On April 8, the same day Rush flew out
of Australia, the AFP (Australian Federal Police) sent a letter to the
Indonesian National Police, headed “Subject: Heroin couriers from Bali
to Australia.” (theaustralian.com.au).
Tahukah anda, bahwa kasus “Bali Nine” dan
Corby sengaja dijebak oleh pihak kepolisian Australia dan intelijen
Australia sendiri? Pada artikel ini, mari kita awali dulu dari kasus
Corby.
Schapelle Leigh Corby (lahir 10 Juli
1977) adalah seorang mantan pelajar sekolah kecantikan dari Brisbane,
Australia yang ditangkap membawa ganja dalam tasnya yang tak begitu
terlarang di Autralia, namun sangat terlarang di Indonesia saat ia
berada di Bandara Ngurah Rai, Denpasar, Indonesia pada 8 Oktober 2004
lalu.
Dalam tas Corby ditemukan 4,2 kg ganja,
yang menurut Corby, bukan miliknya. Dia mengaku tidak mengetahui adanya
ganja dalam tasnya, sebelum tas tersebut akhirnya dibuka oleh petugas
bea cukai di Bali, namun pernyataan ini ditentang oleh petugas bea cukai
yang mengatakan bahwa Corby mencoba menghalangi mereka saat akan
memeriksa tasnya.
Bapak kandung Schapelle Corby, Michael Corby, sebelumnya pernah tertangkap basah membawa ganja pada awal tahun 1970-an.
Corby ditemukan bersalah atas tuduhan
yang diajukan terhadapnya dan divonis hukuman penjara selama 20 tahun
pada 27 Mei 2005. Selain itu, ia juga didenda sebesar Rp.100 juta.
Pada 20 Juli 2005, Pengadilan Negeri
Denpasar kembali membuka persidangan dalam tingkat banding dengan
menghadirkan beberapa saksi baru.
Kemudian pada 12 Oktober 2005, setelah
melalui banding, hukuman Corby dikurangi lima tahun menjadi 15 tahun.
Pada 12 Januari 2006, melalui putusan kasasi, MA memvonis Corby kembali
menjadi 20 tahun penjara, dengan dasar bahwa narkotika yang
diselundupkan Corby tergolong kelas I yang berbahaya.
Corby Merasa Dijebak, Tasnya Ditukar Milik Orang Lain
Corby dijanjikan akan menerima hukuman
jauh lebih ringan jika mengakui bahwa ganja yang berada di dalam tasnya
adalah memang miliknya. Namun hal itu ditolak Corby. Mengapa? Karena
Corby merasa telah dijebak!
Corby tetap tak pernah mau mengakui bahwa
tas dan ganja yang berada di dalamnya, adalah miliknya. Jadi menurut
Corby, tas itu bukan kepunyaannya, alias ditukar, dan ganja didalamnya
juga bukan miliknya.
Keputusan Corby tak bergeming, walau
dijanjikan hukuman lebih ringan. Dengan keyakinannya ia tetap menolak
dan selalu menolak, bahwa tas itu bukan miliknya, namun telah ditukar
dengan tas orang lain yang sama dengan tasnya.
Jika benar bahwa tasnya telah ditukar
dengan tas orang lain yang sama, lalu muncul pertanyaan, siapa yang
telah menukarnya? Siapakah yang menjebaknya?
Ada Pihak Ketiga Yang Ingin Mengadu Domba
Di Australia pada 3 Juni 2005 lalu,
sebuah paket berisikan serbuk mencurigakan, yang akhirnya dinyatakan
tidak berbahaya, dikirimkan ke Gedung Parlemen Australia dan dialamatkan
ke Menlu Australia, Alexander Downer.
Paket tersebut ditemukan dalam
pemeriksaan rutin. Akibat insiden ini, tempat penerimaan barang di
Gedung Parlemen Australia ditutup untuk sementara waktu.
Lapas Krobokan, Denpasar, Bali, tempat Corby dipenjara (wukupedia).
Pada tanggal dan hari yang sama pula, sebuah surat berbau menyengat dikirimkan ke Pengadilan Negeri Denpasar, Bali, Indonesia.
Akibatnya, Kepala Pengadilan Negeri Denpasar, Nengah Suryadi, yang menerima surat tersebut, mengaku merasa pusing-pusing.
