Konflik perbatasan dengan Malaysia di
Tanjung Datu, Sambas, Kalimantan Barat, mengusik Praka Mar Roby Eka
Sanjaya. Langkah Malaysia membangun mercusuar di perairan Indonesia,
membuat staf intelijen Pasmar 1 Surabaya itu prihatin. Menurutnya, luas
wilayah laut Indonesia memang belum sebanding dengan jumlah personel
TNI.
Kondisi tersebut mengingatkan Roby ketika bergabung dalam Satuan
Tugas Marinir Pengamanan Pulau Terluar, tiga tahun lalu. Kala itu dia
bersama 29 prajurit baret ungu lainnya diterjunkan menjaga Kepulauan
Fani.
Pulau Fani adalah pulau terluar Indonesia yang terletak di Samudra
Pasifik dan berbatasan dengan negara Palau. Pulau Fani ini merupakan
bagian dari wilayah pemerintah Kabupaten Sorong, Papua Barat.
Kepulauan itu terdiri atas tiga pulau. Yang terluas adalah Pulau
Fani. Lalu ada Pulau Igi dan Pulau Miarin. Secara administratif, pulau
itu masuk Kabupaten Raja Ampat.
Saat air laut surut, tiga pulau itu terlihat dihubungkan sebuah
jembatan panjang dari kayu. Begitu laut pasang, jembatan tersebut bisa
tidak terlihat dan jarak antar-pulau menjadi lebih jauh.
“Sekitar enam bulan bertugas di pulau terluar menjadi tantangan
tersendiri”, tutur Roby. Sebanyak 30 anggota satgas didominasi Yonif 5
Marinir yang bermarkas di Ujung – Pabean Cantikan dikirim ke sana. Yonif
ini berada di bawah Brigade Infanteri 1 Marinir Gedangan, Pasmar 1
Surabaya.
Satgas di Pulau Fani dikomandani Kapten Mar Wachit. Lalu, ada dua
prajurit dari Pasmar 1, Roby dan Praka Mar Fani Andri Santoso. Personel
Batalyon Komunikasi dan Elektronika 1 Marinir adalah Serma Mar Abuwono
dan Kopda Mar Bejo Susanto.
Dari Batalyon Kesehatan 1 Marinir ada Koptu Mar Gandi dan KLS Agus
Kelik. Dua batalyon itu di bawah Resimen Bantuan Tempur 1 Karangpilang,
Pasmar 1 Surabaya.
“Sebulan sebelum berangkat, anggota satgas wajib mengikuti pratugas,”
ujar Kapten Mar Wachit. Sebab, mereka harus ”perang” di medan yang
berbeda. Terbiasa berdinas di kota dapat membuat anggota kaget kalau
tidak ada persiapan. Pratugas itu dilaksanakan di Pusat Latihan Pasukan
Pendarat Komando Latih Marinir (Kolatmar) Gunungsari dan Pusat Latihan
Pendaratan Khusus Kolatmar Grati, Pasuruan.
Sebagian besar pulau terluar punya garis pantai dan karang yang agak
jauh dari daratan. Selain itu, belum semua punya fasilitas dermaga, baik
yang paten maupun yang apung. Cuaca di kawasan bibir Samudra Pasifik
tersebut juga dikenal kurang bersahabat dan cenderung ekstrem. Perlu
kecakapan pendaratan dari kapal pengantar atau perahu yang berukuran
tidak terlalu besar. Banyaknya barang bawaan, baik satuan maupun
pribadi, mengharuskan setiap pendaratan punya teknik keseimbangan.
Kecakapan pendaratan juga diperlukan saat menurunkan perbekalan
logistik. Setengah tahun bertugas, mereka dipasok beras belasan kuintal
dari pos komando taktis Sorong. Waktunya tiga bulan sekali, bahkan bisa
molor. Itu bergantung pada cuaca dan keberanian nelayan mengirim
sembako. Ketinggian gelombang air laut banyak membuat kapal perintis
berpikir ulang. “Biasanya, hanya nelayan pemburu hiu bernyali tinggi
yang nekat membantu,” timpal Praka Mar Roby.
Saat pendaratan, material maupun beras tidak boleh sampai terjatuh ke
air. Selama pratugas di Gunungsari maupun Grati, mereka dituntut
menguasai teknik pendaratan. Salah satunya melintasi titian keseimbangan
papan kayu memanjang yang digantung dengan tambang di kiri dan
kanannya. Pratugas semakin berat saat diuji bertahan hidup. Dalam
simulasi, mereka dipaksa survive tanpa bekal. Prajurit dituntut
memaksimalkan potensi alam Gunungsari dan Grati.
Keterbatasan air tawar mengharuskan mereka menandon air tatlaka
hujan. Jika hujan tidak turun, solusi lain adalah menampung air laut
dalam galian atau dengan wadah penyaringan.
Kondisi alam memang ekstrem. Saat air pasang, jarak pos hanya sekitar
4 meter dari laut. Saat badai dan angin puting beliung tiba, para
anggota tawakal sembari mengamankan diri dari berbagai kemungkinan. Hawa
dingin ketika tengah malam-dini hari serta panas saat siang terik
menjadi hal biasa yang dihadapi.
Meski dibekali beras untuk keperluan tiga bulan sekali, beras bisa
lebih cepat habis. Penyebabnya bukan konsumsi yang melebihi takaran.
