Senin, 09 Februari 2015

AEG SUT 533mm: Heavyweight Torpedo dengan Pemandu Sonar Pasif dan Aktif

fmpsut
Dari segi update teknologi, boleh jadi torpedo ini sudah agak ketinggalan saat ini. Tapi harus diakui bahwa torpedo SUT (Surface and Underwater Target) 533 mm yang pernah diproduksi PT Dirgantara Indonesia (d/h PT IPTN) adalah pencapaian penting dalam ranah perkembangan alutsista di dalam negeri. Pasalnya kali itulah, Indonesia mampu memproduksi torpedo secara lisensi dari AEG (Allgemeine Elektrizitäts-Gesellschaft), Telefunken, Jerman. Ini tak lain buah dari kebijakan strategis untuk menangani aspek peperangan bawah laut.
Merujuk informasi dari Edisi Koleksi Angkasa – Alutsista Dalam Negeri 2009, disebutkan PT DI mulai memproduksi torpedo ini lewat Divisi Sistem Senjata di Pulau Madura sejak 1986. Sementara sumber dari Navweaps.com, menyebut PT DI sudah mulai memproduksi torpedo jenis SST (Special Surface Target) sejak tahun 1978.
Sebagai negara yang cukup masyur dengan kisah kejayaaan kapal selam di masa lampau, jelas TNI AL punya pengalaman lumayan komplit dalam mengoperasikan torpedo. Di tahun 60-an, tatkala 12 unit Whiskey Class memperkuat TNI AL, sudah hadir jenis torpedo SAET (Samonavodiashaiasia Akustisticheskaia Elektricheskaia Torpeda)-50, sebuah torpedo jenis homing akustik yang ditenagai dengan teknologi elektrik. Kecanggihan SAET-50 yakni saat diluncurkan dapat langsung mencari sasaran sendiri (fire and forget) berdasarkan suara baling-baling atau material magnetik yang dipancarkan oleh badan kapal target. Pada masa berkecamuknya Perang Dingin, SAET-50 terbilang torpedo yang cukup mengkhawatirkan bagi armada NATO.
Bergeser ke alutsista buatan Barat, TNI AL juga mengoperasikan (hingga kini) torpedo jenis MK46 dan A244. Keduanya punya kaliber yang serupa, 324 mm (12.75 inchi), tergolong torpedo ringan, berpeluncur triple tube,dan menjadi andalan di kelas frigat/korvet TNI AL. Torpedo inidapat dilepaskan dari wahana kapal permukaan dan helikopter yang berkemampuan AKS (anti kapal selam).

SUT Torpedo 533 mm
Meski tak diketahui berapa pasti jumlah torpedo SUT yang diproduksi PT DI, tapi dipercaya sudah seratusan lebih yang berhasil dibuat. Besarnya jumlah yang dibuat, tak semata-mata guna memenuhi kebutuhan dua unit kapal selama Type 209 TNI AL, torpedo SUT yang masuk golongan ‘kelas berat’ ini juga disasar untuk kebutuhan KCT (Kapal Cepat Torpedo) FPB-57 TNI AL, tiap FPB-57 dapat membawa dua torpedo, tanpa isi ulang. Bahkan, nantinya kapal selam Changbogo Class TNI AL juga dapat menggunakan jenis torpedo ini.
TORPEDO
Dari segi bobot, torpedo 533 mm memang gambot, dengan panjang enam meter lebih, berat torpedo SUT ini mencapai 1,4 ton lebih, di dalamnya sudah termasuk bobot hulu ledak 225 kg yang dapat mengkaramkan frigat. PT DI membuat dua varian SUT ttorpedo, latihan dan perang. Khusus varian latihan baterai torpedo dapat diisi ulang. Satu kali isi ulang dapat digunakan 10 hingga 15 kali latihan. Umur baterai torpedo dapat diperpanjang, Hal ini membuat usia pakai SUT Torpedo menjadi lebih lama.
Panjang torpedo yang mulai dirancang pada 1967 ini  dengan kasket 6.620 mm, sedangkan tanpa kasket 6.150 mm. Berat torpedo varian perang 1413,6 kg, varian latihan 1224 kg. Jarak jangkau SUT torpedo sekitar 38 km dengan kemampuan menyelam hingga lebih dari 100 m. Dalam menuju sasarannya torpedo SUT digerakkan dengan motor listrik yang mampu memberikan daya dorong hingga 35 knots dengan tingkat kebisingan rendah dan dipandu menggunakan sistem pemandu sonar pasif dan aktif. Kecepatan 35 knots bisa dimungkinkan saat menghajar sasaran sejauh 12 km, sedangkan untuk sasaran 28 km kecepatan torpedo merosot jadi 23 knots. Sebagai sumber pasokan tenaga adalah baterai silver zinc.
150891334_4d18a2a0c9_o
Efek ledakan dari torpedo.
Efek ledakan dari torpedo.

