Malaysia tak pernah jera. Setelah kasus
tiang pancang mercusuar Malaysia merambah batas wilayah Indonesia di
Tanjung Datu mencuat, kini negeri jiran itu bikin ulah lagi. Menguji
nyali Jokowi dari janjinya “kita akan bikin ramai”.
Kisruh pembangunan tiang pancang mercusuar Malaysia di Tanjung Datu,
Sambas, Kalimantan Barat yang meledak pada medio 2014 itu memang telah
dihentikan karena terbukti telah memasuki wilayah RI. Tapi pihak
Malaysia kini mengulangnya lagi dalam membangun pos pengawasan laut di
antara Pulau Tinabasan dan Sebatik.
Pembangunan pos itu diduga kuat melewati garis perbatasan
Indonesia-Malaysia di Kalimantan Utara. Posisinya berada sekitar 2 mil
laut sebelah utara Pelabuhan Lintas Batas Laut (PLBL) Liem Hie Jung Kab
Nunukan pada titik koordinat 04° 09’ 288” LU – 117° 37’ 130” BT dimana
tiang pancangnya di titik 0 (zero) batas negara.
Padahal persyaratan dari titik zero dengan radius 5 km tidak boleh
ada bangunan apapun. Dengan demikian, dari 16 tiang pancang yang
digunakan Malaysia untuk pembangunan pos tersebut, setidaknya ada empat
tiang pancang yang dipasang di wilayah perairan Kalimantan.
Tak tanggung-tanggung, pos itu dibangun secara permanen. Pihak
Malaysia juga membangunnya dalam posisi berhadapan dengan pos pengawasan
laut Indonesia. Entah apa maksudnya kalau bukan provokasi.
Berdasarkan pantauan Indonesian Review, awal Desember 2014,
pembangunannya sudah memasuki tahap pembuatan lantai dasar. Bandingkan
dengan kondisi Pos Sei Pancang Sebatik Utara yang dioperasikan oleh TNI
AL yang agak reyot.
Bila pembangunannya sudah menerabas batas teritori RI, tentu saja
Malaysia telah melecehkan kedaulatan RI untuk kesekian kalinya. Segenap
komponen bangsa, terutama TNI AL, tidak bisa menganggap persoalan
tersebut sebagai kewajaran dalam konteks hak pembangunan Malaysia.
Terlebih lagi dampak proses pembangunan tersebut telah menganggu jalur
transportasi lintas laut dan sungai dari Kab. Nunukan menuju Kecamatan
Sebuku dan Sebatik karena terkadang diberlakukan sistem buka-tutup.
Area yang digunakan nelayan daerah Sebatik dan Nunukan dalam mencari
ikan juga praktis menyempit. Padahal potensi perikanan di kawasan
tersebut terbilang besar. Saat masih dalam pangkuan Kalimantan Timur,
Kab Nunukan dan Tarakan menyumbang 40 persen potensi perikanan dari 3000
ton lebih jumlah total produksi perikanan di Bumi Mulawarman itu per
tahunnya. Terutama potensi tuna dan rumput laut yang menjadi andalan.
Nunukan memang berperan penting di bumi Etam. Sebelum masuk wilayah
administratif provinsi Kalimantan Utara yang terbentuk pada 2012,
geostrategis Nunukan menjadi faktor utama Kalimantan Timur dalam
menyandang status kawasan zona ekonomi ekslusif karena letaknya di Laut
Sulawesi sebelah timur laut Nunukan.
Potensi perikanan dan kelautan Nunukan makin terusik ketika pos
pengawasan itu secara otomatis memperluas jangkauan patroli Malaysia,
yang memang lebih sering bersinggungan dengan nelayan Indonesia. Apalagi
sampai sekarang Police Marine Malaysia masih sering mengusir nelayan
Indonesia, meskipun para nelayan masih berada di wilayah perairan
Indonesia.
Dampak yang lebih serius adalah potensi kegiatan intelijen pihak
Malaysia di wilayah tersebut. Maklum saja, hampir semua infrastruktur
sebuah pos pengawasan biasanya dilengkapi dengan peralatan
telekomunikasi, radar, dan peralatan militer lainnya.
Karena itulah peristiwa penangkapan Police Marine Malaysia terhadap
11 orang nelayan asal Kab Nunukan pada 15 Februari 2015 lalu patut
diduga sebagai hasil intelijen Malaysia yang diolah secara provokatif.
Para Nelayan Nunukan itu ditangkap pada saat sedang memasang tali
rumput laut di sekitar perairan perbatasan burs-point tanjung Nunukan.
Police Marine negeri jiran itu mengklaim kegiatan tersebut sudah keluar
dari zona batas laut. Sehingga para nelayan tersebut dituduh memasuki
wilayah perairan Malaysia tanpa dokumen resmi.
Sampai dengan pekan ketiga Februari, para nelayan Nunukan itu masih
ditahan pihak Malaysia. Konsulat RI di Tawau kalang-kabut dibuatnya.
Satgas Konsulat sejauh ini masih berupaya membebaskan mereka tanpa
melalui proses peradilan melalui permohonan kepada Jaksa Penuntut Umum
Malaysia.
Pihak Malaysia nampaknya sukses memancing para nelayan itu memasuki
perairannya dengan menetapkan target operasi terhadap kelompok nelayan
Indonesia yang lemah. Bukan tak mungkin para nelayan itu terpancing.