Setelah diperiksa lebih lanjut oleh
Laboratorium Forensik (Labfor) Polri Denpasar, tidak ditemukan zat
beracun dalam surat tersebut.
Jika anda teliti, itu baru satu contoh
kasus saja dari beberapa hal ganjil lainnya pada kasus ini, dalam hal
ini ada pihak ketiga, yang ingin memancing dalam kekeruhan air, lalu
memanfaatkan momen ini.
Kronologi Peristiwa Kasus Corby
• 8 Oktober 2004:
Schapelle Corby lepas landas dari Brisbane International Airport,
Brisbane, Australia dengan pesawat Qantas QF501, kemudian transit di
Sydney, naik pesawat Australian Airlines AO7829 menuju Denpasar, dan
mendarat di Bandara Ngurah Rai, Denpasar. Setelah mendarat di Denpasar,
Corby ditahan karena petugas bea cukai Bandara Ngurah Rai menemukan
ganja seberat 4,2 kg dalam tas milik Corby.
• ? – 2005: Konsulat
Jenderal Republik Indonesia (KJRI) di Perth, Australia menerima surat
ancaman pembunuhan yang disertai sebutir peluru.
• 27 Mei 2005: Corby
diputuskan harus menjalani hukuman penjara 20 tahun serta ditambah denda
sebesar Rp 100.000.000, karena melanggar pasal 82, ayat 1a, UU nomor 22
tahun 1997 tentang Narkotika. Sidang putusannya disiarkan langsung di
dua stasiun televisi di Australia.
• 1 Juni 2005: Sebuah
amplop berisikan serbuk putih, yang dikirimkan dari negara bagian
Victoria, Australia, tetapi akhirnya dinyatakan tidak berbahaya,
dikirimkan ke Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Canberra,
Australia, sehingga mengakibatkan seisi gedung kedutaan harus
dikosongkan dan kedutaan ditutup selama beberapa hari. Perdana Menteri
Australia, John Howard, segera meminta maaf kepada pemerintah Indonesia
dan mengatakan akan segera mengusut kasus tersebut serta mencari
siapakah pelakunya.
• 3 Juni 2005: Sebuah
paket berisikan serbuk mencurigakan, yang akhirnya dinyatakan tidak
berbahaya, dikirimkan ke Gedung Parlemen Australia dan dialamatkan ke
Menlu Australia, Alexander Downer. Paket tersebut ditemukan dalam
pemeriksaan rutin. Akibat insiden ini, tempat penerimaan barang di
Gedung Parlemen ditutup untuk sementara waktu.
• 3 Juni 2005: Sebuah
surat berbau menyengat dikirimkan ke Pengadilan Negeri Denpasar.
Akibatnya, Kepala Pengadilan Negeri Denpasar, Nengah Suryadi, yang
menerima surat tersebut, mengaku merasa pusing-pusing. Setelah diperiksa
lebih lanjut oleh Laboratorium Forensik (Labfor) Polri Denpasar, tidak
ditemukan zat beracun dalam surat tersebut.
• 7 Juni 2005: Lagi,
sebuah amplop berisikan serbuk putih, yang diperkirakan juga dikirimkan
dari negara bagian Victoria, Australia, tetapi diperkirakan tidak
berbahaya, dikirimkan ke KBRI. Akibat insiden ini, KBRI ditutup untuk
sementara sampai waktu yang belum ditentukan.
• 9 Juni 2005:
Paket-paket mencurigakan kembali dikirimkan ke kedutaan-kedutaan besar
di Australia. Kali ini, Kedutaan Besar Amerika Serikat, Inggris, Jepang,
dan Korea Selatan di Australia dikirimi paket-paket mencurigakan.
Selain itu, Gedung Parlemen Australia juga kembali dikirimi bungkusan
mencurigakan. Akibat kejadian ini, sebagian gedung kedutaan-kedutaan
tersebut dan sebagian Gedung Parlemen Australia ditutup untuk umum.
• 12 Oktober 2005: Hasil banding di pengadilan mengurangi jumlah hukuman menjadi 15 tahun.
• 12 Januari 2006: Hasil kasasi di MA mengembalikan hukuman menjadi 20 tahun.
Perspektif Warga Australia: Corby sial, kopernya diisi ganja oleh orang lain
Kasus Corby menarik perhatian yang besar
di Australia akibat liputan media yang luas. Banyak dari warga Australia
yang bersimpati dengan Corby yang digambarkan oleh media di sana
sebagai orang yang “sial”, karena kopernya diisi ganja oleh orang lain.