Cara kerja torpedo secara sederhana dapat dijelaskan sebagai berikut : Sesaat setelah ditembakkan dari dalam peluncur torpedo, maka tangki muatan pendorong akan memberikan muatannya kepada mesin pendorong dan mesin akan bekerja memutar twin screw counter rotating propeller. Torpedo akan meluncur menuju sasaran dengan kecepatan minimal sekitar dua puluh knot. Torpedo akan berjalan lurus, sesuai arah, kecepatan dan kedalaman menuju sasaran yang telah diprogramkan terlebih dahulu melalui bilik hitung penembakan torpedo.
Peluncuran torpedo kearah sasarannya didorong oleh twin screw counter rotating propellernya, yang dapat menjamin bahwa torpedo tidak akan mengalami momen puntir dari putaran motornya sendiri, dan ditahan pada kedalaman yang dikehendaki dengan diatur oleh membrane pengukur kedalaman yang dilaksanakan oleh sirip horisontalnya, serta dijaga pada arah haluannya dengan dikendalikan oleh gyro kompas, yang pelaksanaanya dilakukan oleh kemudi tegaknya. Ledakan torpedo sendiri akan dipicu dari beberapa macam fuze detonator, baik contact, proximity fuze maupun magnetic fuze.
Terkadang beberapa fuze di aktifkan bersama untuk memperoleh 100% kepastian ledak. Hulu ledaknya yang berisi sekitar 200 kg TNT, dipastikan akan dapat menjebol dan mematahkan hull kapal perang jenis manapun yang kena hantamannya, apalagi bila ledakkannya disetel pada suatu jarak kedalaman tertentu dari lunas kapal sasaran dalam rangka memperoleh keuntungan “double blast effect”. (Gilang Perdana – diolah dari berbagai sumber)

Spesifikasi AEG SUT 533mm Torpedo:
  • Tipe: Heavyweight Torpedo
  • Diameter: 533 mm
  • Panjang dengan kasket: 6,620 mm
  • Panjang tanpa kasket: 6,150 mm
  • Berat varian perang: 1.414 kg
  • Berat varian latihan: 1.224 kg
  • Jarak operasional: 38 km
  • Kecepatan/ jarak: 35 knots/24,000 yd; 23 knots/ 56,000 yd
  • Hulu ledak: 225 kg
  • Maksimal kedalaman menyelam: 100 m

Indomil.

Minggu, 08 Februari 2015

Bob Freeberg, Yang Terlupa dari Dunia Penerbangan Indonesia

Bob freebergBagi anggota TNI Angkatan Udara nama Bob Freeberg mungkin tidak asing. Tetapi bagi sebagian rakyat Indonesia, mungkin pula banyak yang belum pernah mendengar namanya. Sejarah memang tidak mencatat nama laki-laki asli Amerika tersebut meski memiliki jasa besar dalam jagat penerbangan Indonesia.
“Tak pernah aku akan melupakan kawanku orang Amerika, Bob Freeberg,” begitulah kata Sukarno, presiden pertama Indonesia. Nama Bob memiliki arti khusus di hatinya. Namanya juga muncul di buku otobiografinya Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia. Saat menceritkan siapa Bob, Sukarno menirukan kalimat yang diucapkan pertama laki-laki itu kepadanya“Namaku Bob Freeberg. Aku orang Amerika. Aku seorang pilot dan menaruh simpati pada perjuangan Anda. Bantuan apa yang dapat kuberikan?”
Bob Earl Freeberg, anak petani yang berasal dari Parsons, Kansas, menjadi salah seorang penerbang asing yang melakukan penerbangan ke Indonesia di masa awal kemerdekaan. Dia adalah mantan pilot Angkatan Laut Amerika Serikat yang setelah Perang Dunia II bekerja sebagai pilot komersial di CALI (Commercial Air Lines Incorporated) Filipina. Dia jatuh cinta pada negara-negara dan budaya di Pasifik dan memutuskan untuk tak kembali ke Kansas.
Bob bisa terbang ke Indonesia berkat hubungannya dengan Opsir Udara III Petit Muharto Kartodirdjo, yang ditugaskan membuka jalur penerbangan Indonesia dengan luar negeri, baik untuk urusan politik maupun logistik. Pada Maret 1947, dipandu oleh Muharto, Bob melakukan penerbangan pertama ke Maguwo, Yogyakarta, dengan Dakota milik CALI Filipina. Setelah itu dia kembali ke Filipina, sembari membantu penerjunan pertama di Bukittinggi oleh Opsir Udara III Sudjono dan Opsir Muda Udara I Sukotjo. Tiga bulan kemudian, Bob kembali ke Indonesia. Sempat mendarat darurat di Pantai Cikalong, Tasikmalaya, Dakota C-47 miliknya sendiri yang diterbangkannya mendarat di Maguwo.
Bob amatlah bangga pada pesawatnya. Dia membeli pesawat itu dengan uang yang dia kumpulkan dari misi-misi komersialnya. Pesawat itu, sebuah pesawat kargo Dakota C-47 yang sudah tua, terdaftar di Republik Indonesia sebagai RI-002.
Hanya beberapa jam setelah tiba, Bob dan Muharto langsung berangkat dalam misi perdana. Mereka mengangkut 29 peti bubuk kina dan 11 peti biji vanila. “Kedatangan RI-002 di lapangan udara Makati, Manila, menjadi berita besar karena pesawat itu mendarat tanpa pemberitahuan sebelumnya…,” tulis Paul F. Gardner dalam 50 Tahun Amerika Serikat-Indonesia.
Legalitas penerbangan dan terutama kepemilikan muatannya ditentang konsul Belanda, yang menuntut tiga awak pesawat “orang Jawa” ditahan karena mereka warga Hindia Belanda. Tuntutan itu ditolak pemerintah Filipina. Setelah sebulan, kina dan biji vanila akhirnya diserahkan kembali kepada pihak Indonesia. “Ini merupakan permulaan dari apa yang disebut Bob sebagai penerbangan gelap (dark flight) RI-002,” tulis Gardner.
RI-002 juga menyelundupkan candu dari Pekanbaru ke Singapura. Idham Jatim, staf wakil Presiden Mohammad Hatta di Sumatra, pernah menjalankan misi ini bersama Bob. Di Singapura, candu dijual dan uangnya dimasukkan ke bank Hong Kong dan Shanghai. Suatu kali sejumlah uang diminta untuk ditransfer ke Birma dan India guna membiayai latihan sejumlah perwira AURI. “Di mata saya, Bob ini adalah seorang yang paling tenang dan berani, penuh dedikasi pada tugasnya. Dia seorang pilot Amerika yang penuh idealisme. Jasa-jasanya untuk perjuangan Indonesia sungguh besar. Dia pantas disemati Bintang Gerilya,” tulis Idham tentang pengalamannya seperti termuat dalam antologi Memoar Pejuang Republik Indonesia Seputar Zaman Singapura 1945-1950 karya Kustiniyati Mochtar.
dakota RI-002
Dakota RI-002 menerjunkan pasukan Indonesia di Kalimantan

