soeharto. ©2012 Merdeka.com
Peristiwa Gerakan 30 September melambungkan nama
Soeharto hingga menjadi presiden. Momen-momen perdebatan mewarnai hubungan
Soeharto dengan Bung Karno pada saat-saat kritis.
Tampuk pimpinan AD mengalami kekosongan setelah Letjen
Ahmad Yani
dan lima perwira tinggi AD lainnya diculik dalam G30S. Setelah RRI
berhasil dikuasai pasukan Kol Sarwo Edhie, Mayjen Soeharto langsung
mengumumkan mengambil alih komando pimpinan AD untuk sementara waktu.
Hal itu diakui Soeharto guna mengisi kekosongan komando di AD karena
enam petingginya tewas dalam G30S.
Namun, Presiden
Soekarno
ternyata memiliki pandangan lain. Bung Karno berniat menjadikan Mayjen
Pranoto Reksosamodra sebagai pelaksana harian, sementara tongkat
pimpinan AD langsung berada di bawah kendali Bung Karno. Hal ini
diutarakan Bung Karno saat bertemu dengan Soeharto di Istana Bogor, 2
Oktober 1965.
Mendengar pernyataan Bung Karno itu, Mayjen
Soeharto langsung berkomentar halus. Biasanya dia yang selalu menjadi
pelaksana harian jika Jenderal Yani berhalangan.
Belum sempat Presiden
Soekarno
menjawab, Soeharto langsung menyambung ucapannya. "Tetapi, saat ini
karena Bapak Presiden telah mengangkat Jenderal Pranoto sebagai
pelaksana harian, dan supaya jangan menimbulkan dualisme pimpinan dalam
Angkatan Darat, saya serahkan tanggung jawab keamanan ini dan ketertiban
umum pada pejabat baru."
Mendengar ucapan Mayjen Soeharo, Bung
Karno langsung beraksi. "Jangan, bukan maksud saya begitu. Harto tetap
bertanggung jawab mengenai keamanan dan ketertiban," kata Bung Karno.
Mayjen
Soeharto kemudian mempertanyakan ucapan Bung Karno. Dengan emosi
Soeharto mempertanyakan dasar yang dimilikinya sebagai penanggung jawab.
"Lantas
dasar saya apa? Dengan tertulis Bapak telah mengangkat Mayor Jenderal
Pranoto dan harus ditaati. Orang bisa mengira, saya ini tidak tahu diri,
ambisius dan tidak patuh. Kan repot Pak," kata Mayjen Soeharto dalam
Otobiografi Soeharto: Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya terbitan PT
Citra Lamtoro Gung Persada 1989.
"Lantas bagaimana caranya?" tanya Bung Karno.
Soeharto
kemudian menjawab, satu-satunya cara adalah Presiden Soekarno berpidato
kepada rakyat melalui radio soal mandat yang diberikan kepadanya
mengenai pemulihan keamanan dan ketertiban pasca-G30S.
Bung
Karno lantas memanggil Komandan Tjakrabirawa Brigjen Sabur. Dia
memerintahkan agar Sabur melakukan apa yang diminta Soeharto.
Meski
menerima, Soeharto mengaku kurang sreg atas pengangkatan Mayjen Pranoto
sebagai pelaksana harian. Soeharto bahkan mengaku tidak percaya
kepadanya. Namun demikian, dia hanya diam saja, tidak mengungkapkannya
ke Bung Karno.
Tanggal 16 Februari 1966, Soeharto memberikan
perintah penangkapan untuk Jenderal Pranoto. Soeharto menuding Pranoto
terlibat G30S. Bahkan Pranoto masuk salah satu gembong gerakan Partai
Komunis Indonesia (PKI).
Pranoto mencoba menyanggah tudingan yang
dialamatkan padanya. Namun percuma, tak ada keadilan atau pengadilan
bagi tahanan politik yang sudah dicap PKI.
Tanggal 16 Februari 1981, Pranoto dibebaskan dari tahanan. Dia berjalan kaki ke rumah anak-anaknya di Kramatjati,
Jakarta Timur.
Jenderal
pilihan Soekarno ini meninggal 9 Juni 1992. Cap tahanan politik belum
lepas bahkan saat kematiannya. Nasib Pranoto sama buruknya dengan
Soekarno yang meninggal dengan status tahanan rumah.