Ajang perayaan Hari Ulang Tahun (HUT) Ke-69 Brimob, Jumat
(14/11/2014), di Depok, Jawa Barat, menjadi peresmian penggunaan kembali
seragam loreng itu. Pada perayaan itu, semua polisi dan anggota Brimob
menggunakan seragam tersebut.
Loreng pelopor atau loreng ”darah mengering” berwarna dasar hijau
dipadu loreng berwarna hitam, putih, dan kuning. Seragam itu pertama
kali dipakai Brimob pada 1962 ketika ikut serta dalam Operasi Mandala.
Memasuki era reformasi, seragam itu dilarang digunakan seiring kedudukan
Polri yang berpisah dari Tentara Nasional Indonesia (TNI) sekaligus
mengukuhkan Polri sebagai kekuatan sipil yang dipersenjatai.
Kepala Polri Jenderal (Pol) Sutarman mengatakan, penggunaan baju
dinas lapangan bermotif loreng guna mempertahankan nilai-nilai historis
perjuangan Brimob. Selain itu, dia menganggap seragam itu efektif
dipakai di tempat-tempat tertentu berkadar gangguan keamanan dan
ketertiban tinggi, seperti hutan dan pegunungan.
Keputusan itu hasil evaluasi Polri terhadap korban jiwa anggota
Brimob dalam upaya memberantas terorisme di Poso, Sulawesi Tengah,
Februari lalu. ”Untuk menghindari korban tambahan dari anggota Brimob,
saya memberlakukan kembali penggunaan seragam loreng itu dalam
tugas-tugas operasional,” ujar Sutarman seusai menghadiri perayaan HUT
Brimob.
Sutarman menyatakan, keputusan penggunaan seragam itu diatur oleh
Kepala Korps Brimob Irjen Robby Kaligis. Seragam tersebut akan digunakan
dalam upacara dan penugasan khusus. Adapun untuk penugasan di kota, dia
mengimbau anggota Brimob tetap berseragam resmi Polri.
Robby mengungkapkan, penggunaan seragam loreng merupakan hal wajar
bagi polisi yang melaksanakan operasi khusus. Hal itu juga berlaku di
negara lain, seperti Thailand, Filipina, dan Malaysia.
Penggunaan seragam loreng, lanjutnya, merupakan penunjang tugas
Brimob. ”Jangan hanya dilihat seragam apa yang kami pakai, tetapi
bagaimana dampaknya terhadap keberhasilan tugas kami. (Seragam) Ini
hanyalah sarana agar tugas tercapai dan berjalan lebih baik,” kata
Robby.
Membingungkan
Direktur Lingkar Madani untuk Indonesia Ray Rangkuti berpendapat,
penggunaan seragam loreng akan menyebabkan kebingungan di masyarakat
mengenai tugas Brimob dan TNI di lapangan. Kemiripan seragam itu, tambah
Ray, akan menyulitkan masyarakat memahami tugas Brimob dalam aspek
keamanan dan tugas TNI sebagai penjaga pertahanan.
”Penggunaan seragam loreng itu sebaiknya tidak dilanjutkan. Sebab,
apabila Brimob melakukan aksi tercela dalam penugasan, pamor TNI yang
langsung tercoreng di masyarakat. Masyarakat sudah mengidentifikasi
loreng adalah TNI,” tutur Ray.
Keputusan Kapolri mengeluarkan keputusan tersebut, menurut Ray,
keliru. Dia menyayangkan keputusan itu tidak diawali koordinasi dengan
TNI yang berwenang dengan simbol terkait seragam loreng. Penggunaan
motif loreng pada seragam Brimob harus diwaspadai karena berpotensi
mengembalikan Brimob menjadi militeristik.
Kriminolog Universitas Indonesia, Bambang Widodo Umar, mengatakan,
Brimob bagian dari Polri, institusi sipil. Oleh karena itu, simbol dan
tindakannya tidak boleh militeristik. Alasan sejarah penggunaan loreng
adalah romantisisme semata yang tak boleh ada di atas fungsi. ”Fungsi
dan pendekatan Brimob bersifat yuridis, bukan seperti militer yang
kalah-menang,” kata Bambang.
Ia menyayangkan simbol militeristik Brimob karena sudah tak sesuai
doktrin Tri Brata. ”Bedanya polisi dengan tentara itu hukum normatif dan
perang. Ya, ini jauh berbeda,” ucapnya.
Anggota Komisi Kepolisian Nasional, Adrianus Meliala, menilai
penggunaan loreng ini ada di wilayah abu-abu. Ia mengatakan, jika
dilihat dari satu sisi memang jadi seakan militeristik.
Namun, ia melihat sisi lain, yaitu terkait tugas Brimob. Selain
huru-hara dan penjinakan bom, Brimob bertugas melawan teror. Berbeda
dengan Densus 88 yang bertugas di kota-kota besar, Brimob juga bertugas
di hutan dan desa. ”Loreng perlu untuk kamuflase,” katanya.
Oleh karena itu, Adrianus berpendapat agar penggunaan loreng itu
bersifat terbatas, yaitu sesuai kebutuhan kamuflase. ”Kami akan evaluasi
penggunaan dan dampaknya seperti apa. Misalnya untuk ke pasar atau
operasi SAR, tidak boleh dengan loreng,” ujarnya
Sumber: Kompas