Tetapi, serangan hewan pengerat berupa tikus pulau membuat jatah beras
prajurit berkurang. Pantangan adat yang melarang membunuh tikus membuat
anggota berusaha mematuhi kearifan lokal tersebut.
“Pernah
suatu waktu karena sudah jengkel, kami berondongi tikus itu dengan
tembakan. Tidak lama setelah siang itu, terasa ada gempa dan badai
lumayan besar,” kenang prajurit yang 3 Oktober nanti genap 28 tahun
tersebut. Kebetulan pada saat bersamaan, beberapa rekannya memanjat
pohon kelapa. Akibat gempa sesaat itu, personel yang hendak mengambil
buah kelapa terjatuh. Untungnya, mereka tidak cedera parah. Sebuah pohon
besar dengan diameter sepanjang keliling enam orang yang melingkari
pohon tersebut juga tumbang.
Pantangan lain yang berlaku di pulau terluar itu adalah membakar
seafood jenis kepiting seperti rajungan maupun lobster. Ikan jenis lain
diperbolehkan. Belum ada alasan rasional yang menjelaskan larangan
tersebut.
Kepulauan Fani yang dikenal sebagai habitat ikan karang dan berbagai
biota laut membuat prajurit sejatinya tidak sampai kehabisan pengisi
atau pengganjal perut dari rasa lapar. Hanya, masalah selera makan acap
menghinggapi mereka.
Penyakit yang dapat muncul kemudian biasanya rasa jenuh dan bosan.
Beruntung, mereka memiliki berbagai objek untuk melawan perasaan yang
kadang menggelayut di pikiran itu. Untuk membunuh kejenuhan dan rasa
bosan, olahraga menjadi salah satu aktivitas yang dapat mengusir dan
menyalurkan waktu. “Di pos jaga tersedia beberapa perkakas sederhana
untuk membuat badan lebih fit,” kenang suami Nurul Chasanah yang
berputra Alfatif Dirga Sanjaya itu.
Kapten Wachit menambahkan, ada kebanggaan sebagai prajurit penjaga
pulau terluar. Sebab, mereka termasuk berada di garda terdepan dalam
mengamankan tanah air. Enam bulan jauh dari peradaban menjadi momentum
lebih untuk mengenali jati diri dan Tuhan. Semangat yang membara menjadi
komitmen tidak akan ada lagi kisah tragis seperti dialami Sipadan dan
Ligitan yang jatuh ke pelukan negeri jiran Malaysia. “NKRI adalah harga
mati,” tegasnya. (jpnn.com)
Kunjungan KRI Sultan Hasanuddin-366
Pulau Fani yang merupakan pulau terluar wilayah NKRI di tepi Samudra
Pasifik dihuni oleh sekitar ± 150 orang dewasa dan anak-anak yang
merupakan penduduk musiman pada waktu tertentu saja selebihnya pulau ini
dihuni oleh anggota Satgas Pam pulau terluar dari anggota Posal P.
Fani. Sulitnya transportasi menyebabkan kelangkaan bahan pokok sehingga
penduduk enggan mendiami pulau ini secara permanen.
Dalam rangkaian Operasi Cakra Hiu-14 pada hari Rabu tanggal 25 Juni
2014 Pejabat Guspurlatim Asops Kolonel Laut (P) Retiono Kunto dan
Asintel Kolonel Laut (P) Joni Sudianto didampingi Perwira KRI SHN-366
Kapten Lengkong mengunjungi pulau Fani menggunakan RHIB KRI Sultan
Hasanuddin (SHN)-366 kunjungan disambut oleh Sertu Muhtadi anggota
tertua yang mewakili Danton Pamtas Lettu Mar Dedi Elyadi Putra yang saat
itu berada di Sorong dalam rangka persiapan pergantian personel. Pada
kesempatan tersebut kapal markas Ops Cakra Hiu-14 KRI SHN-366 memberikan
sumbangan kepada personel yang bertugas di pulau Fani berupa Beras 1
karung, supermi, makanan ringan dan BBM.
Dalam kesempatan tersebut Asops Guspurlatim menyampaikan bahwa dalam
operasi seperti ini kita perlu mengunjungi Pulau terluar sebagai bentuk
komitmen TNI AL dalam menjaga keutuhan NKRI dan sekaligus dapat
memberikan semangat kepada petugas perbatasan. Dalam keterangannya Sertu
Muhtadi menyampaikan bahwa jumlah personel yang ada sebanyak 13 orang
gabungan (Marinir dan TNI AD) disampaikan juga bahwa situasi di pulau
ini aman dan penduduk yang ada adalah penduduk musiman jika sedang
banyak ikan warga dari Papua datang ke pulau ini untuk mencari ikan.
Untuk komunikasi setiap hari hanya satu kali yaitu pada pukul 07.00 WIT
menggunakan radio sedangkan untuk penerangan menggunakan Solar Sel
karena PLN belum ada.
Mengingat pentingnya menjaga wilayah perbatasan maka kepada instansi
terkait diharapkan segera mengusahakan pembangunan infrastruktur yang
dibutuhkan sehingga petugas perbatasan dapat menjalankan tugasnya dengan
baik dan keberadaan Pulau Fani tidak dimanfaatkan pihak asing. (tnial.mil.id).