Saat dulu masih menjabat, Presiden SBY pada tahun 2008 pernah meminta TNI untuk meng-grounded alutsista yang berumur tua. Alasannya selain untuk menjamin keselamatan awak dan prajurit, alutsista tua cenderung tidak efisien dalam biaya operasional dan perawatan. Merespon permintaan tersebut, gelombang update dan pengadaan alutsista anyar pun di geber lewat program MEF (Minimum Essential Force) I. Tapi pada kenyataan, di segmen ranpur dan rantis, beberapa kesatuan TNI tampak masih mencintai dan bangga pada alutsista yang sudah berusia lanjut.
Sebagai contoh yang paling spektakuler adalah masa bakti tank amfibi PT-76 dan Pansam (panser amfibi) BTR-50P Korps Marinir TNI AL. Sejak mendarat di Tanah Air untuk operasi Trikora di tahun 1962, hingga kini duo ranpur amfibi TNI AL tersebut masih eksis di palagan operasi tempur, hingga paling akhir dipercaya dalam melaksanankan operasi amfibi menggempur basis GAM di NAD. Meski beberapa kali mengalami kecelakaan yang mengakibatkan korban jiwa, toh BTR-50 masih dilirik sebagai wahana APC amfibii untuk menghantarkan pasukan pendarat. Meski sudah ada LVTP-7, BTR-50 yang awalnya sempat mencapai jumlah 82 unit masih digadang untuk operasi tempur.
Ciri khas tank buatan Rusia ini dirancang agar tidak mudah terbakar dengan bahan bakar solar yang bisa menampung kapasitas bahan bakar hingga 260 liter. Dengan kapasitas bakar sebanyak itu, BTR-50 mampu melaju hingga 260 Km tanpa harus mengisi bahan bakar ulang. Kecepatan sewaktu melaju di jalan raya sekitar 44 Km per jam, sementara di air dengan dua propeller bisa melaju hingga 10 Km per jam. Selain bisa menerjang gelombang laut setinggi 1,5 meter dalam kecepatan 5 Km per jam, BTR-50 sanggup berenang mundur pada kecepatan 5 Km per jam.
Seperti halnya M-113, BTR-50 laris digunakan sebagai battle taxi dalam operasi pertempuran.
Dengan dimensinya yang besar, BTR-50 juga efektif sebagai tempat berlindung bagi pasukan.
Mengamankan posisi juru tembak dari terjangan peluru sniper, pangkal laras pada SMB dilengkapi perisai.
Berangkat dari kebutuhan untuk ‘melestarikan’ BTR-50, maka sejak beberapa waktu lalu dilakukan beragam program upgrade dan retrofit. Salah satu industri pertahanan Dalam Negeri, PT Alam Indonesia Utama, berusaha meremajakan BTR-50 Korps Marinir TNI AL. Upaya peremajaan ini BTR-50 difokuskan pada penggantian sistem elektronik dan optronik, sehingga sebagai tank APC (Armoured Personnel Carrier), BTR-50 dapat memberikan bantuan tembakan secara maksimal pada unit pasukan yang diterjunkannya. Wujudnya adalah dengan pemasangan perangkat pengendali tembakan, RCWS (Remote Control Weapon System).
Dengan adopsi RCWS pada BTR-50, maka juru tembak (gunner) di dalam BTR-50 bisa melihat langsung hasil tembakan sekaligus mengkoreksinya lewat monitor. Lebih dari itu, dengan RCWS keselamatan juru tembak menjadi lebih terjamin, tidak perlu khawatir ditembak sniper lawan yang kerap membidik dalam suatu pertempuran. Pemasangan RCWS juga amat membantu pada kualitas akurasi tembakan, dalam hal ini senapan mesin GPMG kaliber 7,62 mm. Bila dilihat dari bentuk dudukan, RCWS dan pod di BTR-50 mirip dengan yang terpasang pada tank ringan AMX-13 hasul retrofit PT Pindad. Meski bila melihat dari postur dan dimensi tank, idealnya minimal jenis senapan mesin RCWS mengusung SMB (Senapan Mesin Berat) kaliber 12,7 mm, seperti halnya pada RCWS yang terpasang pada tank AMX-13 VCI TNI AD.
BTR-50 dengan bekal RCWS pada hatch komandan
BTR-50 PK produksi Rumania, juga dimiliki oleh Korps Marinir TNI AL
Upgrade pada sistem optronik ditekankan pada perangkat mesin dan pendukung lainnya, seperti sistem lengan roda, track idler, hub ilder, shock absorber, sprocket, dan suspensi. Untuk proteksi, BTR-50 yang kini telah berusia lebih dari 50 tahun, menggunakan jenis baja RHS 25 mm, ini adalah jenis baja lama yang digunakan sejak sebelum BTR-50 di upgrade. Melihat konteks modernisasi, bila ranpur paruh baya ini akan terus digunakan, idealnya diperlukan penambahan lapisan keramik dan baja setebal 10 mm atau komposit setebal 20 mm.
Seperti dikutip dari Edisi Koleksi Angkasa No.91 2014, meski hasil retrofit BTR-50 yang digarap PT Alam sudah masuk dalam tahap uji coba, baik untuk operasional tempur di air maupun darat, serta sistem elektronik dan optronik juga dapat berfungsi secara maksimal. Namun pihak TNI AL tampaknya belum tertarik atas hasil retrofit yang telah dicapai.
BTR-50 dengan senapan mesin non RCWS.
Selain program retrofit yang digadang PT Alam Indonesia Utama, BTR-50 juga dilakukan modifikasi oleh Divisi Teknologi PT PAL, Surabaya dengan kode BTR-50PM. Meski modifikasi tidak mencakup pada elemen senjata, tapi body BTR-50 dipermak cukup banyak, menjadikan tank BTR-50 wujudnya terlihat futuristik. Daya apung, stabilitas, serta urusan keselamatan menjadi terdongkrak. Hal tersebut dilakukan dengan mengubah sudut tekukan di bagian depan menjadi lurus dan disertai pengaturan letak pintu palka (hatch) commander, driver, dan gunner. Kompartemen mesin mengalami peninggian dan dibuat bersudut. Selain berfungsi menahan terjangan air, penambahan ini juga berguna untuk meningkatkan perlindungan frontal pada tank. (Gilang Perdana)