Beberapa orang bahkan sampai mengeluarkan pernyataan bahwa mereka akan
memboikot Bali dan menyarankan agar warga Australia tidak berkunjung ke
sana.
Selain itu, ada pula yang meragukan
kemampuan sistem pengadilan di Indonesia yang berbeda dari Australia. Di
Indonesia, terdakwa harus membuktikan bahwa dia tidak bersalah
sedangkan di Australia, pihak penuntutlah yang harus membuktikan bahwa
terdakwa bersalah. Sistem Indonesia ini merupakan warisan dari zaman
Belanda dan karena itu, dianggap “ketinggalan zaman” dan “tidak adil”.
Ada pula yang menganggap bahwa ganja
hanyalah tumbuhan dan karena efek merusaknya pun lebih rendah,
seharusnya tidak digolongkan bersama dengan psikotropika tingkat I
lainnya, seperti heroin, dan lainnya. Bahkan di beberapa negara lain,
ganja sudah dilegalkan karena manfaatnya bagi kesehatan yang tak
dipunyai oleh tumbuhan lain, walaupun dengan aturan yang ketat.
Meskipun begitu, ada juga warga Australia
yang mendukung agar Corby dihukum. Mereka berpendapat bahwa hal
tersebut perlu dilakukan agar menjadi peringatan bagi warga sana yang
berniat menyelundupkan obat-obatan terlarang ke luar negeri.
Perspektif Warga Indonesia: mengecam keras tindakan teror terhadap KBRI di Australia
Awalnya, kebanyakan rakyat Indonesia
dingin-dingin saja dalam menanggapi kasus ini. Kalaupun ada protes,
kebanyakan terjadi di media-media massa dalam bentuk (artikel) protes,
di mana para tokoh mengecam keras tindakan teror terhadap KBRI di
Australia, selain juga mengecam pandangan ekstrem minoritas warga
Australia tersebut (atau warga Australia sendiri). Selain itu, ada juga
beberapa tokoh yang menyarankan Pemerintah Indonesia untuk memutuskan
hubungan diplomatik dengan Pemerintah Australia.
Selain kecaman di media, ada juga yang
melakukan aksi unjuk rasa secara damai, misalnya menuntut dihukum
matinya Corby, menuntut pemutusan hubungan diplomatik dengan Australia,
dsb. Selain hal-hal di atas, tidak ada aksi anarkis dan teror terhadap
aset Australia di Indonesia.
Selain itu, beberapa pakar hukum
Indonesia seperti Indriyanto Seno Adji, Guru Besar Ilmu Hukum
Universitas Indonesia, dalam opininya di Kompas mempertanyakan
pendekatan hukum atas kasus ini. Menurutnya, pembuktiannya tidaklah
sekadar memiliki atau menguasai ganja/marijuana tersebut, tetapi
bagaimana dan dengan cara apa marijuana itu bisa berada dalam penguasaan
Corby sebagai alas bukti ada tidaknya unsur tanpa hak dan melawan
hukum.
Artinya, kalau tidak ada bukti tentang
bagaimana dan dengan cara apa marijuana itu berada dalam penguasaan
Corby, tidaklah ada kesalahan dan melawan hukum pada diri Corby. Inilah
pendekatan ajaran dualistis yang menghendaki adanya kebenaran materil
dengan mempertanyakan bisa tidaknya seseorang dipertanggungjawabkan
secara pidana.
Hal lainnya adalah, kasus ini sudah
bergulir sedemikian rupa, namun kenapa media-media lokal ‘titipan
politikus dan titipan asing’ tetap membahasnya? Seharusnya yang dibahas
adalah mengenai cacatnya hukum di Indonesia, bukan lagi membahas tentang
sebuah keputusan yang justru memang berada di rel hukum itu sendiri.
Remisi untuk Corby
Secara keseluruhan, Corby mendapatkan remisi selama 27,5 bulan untuk masa kurungan awal selama 20 tahun.
• Agustus 2006: Dua bulan pada Hari Kemerdekaan Indonesia.
• Desember 2006: Satu bulan pada hari Natal.
• 2007: Corby
tidak mendapatkan remisi Hari Kemerdekaan dan Natal setelah ketahuan
memiliki telepon genggam. Peraturan kunjungan tiperketat setelah muncul
sebuah operator wisata abal-abal beriklan bahwa wisatawan bisa mengambil
foto bersama Corby dengan membayar sejumlah uang.