Misi penting lain Bob adalah mengirimkan pasukan penerjun ke Kalimantan yang diduduki NICA. Bob juga menerbangkan delegasi Indonesia ke konferensi UN ECAFE (United Nations Economic Commission for Asia and the Far East) di Baguiyo Filipina, pada 23 Desember 1947. ECAFE merupakan badan khusus PBB yang berpusat di Bangkok, Thailand, dengan tujuan memperoleh pengakuan atas kemerdekaan negara-negara di Asia dan Timur Jauh. Setelah itu, RI-002 kembai ke Maguwo, dan lepas landas lagi ke Manila pada 29 Desember 1947 untuk mengirimkan sebuah peti mati misterius, yang menjadi buah bibir di media massa Singapura.
RI-002-1“Ada yang mengatakan, peti mati itu berisi barang selundupan seperti emas dan candu. Ada pula yang menduga peti itu berisi jenazah Presiden Sukarno, Tan Malaka, atau tokoh nasional yang lain,” tulis Darry Salim, dalam buku Riwayat Operasi Speedboat Seputar Singapura,” dalam Memoar Pejuang Republik Indonesia Seputar Zaman Singapura 1945-1950.
Ternyata, peti itu berisi jenazah seorang perwira Filipina, Kapten Ignacio Espina, mantan pejuang gerilya melawan pendudukan Jepang di Filipina selama Perang Dunia II, yang menghadiahkan sebuah Tommy-gun (submachine Thompson) berplat krom untuk Sukarno. Karena tak punya pesawat, KSAU Komodor Udara Suryadarma memprakarsai pembelian pesawat angkut. Tak ada cara lain selain menggalang dana. Upaya ini langsung dipimpin Sukarno. Bob kemudian menerbangkan Presiden Sukarno ke Sumatra selama sebulan. “Kunjungan dalam rangka mencari dana ini merupakan kunjungan presiden pertama ke luar Jawa,” tulis Gardner.
Pada 16 Juni 1948, di Hotel Kutaraja, Sukarno berhasil membangkitkan patriotisme rakyat Aceh yang menyumbangkan 20 kg emas. Dana dari rakyat Aceh digunakan untuk membeli pesawat Dakota VR-HEC dari India dan diberi registrasi RI-001.

Penerbangan terakhir
Dakota C-47, jenis pesawat milik Bob yang mendapat registrasi RI-002
Dakota C-47, jenis pesawat milik Bob yang mendapat registrasi RI-002
Dini hari, 1 Oktober 1948 pesawat RI-002 lepas landas meninggalkan Pangkalan Udara Maguwo dengan tujuan Bukittinggi. Rute yang ditempuh adalah; Maguwo-Gorda-Tanjung Karang-Bukittinggi. Menurut rencana pesawat akan meneruskan ke luar negeri untuk membeli pesawat baru dengan mengangkut 20 kg emas murni.
Seperti tertulis dalam buku Sejarah Operasi Penerbangan Indonesia periode 1945-1950 yang diterbitkan Dinas Sejarah TNI AU, RI-002 waktu itu diterbangkan pilot Robert Earl Freeberg alias Bob. Sedangkan co-pilot adalah Opsir Udara Bambang Saptoadji, engineer Opsir Muda Udara I Sumadi, dan radio operator Sersan Udara Suryatman.
Selama penerbangan, beberapa kali RI-002 berhubungan dengan stasiun radio udara atau call sign PCI di Sagan, Yogyakarta. Saluran radio ini dikenal dengan Aeradio, yaitu hubungan radio antara pesawat dengan stasiun radio di darat. Waktu itu radio dijaga oleh Sersan Mayor Udara Sumarno.
Komunikasi antara RI-002 dengan stasiun radio dilaporkan berjalan lancar hingga Tanjung Karang. Tetapi kenyataannya, hubungan radio antara pesawat dengan stasiun radio baik di Jawa maupun di Sumatera tidak berjalan baik. Sesuai prosedur, seharusnya komunikasi dilakukan secara periodik dengan jangka waktu satu jam setelah lepas landas. Namun itu tidak terjadi.
Sersan Mayor Sumarno beberapa kali memerintahkan RI-002 agar stand-by dan sewaktu-waktu, tetapi tidak ada jawaban. Sehingga sejak saat itu pesawat angkut sewaan itu dianggap hilang beserta para penumpang. RI-002 selama melaksanakan penerbangan tidak pernah disergap pesawat Belanda, meskipun dalam salah satu penerbangan ke Sumatra pernah kesasar karena cuaca buruk.
Surat kabar di Belanda ramai memberitakan hilangnya pesawat itu karena disergap pesawat Belanda. Namun pemerintah kolonial itu tidak pernah membenarkan atau membantah. Dengan demikian AURI menyatakan RI-002 dinyatakan hilang, dan tidak diketahui sebab musababnya.
Monumen mengenang RI 002 di Tjilik Riwut Palangkaraya
Monumen mengenang RI 002 di Tjilik Riwut Palangkaraya

