Dalam dunia politik periode 1965, Ketua Central Comite Partai Komunis
Indonesia (CC PKI) Dipa Nusantara Aidit punya musuh abadi. Panglima
Angkatan Darat Letjen Ahmad Yani menjadi musuh bebuyutan yang selalu
menjegal langkah politik PKI. Sebaliknya, PKI pun selalu menyerang
Angkatan Darat.
Kedua orang itu memang tak pernah cocok. Ditambah lagi perseteruan Angkatan Darat dan PKI yang maik meruncing, Yani dan Aidit ibarat anjing dan kucing.
Ketika Yani dilantik menjadi Kepala Staf Angkatan Darat 22 Juni 1962, Aidit khusus menulis puisi untuk menyindir Yani. Puisi itu diberi judul Raja Naik Mahkota.
Udara hari ini cerah benar,
Pemuda nyanyi nasakom bersatu,
Gelak ketawa gadis Remaja,
Mendengar si lalim naik tahta,
Tapi konon mahkotanya kecil,
Ayo maju terus kawan,
Halau dia ke jaring dan jerat,
Hadapkan dia kemahkamah rakyat.
Aidit tak menyukai gaya hidup Yani yang borjuis. Mulai dari mini bar, koleksi jam tangan mewah, hingga hobi golf Yani. Yani yang lulusan pendidikan militer Amerika juga dinilai sebagai agen neokolonial dan imperialisme (Nekolim).
Serangan Aidit berlanjut, tahun 1963 saat Operasi Trikora di Irian Barat selesai, PKI menuding Angkatan Darat memboroskan anggaran dan menyebabkan negara bangkrut. Saat itu kondisi perekonomian Indonesia memang morat-marit.
Yani marah, dia membalas serangan Aidit. "Biar ada 10 Aidit pun tak akan bisa memperbaiki ekonomi kita," kata Yani seperti ditulis dalam buku Sejarah TNI Jilid III terbitan Pusjarah.
Keduanya pun kembali terlibat seteru saat Aidit mengusulkan pembentukan angkatan kelima dimana buruh dan tani dipersenjatai. Aidit beralasan buruh dan tani akan dikerahkan untuk Dwikora menghadapi Malaysia dan serangan Nekolim. Yani menolaknya. tentu saja Angkatan Darat tak mau PKI punya kekuatan bersenjata yang sewaktu-waktu bisa digerakkan.
"Kalau Nekolim menyerang, semua rakyat Indonesia akan dipersenjatai. Bukan hanya buruh dan tani," balas Yani.
Saat itulah beredar Dokumen Gilchrist, Duta Besar Inggris untuk Indonesia. Isinya menyebut ada kerjasama antara militer AS dengan sejumlah jenderal Angkatan Darat yang tak loyal dengan Soekarno. Ada isu Dewan jenderal yang siap mengkudeta Soekarno dan mendirikan pemerintahan baru. Nama Yani masuk di dalamnya. Jelas saja Yani menolak isi dokumen tersebut.
Yani tahu PKI akan segera menyerang, tapi dia meremehkan informasi yang beredar. Intelijen Angkatan Darat ternyata gagal mendeteksi gerakan 30S. Ketidakwaspadaan yang harus dibayar dengan harga sangat mahal. Yani tewas diberondong pasukan penculik 1 Oktober 1965 dini hari di rumahnya. Sejumlah jenderal pimpinan Angkatan Darat juga dihabisi. Mayat mereka dimasukkan ke dalam sumur tua di lubang buaya.
Tapi kemenangan juga bukan milik Aidit. Setelah G30S gagal, Aidit lari ke Jawa Tengah. Beberapa hari kemudian Aidit tertangkap. Beberapa versi menyebutkan Pasukan Kostrad mengeksekusi Aidit dengan berondongan peluru AK-47 di sekitar Boyolali. Sama, jenazah Aidit pun dimasukkan dalam sumur tua.