• Agustus 2008: Tiga bulan pada Hari Kemerdekaan.
• Agustus 2009: Empat bulan pada Hari Kemerdekaan.
• Agustus 2010: Lima bulan pada Hari Kemerdekaan.
• Desember 2010: 45 hari.
• Agustus 2011: Lima bulan pada Hari Kemerdekaan.
• Agustus 2012: Enam bulan pada Hari Kemerdekaan.
• Februari 2014: Bebas bersyarat.
Corby mendapatkan pembebasan bersyarat
pada 7 Februari 2014 dan dibebaskan tanggal 10 Februari 2014 setelah
menjalani masa hukuman sembilan tahun di Lembaga Pemasyarakatan
Kerobokan.
Putusan ini mewajibkan Corby tinggal di
Bali dan mengikuti peraturan lain yang ditetapkan pihak lembaga
pemasyarakatan serta wajib lapor kepada pihak berwenang setiap bulannya
sampai benar-benar dibebaskan bulan Juli 2017.
Kasus “The Bali Nine”
Renae Lawrence (kiri) salah satu anggota Bali Nine dan Corby (kanan) bertemu di lapas Krobokan (news.com.au)
Kini kita masuk ke kasus Bali Nine. Masih ingatkah anda tentang ‘the Bali Nine’?
Bali Nine adalah sebutan yang diberikan media massa kepada sembilan orang Australia, yang ditangkap pada 17 April 2005 di Bali.
Mereka, kesembilan anggotanya ditangkap
dalam usahanya untuk menyelundupkan heroin seberat 8,2 kilogram! Dari
Indonesia ke Australia.
Kesembilan orang dalam sindikat perdagangan heroin yang dikenal dengan julukan “the Bali Nine” tersebut adalah:
1. Andrew Chan – disebut pihak kepolisian sebagai “godfather” kelompok ini
2. Myuran Sukumaran
3. Si Yi Chen
4. Michael Czugaj
5. Renae Lawrence
6. Tach Duc Thanh Nguyen
7. Matthew Norman
8. Scott Rush
9. Martin Stephens
Perbedaan Antara kasus Corby dan The Bali Nine
Ada beberapa perbedaan kasus diantara keduanya, diantaranya adalah:
1. Kasus Corby:
- Menyelundupkan ganja atau marijuana seberat 4,2 kg dari Australia ke Indonesia.
- Dijatuhi hukuman penjara 20 tahun dan didenda Rp.100 juta, akhirnya bebas namun bersyarat.
2. Kasus Bali Nine:
- Menyelundupkan heroin seberat 8.3 kg dari Indonesia ke Australia.
- Dijatuhi hukuman mati dan dua diantaranya hukuman penjara seumur hidup.
Para Bandar Narkoba Sengaja Dijebak Pihak Kepolisian dan Intelijen Australia Sendiri!
Beberapa pihak dan “orang dalam” dari
Australia yang tak mau disebutkan namanya mengatakan bahwa para bandar
narkoba yang tergabung dalam Bali Nine
tersebut sengaja dijebak oleh pihak Australia karena di negara itu tak
ada hukum yang kuat untuk membuat para pengedar narkoba itu merasa jera.
Bahkan pihak AFP telah mengetahui bahwa
para kurir heroin itu sedang terbang menuju ke Bali. Hal itu juga masuk
dalam tulisan di media Autralia:
On April 8, the
same day Rush flew out of Australia, the AFP (Australian Federal Police)
sent a letter to the Indonesian National Police, headed “Subject:
Heroin couriers from Bali to Australia.” – (theaustralian.com.au, August 27, 2010).
Pada tanggal 8 April, dihari yang sama Rush terbang dari Australia, AFP (Kepolisian Federal Australia) mengirimkan surat kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia, berjudul “Subjek: Kurir heroin dari Bali ke Australia” – (theaustralian.com.au, 27 Agustus 2010, lihat berita versi JPEG).
Selain itu, masih melalui suratnya, AFP
juga meminta kepda Polri agar mengawasi gerak-gerik para penyelundup
heroin itu dan mencegatnya.