Belanda akhirnye mengakui pesawat tempur B-25 Belanda menyergap RI-002 di atas Sumatra Selatan. RI-002 melakukan manuver mengelak dengan terbang pada ketinggian pucuk-pucuk pohon, namun menabrak sebuah pohon dan jatuh.
Tidak banyak informasi mengenai nasib Bob bersama pesawat dan awak pesawatnya. Sampai tahun 1951, tepatnya sampai orang tua Bob, W.R. Freeberg, menulis surat kepada Presiden Soekarno, belum ada kepastian nasib Bob Freeberg. Dengan berbagai cara, pemerintah RI mencoba melacak keberadaan Bob.
Setelah 30 tahun hilang, baru pada 14 April 1978 reruntuhan pesawat beserta kerangka jenazah ditemukan seorang penduduk yang hendak mencari kayu bakar di pegunungan Sumatera Selatan. Hal itu dibuktikan dengan penemuan kepingan bekas sayap pesawat yang telah disusun kembali bertuliskan RI-002. Kerangka jenazah sudah tidak bisa dikenali. Akhirnya, secara simbolik mereka dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Tanjung Karang dalam rangka peringatan Hari Bhakti TNI AU pada 29 Juli 1978.


Menanti Caracal

Kedatangan Helikopter Combat SAR murni TNI-AU tinggal menghitung hari. Saat ini Heli pertama EC-725 Caracal telah tiba dalam bentuk terurai di hangar PT.Dirgantara Indonesia. Dan kini helikopter tersebut dalam proses perakitan. Lalu seperti biasa, seusai perakitan dan pengecatan akan dilakukan uji terbang, pelatihan awak baru kemudian diserahkan ke pihak Kementrian Pertahanan.
(photo: Riza Fahlefie)

