Peristiwa Gerakan 30 September melambungkan nama Soeharto hingga menjadi presiden. Momen-momen perdebatan mewarnai hubungan Soeharto dengan Bung Karno pada saat-saat kritis.
Tampuk pimpinan AD mengalami kekosongan setelah Letjen Ahmad Yani dan lima perwira tinggi AD lainnya diculik dalam G30S. Setelah RRI berhasil dikuasai pasukan Kol Sarwo Edhie, Mayjen Soeharto langsung mengumumkan mengambil alih komando pimpinan AD untuk sementara waktu. Hal itu diakui Soeharto guna mengisi kekosongan komando di AD karena enam petingginya tewas dalam G30S.
Namun, Presiden Soekarno ternyata memiliki pandangan lain. Bung Karno berniat menjadikan Mayjen Pranoto Reksosamodra sebagai pelaksana harian, sementara tongkat pimpinan AD langsung berada di bawah kendali Bung Karno. Hal ini diutarakan Bung Karno saat bertemu dengan Soeharto di Istana Bogor, 2 Oktober 1965.
Mendengar pernyataan Bung Karno itu, Mayjen Soeharto langsung berkomentar halus. Biasanya dia yang selalu menjadi pelaksana harian jika Jenderal Yani berhalangan.
Belum sempat Presiden Soekarno menjawab, Soeharto langsung menyambung ucapannya. "Tetapi, saat ini karena Bapak Presiden telah mengangkat Jenderal Pranoto sebagai pelaksana harian, dan supaya jangan menimbulkan dualisme pimpinan dalam Angkatan Darat, saya serahkan tanggung jawab keamanan ini dan ketertiban umum pada pejabat baru."
Mendengar ucapan Mayjen Soeharo, Bung Karno langsung beraksi. "Jangan, bukan maksud saya begitu. Harto tetap bertanggung jawab mengenai keamanan dan ketertiban," kata Bung Karno.
Mayjen Soeharto kemudian mempertanyakan ucapan Bung Karno. Dengan emosi Soeharto mempertanyakan dasar yang dimilikinya sebagai penanggung jawab.
"Lantas dasar saya apa? Dengan tertulis Bapak telah mengangkat Mayor Jenderal Pranoto dan harus ditaati. Orang bisa mengira, saya ini tidak tahu diri, ambisius dan tidak patuh. Kan repot Pak," kata Mayjen Soeharto dalam Otobiografi Soeharto: Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya terbitan PT Citra Lamtoro Gung Persada 1989.
"Lantas bagaimana caranya?" tanya Bung Karno.
Soeharto kemudian menjawab, satu-satunya cara adalah Presiden Soekarno berpidato kepada rakyat melalui radio soal mandat yang diberikan kepadanya mengenai pemulihan keamanan dan ketertiban pasca-G30S.
Bung Karno lantas memanggil Komandan Tjakrabirawa Brigjen Sabur. Dia memerintahkan agar Sabur melakukan apa yang diminta Soeharto.
Meski menerima, Soeharto mengaku kurang sreg atas pengangkatan Mayjen Pranoto sebagai pelaksana harian. Soeharto bahkan mengaku tidak percaya kepadanya. Namun demikian, dia hanya diam saja, tidak mengungkapkannya ke Bung Karno.
Tanggal 16 Februari 1966, Soeharto memberikan perintah penangkapan untuk Jenderal Pranoto. Soeharto menuding Pranoto terlibat G30S. Bahkan Pranoto masuk salah satu gembong gerakan Partai Komunis Indonesia (PKI).
Pranoto mencoba menyanggah tudingan yang dialamatkan padanya. Namun percuma, tak ada keadilan atau pengadilan bagi tahanan politik yang sudah dicap PKI.
Tanggal 16 Februari 1981, Pranoto dibebaskan dari tahanan. Dia berjalan kaki ke rumah anak-anaknya di Kramatjati, Jakarta Timur.
Jenderal pilihan Soekarno ini meninggal 9 Juni 1992. Cap tahanan politik belum lepas bahkan saat kematiannya. Nasib Pranoto sama buruknya dengan Soekarno yang meninggal dengan status tahanan rumah.