The AFP (Australian
Federal Police) letter requested the INP (Indonesian Noational Police)
to attempt to keep the group under surveillance, identify the source of
the drugs, and obtain as much evidence and intelligence as possible to
help the AFP nail the organisers in Australia, other than Chan. The most
crucial paragraph of the AFP letter advised the INP: “should they
suspect that Chan and/or the couriers are in possession of drugs at the
time of their departure, that they take what action they deem
appropriate.” – (theaustralian.com.au, August 27, 2010).
Surat AFP (Kepolisian Federal Australia)
meminta Polri mencoba untuk menjaga kelompok itu dibawah pengawasan,
mengidentifikasi sumber narkotika, dan mendapatkan banyak barang bukti
dan dapat memungkinkan intelijen (Indonesia -red) untuk membantu AFP
menangkap gembongnya di Australia, selain Chan. Paragrap yang paling
penting dari surat AFP menyarankan Polri: “mengharuskan tersangka mereka
bahwa Chan dan / atau kurir berada dalam kepemilikan narkoba pada saat
keberangkatannya, bahwa mereka (kepolisian Indonesia -red) mengambil
tindakan apa yang mereka anggap tepat.” - (theaustralian.com.au, 27 Agustus 2010, lihat berita versi JPEG).
Salah
satu terpidana “Bali Nine”, Scott Rush, saat berada diruang pengadilan
Bali. Kepolisian Australia (AFP) sudah tahu tentang kurir-kurir heroin
itu dan sengaja menangkapnya di wilayah Indonesia agar tak kembali ke
Australia dan dapat diadili dengan lebih berat. Klik pada lnik untuk
melihat seluruh artikelnya:
lihat berita di web –
lihat berita versi JPEG (sumber:
theaustralian.com.au)
Empat hari kemudian, pada tanggal 12
April 2005, surat kedua dikirim oleh AFP kepada rekan-rekan mereka yaitu
kepolisian Indonesia, komplit dengan memberikan tanggal, waktu dan
rincian penerbangan dari kelompok yang akan kembali ke Australia. Chan
dan empat kurir lainnya akan terbang kembali ke Australia pada tanggal
14 April, sementara Rush, Nguyen dan Czugaj akan terbang dua hari
kemudian, pada hari Sabtu tanggal 16 April.
Surat ini dari petugas penghubung senior AFP di Bali, Paul Hunniford, menyarankan:
“If arrests are
made [in Indonesia] on 14 April, it is likely that Nguyen, Czugaj and
Rush will become suspicious of the arrest and decide not to attempt to
board the Saturday flight with narcotics. I therefore request that you
consider searching Nguyen, Czugaj and Rush soon after the first group
are intercepted.” - How the AFP trapped the Bali Nine, August 27, 2010 (
theaustralian.com.au).
“Jika penangkapan
dibuat [di Indonesia] pada 14 April, ada kemungkinan bahwa Nguyen,
Czugaj dan Rush akan menjadi curiga terhadap penangkapan itu dan
memutuskan untuk tidak naik pada penerbangan dihari Sabtu dengan membawa
narkotika. Karena itu saya meminta Anda mempertimbangkan mencari
Nguyen, Czugaj dan Rush setelah kelompok pertama dicegat.” - – How the AFP trapped the Bali Nine, August 27, 2010.
Surat AFP tersebut disegel, dan mengubah
nasib para penyelundup heroin oleh para warga Australia itu, yang
akhirnya dikenal hingga kini sebagai kelompok “The Bali Nine”.
Orang tua Rush dan Lawrence kemudian juga
mengkritik pihak kepolisian Australia yang ternyata telah mengetahui
rencana penyelundupan itu.
“The parents of
Rush and Lawrence criticised the AFP (Australia Federal Police) for
allowing the Indonesian police to arrest the nine rather than allowing
them to fly to Australia and arresting them in Sydney upon their
return.” (wikipedia).
Ayah terpidana Lawrence, Bob Lawrence,
mengatakan pada bulan Oktober 2005 lalu menyatakan bahwa ia ingin
bertemu muka dengan Keelty setelah belajar dari komentar yang dibuat
oleh Lee Rush.
“As far as I’m
concerned, and excuse the expression, [Keelty] is an arsehole. These
kids were forced into this … they should have been either arrested at
the airport here or followed to get the big guys. I don’t know how they
can sleep at night … even if [the Bali Nine] were guilty of doing it
willingly, it still doesn’t deserve the death penalty.” — Bob Lawrence, father of Renae Lawrence, October 2005. (
theage.com.au).