Sejarah Caracal
Sebagai salah satu pionir penggunaan helikopter untuk kepentingan militer, Perancis mampu berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah dengan Negara seperti Amerika Serikat maupun Inggris. Hanya untuk heli kebutuhan khusus seperti RESCO saja Perancis tertinggal.
Eurocopter sebagai hasil peleburan Aerospatiale SA (Perancis) dan Daimler-Benz Aerospace (Jerman) boleh dikatakan sebagai pabrikan helikopter terbesar di dunia. Portofolio helikopter yang diproduksi dan ditawarkan saat ini bahkan sangat lengkap, dari yang terkecil yaitu heli latih AS120 Colibri sampai heli serang EC665 Tiger. Perancis sebagai induk semang Eurocopter sendiri bahkan menyumbang hampir setengah portofolio Eurocopter dengan produk seperti Fennec, Cougar/ Puma, Panther, dan sebagainya. Sayangnya, walaupun produk-produknya lengkap, AU Perancis dan AD Perancis sebagai pengguna helikopter belum menemukan kandidat yang dirasa pas untuk melaksanakan operasi SAR Tempur. Desain helikopter Eropa jauh lebih konvensional dibandingkan kontemporernya dari Amerika; ukurannya pun relatif lebih kecil dibanding katakanlah, helikopter serbaguna UH-60 Blackhawk milik AD AS atau CH-53 Sea Stallion milik Korp Marinir AS.
Dari segi kebutuhan operasional, helikopter SAR Tempur yang disebut RESCO oleh AU Perancis menuntut banyak hal. Karena sifat operasinya, helikopter ini harus sanggup terbang jauh alias memiliki endurance panjang di medan operasi. Sistem pertahanannya, baik aktif maupun pasif, harus menjamin bahwa helikopter ini sanggup bertahan dan mempertahankan diri dari ancaman di garis belakang lawan, dan yang terpenting, kapasitas angkutnya mumpuni karena operasi SAR harus mempersiapkan kondisi terburuk dimana personel kawan yang harus diselamatkan bisa saja terluka parah sehingga membutuhkan penanganan medik segera didalam helikopter. Selain personel yang harus diselamatkan, helikopter SAR tempur juga harus mampu mengangkut personel pasukan khusus yang menyelamatkan.
AU Perancis sendiri telah sejak lama menggunakan helikopter RESCO-yang pertama adalah famili helikopter SA330Ba Puma yang dimodifikasi khusus dengan pemasangan berbagai perangkat penunjang. Sebanyak tujuh AS330Ba dilengkapi dengan GPS-INS, Thomson-CSF Chilio FLIR generasi pertama, sistem pendeteksi lokasi pasukan kawan yang jatuh, kokpit yang kompatibel untuk penggunaan NVG, perlindungan lapisan tahan peluru di beberapa titik, sponson roda yang lebih besar, dan hoist penarik di sisi kanan. Dari segi perlengkapan, SA330Ba RESCO ini sudah ideal pada jamannya, namun kemudian tiba masa-masa dimana Perancis mulai memproyeksikan kekuatannya keluar. Operasi militer mereka di Chad, Lebanon, dan negara-negara Afrika lainnya membuat Perancis mulai merasa bahwa platform AS330Ba RESCO mulai tak memadai untuk mendukung operasi SAR Tempur. Pilihan lainnya, yaitu menggunakan Super Frelon RESCO juga dianggap tidak memadai. Walaupun punya tubuh lebih gambot, helikopter ini menggunakan teknologi 1960an yang kurang andal dan tidak memiliki sarana pertahanan yang memadai. 
AU Perancis kemudian merilis program helikopter RESCO baru pada 1997. Tak mau kehilangan pelanggan setia, Eurocopter sebagai induk baru industri helikopter Eropa kemudian menawarkan varian AS532U2 Cougar Mk II dengan kabin yang diperpanjang. Armee de l’Aire nyatanya tidak puas sama sekali, sehingga Eurocopter membenahi Mk II dengan sejumlah fitur tambahan, mulai dengan baling-baling utama sebanyak lima bilah untuk mengurangi vibrasi dan menambah daya angkat. Mesin juga dibenahi dengan penggunaan mesin Turbomeca Makila 1A4 dengan daya 1.800 kW, yang naik 14% dibandingkan mesin sebelumnya. Untuk menjinakkan tenaga helikopter yang meningkat drastis, gearbox baru juga dipasang. Awalnya, Eurocopter menawarkan varian plus-plus ini dengan nama AS532U2 Cougar Mk II+ sebelum memberinya desainasi baru sebagai EC725. Ini memandai lahirnya generasi ketiga keluarga Puma, terhitung sejak SA330 dan kemudian AS332 dilahirkan dari pabrik Aerospatiale. Generasi ketiga ini uniknya juga memandai sudah tiga pabrikan pula yang menangani kelahiran Puma, mulai dari Sud Aviation, Aerospatiale, dan kemudian Eurocopter. Penanda utamanya dapat dilihat dari kabin yang lebih panjang berkat penambahan plug yang hampir satu meter panjangnya, sehingga EC725 mampu menampung sampai 29 prajurit bersenjata lengkap, atau 4 tandu untuk keperluan SAR.
Belajar dari pengalaman mereka yang tidak puas dengan Cougar, AU Perancis kemudian menguji habis-habisan EC725 Caracal. Pengujian dilakukan selama lebih dari 100 jam terbang mulai Juli sampai dengan Agustus 1999, dilakukan di Istres Flight Test Centre dimana seluruh instrumentasi dan perlengkapan yang dijanjikan dipasang. Setelah itu, helikopter memasuki masa sertifikasi oleh CEAM (Pusat Aeronautika Eksperimental AB Perancis).Seluruh penantian dan perjuangan Eurocopter dalam mengembangkan EC725 akhirnya berbuah manis. AU Perancis secara resmi menerima EC725 Caracal dalam upacara yang dihadiri perwakilan pabrik Eurocopter, AU Perancis, dan DGA (Delegation Generale a l’Armement – Biro Pengadaan Senjata Kemhan Perancis) pada bulan September 1999. Dalam upacara tersebut, Patrick Gavin, Chairman Group Management Board secara simbolik menyerahkan ‘kunci’ helikopter ke Jenderal GĂ©rard Saucles yang mewakili Kepala Staf AU Jenderal Jean Rannou di pabrik Eurocopter di Marignane.
Setelah penyerahan ini, Caracal masih diuji secara terbatas/ IOC (Initial Operational Capabilities) bersama dengan pendidikan pilot dan kru lainnya. Tahapan IOC merupakan tahapan krusial, dimana helikopter diuji pada level operasional yang sebenarnya, dimana masalah yang ditemukan harus dicarikan solusi yang memuaskan kebutuhan user maupun Eurocopter sebagai pabrikan, untuk memperoleh masukan yang dibutuhkan sebelum memasuki masa operasional penuh. Baru pada 10 Mei 2006 di Cazaux Kepala Staf AU Perancis Jenderal Richard Wolsztynski menyatakan bahwa EC725 mencapai status operasional penuh, dengan enam EC725 Caracal siap mendukung operasi tempur AB Perancis dimanapun berada. Sementara itu, Skadron Operasi Khusus AD Perancis juga menerima delapan EC725 CaracalHUS (Helikopter Unit Spesialis/ Khusus) untuk mendukung operasi pasukan khusus.


ARC. 

Ini Dia Kerja Agen CIA di Pemerintahan Jokowi

Presiden Joko Widodo (ist)
Dinas intelijen Amerika Serikat, Central Intelligence Agency (CIA) sudah menempatkan beberapa agen di istana maupun Pemerintah Joko Widodo (Jokowi).
“Agen CIA sudah ada di Istana maupun pemerintahan Jokowi. Mereka orang Indonesia tetapi memberikan laporan-laporan rahasia negara ke AS,” kata pengamat intelijen, Umar Abduh kepada intelijen, Sabtu (7/5).
Menurut Umar, agen CIA itu ditempatkan pos strategis di Istana. “Bidang pertahanan, luar negeri, ekonomi, keamanan, pertahanan, hukum, informasi sudah ada agen CIA-nya,” jelas Umar.
Umar mengatakan, Jokowi sengaja menempatkan agen CIA itu di posisi strategis. “Jokowi itu bukan untuk menjaga NKRI tetapi menjualnya ke asing. Perpanjangan Freeport menjadi bukti. Itu bagian kerja CIA di Rezim Jokowi,” papar Umar.
Kata Umar, Jokowi yang sengaja menempatkan agen CIA itu berarti telah mengkhianati bangsa dan negara. “Pihak DPR bisa meminta pertanggungjawaban,” tegas Umar.
Selain itu, ia mengatakan, agen CIA akan menjalankan operasi antiterorisme di Indonesia.
“Operator di Indonesia sudah dijalankan, dan CIA sedang menyiapkan operasi dengan memunculkan teror baru,” pungkas Umar.