Demikian akhir permusuhan Yani dan Aidit, hampir serupa walau tak sama. Keduanya bukan pemenang, hanya korban revolusi yang masih abu-abu.
Kedua orang itu memang tak pernah cocok. Ditambah lagi perseteruan Angkatan Darat dan PKI yang maik meruncing, Yani dan Aidit ibarat anjing dan kucing.
Ketika Yani dilantik menjadi Kepala Staf Angkatan Darat 22 Juni 1962, Aidit khusus menulis puisi untuk menyindir Yani. Puisi itu diberi judul Raja Naik Mahkota.
Udara hari ini cerah benar,
Pemuda nyanyi nasakom bersatu,
Gelak ketawa gadis Remaja,
Mendengar si lalim naik tahta,
Tapi konon mahkotanya kecil,
Ayo maju terus kawan,
Halau dia ke jaring dan jerat,
Hadapkan dia kemahkamah rakyat.
Aidit tak menyukai gaya hidup Yani yang borjuis. Mulai dari mini bar, koleksi jam tangan mewah, hingga hobi golf Yani. Yani yang lulusan pendidikan militer Amerika juga dinilai sebagai agen neokolonial dan imperialisme (Nekolim).
Serangan Aidit berlanjut, tahun 1963 saat Operasi Trikora di Irian Barat selesai, PKI menuding Angkatan Darat memboroskan anggaran dan menyebabkan negara bangkrut. Saat itu kondisi perekonomian Indonesia memang morat-marit.
Yani marah, dia membalas serangan Aidit. "Biar ada 10 Aidit pun tak akan bisa memperbaiki ekonomi kita," kata Yani seperti ditulis dalam buku Sejarah TNI Jilid III terbitan Pusjarah.
Keduanya pun kembali terlibat seteru saat Aidit mengusulkan pembentukan angkatan kelima dimana buruh dan tani dipersenjatai. Aidit beralasan buruh dan tani akan dikerahkan untuk Dwikora menghadapi Malaysia dan serangan Nekolim. Yani menolaknya. tentu saja Angkatan Darat tak mau PKI punya kekuatan bersenjata yang sewaktu-waktu bisa digerakkan.
"Kalau Nekolim menyerang, semua rakyat Indonesia akan dipersenjatai. Bukan hanya buruh dan tani," balas Yani.
Saat itulah beredar Dokumen Gilchrist, Duta Besar Inggris untuk Indonesia. Isinya menyebut ada kerjasama antara militer AS dengan sejumlah jenderal Angkatan Darat yang tak loyal dengan Soekarno. Ada isu Dewan jenderal yang siap mengkudeta Soekarno dan mendirikan pemerintahan baru. Nama Yani masuk di dalamnya. Jelas saja Yani menolak isi dokumen tersebut.
Yani tahu PKI akan segera menyerang, tapi dia meremehkan informasi yang beredar. Intelijen Angkatan Darat ternyata gagal mendeteksi gerakan 30S. Ketidakwaspadaan yang harus dibayar dengan harga sangat mahal. Yani tewas diberondong pasukan penculik 1 Oktober 1965 dini hari di rumahnya. Sejumlah jenderal pimpinan Angkatan Darat juga dihabisi. Mayat mereka dimasukkan ke dalam sumur tua di lubang buaya.
Tapi kemenangan juga bukan milik Aidit. Setelah G30S gagal, Aidit lari ke Jawa Tengah. Beberapa hari kemudian Aidit tertangkap. Beberapa versi menyebutkan Pasukan Kostrad mengeksekusi Aidit dengan berondongan peluru AK-47 di sekitar Boyolali. Sama, jenazah Aidit pun dimasukkan dalam sumur tua.
Demikian akhir permusuhan Yani dan Aidit, hampir serupa walau tak sama. Keduanya bukan pemenang, hanya korban revolusi yang masih abu-abu.