Tampuk pimpinan AD mengalami kekosongan setelah Letjen Ahmad Yani dan lima perwira tinggi AD lainnya diculik dalam G30S. Setelah RRI berhasil dikuasai pasukan Kol Sarwo Edhie, Mayjen Soeharto langsung mengumumkan mengambil alih komando pimpinan AD untuk sementara waktu. Hal itu diakui Soeharto guna mengisi kekosongan komando di AD karena enam petingginya tewas dalam G30S.
Namun, Presiden Soekarno ternyata memiliki pandangan lain. Bung Karno berniat menjadikan Mayjen Pranoto Reksosamodra sebagai pelaksana harian, sementara tongkat pimpinan AD langsung berada di bawah kendali Bung Karno. Hal ini diutarakan Bung Karno saat bertemu dengan Soeharto di Istana Bogor, 2 Oktober 1965.
Mendengar pernyataan Bung Karno itu, Mayjen Soeharto langsung berkomentar halus. Biasanya dia yang selalu menjadi pelaksana harian jika Jenderal Yani berhalangan.
Belum sempat Presiden Soekarno menjawab, Soeharto langsung menyambung ucapannya. "Tetapi, saat ini karena Bapak Presiden telah mengangkat Jenderal Pranoto sebagai pelaksana harian, dan supaya jangan menimbulkan dualisme pimpinan dalam Angkatan Darat, saya serahkan tanggung jawab keamanan ini dan ketertiban umum pada pejabat baru."
Mendengar ucapan Mayjen Soeharo, Bung Karno langsung beraksi. "Jangan, bukan maksud saya begitu. Harto tetap bertanggung jawab mengenai keamanan dan ketertiban," kata Bung Karno.
Mayjen Soeharto kemudian mempertanyakan ucapan Bung Karno. Dengan emosi Soeharto mempertanyakan dasar yang dimilikinya sebagai penanggung jawab.
"Lantas dasar saya apa? Dengan tertulis Bapak telah mengangkat Mayor Jenderal Pranoto dan harus ditaati. Orang bisa mengira, saya ini tidak tahu diri, ambisius dan tidak patuh. Kan repot Pak," kata Mayjen Soeharto dalam Otobiografi Soeharto: Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya terbitan PT Citra Lamtoro Gung Persada 1989.
"Lantas bagaimana caranya?" tanya Bung Karno.
Soeharto kemudian menjawab, satu-satunya cara adalah Presiden Soekarno berpidato kepada rakyat melalui radio soal mandat yang diberikan kepadanya mengenai pemulihan keamanan dan ketertiban pasca-G30S.
Bung Karno lantas memanggil Komandan Tjakrabirawa Brigjen Sabur. Dia memerintahkan agar Sabur melakukan apa yang diminta Soeharto.
Meski menerima, Soeharto mengaku kurang sreg atas pengangkatan Mayjen Pranoto sebagai pelaksana harian. Soeharto bahkan mengaku tidak percaya kepadanya. Namun demikian, dia hanya diam saja, tidak mengungkapkannya ke Bung Karno.
Tanggal 16 Februari 1966, Soeharto memberikan perintah penangkapan untuk Jenderal Pranoto. Soeharto menuding Pranoto terlibat G30S. Bahkan Pranoto masuk salah satu gembong gerakan Partai Komunis Indonesia (PKI).
Pranoto mencoba menyanggah tudingan yang dialamatkan padanya. Namun percuma, tak ada keadilan atau pengadilan bagi tahanan politik yang sudah dicap PKI.
Tanggal 16 Februari 1981, Pranoto dibebaskan dari tahanan. Dia berjalan kaki ke rumah anak-anaknya di Kramatjati, Jakarta Timur.
Jenderal pilihan Soekarno ini meninggal 9 Juni 1992. Cap tahanan politik belum lepas bahkan saat kematiannya. Nasib Pranoto sama buruknya dengan Soekarno yang meninggal dengan status tahanan rumah.