Nasib Kilo Class Tak Menentu, Kapal Selam Negeri Ginseng Siap Meluncur

INS-Sindhuvijay-Kilo-Class-Submarine-Indian-Navy-01[3]
Dengan latar kerinduan menggebu pada kejayaan militer Indonesia di dekade 60-an, di mana saat itu Indonesia tak terbantahkan menyandang sebagai negara dengan militer terkuat di belahan Asia Selatan, membuat banyak kalangan di Tanah Air bekalangan eforia pada peralatan militer buatan Eropa Timur, khususnya asal Rusia. Segala yang ‘berbau’ Rusia begitu diagungkan. Tidak ada yang keliru dengan perspektif tersebut, pasalnya memang banyak produk alutsista besutan Rusia yang memang mumpuni, bandel dan mampu memberi efek getar.
Alutsista asal Rusia yang terkini dalam etalase TNI seperti tank amfibi lawas PT-76, BTR-50, dan yang terbaru IFV (Infantry Fighting Vehicle) BMP-3F kepunyaan Korps Marinir TNI AL. Di matra udara ada armada Sukhoi Su-27/Su-30 Flanker. Sementara untuk mengisi kebutuhan siluman bawah laut, sejak beberapa tahun lalu sudah digadang Kilo Class, kapal selam diesel listrik konvensional rancangan Tsentralnoye Konstruktorskoye Byuro (Central Design Bureau) Rubin. Ada lagi berita paling hangat yakni sosok pesawat tempur pengganti F-5 E/F Tiger II yang segera masuk masa pensiun, animo publik dari beragam forum menyerukan agar pemerintah membeli Su-35.
Lepas dari soal kualitas alat tempur yang ditawarkan Rusia, terasa ada aroma dan argumen yang unik dari publik terkait kualitas alat perang Rusia. Karena di dorong semangat dan kerinduaan saat Indonesia di bawah sokongan alat perang Rusia, plus berkembangnya sentimen anti AS dan negara-negara Eropa Barat yang kebanyakan anggota NATO, sontak memunculkan dukungan “yang penting buatan Rusia pasti lebih hebat, lebih canggih dan bisa memberi efek deteren maksimal bagi Indonesia.”
Dalam tulisan ini, kami tidak mengulas dan membandingkan spesifikasi antara buatan AS/Barat dan Rusia. Ambil contoh parade rudal dari Rusia yang dibeli TNI AU untuk jet Sukhoi, ada rudal R-73, Kh-29TE, Vympel R-27, dan Kh-31P. Secara politis, rudal-rudal itu mampu memberi efek getar, termasuk jet Sukhoi. Spesifikasi boleh mumpuni, harga jual juga bisa bersaing, tapi ada yang minus, kebanyakan alutsista yang ditawarkan Rusia belum battle proven, alias minim di uji cobakan dalam operasi militer. Di luar itu, masih banyak pertimbangan terkait biaya operasional, biaya perawatan yang juga belum tentu sebanding dengan ‘pencitraan’ dari senjata yang ditampilkan. Terlebih lagi, bagaimana dengan ToT (Transfer of Technolgy) dalam pengadaan alutsista, mengingat pemerintah mewajibkan adanya ToT untuk tiap pembelian alutsista dari luar negeri.
Setelah melewat polemik dan tarik ulur yang lumayan panjang, akhirnya Kementerian Pertahanan (Kemhan) RI memutuskan untuk membeli tiga unit kapal selam dari Korea Selatan
Kilo Clas Terbentur Harga dan ToT
Setelah melewat polemik dan tarik ulur yang lumayan panjang, akhirnya Kementerian Pertahanan (Kemhan) RI memutuskan untuk membeli tiga unit kapal selam dari Korea Selatan (Korsel) daripada membeli dari Rusia. Alasan utama yang diungkap terkait harga dan urusan alih teknologi (ToT).
Rusia memang menawarkan kredit negara sebesar 1 miliar dolar AS atau sekitar Rp 90 triliun. Hingga kini, Indonesia baru menggunakan kredit tersebut sekitar 200 juta dolar AS untuk pembelian jet Sukhoi dan alutsista pendukung lainnya. Adapun 700 juta dolar AS lebih itu, kata dia, diarahkan pemerintah Rusia untuk dimanfaatkan Indonesia agar membeli dua unit kapal selam dari mereka. Namun lantaran harga tender yang ditawarkan Rusia tidak sesuai kebutuhan TNI AL, maka pemerintah tidak memanfaatkan sisa kredit tersebut. Sementara Korsel dalam tender menawarkan kontraknya sekitar 1,1 miliar dolar AS untuk tiga unit kapal selam.
Kilo class, inilah kapal selam idaman untuk TNI AL
Kilo class, inilah kapal selam idaman untuk TNI AL
Changbogo class, 3 unit akan memperkuat TNI AL
Changbogo class, 3 unit akan memperkuat TNI AL

