Dunia kemaritiman tanah air menghadapi dilema yang cukup
serius dalam menangani praktek illegal fishing yang terjadi di perairan
Indonesia.
Tugas TNI Angkatan Laut dalam mengamankan teritori di Indonesia
nyatanya tak bisa berfungsi maksimal. Gara-garanya, anggaran bahan bakar
minyak untuk kapal-kapal patroli laut sangat minim. TNI bahkan sampai
harus berhutang Rp 6 triliun untuk mengoperasikan kapal patroli ini.
“Selama ini kami hutang ke Pertamina, hutang jadi makin banyak.
Hutang terakhir TNI itu sekitar Rp 6 triliun, nggak tahu tuh mau
diputihkan atau bagaimana,” kata Panglima TNI Jenderal Moeldoko di
Kantor Presiden, Senin (17/11/2014).
Moeldoko mengungkapkan bahwa kapal laut yang dimiliki TNI AL saat ini
ada 64 unit. Kapal-kapal itu terdiri dari jenis kapal frigate, kapal
corvette, kapal patroli, kapal selam, kapal hidrografi, hingga kapal
penyapu ranjau. Dengan kecanggihan teknologi yang dimiliki TNI AL,
Moeldoko bahkan melontarkan candaan. “Ini kapal nelayan kecil lawan
kapal perang. Jangan sampai nyamuk digebuk pakai meriam,” tutur
Moeldoko.
Meski memiliki kecanggihan yang mumpuni, kapal-kapal milik TNI AL itu
nyatanya tak bisa beropasi lantaran tidak adanya BBM. Alhasil, banyak
wilayah laut Indonesia yang tak terawasi. “Secara kapal, kami cukup
banyak. Hanya sekali lagi, mengerahkan kapal itu urusannya gede banget.
Untuk operasi waduh bisa ribuan ton itu urusan BBM,” ucap Moeldoko.
Sedangkan Kepala Staf TNI Angkatan Laut Laksamana Marsetio
mengungkapkan kebutuhan ideal BBM bagi kapal patroli TNI AL mencapai 5,6
juta kilo liter per tahun. Namun, kondisi yang terjadi saat ini jauh
dari ideal. “Hanya 13 persen saja yang kami dapat BBM. Jadi sehari hanya
bisa 7-15 kapal. Yang dalam posisi siap sebenarnya ada 60-70 kapal,”
ucapnya.
Dengan keterbatasan ini, Marsetio mengaku menyiasatinya dengan
memfokuskan pengawasan pada daerah yang rawan illegal fishing, misalnya
di perairan Natuna. Di kawasan itu, Marsetio mengaku sudah menangkap 6
kapal bodong yakni 3 kapal dari Vietman, 2 kapal dari Malaysia, dan 1
kapal bodong dari Batam.
“Jadi kami nggak mungkin seperti menggergaji laut seperti itu. Kami
memfokuskan pada pos-pos di mana ada informasi soal penjarahan ini,”
ucap Marsetio.
Marsetio mengaku TNI AL selalu menyuarakan soal terbatasnya anggaran
untuk BBM sejak pemerintahan lalu. Namun, permintaan itu masih belum
dikabulkan. Dia berharap agar dalam APBN-P, TNI AL mendapat pos anggaran
yang cukup untuk patroli laut. Apalagi, pemerintahan Presiden Joko
Widodo saat ini lebih mengedepankan sektor maritim.
“Permasalahan antar negara ke depan itu sudah soal perbatasan. Kami
bukan minta dalam bentuk uang, karena minyak bisa sewaktu-waktu naik.
Tapi yang dibutuhkan dalam bentuk kuantum, kita butuh 5,6 juta kilo
liter per tahun,” kata dia. (Kompas.com).