Mengapa?
Aktivitas pembangunan pos pengawasan perairan Malaysia itu bukan saja
telah menjadi penglihatan sehari-hari. Para nelayan juga akan cenderung
menganggap pekerjaan mereka yang telah melewati garis batas perairan
itu lantaran sistem kehidupan sehari-hari masyarakat Kab Nunukan
terutama di Pulau Sebatik dengan Malaysia begitu eratnya. Kehidupan
sosial-kebudayaan keduanya sudah mendarah daging sejak lama. Keduanya
satu darah, satu keturunan; menjadi sulit sekali dipisahkan oleh tapal
batas teritori negara.
Ibarat kue, Sebatik adalah pulau yang dibelah dua dengan Malaysia.
Posisi pulau yang terbagi menjadi lima kecamatan sejak 2011 ini
berhadapan langsung dengan Kota Tawau dan Sabah, Malaysia. Jarak Sebatik
ke Tawau lebih dekat dibanding ke Nunukan. Waktu yang ditempuh dari
Sebatik ke Nunukan menelan sekitar 1,5 jam menggunakan berperahu. Kalau
ke Tawau cuma membutuhkan 15 menit jalan kaki.
Dari aspek geografis itu saja pasti terbayang bagaimana kentalnya
hubungan emosional social-kebudayaan, termasuk mata pencaharian
Sebatik-Tawau ini. Saking kentalnya hubungan tersebut, bisa diibaratkan,
kalau rumah-rumah penduduk yang berada di garis perbatasan itu dibelah
dua, maka ruang tamunya masuk wilayah Indonesia, sedangkan ruang
dapurnya masuk wilayah Malaysia.
Tak mengherankan kalau sejumlah penduduk Nunukan punya status
kewarga-negaraan ganda. Hari ini warga Indonesia; besoknya jadi warga
Malaysia. Perpindahan kewarga-negaraan ini mengingatkan kita pada
peristiwa eksodus dan Identity Card sejumlah warga Kec. Lumbis Ogong,
Nunukan menjadi warga Malaysia yang mencuat pada 2014.
Meski demikian, bagaimanapun kedekatan emosional tersebut tetap tidak
bisa ditolelir jika persoalannya telah mengusik martabat bangsa.
Potensi terganggunya aktivitas masyarakat, apalagi kalau sudah melewati
garis batas kedaulatan negeri, menjadi suatu hal yang mesti dipisahkan
dari ikatan emosional. Karena Indonesia berdiri dan berdaulat bukan cuma
tersambung dengan Nunukan, tapi juga dengan 17 ribu pulau lainnya.
Maka, mengacu pada Perjanjian Landas Kontinen Indonesia-Malaysia
tahun 1969 dan Konvensi Hukum Laut 1982, sudah seharusnya pemerintah
Indonesia bersikap tegas atas permasalahan yang terjadi di Nunukan ini.
Terlebih lagi Indonesia-Malaysia sama-sama telah meratifikasi
konvensi 1982 tersebut, yang dalam pasal 80 secara tegas disebutkan
bahwa negara yang mempunyai hak berdaulat di landas kontinen mempunyai
hak eksklusif untuk membangun dan memiliki kewenangan dan pengaturan
atas instalasi yang dibangun di atasnya. Jadi, kalau Malaysia hendak
mendirikan pos pengawasan laut yang memasuki wilayah Indonesia,
seharusnya Malaysia meminta ijin.
Karena sudah berkali-kali Malaysia membandel, pemerintah RI melalui
Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP), Kementerian Luar Negeri dan
TNI, perlu melakukan berbagai langkah strategis dan antisipatif untuk
menuntaskan persoalan garis batas tersebut secara kongkrit, sekaligus
mengambil langkah tegas agar peristiwa tersebut tidak lagi terulang.
Yang dibutuhkan antara lain: pemerintah RI melayangkan nota
diplomatik atas permasalahan yang sering ditimbulkan oleh Malaysia di
sekitar perbatasan sebagai bentuk ketegasan RI. Hal yang sama juga
ditempuh pihak TNI sebagai penjaga kedaulatan bangsa atas “invasi
kedaulatan” yang sering direcoki oleh pihak Malaysia.
Sikap tegas Panglima TNI Jenderal Moeldoko dalam kasus Tanjung Datu
perlu diulang. Kala itu ia memerintah prajurit TNI untuk membongkar
secara paksa apabila pihak Malaysia tidak menghentikan pembangunan
mercusuar itu yang telah memasuki teritori RI. Nyatanya: pembangunan
tersebut akhirnya berhenti.
Dalam kasus pembangunan pos pengawasan Malaysia ini, jika negeri
jiran itu masih saja melanjutkan pembangunannya yang telah memasuki
batas teritori RI, tentu kita janji Presiden Jokowi harus kita tagih.
Dalam kampanye Pilpres 2014 di bidang pertahanan, secara meyakinkan dia
menyatakan, “kita akan bikin ramai”!. (IndonesianReview.com).
Editor:
Alfi Rahmadi
Sumber Foto:
Warga Indonesia melintasi perbatasan Indonesia-Malaysia di Kecamatan Krayan Selatan, Kabupaten Nunukan (sumber: metrotvnews.com)