Akhirnya di dapat kesepakatan Kemenhan untuk membeli kapal selam Changbogo Class buatan Daewoo Shipbuilding and Marine Engineering (DSME). Kapal selam bertenaga diesel itu masing-masing berbobot 1.400 ton dengan panjang 61,3 meter. Selain paket harga, pihak Korea Selatan menawarkan paket ToT, dan itu salah satu keunggulan mengapa Indonesia memilih Korsel. Dalam skema ToT, direncanakan 1 dari 3 unit Kapal Selam tersebut akan di bangun di Indonesia, dan 2 unit lainnya di Korea Selatan. Namun ketiga unit Kapal Selam ini baru akan datang di tahun 2016-2018 mendatang.
Melihat pihak Korsel yang mampu menawarkan ToT, pemerintah Rusia pun tak tinggal dia, mereka juga menyatakan akan memberi iming-iming ToT, tapi sayangnya belum ada penjelasan seperti apa pola ToT yang ditawarkan Rusia. Maklum, selama ini Rusia agak ketat untuk urusan ToT, sebut saja pembelian armada Sukhoi TNI AU yang juga tak menyertakan skema ToT.
Update berita terbaru, akhirnya Rusia menawarkan skema offset. Rusia juga menyatakan kesiapannya pelaksanaan ToT untuk setiap alutsista TNI yang dibeli dari Rusia, mengadakan joint production untuk berbagai suku cadang alutsista TNI yang dibeli dari mereka serta mendirikanservice center di Indonesia. Semua dengan catatan Indonesia membeli produksi alutsista dari Rusia.

Kilo Class dan Persoalan Teknis
Ada pernyataan yang menarik dari mantan Dubes RI untuk Rusia, Hamid Awaludin dalam acara talk show “Apa Kabar Indonesia” di TVOne menjelang 5 Oktober 2013. Ia menyebutkan, proses pengadaan kapal selam dari Rusia mengalami beberapa tantangan, seperti TNI AL harus menyiapkan fasilitas dermaga kapal selam yang lebih besar, mengingat Kilo Class punya dimensi yang lebih besar ketimbang Type 209. Belum lagi penyiapan keperluan logistik dan pelatihan awak, yang kesemuanya mengakibatkan biaya membengkak. Lain halnya, dengan rencana kedatangan Changbogo Class dari Korea Selatan, dengan dimensi yang tak beda jauh dengan kapal selam TNI AL saat ini Type 209, maka TNI AL dipercaya tidak memerlukan modifikasi dan upgrade pada fasilitas pendukung.
Klub loading to Kilo

Kilo Class Bekas Pun Batal
Mungkin karena banyak desakan untuk bisa mendatangkan kapal selam Kilo Class, karena di targetkan TNI AL idealnya punya 12 unit kapal selam, maka tak dapat membeli yang baru, Kemenhan dan TNI AL pun mulai melirik tawaran Kilo Class second.
“Kita sudah melihat ke Rusia. Ada dua kapal selam jenis Kilo Class yang sudah dua tahun tidak digunakan Angkatan Laut Rusia,” kata mantan KSAL Laksamana TNI Marsetio. Menurut Marsetio, dari luar, dua kapal selam milik Rusia itu memang tampak bagus. Namun di dalam ternyata banyak peralatan yang sudah rusak. Apalagi, dua kapal itu sudah dua tahun dikandangkan. Ketika berada di Rusia, tim dari TNI AL juga melihat kapal selam Kilo Class yang baru. Namun mahalnya harga yang ditawarkan menjadikan rencana pembelian kapal selam jenis ini urung dilakukan. (Haryo Adjie)


Kopassus Bantu Pengembangan Senjata PT Pindad

Pada akhir Januari lalu, Komandan Jenderal (Danjen) Komando Pasukan Khusus (Kopassus), Mayjen TNI Doni Monardo, dengan jajarannya mengunjungi fasilitas produksi PT Pindad yang selama ini telah memenuhi quota Minimum Essential Forces (MEF) TNI.
TNI, khususnya Kopasus telah menggunakan senjata buatan Pindad dan akan memberikan masukan untuk pengembangan produk-produk unggulan berikutnya.Kerjasama yang terjalin antara Pindad dan Kopassus akan menjadi tolok ukur bagi Pindad dalam penyempurnaan produk unggulan mereka. Diantaranya seri senapan serbu SS-2, amunisi hingga senapan penembak runduk SPR-2 yang telah digunakan oleh satuan khusus tersebut.
SS-2
Senapan serbu Pindad SS-2 yang saat ini menjadi andalan Kopassus merupakan generasi kedua dari senapan serbu Pindad sebelumnya, SS-1. Dibanding pendahulunya, SS-2 memiliki desain yang lebih ergonomis, tahan terhadap kelembaban tinggi, bobot lebih ringan, serta akurasi yang lebih baik. SS-2 memiliki kemampuan rata-rata tembakan 700 butir peluru per menit yang melesat 710 meter per detik dalam jarak efektif 450 meter. Meskipun pengembangan dari SS-1, seorang prajurit dengan SS-2 mudah melakukan tembak jitu pada jarak-jarak tertentu. Sebab SS-2 dibekali pisir putar berbentuk O yang dapat diatur sesuai sasaran (100 m, 200m, 300m, dan seterusnya), mudah menentukan posisi pipi, dan mata pada lubang pisir, serta bisa dipasangi teleskop close quarter/tactical.
Senapan dengan panjang laras 460 mm ini menggunakan peluru kaliber 5,56 x 45 mm standar NATO dan memiliki berat kosong 3,2 kg. Senapan ini juga digunakan oleh Kopaska dalam operasi militer mereka. Saat ini lebih dari 25.000 pucuk SS-2 sudah ada di tangan TNI. Kopassus tercatat sebagai kesatuan pertama yang menggunakan SS-2, tepatnya pada tahun 2006. SS-2 dibangun dari kombinasi dari keunggulan desain beberapa senjata serbu andalan dunia. Sebut saja bagian moncong laras yang mengacu pada AK-47, popornya layaknya SS-1, dan magasin yang menyerupai model M-16 Keberadaan SS-2 juga merupakan torehan emas untuk Pindad, pasalnya senapan serbu ini telah beberapa kali menjuarai beberapa ajang menembak, seperti Asean Armies Rifle Meet (AARM).
Bagian ujung laras SS-2 mencomot desain AK-47.
Bagian ujung laras SS-2 mencomot desain AK-47.
All varian dari SS-2
All varian dari SS-2