“Sejauh yang saya
ketahui, dan alasan ekspresi, [Keelty] adalah bandit sialan. Anak-anak
ini dipaksa melakukannya … mereka seharusnya lebih baik ditahan di
bandara sini atau diikuti, untuk mendapatkan ‘orang-orang besar’
(gembongnya -pen). Saya tidak tahu bagaimana mereka bisa tidur di malam
hari … bahkan jika [Bali Nine] bersalah dan rela melakukannya, masih
tidak layak hukuman mati. ” - Bob Lawrence, ayah dari Renae Lawrence, Oktober 2005.
Bob
Lawrence, ayah dari Renae Lawrence beserta istrinya, tampak sedang
menjenguk anaknya di penjara Bali. (Sydney Morning Herald, via:
gettyimages).
Pada tanggal 13 Februari 2006, giliran orang tua Scott Rush memberikan wawancara kepada TV ABC Australia pada program acara Australian Story, ia berbicara menentang tindakan AFP (Australian Federal Police). Ibu Scot Rush mengatakan:
“I feel very let
down by our Australian Federal Police – we tried to lawfully stop our
son leaving the country, it wasn’t done….. “The Federal Police can do,
go wherever they want, do anything, anytime without supervision from the
Australian Attorney-General or from the Justice Minister.”…..”This is
not good for Australians and our laws need to be changed to protect our
citizens and this must not happen to any Australian citizen again.” — Christine Rush, mother of Scott Rush, February 2006. (
theguardian.com)
“Saya merasa sangat
dikecewakan oleh Polisi Federal Australia kita – kami telah mencoba
untuk menghentikan anak kami untuk meninggalkan negara itu, namun hal
itu tidak dilakukan ….. “Polisi Federal bisa melakukannya, pergi ke mana
pun mereka mau, melakukan apa pun, kapan saja tanpa pengawasan dari
Jaksa Agung Australia atau dari Menteri Kehakiman. “…..” Ini tidak baik
untuk Australia dan hukum kita perlu diubah untuk melindungi warga
negara kita dan ini tidak harus terjadi pada setiap warga negara
Australia lagi.” — Christine Rush, ibu Scott Rush, Februari 2006.
Dari pernyataan mereka maka bisa
disimpulkan bahwa pihak kepolisian Australia sudah mengetahuinya, dan
lebih memilih untuk mengabari Polri dan menangkap serta menghukum mereka
di Indonesia daripada menangkap mereka di Australia, di mana tidak ada
hukuman mati disana sehingga kesembilan orang tersebut dapat selalu
menghindari hukuman mati tersebut.
Mereka adalah pengedar kambuhan dan profesional. Sebenarnya bandar-bandar narkoba kelas international trafficking
itu telah lama diketahui oleh pihak berwajib yang terkait di Australia.
Mereka adalah bandar-bandar narkoba pesakitan dan tak akan pernah mau
berubah, alias sudah masuk dalam daftar hitam (blacklist) di negara itu.
Gambar atas: Kedua orang tua Scott Rush, ayahnya Lee Rush (kiri) dan ibunya Christine Rush (kanan). Gambar bawah: Scott Rush. (smh.com.au)
Namun jika mereka dihukum di Autralia, maka mereka akan tetap menjadi bandar dan selalu kembali mendapatkan jaminan keuangan.
Apalagi dengan tidak adanya hukuman mati
di Australia, menyebabkan pihak berwajib dinegara itu justru memiliki
dilema dan merasa serba salah.
Bagaimana cara “melenyapkan” para bandar itu dari Australia, agar tak ada lagi drugs trafficing
yang membuat pusing pemerintahnya? Maka skenario pun dijalankan, dan
tak jauh dari ranah hukum Australia sendiri, yaitu tetangganya,
Indonesia, karena Indonesia masih menganut hukuman mati bagi para bandar
narkoba.
Maka, pihak intelijen Australia lagi-lagi mengikuti perjalanan para gembong narkoba dari sindikat yang masuk dalam ‘The Bali Nine’ tersebut, yang selama ini menyusahkan pihak Australia sendiri.
Suatu saat jika mereka sedang berada di
ranah tanah hukum Indonesia, pihak kepolisian Australia akan mengontak
pihak kepolisian Indonesia agar menangkap mereka beserta barang bukti.
