Bung Karno mendiami Wisma Yaso hingga akhir hayatnya.
Sebelum munculnya Supersemar
Padahal sebelum munculnya Supersemar yang mengharuskan Soekarno menyerahkan mandat pada Soeharto, setidaknya Soekarno masih bisa menikmati hari-hari luang. Pasca-Soeharto jadi Pejabat Presiden, Toeti mengaku bersama beberapa rekan wartawan lainnya masih sempat ‘ngemong’ Bung Karno.
“Kami keliling kota dengan bus mini ke beberapa toko anti, ke Stadion Senayan, melihat dari jauh pembagunan Gedung MPR/DPR. Saat itu juga Bung Karno sangat ingin makan sate di Priok. Tapi tak diizinkan bagian keamanan,” imbuh Toeti.
“Acara lain adalah nonton film di studio kecil yang waktu itu letaknya di bagian belakang Istana Negara. Biasanya kami nonton film Jepang. Bung Karno senang sekali nonton ‘Zato Ichi’, cerita tentang samurai pemberani bermata satu,” lanjutnya mengenang Bung Karno.
Dalam kenangannya, Soekarno memang dikenal sosok yang teguh memegang prinsip yang dipercayainya, kendati rakyat sudah tak lagi menghendaki. Seperti konsep Nasakom(Nasionalisme, Agama dan Komunisme) contohnya.
Peristiwa G30S tak ayal membuahkan gejolak besar dalam politik Indonesia. Soeharto sedianya sudah lebih dari 10 kali membujuk Soekarno untuk memenuhi Tritura yang di antaraya, membubarkan PKI. Tapi itu artinya menghapus pula konsep Nasakom yang dipegangnya selama rezim demokrasi terpimpin.
“Dudu sanak, dudu kadang. Nek mati melu kelangan,” begitu jawab Soekarno yang menyiratkan keengganan membubarkan PKI, di mana kira-kira artinya, bukan saudara bukan kawan, tapi kalau mati turut kehilangan.
Sayang, pilihannya yang tak menghendaki pemenuhan Tritura membuatnya harus jatuh dari segala tongkat komando yang pernah dikuasainya. Soekarno seolah harus menghadapi masa senjanya dengan kesendirian dan kondisi yang suram di Wisma Yaso.
Kondisi kesehatannya yang kian memburuk mengharuskan Soekarno dirawat di Rumah Sakit Gatot Subroto. Dunia internasional tak alpa pula mengikuti kondisi sosok yang pernah sangat diperhitungkan blok barat dan timur itu.
“Berita tentang parahnya penyakit Bung Karno menjadi gosip santer. Juga beredarlah foto dari ‘Associated Press’ di media-media barat, Bung Karno tengah berbaring tak berdaya dengan wajah sembab, sedang dijaga putrinya, Rahmawati,” sambung Toeti lagi.
Tapi tak lama kemudian di Paviliun Darmawan RS Gatot Subroto, Soekarno yang lahir di Surabaya pada 6 Juni 1910 dan sejak kecil selalu ingin jadi penakluk, akhirnya ditaklukkan takdir. Maut menjemputnya pada 21 Juli 1970.
Sempat beredar soal isu keinginan Bung Karno sendiri yang ingin dimakamkan di Batu Tulis, Bogor.
Tapi dikatakan pihak keluarga juga saling berbeda pendapat soal di mana Soekarno akan dikebumikan. Namun Soeharto turut memutuskan bahwa Soekarno hendaknya dimakamkan dekat makam ibunya, Ida Ayu Nyoman Rai di Blitar, Jawa Timur.
Sekalipun demikian, situasinya saat itu mungkin sulit dipahami, Soekarno lebih memilih bangsanya aman dan tenang. Mungkin bisa dikutip dari nasehat Soekarno kepada anaknya:
“Jadikan deritaku ini sebagai kesaksian, bahwa kekuasaan seorang presiden sekali pun, ada batasnya. Karena kekuasaan yang langgeng, hanyalah kekuasaan rakyat dan di atas segalanya adalah kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa.”
Para pemimpin di masa sekarang hendaknya mau bercermin dan mengambil keteladanan seorang Soekarno, sang proklamator. Sikap seperti Soekarno bisa jadi cermin dari sikap para orangtua di masa lalu, mengingat pada masa itu, walau seorang menteri pun, tak ada yang hidupnya kaya atau pun hidup bermewah-mewah.
Banyak diantaranya tak mau fasilitas rumah dari negara dan malah memilih untuk hidup di rumah kontrakan, makan seadanya, ada yang bermasalah dengan WC rumahnya yang mampet, bahkan ada yang tak mampu membeli kain kafan untuk anaknya yang meninggal. Padahal mereka adalah seorang Menteri Negara yang mengurusi seganap rakyatnya, rakyat Indonesia, dari Sabang hingga Merauke.