Senapan besutan Pindad satu lagi yang jadi andalan Kopassus adalah jenis senjata anti material SPR-2. Senapan Penembak Runduk ini memiliki daya hancur serta jangkauan proyektil yang lebih jauh. Senapan sniper berkaliber besar ini mampu menembus rantis, personel yang berlindung dibalik dinding gedung, atau bahkan ranpur lapis baja ringan.
SPR-2 menggunakan magasin yang terdiri dari 5 peluru. Pindad juga telah menyiapkan alat peredam, sehingga bisa mengurangi efek bunyi tembakan hingga 60%. SPR-2 punya panjang keseluruhan 1755 mm, sementara panjang laras 1055 mm. Untuk memdidik sasaran, SPR-2 dibekali alat bidik teleskopik dengan pembesaran hingga 10 kali. Proyektil yang dimuntahkan dari laras SPR-2 dapat melesat dengan kecepatan 900 meter per detik.
Pindad SPR-2
Pindad SPR-2

Bahkan saat ini Pindad telah memproduksi SPR-3. Ia memiliki fitur sama dengan SPR-2 tetapi senapan runduk berkaliber 7,62 mm ini mempunyai kemampuan jarak tembak sejauh 700 meter dengan kemampuan penetrasi pada plat baja setebal 3 cm. Bila ditambahkan teleskop, jangkauan tembak efektifnya bisa mencapai 900 meter.
Produk senjata dan amunisi Pindad juga telah di ekspor ke sejumlah negara seperti Singapura, Thailand, Australia, Filipina, Laos, Timor Timur dan juga misi perdamaian PBB. Pindad mempu memproduksi sampai 30 ribu pucuk per tahun, untuk amunisi kaliber kecil dengan tambahan modal dari negara tahun 2012 kini mencapai 150 juta butir per tahun. (Deni Adi)


Jumat, 06 Februari 2015

Prajurit TNI sita belasan senjata & granat di perbatasan Malaysia

Pangdam Tanjungpura, Mayjen Toto Rinanto melihat senjata api dan granat yang berhasil diamankan Prajurit TNI yang tergabung dalam Satuan Tugas Batalyon Infanteri (Satgas Yonif) 315/Garuda dan Satgas Yonif-501/Bajra Yudha yang sedang melaksanakan tugas sebagai pengamanan perbatasan (Pamtas) di wilayah perbatasan RI-Malaysia, Kamis (5/2/2015). (foto: Tribunnews)
Prajurit TNI berhasil mengamankan senjata api dan granat dari perbatasan Indonesia-Malaysia. Senjata api yang diamankan di antaranya 3 pucuk laras panjang, 9 pucuk senjata api rakitan laras panjang, 2 pucuk pistol jenis revolver, 5 granat aktif, 3 butir amunisi 7,62 mm, dan 29 butir M 16 A I, calliber 5,56 mm.
Keberhasilan ini dicapai Satuan Tugas Batalyon Infanteri (Satgas Yonif) 315/Garuda dan Satgas Yonif-501/Bajra Yudha yang sedang melaksanakan tugas sebagai pengamanan perbatasan (Pamtas) di wilayah perbatasan RI-Malaysia.
Mereka berhasil melakukan pendekatan pada warga dengan cara persuasif, hingga warga akhirnya menyerahkan aneka senjata itu secara sukarela.
Hal tersebut disampaikan Pangdam XII/Tanjungpura Mayjen TNI Toto Rinanto, usai membuka Rapim tingkat Kodam, di Aula Makodam XII/Tanjungpura, Kalimantan Barat.
“Keberhasilan Satgas Pamtas Yonif 315/Garuda dan Yonif Linud 501/Bajra Yudha di Entikong, Sanggau, Putussibau, dan Kapuas Hulu di Wilayah perbatasan RI-Malaysia, sudah banyak hasil yang didapat, bahkan saya merasa bangga tentang keberhasilan ini,” kata Mayjen TNI Toto Rinanto, Kamis (5/2).
Dijelaskan oleh Mayjen Toto penyerahan senjata api tersebut merupakan keberhasilan satgas dalam hal pembinaan dan pembangunan komunikasi yang baik dengan warga masyarakat setempat.
“Satgas Pamtas selain menjaga teritorial Indonesia di perbatasan Kalimantan Barat (Kalbar), juga mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan upaya tindak kejahatan, seperti masuknya barang illegal dan illegal trafficking, ujar jenderal bintang dua itu.
“Keberhasilan lainnya juga telah menggagalkan illegal trafficking, minuman keras, kendaraan tanpa surat resmi/bodong, kayu, dan rotan bahkan Narkoba,” lanjut Mayjen Toto.
Pangdam XII/Tanjungpura menegaskan, untuk memperkuat peran Satgas Pamtas, tahun ini akan dilakukan penambahan 25 unit pos pengamanan dari yang ada sudah 45 unit, sementara 22 pos pamtas lama akan direnovasi.
“Kita sangat mendukung program pemerintah pusat yang telah menyiapkan tiga program untuk wilayah perbatasan Kalimantan Barat, pembangunan jalan antar pos, jalan antar desa ke pos dan jalan parallel,” tutupnya. 

 (Merdeka)