Setelah dinanti-nanti, para bandar
narkoba itu akhirnya masuk ke Indonesia melalui Denpasar, pihak
intelijen Australia yang telah mengendusnya, langsung mengontak
kepolisian Denpasar agar menahan dan memeriksa barang bawaan mereka.
Dan benar saja, heroin dengan berat total
8,2 kilogram senilai US$. 3,1 juta dollar berhasil ditemukan. Karena
mereka berada di dalam ranah hukum Indonesia, maka hukum di Indonesialah
yang akan dijalani oleh mereka, yaitu melalui pengadilan Indonesia.
Empat dari sembilan orang tersebut,
Czugaj, Rush, Stephens, dan Lawrence ditangkap di Bandara Ngurah Rai
saat sedang menaiki pesawat tujuan Australia.
Keempatnya ditemukan membawa heroin yang
dipasang di tubuh. Andrew Chan ditangkap di sebuah pesawat yang terpisah
saat hendak berangkat, namun pada dirinya tidak ditemukan obat
terlarang.
Empat orang lainnya, Nguyen, Sukumaran,
Chen dan Norman ditangkap di Hotel Melasti di Kuta karena menyimpan
heroin sejumlah 350g dan barang-barang lainnya yang mengindikasikan
keterlibatan mereka dalam usaha penyelundupan tersebut.
Vonis Pengadilan Kepada “The Bali Nine”
Berikut kronologi vonis, yang dijatuhkan kepada kelompok Bali Nine:
• 13 Februari 2006,
Pengadilan Negeri Denpasar memvonis Lawrence dan Rush dengan hukuman
penjara seumur hidup. Sehari kemudian, Czugaj dan Stephens menerima
vonis yang sama. Sukumaran dan Chan, dua tokoh yang dianggap berperan
penting, dihukum mati.
• 15 Februari 2006, Nguyen, Chen, dan Norman juga divonis penjara seumur hidup oleh para hakim.
• 26 April 2006,
hukuman Lawrence, Nguyen, Chen, Czugaj dan Norman dikurangi menjadi 20
tahun penjara melalui banding, sementara hukuman seumur hidup Stephens
tetap bertahan.
Bali Nine (wn.com)
• 6 September 2006,
diketahui bahwa Mahkamah Agung telah mengabulkan kasasi yang diajukan
Kejaksaan Agung. Hukuman Czugac tetap menjadi hukuman seumur hidup,
sementara hukuman Lawrence, Rush, Nguyen, Chen, dan Norman menjadi
hukuman mati. Chan dan Sukumaran tetap dihukum mati, dan Stephens tetap
dihukum seumur hidup.
• 13 Januari 2011,
diketahui bahwa Mahkamah Agung menolak upaya hukuman luar biasa PK yang
diajukan oleh Stephens, sehingga keputusan dikembalikan kembali kepada
keputusan Pengadilan Negeri Denpasar, yaitu hukuman seumur hidup.
Keputusan Sidang Terhadap “The Bali Nine”
Maka keputusan pengadilan telah secara final menentukan nasib mereka:
Ia berasal dari Enfield, New South Wales, dan dipenjara di Kerobokan, Bali.
Ia berasal dari Auburn, New South Wales, Australia, dan dipenjara di Kerobokan, Bali.
Ia berasal dari Doonside, New South Wales, Australia, dan dipenjara di Kerobokan, Bali.
Berasal dari Oxley, Queensland, Australia, dan dipenjara di Kerobokan, Bali.
Berasal dari Brisbane, Queensland, Australia, dan dipenjara di Malang, Jawa Timur.
Berasal dari Sydney, New South Wales, Australia, dan dipenjara di Kerobokan, Bali.
Berasal dari Chelmer, Queensland, Australia, dan dipenjara di Karangasem, Bali.
Berasal dari Towradgi, New South Wales, Australia, dan dipenjara di Malang, Jawa Timur.
Berasal dari Newcastle, New South Wales, Australia, dan dipenjara di Bangli, Bali.
Namun apapun yang terjadi terhadap para
terdakwa tersebut, sebagai pemerintah sebuah negara, dalam hal ini
Australia, mereka harus tetap berkewajiban melakukan segala upaya untuk
dapat memperingan atau membebaskan warga negaranya walau sebagai
terdakwa. Karena itulah salah satu strategi cari muka, dari sebuah
permainan politik oleh para politikus.
(icc, created 11-02-2014, disclsfd)
Pustaka: